Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (4)

Gapuro Cemoro Sewu 

Mengawali Pendakian, Membelah Hutan Cemara

Hari ke 366 dari tahun 2007 (tanggal 31 Desember 2007), sekitar jam 8:00 pagi kami sudah siap-siap di depan gapura jalan utama pendakian Cemoro Sewu, lengkap dengan segendongan tas punggung berisi perlengkapan dan perbekalan. Cuaca masih mendung, angin dingin masih berhembus tapi mulai melemah dibanding tadi malam. Sedikit melakukan gerak badan, cukup untuk sekedar pemanasan sebelum mulai mengayunkan langkah.

Pagi itu banyak kelompok pendaki yang juga bersiap-siap hendak mengawali pendakian. Persyaratan administratif harus dipenuhi dengan melapor dan mendaftar di pos pendakian yang berada tepat di samping gerbang, juga membayar (kalau tidak salah ingat) Rp 5.000,- per orang. Masing-masing kami berdoa, lalu mulai melangkahkan kaki menyusuri jalur pendakian. Sejak pagi Noval seperti sudah tidak sabar, bahkan sejak malam sebelumnya. Bolak-balik tanya, kapan mulai mendaki. Begitu semangatnya, seperti tak terpengaruh oleh cuaca buruk yang sejak kemarin menyelimuti Cemoro Sewu.

***

Ada dua titik awal pendakian dari arah selatan kaki gunung Lawu. Selain Cemoro Sewu yang masuk wilayah kabupaten Magetan, Jawa Timur, di sebelah baratnya ada Cemoro Kandang yang masuk wilayah kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jarak kedua lokasi itu hanya sekitar setengah kilometer, dipisahkan oleh sebuah sungai. Elevasi kedua tempat itu tidak terpaut jauh, berkisar 1.600 meter di atas permukaan laut.

Menurut informasi, jarak pendakian ke puncak Lawu dari arah Cemoro Sewu sekitar 9 km, sedangkan bila dicapai dari arah Cemoro Kandang 12 km. Rute Cemoro Sewu kondisi jalannya lebih baik, lebih aman dan relatif lebih mudah, meskipun lintasannya lebih terjal. Sedangkan rute Cemoro Kandang kondisinya lebih buruk, kurang aman dan lebih sulit, tetapi relatif tidak terlalu terjal. Oleh karena itu rute Cemoro Sewu lebih banyak dipilih para pendaki, termasuk rombongan kami.

Pada hari-hari menyongsong datangnya tahun baru, biasanya gunung Lawu banyak didatangi oleh para pendaki. Menurut informasi, pada tahun-tahun sebelumnya setiap menjelang tahun baru dan juga menjelang perayaan kemerdekaan, jumlah pendaki bisa mencapai 1.000-1.500 orang. Bisa dibayangkan, seperti apa riuhnya naik gunung ramai-ramai. Tapi itulah yang terjadi setiap tahun.

Namun agaknya tahun baru 2008 ini berbeda. Saya perkirakan jumlah pendaki yang naik dan turun yang sempat saya jumpai, jumlahnya kurang dari 100 orang. Banyak hal menjadi penyebabnya, mungkin karena saat menjelang tahun baru ini bersamaan dengan terjadinya bencana yang mengepung Lawu. Antara lain bencana tanah longsor di Tawangmangu yang telah menewaskan puluhan jiwa. Juga tanah longsor di jalur utama Karanganyar – Tawangmangu membuat transportasi menjadi tidak mudah. Wilayah kabupaten Ngawi di sisi utara Lawu juga sedang terkepung banjir besar. Lebih dari semua itu, cuaca sedang buruk-buruknya dengan curah hujan yang tinggi dan angin yang bertiup kencang.

Meskipun demikian, masih menurut informasi, pada saat datangnya tahun baru 1429 Hijriyah (tanggal 1 Muharram 1429H) atau lebih dikenal dengan tanggal 1 Suro, bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2008, dapat dipastikan gunung Lawu bakal kembali ramai dikunjungi orang. Biasanya jumlah pengunjung bisa mencapai 2.000-3.000 orang. Ini pasti lebih heboh lagi. Sekian banyak orang bersama-sama mendaki gunung menuju puncak Lawu, dari berbagai penjuru kaki gunung.

