Posts Tagged ‘lawu’

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (8)

17 Februari 2008

Hargo Dalem2  Hargo_Dalem

Melewati Malam Pergantian Tahun Di Hargo Dalem

Kompleks Hargo Dalem, bagai sebuah kompleks perbedengan terdiri dari satu cluster yang hanya terdiri dari delapan kapling. Karena berada di lereng puncak gunung, maka lokasi bangunannya pun berteras-teras, berpasang-pasangan dan berhadap-hadapan. Terdapat empat pasang bedeng yang dibelah oleh sebuah jalan atau gang sempit sebagai jalan penghubung antar teras antar bedeng.

Di teras paling atas bersemayam makam Eyang Lawu alias Prabu Bawijaya V yang untuk memasukinya harus melepas sandal dan sepatu. Di bawahnya adalah empat pasang bedeng dengan masing-masing sepasang bedeng berada di setiap teras di bawahnya. Pada musim peziarahan, kawasan ini tentunya menjadi sangat padat dan berdesak-desakan.

Bedengnya sendiri berkonstruksi kayu dan seng, berukuran sekitar 4 x 6 meter persegi dan berlantai tanah. Kondisi di dalam bedeng sangat kotor karena selain menjadi tempat berlindung, biasanya juga sekaligus menjadi dapur dan membuat perapian jika perlu. Belum lagi kalau pendaki sebelumnya membiarkan begitu saja sisa sampahnya berserakan. Seperti yang kami alami, sehingga terpaksa harus menggaruk-garuk sisa perapian dan sampah sebelum bisa menggelar tenda. Hanya yang saya khawatirkan kalau ternyata juga difungsikan menjadi toilet……. Siapa tahu? Mengingat di luar gelap gulita, udara suangat dingin, dekat kuburannya yang mBaurekso Lawu dan suara desir angin terkadang membuat bulu kuduk berdiri.

Di dalam bedeng memungkinkan untuk didirikan dua buah tenda. Tinggal mengatur-atur posisinya saja agar tidak saling menghalangi, karena pintu bedeng hanya ada satu dan sempit. Bagi yang tidak kebagian tempat di dalam bedeng, terpaksa harus mendirikan tenda di luar bedeng yang sudah barang tentu dinginnya minta ampun.

Ketika kami tiba di Hargo Dalem, rupanya sudah ada pendaki yang lebih dahulu tiba di tempat itu. Untuk memperoleh lokasi berlindung kami harus membuka dan memeriksa satu demi satu bedeng yang ada. Untungnya masih kebagian tempat juga buat kami berlindung. Di dalam salah satu bedeng itulah kemudian kami memasang tenda, berbagi tempat dengan pendaki lain yang sudah lebih dahulu memasang tenda. Tidak terlalu luas tapi cukup.

Ya, kami camping di dalam bedeng pondok pendaki. Rupanya tidak cukup berlindung di dalam bedeng, masih perlu memasang tenda juga, dan nantinya tidur pun masih menggunakan sleeping bag. Saking dinginnya angin yang berhembus di luar bedeng. Pintu bedeng yang dapat membuka (tapi tidak menutup) secara otomatis (maksudnya, engselnya rusak sehingga selalu membuka dengan sendirinya), harus selalu diganjal agar bisa tertutup rapat. Jaket berlapis, sarung tangan, kaos kaki rangkap dan krepus penutup kepala pun membalut tubuh rapat-rapat. Bagian paling sensitif terhadap hawa dingin biasanya adalah telapak tangan, telapak kaki dan telinga.      

Begitu tenda terpasang dan kami berada di dalamnya, rasanya sudah enggan mau keluar-keluar lagi. Kami lalu memasang kompor gas hendak memasak air dan menyiapkan makan malam. Apa yang menjadi kekhawatiran saya ketika sebelum berangkat dari Yogya, perkara masak-memasak ini, rupanya memang terjadi. Entah kenapa kompor gasnya ngadat, tidak mau dinyalakan. Padahal sudah repot-repot membawanya dari Yogya (seringkali kita dibuat heran, apa yang kita khawatirkan malah menjadi kenyataan).

Daripada sibuk-sibuk mereparasi kompor dalam gelap dan dingin, maka perangkat kompor parafin sederhana yang saya bawa ternyata sangat membantu. Begitu korek api dinyalakan, “jresss…”, api langsung menyala hingga titik parafin penghabisan. Temperatur tinggi yang dipancarkan oleh parafin membuat air cepat mendidih, lalu cepat masak, dan akhirnya cepat makan pula.

Secangkir kopi pun lalu terhidang. Sruputan pertamanya, uuuih…. nikmat tenan…..!. Lalu mie instan dan tentu saja bekal rendang yang dibawakan ibunya Noval menjadi menu makan malam kami. Ini rendang kemarin, tapi kok ya masih enak juga. Tidak lupa kecap manis (yang ini senjata utama lidahnya orang Jogja). Menu seadanya tapi rasanya nikmat saja. Lha wong sedang lapar, dingin, capek dan memang itulah satu-satunya menu makan cepat saji (tapi bukan fast food), tanpa ada pilihan.

Di Hargo Dalem tidak ada sumber air. Pendaki harus sudah memperhitungkan hal itu ketika meninggalkan Sendang Drajad. Kami juga sudah membawa bekal air dalam jumlah yang cukup, baik untuk dimasak malam itu, cadangan besok pagi maupun untuk bekal menuju pucak.

Dalam keadaan serba darurat, dimana tidak ada sumber air, udara sangat dingin dan perjalanan pendakian yang melelahkan, maka sholat pun terpaksa kami lakukan dalam kriteria darurat itu tadi. Tayamum sebagai pengganti wudlu, jamak-qasar sebagai solusi dalam keterdesakan waktu dan sholat sambil duduk di dalam tenda daripada mesti methotholen (menggigil-gil-gil-gil…) di luar bedeng. Itulah solusi yang kami lakukan dalam rangka memenuhi kewajiban keber-Tuhanan. Mudah-mudahan tetap bernilai ibadah.

