Melewati Malam Pergantian Tahun Di Hargo Dalem
Kompleks Hargo Dalem, bagai sebuah kompleks perbedengan terdiri dari satu cluster yang hanya terdiri dari delapan kapling. Karena berada di lereng puncak gunung, maka lokasi bangunannya pun berteras-teras, berpasang-pasangan dan berhadap-hadapan. Terdapat empat pasang bedeng yang dibelah oleh sebuah jalan atau gang sempit sebagai jalan penghubung antar teras antar bedeng.
Di teras paling atas bersemayam makam Eyang Lawu alias Prabu Bawijaya V yang untuk memasukinya harus melepas sandal dan sepatu. Di bawahnya adalah empat pasang bedeng dengan masing-masing sepasang bedeng berada di setiap teras di bawahnya. Pada musim peziarahan, kawasan ini tentunya menjadi sangat padat dan berdesak-desakan.
Bedengnya sendiri berkonstruksi kayu dan seng, berukuran sekitar 4 x 6 meter persegi dan berlantai tanah. Kondisi di dalam bedeng sangat kotor karena selain menjadi tempat berlindung, biasanya juga sekaligus menjadi dapur dan membuat perapian jika perlu. Belum lagi kalau pendaki sebelumnya membiarkan begitu saja sisa sampahnya berserakan. Seperti yang kami alami, sehingga terpaksa harus menggaruk-garuk sisa perapian dan sampah sebelum bisa menggelar tenda. Hanya yang saya khawatirkan kalau ternyata juga difungsikan menjadi toilet……. Siapa tahu? Mengingat di luar gelap gulita, udara suangat dingin, dekat kuburannya yang mBaurekso Lawu dan suara desir angin terkadang membuat bulu kuduk berdiri.
Di dalam bedeng memungkinkan untuk didirikan dua buah tenda. Tinggal mengatur-atur posisinya saja agar tidak saling menghalangi, karena pintu bedeng hanya ada satu dan sempit. Bagi yang tidak kebagian tempat di dalam bedeng, terpaksa harus mendirikan tenda di luar bedeng yang sudah barang tentu dinginnya minta ampun.
Ketika kami tiba di Hargo Dalem, rupanya sudah ada pendaki yang lebih dahulu tiba di tempat itu. Untuk memperoleh lokasi berlindung kami harus membuka dan memeriksa satu demi satu bedeng yang ada. Untungnya masih kebagian tempat juga buat kami berlindung. Di dalam salah satu bedeng itulah kemudian kami memasang tenda, berbagi tempat dengan pendaki lain yang sudah lebih dahulu memasang tenda. Tidak terlalu luas tapi cukup.
Ya, kami camping di dalam bedeng pondok pendaki. Rupanya tidak cukup berlindung di dalam bedeng, masih perlu memasang tenda juga, dan nantinya tidur pun masih menggunakan sleeping bag. Saking dinginnya angin yang berhembus di luar bedeng. Pintu bedeng yang dapat membuka (tapi tidak menutup) secara otomatis (maksudnya, engselnya rusak sehingga selalu membuka dengan sendirinya), harus selalu diganjal agar bisa tertutup rapat. Jaket berlapis, sarung tangan, kaos kaki rangkap dan krepus penutup kepala pun membalut tubuh rapat-rapat. Bagian paling sensitif terhadap hawa dingin biasanya adalah telapak tangan, telapak kaki dan telinga.
Begitu tenda terpasang dan kami berada di dalamnya, rasanya sudah enggan mau keluar-keluar lagi. Kami lalu memasang kompor gas hendak memasak air dan menyiapkan makan malam. Apa yang menjadi kekhawatiran saya ketika sebelum berangkat dari Yogya, perkara masak-memasak ini, rupanya memang terjadi. Entah kenapa kompor gasnya ngadat, tidak mau dinyalakan. Padahal sudah repot-repot membawanya dari Yogya (seringkali kita dibuat heran, apa yang kita khawatirkan malah menjadi kenyataan).
Daripada sibuk-sibuk mereparasi kompor dalam gelap dan dingin, maka perangkat kompor parafin sederhana yang saya bawa ternyata sangat membantu. Begitu korek api dinyalakan, “jresss…”, api langsung menyala hingga titik parafin penghabisan. Temperatur tinggi yang dipancarkan oleh parafin membuat air cepat mendidih, lalu cepat masak, dan akhirnya cepat makan pula.
Secangkir kopi pun lalu terhidang. Sruputan pertamanya, uuuih…. nikmat tenan…..!. Lalu mie instan dan tentu saja bekal rendang yang dibawakan ibunya Noval menjadi menu makan malam kami. Ini rendang kemarin, tapi kok ya masih enak juga. Tidak lupa kecap manis (yang ini senjata utama lidahnya orang Jogja). Menu seadanya tapi rasanya nikmat saja. Lha wong sedang lapar, dingin, capek dan memang itulah satu-satunya menu makan cepat saji (tapi bukan fast food), tanpa ada pilihan.
Di Hargo Dalem tidak ada sumber air. Pendaki harus sudah memperhitungkan hal itu ketika meninggalkan Sendang Drajad. Kami juga sudah membawa bekal air dalam jumlah yang cukup, baik untuk dimasak malam itu, cadangan besok pagi maupun untuk bekal menuju pucak.
Dalam keadaan serba darurat, dimana tidak ada sumber air, udara sangat dingin dan perjalanan pendakian yang melelahkan, maka sholat pun terpaksa kami lakukan dalam kriteria darurat itu tadi. Tayamum sebagai pengganti wudlu, jamak-qasar sebagai solusi dalam keterdesakan waktu dan sholat sambil duduk di dalam tenda daripada mesti methotholen (menggigil-gil-gil-gil…) di luar bedeng. Itulah solusi yang kami lakukan dalam rangka memenuhi kewajiban keber-Tuhanan. Mudah-mudahan tetap bernilai ibadah.
Di tempat dan suasana seperti itulah kami melewatkan malam sambil beristirahat memulihkan tenaga agar esok pagi siap melakukan summit attack atau pendakian menuju ke puncak Lawu. Hari itu adalah tanggal 31 Desember 2007, kami pun menghabiskan sisa hari dan sisa malam terakhir tahun 2007 yang tinggal beberapa jam lagi. Rencananya besok pagi umun-umun usai sholat subuh mau langsung menuju puncak agar bisa menyongsong fajar tahun baru 2008 di puncak Lawu.
Tepat tengah malam, saat detik-detik pergantian tahun, saya terbangun karena mendengar suara gaduh beberapa pendaki yang nekat sengaja keluar bedeng menyambut pergantian tahun. Sempat-sempatnya ada yang membunyikan petasan dan kembang api. Dan, pergantian tahun pun kami nikmati dengan tetap ngrungkel di dalam sleeping bag, di dalam tenda, di dalam bedeng, di kaki puncak Lawu.
Yusuf Iskandar