Hal yang terakhir ini saya sebut pengunjung, bukan pendaki. Ini karena mereka berniat mencapai puncak Lawu bukan dalam rangka berpecinta alam atau berpetualang, melainkan ziarah ke makam Prabu Brawijaya V yang makamnya ada di dekat puncak Lawu. Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau para pengunjung atau peziarah ini justru banyak didominasi kaum sepuh. Bahkan, tidak sedikit kakek-nenek yang sudah thunuk-thunuk berusia 60-70 tahun, “ikut-ikutan” mendaki Lawu pada awal bulan Suro. Begitu cerita salah seorang warga kaki gunung Lawu.

Masih menurut informasi (lha wong saya juga belum pernah mengalami sendiri), mereka terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, baik rakyat jelata yang umumnya petani, pegawai, pejabat, pengusaha, juga para hulu balang keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Kendati judulnya ziarah, tapi sebenarnya semua punya niat sowan atau silaturrahim secara gaib dengan yang mBaurekso gunung Lawu. Tujuannya bisa bermacam-macam. Namun dalam ungkapan sehari-hari barangkali dapat diterjemahkan sebagai ngalap berkah.

Pendeknya, setiap bulan Suro seperti ada pasar malam di gunung Lawu. Situasi ini tentu saja dimanfaatkan oleh penduduk sekitar lereng Lawu sebagai peluang bisnis. Warung atau kedai tiban segera betebaran di sepanjang rute pendakian. Maka para “pendaki” Suroan ini tidak perlu repot-repot membawa perlengkapan dan perbekalan pendakian. Cukup seperlunya saja. Selebihnya tinggal beli makan di warung dan tidur seadanya, bahkan hanya sekedar krukupan (berbalut) sarung dan mlungker (melipat badan) di mana saja.

***

Rute Cemoro Sewu ini memang rute yang enak dan aman. Sepanjang jalan di rute ini kondisinya berupa jalan berbatu, yaitu jalan yang sudah diperkeras dengan pemasangan batu. Tidak ada lagi jalan tanah. Nampaknya pemerintah Magetan melihat perlunya memperbaiki fasilitas jalan menuju puncak Lawu, demi kenyamanan dan keamanan para peziarah maupun juga bagi wisatawan, pecinta alam atau pendaki gunung. Pembangunan infrastruktur jalan batu ini baru diselesaikan sejak beberapa tahun terakhir. Saya jadi ingat, ketika mendaki Lawu lebih 20 tahun yang lalu kondisinya sangat berbeda dan tidak sebagus sekarang, tapi justru lebih alami.

Beberapa ratus meter pertama menyusuri jalur pendakian ini kami melewati kawasan hutan cemara. Jalan batu yang mulai agak menanjak bagai membelah rimbunan pepohonan cemara yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Kami pun naik-naik ke puncak gunung… tinggi… tinggi sekali…. kiri kanan kulihat saja… banyak pohon cemara… Begitu, senandung dalam hati. Sayangnya, Noval, dan banyak anak-anak jaman sekarang kurang bisa menyenandungkan syair ceria ini.

Barangkali itulah sebabnya kawasan itu disebut Cemoro Sewu, karena banyaknya pohon cemara di sana. Baunya khas, suasananya damai, pemandangannya hijau menyejukkan (selain karena cuaca memang masih mendung dan angin dingin masih berhembus).

Tapi langit di atas pucuk cemara (di atas jauh, maksudnya…..) mulai menampakkan tanda-tanda bakal cerah. Semburat berkas cahaya matahari mulai masuk di celah-celah hijaunya dedaunan pohon cemara. Hanya saja, di pucuk pohon cemara… saya tidak melihat… burung kutilang berbunyi… bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu… mengangguk-angguk sambil bernyanyi… trilili…lili..lili…lili…

Hati pun berbunga-bunga. Semangat semakin membara. Berjalan serasa lebih cepat sambil nggendong ransel besar (padahal ya biasa-biasa saja, wong ngos-ngosan juga…..). Berharap cuaca cerah akan menyertai perjalanan menuju puncak Lawu yang diperkirakan baru akan dicapai sore hari.       

Yusuf Iskandar  

Tag: , , , , , ,

Tinggalkan komentar