Di tempat dan suasana seperti itulah kami melewatkan malam sambil beristirahat memulihkan tenaga agar esok pagi siap melakukan summit attack atau pendakian menuju ke puncak Lawu. Hari itu adalah tanggal 31 Desember 2007, kami pun menghabiskan sisa hari dan sisa malam terakhir tahun 2007 yang tinggal beberapa jam lagi. Rencananya besok pagi umun-umun usai sholat subuh mau langsung menuju puncak agar bisa menyongsong fajar tahun baru 2008 di puncak Lawu.

Tepat tengah malam, saat detik-detik pergantian tahun, saya terbangun karena mendengar suara gaduh beberapa pendaki yang nekat sengaja keluar bedeng menyambut pergantian tahun. Sempat-sempatnya ada yang membunyikan petasan dan kembang api. Dan, pergantian tahun pun kami nikmati dengan tetap ngrungkel di dalam sleeping bag, di dalam tenda, di dalam bedeng, di kaki puncak Lawu.

Yusuf Iskandar  

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (7)

14 Februari 2008

Batu-Pohon

Mencapai Sendang Drajad Dalam Hujan Dan Badai

Tidak ada apa-apa di Pos 4 (Watu Kapur). Tidak ada pondok, melainkan hanya sebuah dataran tidak terlalu luas tapi agak terlindung di balik dinding batuan. Di pos 4 ini kami hanya berhenti untuk melepas lelah sejenak, setelah napas tersengal-sengal mendaki dari Pos 3. Ya, hanya sejenak saja. Karena perjalanan mendaki masih berlanjut sementara cuaca semakin berubah menjadi kurang bersahabat. Tidak bisa berlama-lama di sini, selain sekedar menata pernapasan dan siap-siap melanjutkan perjalanan.

Lintasan terberat memang sudah dilalui, tapi rupanya masih ada lintasan yang dapat dibilang cukup berat menuju Pos 5. Itu karena perjalanan mendaki menyusuri lereng gunung dilanjutkan dalam kondisi fisik yang tidak lagi prima dan tenaga seperti sudah terkuras ketika menyelesaikan lintasan sebelumnya.

Walhasil, perjalanan dari Pos 4 (Watu Kapur) menuju Pos 5 (Jolotundo atau Jalatunda) yang sebenarnya juga hanya dua atau tiga ratusan meter jaraknya harus diselesaikan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Irama napas masih tetap ngos-ngosan dan “gaya” pendakian masih tetap terduduk-duduk, menyusuri undak-undakan panjang dan tinggi yang sepertinya enggak…. habis-habis….., menuju Pos 5. 

Pos 5 (Jalatunda) merupakan sebuah dataran terbuka cukup luas. Juga tidak ada apa-apa di sini. Lokasinya kurang terlindung sehingga nyaris tidak memungkinkan sebagai tempat berlindung ketika terpaan angin dingin dan hujan mulai menyerang. Kalaupun kami sejenak berhenti di Pos 5, itu sekedar untuk memulihkan irama napas dan denyut nadi.

Cuaca kemudian benar-benar berubah drastis. Meski hari belum terlalu sore, tapi angkasa tertutup kabut, hujan mulai turun dan angin semakin kencang menghempas. Kalau saja cuaca cerah, pemandangan ke sisi kanan jalan mestinya sangat indah, yaitu berupa hamparan lepas dan luas lembah sisi timur lereng gunung Lawu.

Dari Pos 5 perjalanan terus kami lanjutkan menuju ke Sendang Drajad. Lintasan pendakian kini relatif tidak terjal, sedikit mendaki, terkadang agak mendatar (agak, maksudnya tidak benar-benar mendatar) dan divariasi dengan sedikit jalan menurun (dan pasti akan naik lagi…). Kami jadi bisa lebih mengatur irama langkah untuk berjalan dengan kecepatan stabil dan kontinyu. Tidak lagi sedikit-sedikit berhenti… , sedikit-sedikit berhenti (ya, berhenti kok cuma sedikit….?), seperti lintasan sebelumnya dari Pos 3 hingga Pos 5.

Meski tidak bisa tancap gas karena tenaga sudah terkuras, tapi kondisi jalan batu yang terkadang agak sempit yang sepertinya melingkari lereng sebuah puncak bukit itu dapat kami lalui dengan agak cepat. Sendang Drajad rasanya sudah tidak jauh lagi. Pada kondisi seperti ini, biasanya para pendaki mempunyai pikiran yang sama. Ingin segera tiba di Sendang Drajad, karena di situlah tempat pemberhentian berikutnya yang menurut informasi adalah tempat yang aman, terlindung, ada sumber air dan di sana ada penghuninya. Penghuni beneran, yaitu orang yang memang tinggal di sana dengan membuka usaha warung kecil-kecilan. Ini belum seberapa, nanti di kompleks Hargo Dalem, ada juga warung yang lebih besar.

Namun yang membuat kami berjalan cepat bukan saja oleh karena perasaan ingin cepat sampai, melainkan karena serangan cuaca yang benar-benar semakin memburuk. Hujan turun semakin deras dan badai angin kencang mulai menerjang. Suhu udara pun semakin dingin menusuk tulang. Hempasan angin yang bertiup sangat kencang sesekali memaksa kami untuk agak berlari-lari mencari perlindungan di balik dinding batuan. Sebab terkadang tubuh yang sudah kecapekan dan kedinginan ini terasa seperti terdorong dan hendak terbawa angin. Setelah angin agak reda, baru kemudian perjalanan dilanjutkan dengan agak memaksa diri untuk melangkah lebih cepat dan lebih cepat lagi. Begitu yang kami lakukan berulang beberapa kali setiap kali badai angin kencang datang menyerang.

Pemandangan lembah Lawu di sisi kanan tidak lagi bisa dinikmati. Selain karena tertutup hamparan kabut, juga karena yang ada di pikiran masing-masing adalah bagaimana agar secepatnya tiba di Sendang Drajad dengan selamat.

***

Akhirnya sampai juga ke Sendang Drajad. Ini adalah sebuah tempat yang cukup terlindung oleh dinding bebauan. Di tempat ini ada sebuah sumber atau mata air yang tidak pernah habis airnya, tertampung dalam sebuah kolam kecil yang disebut sendang. Di dekatnya ada bangunan bedeng tempat berlindung.

