Posts Tagged ‘Parangtritis’

Ada Gempa Di Kotaku (4)

18 Desember 2007

Sekitar menjelang jam delapanan, ketika orang-orang masih saling berkelompok membicarakan bencana luar biasa yang barusan dialami, tiba-tiba terjadi gempa susulan. Memang tidak terlalu keras getarannya, tapi tak ayal lagi membuat semua orang terkejut dan secara refleks saling mengambil posisi aman untuk menyelamatkan diri kalau-kalau terjadi sesuatu. Mereka yang sedang memeriksa rumah masing-masing atau berada di dekat rumah pun serta merta berhamburan menjauh. Keterkejutan yang tak perlu dibantah kenapa-kenapanya. Mengingat semua orang masih dalam situasi mental yang traumatis, belum lepas dari apa yang terjadi dua jam sebelumnya.

Tiba-tiba muncul kabar dari mulut ke mulut entah darimana asal bin muasalnya : “Ada tsunami!”. “Air… air… air sudah dekat!”. “Semua orang pada lari ke utara…!”. Kata-kata menakutkan sejenis itu seperti tak terbendung menular dari mulut ke mulut. Bisa dibayangkan betapa kepanikan tiba-tiba merebak. Hampir setiap orang menjadi panik. Siap-siap…, bergegas meninggalkan rumah untuk bergerak mencari tempat aman. Arah utara yang terpikir, yaitu menjauh dari arah pantai dan menuju daerah tinggi. Suasana begitu kalut dan panik. Orang-orang yang belum lagi pulih dari rasa takut yang mencekam akibat gempa hebat pagi harinya, tiba-tiba dihadapkan dengan ancaman baru gelombang tsunami. Tentu saja bencana tsunami Aceh yang menjadi referensi kepanikan di dalam pikiran setiap orang.

Tak terkecuali keluarga kami pun sempat panik, terutama ibunya anak-anak. Juga enam orang mahasiswa yang kost di tempat kami, yang segera siap-siap dengan sepeda motornya. Ibunya anak-anak segera menutupi pintu rumah, menguncinya, dan siap-siap mengajak pergi entah mau kemana. Saya sendiri sebenarnya ragu. “Tidak mungkin ada tsunami”, kata hati kecil saya. Tapi suasana memang sudah sedemikian paniknya. Para tetangga pun nampak siap-siap dengan mobil, sepedamotor atau berjalan kaki meninggalkan rumah entah hendak kemana. Isu yang santer terdengar mengatakan bahwa air sudah semakin dekat.

Entah kenapa saya merasa sangat pede untuk tidak percaya, untuk tidak kelewat panik. Namun karena saya pikir ini bukan saat yang tepat untuk eyel-eyelan (beradu argumen) dengan istri, maka saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti “irama” kepanikan itu. Saya sarankan kepada istri, kalau memang mau pergi jangan lupa membawa bekal uang secukupnya. Jangan hanya berbekal kunci rumah, karena nampaknya yang terpikir hanya pokoknya mencari tempat aman secepatnya. Sekali lagi, entah hendak kemana.

Tapi sebelum kami memutuskan benar-benar mau meninggalkan rumah, saya minta kepada salah seorang anak kost untuk mencoba keluar mencari tahu informasi yang sebenarnya. Meskipun saya tahu bahwa hal itu tidak ada artinya sama sekali, toh saya suruh juga dua orang anak kost untuk menggunakan sepeda motornya keluar ke jalan raya.

Celakanya, kedua anak kost itu kembali dengan membawa berita yang lebih menakutkan. Air sudah semakin dekat dan orang-orang sudah berduyun-duyun bergerak cepat ke arah utara. Saya tetap tidak percaya. Saya ajak semua orang untuk mendengarkan berita dan laporan di radio mobil, yang ternyata tidak satupun ada peringatan tentang datangnya gelombang tsunami. Justru berita tentang kepanikan luar biasa yang sedang terjadi di mana-mana, di jalan-jalan yang menuju arah utara atau ke arah Kaliurang yang dianggap lebih tinggi lokasinya.

Akibat gempa pagi harinya dan ingatan tentang tragedi tsunami di Aceh, membuat orang lupa bahwa pergi ke dataran tinggi ke utara sama artinya dengan mendekati gunung Merapi dengan wedhus gembel-nya. Belakangan saya baca di koran bahwa beberapa menit setelah terjadinya gempa, telah terjadi luncuran awan panas yang lebih besar dari biasanya. Rupanya pagi itu kebanyakan orang lupa dengan ancaman Merapi.

Dari radio pula dilaporkan bahwa lalu lintas telah menjadi kacau-balau dan macet total dimana-mana. Selain karena lampu lalulintas tidak berfungsi akibat listrik padam karena gempa pagi harinya, juga karena adrenalin semua orang sudah terpacu untuk tidak ingin menjadi korban seperti di Aceh. Kalaupun lampu lalulintas hidup pun rasanya tidak ada lagi orang yang menghiraukannya. Maka peristiwa tabrakan atau serempetan dalam berlalulintas bukan lagi sebuah kecerobohan atau keteledoran, melainkan sebuah proses. Proses untuk mencari selamat. Dikabarkan bahwa kepanikan dan kekalutan di jalan-jalan sudah sedemikian memuncaknya. Tabrakan di mana-mana tak terhindarkan lagi, dan celakanya tak ada yang perduli. Masing-masing terpacu untuk secepatnya menuju arah utara. Mobil, sepeda motor, orang-orang berlarian dengan jerit dan tangis kepanikan. Demikian yang saya dengar dari siaran radio Sonora.