Setiba di Sendang Drajad, kami lalu menumpang berlindung di bedeng itu. Setidak-tidaknya, untuk sementara kami aman dari hujan dan angin, meski udara dingin masih terasa. Di dalam bedeng sudah ada orang lain yang juga sedang beristirahat. Kami sedikit berbagi tempat untuk sekedar duduk dan menyelonjorkan kaki. Merebahkan badan juga bisa.

Seringkali lokasi Sendang Drajad ini oleh para pendaki dijadikan pemberhentian akhir sebelum menuju puncak Lawu. Terdapat tempat cukup luas untuk memasang tenda. Para pendaki yang memilih bermalam di Sendang Drajat, biasanya besoknya pendakian akan dilanjutkan langsung menuju ke puncak Lawu. Tapi karena tujuan kami adalah menuju Hargo Dalem dan direncanakan akan bermalam di sana, maka kami pun tidak berlama-lama beristirahat di Sendang Drajad.

Menimbang-nimbang bahwa Hargo Dalem tidak lagi jauh, sementara hari semakin sore dan hujan serta angin tampaknya tidak bisa diharapkan segera mereda, maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan resiko menerobos cuaca hujan dan angin.

Hari sudah menjelang petang ketika akhirnya kami sampai ke Hargo Dalem. Hargo Dalem berada di kaki puncak Lawu, pada elevasi 3170 meter dpl. Tidak sampai 100 meter lagi menuju puncak. Di sinilah biasanya para pendaki menginap sebelum menuju puncak. Di Hargo Dalem ini terdapat beberapa bangunan pondokan atau bedeng yang berukuran agak luas di lokasi yang terlindung. Tepat berada di bawah tempat paling keramat yang sering menjadi tujuan para peziarah-pendaki atau pendaki-peziarah, yang diyakini sebagai tempat moksa Prabu Brawijaya V.

Yusuf Iskandar

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (6)

11 Februari 2008

Noval Terkapar

Menyelesaikan Lintasan Terberat

Meninggalkan Pos 2 menuju Pos 3, perjalanan pendakian mulai terasa lebih ngos-ngosan. Rute pendakian boleh dibilang mulai merambah lereng bebatuan, tapi belum ekstrim. Mulai banyak kelokan. Di banyak tempat dibuat undak-undakan (menyerupai tangga tapi tidak terlalu rapat), guna mengatasi kondisi permukaan jalan yang kemiringannya mulai meninggi.

Di penggal rute dari Pos 2 ke Pos 3 ini meski tanjakan mulai terjal, biasanya pendaki masih mampu berjalan dengan menjaga ritme langkah yang teratur dan kontinyu. Tetapi perlu kehati-hatian, sebab pada saat hujan kondisi jalan bebatuan ini menjadi agak licin. Pada rute ini terkadang hamparan kabut mulai menghalang. Pemandangan di sisi kanan yang umumnya dinding bebatuan akan terlihat indah di saat cuaca cerah seperti yang kami nikmati siang itu (memang ya diperlukan sense tersendiri untuk bisa mengatakan hal ini, wong dinding batuan kok dibilang indah…..). Sedangkan pemandangan di sisi kiri adalah hamparan jurang yang membentang jauh ke lembah.

Akhirnya sampai juga kami ke Pos 3 (Watu Gede). Langsung saja duduk ndeprok….., menyelonjorkan kaki, melepas gendongan perbekalan, ngeluk boyok (menggeliat), menghela nafas panjang, menikmati hawa dingin pegunungan. Tapi kami mulai was-was, sebab cuaca berubah cepat menjadi muram, mendung, berkabut dan kepyuran gerimis sudah terasa.

Di Pos 3 terdapat bangunan pondok yang terlihat mulai agak rusak. Tapi masih layak untuk dijadikan tempat berlindung di kala hujan dan angin dingin menyerang. Hanya saja kondisi bagian dalamnya tampak kotor, sehingga kami hanya beristirahat di depannya saja. Kawasan di seputar Pos 3 ini cukup longgar dan leluasa untuk beristirahat.

Mendongakkan kepala ke arah atas melihat jalur pendakian selanjutnya, terlihat lereng pegunungan yang jelas sekali akan semakin terjal. Mental dan fisik harus mulai disiapkan menjelang penggal lntasan pendakian setelah Pos 3 ini. Kami juga sudah membawa bekal air minum yang cukup. Menurut informasi, di seputar area Pos 3 ada sumber air yang disebut Sendang Panguripan. Ini juga salah satu tempat yang dikeramatkan orang dan karena itu sering menjadi tujuan para peziarah. Entah siapa yang diziarahi, wong tidak ada kuburannya siapa-siapa.

***     

Tidak terlalu lama kami berhenti di Pos 3. Secukupnya saja untuk mengembalikan irama nafas dan denyut nadi. Bau belerang sesekali tercium tajam dari tempat ini. Selain itu, berubah muramnya cuaca sempat membuat khawatir. Jangan-jangan alam akan segera berubah tidak bersahabat dengan hujan deras dan angin kencang seperti kemarin sore hingga malam. Padahal untuk mencapai Hargo Dalem sebagai tujuan akhir sore itu masih lumayan jauh dan tinggi. Kalau situasi itu sampai terjadi, bisa merepotkan karena setelah Pos 3 ini tidak ada bangunan yang bisa dijadikan tempat berlindung hingga tiba di Sendang Drajat, selewat Pos 5.

Segera kami menempuh jalan yang semakin ndedel.…. (naik terjal) dan berkelok-kelok. Banyaknya kelokan ini dimaksudkan untuk mengurangi kemiringan jalan dibanding kalau mesti lurus mendaki. Jalan bebatuan pun semakin menyerupai deretan anak tangga yang membentang zig-zag dan sangat tinggi entah menuju kemana. Di beberapa penggal jalan terlihat bekas jalan pintas bagi mereka yang tidak sabar berjalan zig-zag. Tentu ini sangat berbahaya ketika kondisinya basah dan licin.

Di sebagian besar lintasa zig-zag dan terjal mendaki ini sejak beberapa tahun terakhir sudah dipasangi dengan tiang dan besi pegangan. Tujuannya tentu sebagai pagar pengaman.  Sebab rute jalan batu ini benar-benar menyusuri lereng gunung yang sangat curam kemiringannya. Tinggi undak-undakan-nya terkadang tidak proporsional, kelewat tinggi. Di beberapa lokasi kondisi susunan batunya juga lepas-lepas dan licin. Menjadi sangat berbahaya bila kondisi sedang hujan.

Terbayang seperti apa situasinya ketika tiba “musim pendakian”, antara lain ketika bulan Suro (Tahun Baru Hijriyah) tiba. Tentu sangat padat, berdesak-desakan dan membahayakan jika tidak hati-hati. Belum lagi banyak kaum sepuh yang turut ambil bagian sebagai peziarah-pendaki atau pendaki-peziarah.

Ketika cuaca sedang cerah sebenarnya pemandangannya cukup menawan, gunung batu di satu sisi dan jurang di sisi lainnya. Seperti yang kami lihat siang itu, ketika sesekali cuaca cerah menyeruak silih berganti dengan cuaca mendung dan berkabut.

Inilah penggal jalan pendakian yang paling melelahkan dan banyak menguras tenaga. Padahal jarak antara Pos 3 ke Pos 4 ini hanya sekitar dua atau tiga ratusan meter saja. Tapi sepertinya nggaaaak… sampai-sampai…….

Nampaknya usia memang sudah tidak bisa dibohongi, setiap beberapa belas atau terkadang puluh meter mendaki undak-undakan batu, harus berhenti dulu mengatur irama nafas dan membasahi tenggorokan dengan air minum. Membawa sekedar permen juga cukup membantu mengatasi keringnya tenggorokan. Meskipun bolehlah sedikit sombang kalau saya masih bisa mengimbangi ritme kecepatan pendaki-pendaki muda. Setidak-tidaknya memberi semangat kepada anak saya, Noval, yang mulai tertatih-tatih menjalani lintasan terberat.

Beberapa kali saya harus mengingatkan Noval agar jangan memaksakan diri. Berhentilah ketika merasa capek dan lelah, meski untuk itu harus melangkah sepuluh meter demi sepuluh meter, begitu yang saya katakan kepada Noval. Demi melihat wajahnya yang masih sumringah dan tidak pucat, saya menangkap sinyal bahwa semangatnya masih membara. Saya pun masih yakin Noval mampu melakukannya.

Nafas semakin tersengal-sengal tapi masih undercontrol. Setiap kali memandang ke arah atas, sepertinya sudah dekat mau sampai. Tapi begitu dijalani beberapa belas meter, ya begitu lagi kelihatannya….., sepertinya sudah mau sampai. Begitu terus kenampakannya berulang dan tidak sampai-sampai. Belasan kali Noval bertanya : “Masih jauh, pak?”, “Berapa meter lagi ya pak”, “Sudah hampir sampai ya?”, “Kok enggak sampai-sampai ya pak?”.

Saya pun terkadang harus sedikit berbohong untuk memberi dorongan moril dengan menjawab menggunakan kata-kata yang memompa semangatnya, dengan terus mendampingi langkah-langkah kecilnya.

Beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan pendaki lain yang sudah turun dari puncak. Mereka pun biasanya akan “dengan senang hati” memberikan dorongan semangat kepada para pendaki yang sedang ngos-ngosan mendaki jalur terberat ini. Kata-kata positif yang sering saya dengar adalah seperti : “Sebentar lagi sampai…”, “Beberapa tanjakan lagi jalan mendatar”, “Sudah dekat kok”, dsb. Meskipun nyatanya setelah dijalani, ya tetap saja, enggaaaak…. sampai-sampai…..   

Beberapa kali Noval berhenti lalu terkapar merebahkan badannya, lalu berjalan lagi, berhenti lagi, begitu berulang-ulang. Namun kami masih bisa ketawa-ketiwi. Sesekali saya sisipkan gurauan kepada Noval : “Ternyata mendaki gunung itu enggak enak ya…..”. Noval pun dengan nafas terengah-engah membalas : “Iya, tapi saya suka…”. Ini dia.! Dalam hati saya berkata, inilah tanda-tanda awal kecanduan mendaki gunung.

Tapi justru itulah yang membuat saya yakin, yang membangkitkan semangat tidak mudah menyerah. Terus dan terus mendaki, selangkah demi selangkah menyusuri jalan undak-undakan batu sambil bepegangan pagar besi yang sepertinya tak berujung, yang kalau memandang ke atas seolah-olah sedang menuju ke tempat yang jauuuh…. ke atas langit tingkat tujuh, atau delapan, atau sembilan……

Sesekali Noval bilang : “Bapak duluan saja, nanti saya nyusul……”. Tentu saja “perintahnya” tidak saya penuhi. Lha wong tujuan saya ikut mendaki adalah untuk mendampingi dia, kok malah disuruh jalan duluan…..

Akhirnya sampailah kami di sebuah dataran yang disebut Pos 4, disertai cuaca mendung, berkabut, berangin cukup kuat, dingin dan mulai gerimis. Tepat di lereng tenggara gunung Lawu. Dan, lintasan terberat pun telah berhasil kami selesaikan.

Yusuf Iskandar

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (5)

10 Februari 2008

Pos1_Lawu

Beristirahat Agak Lama Di Watu Gedhek

Beberapa ratus meter sejak mengawali pendakian, hanya pemandangan hijau daun cemara yang tampak. Meski jalan terus mendaki, tapi tidak terjal. Setiap orang masih bisa dengan santai berjalan sambil bercanda. Setelah itu melewati kawasan ladang penduduk. Terlihat para petani sedang menggarap ladangnya, menyiangi tanah, mencabuti rumput dan gulma, mencangkul, dsb.

Jalan batu selebar dua meteran masih enak dilalui, sambil sesekali berhenti menyaksikan pak dan bu tani sedang bekerja di ladangnya. Pemandangan biasa sebenarnya, tapi sangat khas dan jarang-jarang disaksikan kalau bukan sedang berada di daerah pegunungan. Cuaca pagi itu mulai cerah dan matahari sudah naik sepenggalah, menyinari bumi tanpa halangan suatu apa.