Sementara di depan rumah saya di Umbulharjo, ibunya anak-anak kebingungan mencari anak laki-lakinya yang ternyata tidak berada di rumah, justru pada situasi dimana kebanyakan orang sedang berusaha untuk dapat saling berkumpul dengan keluarganya. Rupanya anak laki-laki saya pergi main dengan membawa sepedanya. Ibunya jadi gethem-gethem (geram). Semua orang kepingin berkumpul dengan keluarganya pada situasi segenting dan semenegangkan ini, anak laki-laki saya malah pergi main, begitu jalan pikiran ibunya. Sangat ibuwi (maksudnya, manusiawi sebagai seorang ibu).

Tidak seberapa lama kemudian anak laki-laki saya pulang dengan sepedanya sambil cengengesan. Lalu bercerita, katanya jalanan sangat padat dan ramai, dan orang-orang bilang ada tsunami. Sampai dia kesulitan untuk bersepeda menuju pulang. Ya tentu saja. Ketika semua orang bergerak cepat ke arah utara, dia malah bersepeda melawan arus ke arah selatan untuk pulang. Rupanya dengan temannya anak laki-laki saya baru saja bersepeda berkeliling menginspeksi bangunan-bangunan yang runtuh akibat gempa, demikian laporannya. Dasar anak!

Entah karena semakin bisa mengendalikan rasa paniknya, entah karena melihat saya agak ogah-ogahan diajak pergi. Akhirnya istri saya beserta kedua anak saya ya tetap berdiri di depan rumah saja. Anak-anak kost pun saya yakinkan bahwa tidak ada tsunami. Akhirnya kami semua hanya ngobrol sambil duduk-duduk di atas selembar tikar di depan rumah, sambil mendengarkan laporan-laporan berita di radio Sonora.

***

Kenapa tidak mungkin ada tsunami? Meskipun saya bukan ahli geologi, kecuali pernah kuliah mata pelajaran tentang geologi, kalau sekedar memahami fenomenaa gempa dan tsunami dari referensi-referensi dan artikel-artikel rasanya saya masih bisa memahaminya. Saya mulai banyak belajar tentang pergempaan dan pertsunamian sejak tragedi gempa dan tsunami di Aceh.

Ketika sebelumnya saya mendengar dari radio bahwa pusat gempanya dekat dengan pantai selatan dan dangkal, maka saya cukup pede untuk menyimpulkan bahwa gempa tidak terjadi di palung Jawa atau di garis pertemuan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Oleh karena itu sangat kecil kemungkinannya terjadi longsoran di dasar laut yang sampai menimbulkan gelombang balik yang cukup besar. Paling-paling hanya ombak saja, tapi bukan gelombang tsunami.

Kalaupun toh kesimpulan saya salah dan gelombang tsunami sebesar di Aceh terjadi juga, maka pasti tidak akan sampai ke kota Yogyakarta. Pertama, karena jarak antara garis pantai dengan kota Yogyakarta cukup jauh, lebih 25 km. Kedua, karena antara garis pantai dengan kota Yogyakarta terdapat pegunungan-pegunungan kecil yang pasti mampu menghambat aliran gelombang. Ketiga, karena elevasi kota Yogyaakarta yang berada lebih 100 meter di atas permukaan laut. Maka hanya kalau terjadi gelombang tsunami yang segunung besarnya, yang mampu menjangkau kota Yogyakarta. Dan secara teoritis, itu adalah hil yang mustahal. Kecuali….., Sing Mbau Rekso Bumi menerapkan “penyimpangan” skenario.

Dengan alasan-alasan itulah yang membuat saya tidak larut dalam kepanikan, meskipun sempat saya nikmati “irama”-nya (saya juga heran sendiri…, kok sempat-sempatnya mikir yang begituan di tengah kekalutan suasana). Lebih baik menggelar tikar di depan rumah, menikmati sambil rada deg-degan gemuruh lembut suara gempa-gempa susulan. Setiap terjadi gempa susulan, selalu diikuti dengan suara bergemuruh. Mungkin karena pusat gempanya tidak terlalu jauh dan dangkal. Sambil mendengarkan siaran radio yang melaporkan jumlah korban yang terus meningkat dimana-mana terutama di kawasan kabupaten Bantul dan memonitor laporan para penilpun tentang tingkat kerusakan yang sangat parah menyebar dari berbagai penjuru kota. Termasuk laporan tentang kepanikan luar biasa yang sedang terjadi di jalan-jalan di kawasan Jogja utara.

Satu di antara penilpun rupanya datang dari warga yang tinggal di kawasan tidak jauh dari pantai selatan Parangtritis, yang mengabarkan katanya keadaan air laut baik-baik saja dan tenang-tenang saja, maksudnya tidak nampak ada gejolak yang luar biasa. Nah, lo…! Artinya, memang tidak ada tsunami. Tiwas (telanjur) panik…..

Tapi sungguh saya tidak maidu (menyalahkan). Situasinya memang benar-benar “kondusif” untuk timbulnya kekalutan dan kepanikan. Dan hal semacam ini bisa dialami oleh siapa saja dan terjadi di mana saja.

Umbulharjo, Yogyakarta – 4 Juni 2006
Yusuf Iskandar