Di kawasan perladangan ini tidak banyak terlihat pepohon tinggi. Yang terlihat justru potongan-potongan batang pohon rubuh yang nampak sekali bekas terbakar. Di kejauhan juga tampak kawasan gersang, kawasan yang dulu pernah terbakar. Bisa jadi bukan “ter” melainkan “di”. Karena seperti diketahui kebiasaan orang hutan (maksudnya, peladang di hutan) di mana-mana, suka mencari jalan pintas kalau hendak membuka ladang. Bukannya ditebang melainkan dibakar.

Tapi tidak juga benar sepenuhnya, kalau dikatakan bahwa kebakaran hutan akibat pembukaan ladang oleh masyarakat. Pendaki gunung yang sembrono pun ditengarai juga menjadi penyebab kebakaran hutan, yaitu mereka para “ahli hisap” alias perokok yang membuang puntungnya sembarangan. Bisa juga ulah para pendaki gunung yang setelah daden geni (membuat api) untuk memasak atau membuat api unggun kemudian tidak mematikannya dengan sempurna. Pada musim kemarau panjang yang sangat kering, setitik sisa api seperti ini sangat mudah untuk berubah menjadi api besar. Seperti tahun lalu, hutan Lawu juga terbakar. Kebakaran terparah pernah terjadi pada tahun 2005. Meskipun kini tanaman ilalang dan perdu sudah mulai tumbuh, tapi masih tampak kegersangan mewarnai pemandangan di sepanjang rute pendakian hingga Pos 1 dan Pos 2.

***

Sepanjang rute jalur pendakian ditandai dengan adanya pos-pos peristirahatan, tempat dimana biasanya para pendaki memanfaatkan untuk beristirahat agak lama sambil meluruskan kaki dan meletakkan barang bawaan. Ada lima pos yang harus dilalui di rute Cemoro Sewu ini, sebelum tiba di kaki puncak. Dari titik awal pendakian hingga sampai Pos 1 jaraknya sekitar 2 km kurang sedikit, demikian halnya dari Pos 1 ke Pos 2 jaraknya 2 km lebih sedikit. Sedangkan jarak antar pos-pos berikutnya hingga Pos 5 lebih pendek lagi, rata-rata kurang dari satu kilometer.

Hingga tiba di Pos 1 (Wasenan), rasanya masih tidak mengalami banyak kesulitan dan tantangan. Dengan irama jalan santai sambil sesekali berhenti menikmati pemandangan, diperlukan waktu 1 jam lebih sedikit. Di Pos 1 ada warung yang menyediakan ruangan untuk beristirahat. Kalau mau tidur pun tersedia ruang dan gelaran tikar yang cukup untuk lebih 10 orang di sini (lha mau naik gunung apa tidur…?).

Sambil beristirahat, kami berhitung. Kalau jarak 2 kilometeran bisa ditempuh dengan soantai dalam sejam lebih sedikit, maka berarti akan tiba di Hargo Dalem tidak terlalu sore (belakangan terbukti bahwa perhitungan ini ternyata soalah besar, karena setelah Pos 2, lebih-lebih setelah Pos 3 jalur pendakian ternyata mendaki sangat-sangat terjal).

Hargo Dalem adalah tempat peristirahatan terakhir (makam) Prabu Brawijaya V, dimana hingga kini makamnya dikenal bertuah dan banyak diziarahi oleh masyarakat. Hargo Dalem juga dikenal sebagai tempat peristirahatan terakhir para pendaki (yang ini maksudnya, tempat terakhir untuk beristirahat) sebelum summit attach atawa menggapai puncak.

Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 (Watu Gedhek) mulai agak menanjak. Kondisi jalan masih tetap bagus berupa jalan bebatuan. Pepohonan agak jarang, dan cuaca sudah berubah menjadi panas. Di beberapa tempat mulai terlihat banyak tanaman bunga edelweiss, yang oleh para pendaki dikenal sebagai bunga abadi karena tahan lama, tidak pernah layu (kecuali kalau basah terkena air). Bunganya kecil-kecil berwarna dominan putih agak kekuningan atau kecoklatan.

Seringkali ada mitos bahwa belum mendaki gunung kalau belum punya bunga edelweiss. Akibatnya, bunga edelweiss semakin lama semakin langka. Lha wong dipetik terus oleh setiap orang. Kini, pihak otoritas pengawas hutan semakin ketat melarang aktifitas pemetikan bunga edelweiss oleh para pendaki gunung. Padahal sejujurnya kalau ditilik-tilik, bunga ini tidak nampak indahnya sama sekali. Hanya saja punya nilai kenangan tinggi, karena memperolehnya tidak mudah dan tidak di setiap gunung bisa dijumpai.

Di beberapa bagian di jalur antara Pos 1 dan Pos 2 dijumpai onggokan batu-batu besar yang memberikan nuansa berbeda dibanding kawasan gersang dan hijaunya hutan. Diantara bebatuan itu ada yang disebut Watu Jago (konon katanya ini adalah tempat yang dikeramatkan dan disebut demikian karena bentuknya menyerupai ayam jago, meskipun kalau saya amat-amati ya sebenarnya tidak ada mirip-miripnya blass…).

Namun sayang sekali, batu-batu itu pun tidak aman oleh tangan-tangan jahil yang melakukan aksi corat-coret di permukaannya. Sehingga bukan kenampakan alamiah batu yang bisa dinikmati, melainkan tulisan-tulisan yang tidak ada seninya sama sekali, hasil karya tangan usil yang kurang kerjaan (kok sempat-sempatnya mendaki gunung membawa cat, berarti bukan iseng melainkan sudah direncanakan…..).

***

Tiba di Pos 2 (Watu Gedhek) sudah sekitar tengah hari. Di sini juga terdapat bangunan tempat berlindung. Meski terlihat agak kotor, tapi sangat membantu para pendaki jika sekiranya tiba di tempat ini cuaca sedang memburuk. Tapi ketika ada ritual Suroan (bulan Muharram), tempat ini biasanya dimanfaatkan oleh para pedagang tiban, untuk berjualan. Jadi, siap-siap membuka tenda jika hendak bermalam di sini pada musim Suroan. Di kawasan ini memang terdapat ruang terbuka yang cukup luas. 

Di seberang kanan pondok pendaki terdapat dinding batu yang berdiri hampir tegak. Bisa juga kalau mau mencoba panjat tebing di dinding ini. Biasanya sambil beristirahat, para pendaki akan bergaya seolah-olah sedang melakukan panjat tebing (berarti tidak jadi istirahat…..). Itulah yang saya saksikan ketika leyeh-leyeh melepas nafas panjang di Pos 2 ini. Ada saja orang-orang yang bergantian bergaya lalu berfoto. Bentangan alam di tempat ini memang bagus.

Karena hari sudah siang, kami pun memanfaatkan waktu untuk mengisi perut dengan menyantap bekal makanan dan kue-kue yang memang sudah kami siapkan. Di Pos 2 ini kami mengambil waktu istirahat agak panjang. Udara sangat segar, cuaca cukup cerah dan hawa pegunungan terasa menyejukkan, meski terkadang angin dingin sesekali berhembus agak kuat.

Memandang ke arah atas dari tempat ini tampak terlihat bahwa rute pendakian selanjutnya akan lebih terjal. Sudah terbayang, pasti akan sangat melelahkan dan menguras energi. Boleh dibilang, Pos 2 atau Watu Gedhek ini adalah batas antara kawasan landai di kaki gunung dengan kawasan terjal menuju puncak.

Yusuf Iskandar  

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (4)

7 Februari 2008

Gapuro Cemoro Sewu 

Mengawali Pendakian, Membelah Hutan Cemara

Hari ke 366 dari tahun 2007 (tanggal 31 Desember 2007), sekitar jam 8:00 pagi kami sudah siap-siap di depan gapura jalan utama pendakian Cemoro Sewu, lengkap dengan segendongan tas punggung berisi perlengkapan dan perbekalan. Cuaca masih mendung, angin dingin masih berhembus tapi mulai melemah dibanding tadi malam. Sedikit melakukan gerak badan, cukup untuk sekedar pemanasan sebelum mulai mengayunkan langkah.

Pagi itu banyak kelompok pendaki yang juga bersiap-siap hendak mengawali pendakian. Persyaratan administratif harus dipenuhi dengan melapor dan mendaftar di pos pendakian yang berada tepat di samping gerbang, juga membayar (kalau tidak salah ingat) Rp 5.000,- per orang. Masing-masing kami berdoa, lalu mulai melangkahkan kaki menyusuri jalur pendakian. Sejak pagi Noval seperti sudah tidak sabar, bahkan sejak malam sebelumnya. Bolak-balik tanya, kapan mulai mendaki. Begitu semangatnya, seperti tak terpengaruh oleh cuaca buruk yang sejak kemarin menyelimuti Cemoro Sewu.

***

Ada dua titik awal pendakian dari arah selatan kaki gunung Lawu. Selain Cemoro Sewu yang masuk wilayah kabupaten Magetan, Jawa Timur, di sebelah baratnya ada Cemoro Kandang yang masuk wilayah kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jarak kedua lokasi itu hanya sekitar setengah kilometer, dipisahkan oleh sebuah sungai. Elevasi kedua tempat itu tidak terpaut jauh, berkisar 1.600 meter di atas permukaan laut.

Menurut informasi, jarak pendakian ke puncak Lawu dari arah Cemoro Sewu sekitar 9 km, sedangkan bila dicapai dari arah Cemoro Kandang 12 km. Rute Cemoro Sewu kondisi jalannya lebih baik, lebih aman dan relatif lebih mudah, meskipun lintasannya lebih terjal. Sedangkan rute Cemoro Kandang kondisinya lebih buruk, kurang aman dan lebih sulit, tetapi relatif tidak terlalu terjal. Oleh karena itu rute Cemoro Sewu lebih banyak dipilih para pendaki, termasuk rombongan kami.

Pada hari-hari menyongsong datangnya tahun baru, biasanya gunung Lawu banyak didatangi oleh para pendaki. Menurut informasi, pada tahun-tahun sebelumnya setiap menjelang tahun baru dan juga menjelang perayaan kemerdekaan, jumlah pendaki bisa mencapai 1.000-1.500 orang. Bisa dibayangkan, seperti apa riuhnya naik gunung ramai-ramai. Tapi itulah yang terjadi setiap tahun.

Namun agaknya tahun baru 2008 ini berbeda. Saya perkirakan jumlah pendaki yang naik dan turun yang sempat saya jumpai, jumlahnya kurang dari 100 orang. Banyak hal menjadi penyebabnya, mungkin karena saat menjelang tahun baru ini bersamaan dengan terjadinya bencana yang mengepung Lawu. Antara lain bencana tanah longsor di Tawangmangu yang telah menewaskan puluhan jiwa. Juga tanah longsor di jalur utama Karanganyar – Tawangmangu membuat transportasi menjadi tidak mudah. Wilayah kabupaten Ngawi di sisi utara Lawu juga sedang terkepung banjir besar. Lebih dari semua itu, cuaca sedang buruk-buruknya dengan curah hujan yang tinggi dan angin yang bertiup kencang.

Meskipun demikian, masih menurut informasi, pada saat datangnya tahun baru 1429 Hijriyah (tanggal 1 Muharram 1429H) atau lebih dikenal dengan tanggal 1 Suro, bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2008, dapat dipastikan gunung Lawu bakal kembali ramai dikunjungi orang. Biasanya jumlah pengunjung bisa mencapai 2.000-3.000 orang. Ini pasti lebih heboh lagi. Sekian banyak orang bersama-sama mendaki gunung menuju puncak Lawu, dari berbagai penjuru kaki gunung.

Hal yang terakhir ini saya sebut pengunjung, bukan pendaki. Ini karena mereka berniat mencapai puncak Lawu bukan dalam rangka berpecinta alam atau berpetualang, melainkan ziarah ke makam Prabu Brawijaya V yang makamnya ada di dekat puncak Lawu. Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau para pengunjung atau peziarah ini justru banyak didominasi kaum sepuh. Bahkan, tidak sedikit kakek-nenek yang sudah thunuk-thunuk berusia 60-70 tahun, “ikut-ikutan” mendaki Lawu pada awal bulan Suro. Begitu cerita salah seorang warga kaki gunung Lawu.

Masih menurut informasi (lha wong saya juga belum pernah mengalami sendiri), mereka terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, baik rakyat jelata yang umumnya petani, pegawai, pejabat, pengusaha, juga para hulu balang keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Kendati judulnya ziarah, tapi sebenarnya semua punya niat sowan atau silaturrahim secara gaib dengan yang mBaurekso gunung Lawu. Tujuannya bisa bermacam-macam. Namun dalam ungkapan sehari-hari barangkali dapat diterjemahkan sebagai ngalap berkah.

Pendeknya, setiap bulan Suro seperti ada pasar malam di gunung Lawu. Situasi ini tentu saja dimanfaatkan oleh penduduk sekitar lereng Lawu sebagai peluang bisnis. Warung atau kedai tiban segera betebaran di sepanjang rute pendakian. Maka para “pendaki” Suroan ini tidak perlu repot-repot membawa perlengkapan dan perbekalan pendakian. Cukup seperlunya saja. Selebihnya tinggal beli makan di warung dan tidur seadanya, bahkan hanya sekedar krukupan (berbalut) sarung dan mlungker (melipat badan) di mana saja.

***

Rute Cemoro Sewu ini memang rute yang enak dan aman. Sepanjang jalan di rute ini kondisinya berupa jalan berbatu, yaitu jalan yang sudah diperkeras dengan pemasangan batu. Tidak ada lagi jalan tanah. Nampaknya pemerintah Magetan melihat perlunya memperbaiki fasilitas jalan menuju puncak Lawu, demi kenyamanan dan keamanan para peziarah maupun juga bagi wisatawan, pecinta alam atau pendaki gunung. Pembangunan infrastruktur jalan batu ini baru diselesaikan sejak beberapa tahun terakhir. Saya jadi ingat, ketika mendaki Lawu lebih 20 tahun yang lalu kondisinya sangat berbeda dan tidak sebagus sekarang, tapi justru lebih alami.

Beberapa ratus meter pertama menyusuri jalur pendakian ini kami melewati kawasan hutan cemara. Jalan batu yang mulai agak menanjak bagai membelah rimbunan pepohonan cemara yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Kami pun naik-naik ke puncak gunung… tinggi… tinggi sekali…. kiri kanan kulihat saja… banyak pohon cemara… Begitu, senandung dalam hati. Sayangnya, Noval, dan banyak anak-anak jaman sekarang kurang bisa menyenandungkan syair ceria ini.

Barangkali itulah sebabnya kawasan itu disebut Cemoro Sewu, karena banyaknya pohon cemara di sana. Baunya khas, suasananya damai, pemandangannya hijau menyejukkan (selain karena cuaca memang masih mendung dan angin dingin masih berhembus).

Tapi langit di atas pucuk cemara (di atas jauh, maksudnya…..) mulai menampakkan tanda-tanda bakal cerah. Semburat berkas cahaya matahari mulai masuk di celah-celah hijaunya dedaunan pohon cemara. Hanya saja, di pucuk pohon cemara… saya tidak melihat… burung kutilang berbunyi… bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu… mengangguk-angguk sambil bernyanyi… trilili…lili..lili…lili…

Hati pun berbunga-bunga. Semangat semakin membara. Berjalan serasa lebih cepat sambil nggendong ransel besar (padahal ya biasa-biasa saja, wong ngos-ngosan juga…..). Berharap cuaca cerah akan menyertai perjalanan menuju puncak Lawu yang diperkirakan baru akan dicapai sore hari.       

Yusuf Iskandar  

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (3)

5 Februari 2008

Pos Pendakian Lawu

Tidur Kebasahan Di Pondok Pendaki

Rencana semula kami hanya ingin istirahat sejenak di pos pondok pendaki karena kami berniat mulai mendaki pada tengah malam. Tapi rupanya rencana harus berubah, mengingat kondisi cuaca yang sangat tidak menguntungkan. Kami memutuskan akan mulai mendaki esok paginya. Malam itu kami beristirahat di pondok pendaki. Beberapa pendaki lain yang kebetulan bersama-sama beristirahat di dalam pondok juga menyarankan hal yang sama.

Hari semakin malam, hujan-angin tak mereda juga. Rongga perut mulai mengumandangkan musiknya, tanda minta diisi. Tidak sulit untuk memenuhi hajat hidup perperutan ini. Di sekitar pos pendaki ada beberapa warung makan yang memang menyediakan kebutuhan pangan bagi para pendaki. Maka setelah menyimpan barang bawaan di dalam pos pendaki, kami pun berlarian menerabas hujan dan angin menuju ke sebuah warung makan di sebelahnya.

Segelas kopi panas terasa nikmat benar ketika mengalir di tenggorokan. Semangkuk soto pun menjadi menu makan malam kami. Tidak sempat lagi mencecap dan merasakan apakah mak nyusss atau mak nyosss…., yang penting pokoknya kebutuhan tembolok dan usus duabelas jari segera terpenuhi. Tapi kudu agak hati-hati kalau menyantap barang panas di daerah dingin. Sebab meskipun panas mendidih, kelihatannya seperti tidak terlalu panas. Kalau tidak sabar, bisa-bisa bibir dan lidah cedera terkena makanan atau minuman yang kelihatannya tidak panas itu tadi.

***

Malam itu tidak ada pilihan tempat lain untuk beristirahat kecuali di pondok pendaki. Pondok yang ukurannya tidak terlalu luas itu diisi sekitar 20 orang. Di sana sudah ada beberapa orang pendaki dari Lamongan, Sidoarjo, Pati, Jakarta, Solo dan lainnya. Pendeknya, semua tumplek blek berbagi tempat berlindung. Berdesakan tapi bisa saling memberi toleransi.  

Matras lalu digelar sebagai alas tidur. Meski berdesakan, akhirnya bisa juga merebahkan kepala, punggung dan menyelonjorkan kaki. Tentu saja dengan posisi malang-melintang sebisanya. Bak pengungsi banjir di tenda darurat yang serba terbatas. Meski berdesakan, kami semua tetap bisa bercanda-ria mengusir kejenuhan dan membunuh waktu menunggu esok hari.           

Saat malam semakin larut, rasa kantuk pun tiba. Sebagian orang mulai tertidur. Ada yang bisa “sleep beauty” (bahasa Thukul : tidur manis), ada juga yang tidur sambil menggergaji alias ngorok. Mau apa lagi, semua dinikmati bersama-sama bagai sajian orchestra musik kamar. 

Sialnya, kami datang belakangan, sehingga mendapat bagian di dekat pintu keluar-masuk yang sudah rusak engselnya. Ketika hujan dan angin bertiup kencang, maka air pun masuk melalui celah di bagian bawah pintu, plus semribit angin dingin. Tidak terasa kalau air yang masuk itu lama-lama mengalir bagai air banjir. Lalu merembes melalui sela-sela matras dan akhirnya membasahi apa saja yang ada di atasnya. Termasuk celana dan yang dicelanai.

Tahu-tahu…., kok celanaku basah? Mau mengelak tidak bisa, paling-paling sedikit bergeser saja sambil agak merubah posisi tidur. Boro-boro bisa ngolet (menggeliat)…… Tadinya saya pikir hanya saya saja yang mengalami nasib sial dirembesi air. Rupanya beberapa orang lainnya juga mengalami hal yang sama. Termasuk Noval yang lalu mak jenggirat bangun. Dan, malah tertawa.

Jangan harap bisa tidur nyenyak. Bukan saja lantaran posisi tidur di atas matras yang memang tidak ergonomik, ditambah keterbatasan ruang gerak sehingga tidak bebas merubah posisi, dan masih ditambah bonus rembesan air di bawahnya. Ya, sudah. Memang tidak ada pilihan lain, selain tidur dengan celana basah.

Ruangan yang sempit dan penuh itu pun di tengah malam masih bertambah penghuninya. Rupanya waktu sorenya ada beberapa pendaki yang nekat mulai jalan dan lalu mendirikan tenda di kawasan pinggiran hutan. Akibat terpaan angin kencang tendanya roboh, sehingga penghuninya pada kabur menyelamakan diri menuju pondok pendaki. Kami pun saling berbagi tempat, sebisanya. Jadilah suasana di dalam pondok bagai pindang ikan di dalam kuali. Sebuah kebersamaan yang spontan terbangun, tanpa rencana, tanpa rekayasa, karena hendak menggapai tujuan yang sama.

Tiba-tiba terbayang bencana tanah longsor yang menimbun lebih 50 orang di Tawangmangu. Barangkali waktu itu mereka juga sedang tertidur mlungker berbalut selimut di rumahnya masing-masing, mengatasi hawa dingin dan hujan deras, ketika tiba-tiba bukit diatasnya bergerak turun tanpa aba-aba.

***

Saat fajar tiba, rupanya hujan dan angin masih belum benar-benar reda, tapi tidak sekencang waktu malam. Kami bisa keluar dan menikmati pagi dengan agak leluasa, meski hawa dingin masih terasa menusuk. Rencananya agak siang nanti baru mulai mendaki, setelah cuaca agak terang dan hujan mereda. Dan tentu jangan lupa, setelah menyeruput segelas kopi dan sarapan pagi.

Rupanya cuaca seperti yang kami alami sore dan malam sebelumnya, adalah sudah menjadi keseharian di kawasan lereng gunung Lawu pada musim-musim seperti ini. Masyarakat Cemoro Sewu sudah terbiasa menghadapi cuaca yang seperti itu. Cuma bedanya mereka sudah mempunyai tempat dan perlengkapan yang layak untuk berlindung dan beristirahat. Lain halnya dengan para pendaki yang cuma numpang saja seadanya.

Yusuf Iskandar

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (2)

2 Februari 2008

Kabut Cemoro Sewu

Menuju Cemoro Sewu

Siang hari kami menuju ke stasiun kereta api Lempuyangan, Yogyakarta. Kami merencanakan agar saat petang sudah tiba di Tawangmangu, sebab khawatir kalau nanti kemalaman angkutan dari Tawangmangu ke Cemoro Sewu sudah tidak ada. Jarak dari Yogyakarta menuju Cemoro Sewu sekitar 110 km, melalui kota Solo (Surakarta), Karanganyar dan Tawangmangu.

Ke Solo kami naik sepur Prameks (Prambanan Ekspres). Ini adalah jenis kereta kelas bisnis yang melayani jalur Yogya – Solo pp. Malah sekarang jenis sepur ini rutenya ditambah sampai ke Kutoarjo. Prameks ini tergolong moda angkutan umum yang digemari masyarakat Jogja dan sekitarnya, karena murah-meriah dan cepat dibanding naik kendaraan angkutan jalan raya. Untuk rute Jogja – Solo ongkosnya hanya Rp 7.000,- per orang, waktu tempuhnya hanya sejam. Bebas macet dan bebas tempat duduk (maksudnya boleh duduk di gerbong mana saja karena karcisnya tanpa nomor).

Hari itu penumpang cukup padat. Barangkali karena masih terkait hari libur akhir tahun. Untung masih bisa dapat tempat di gerbong restorasi. Jadi tidak harus berdiri atau lesehan di lantai. Beruntungnya lagi, tidak ada ibu-ibu yang berdiri di samping saya, sehingga tidak perlu “membuktikan merahku”…..

Hujan turun sangat lebat ketika kami tiba di stasiun Solo Balapan. Kami harus pindah ke terminal Tirtonadi untuk langsung menuju Tawangmangu dengan angkutan bis. Rencana semula mau jalan kaki saja, karena sebenarnya letak terminal Tirtonadi ini hanya berada di balik stasiun Solo Balapan, ungkur-ungkuran (saling membelakangi). Berhubung hujan turun cukup deras, terpaksa menggunakan jasa becak melalui jalan memutar. Ongkosnya Rp 7.500,- per becak. Itupun setelah melalui proses tawar-menawar. Tiba di terminal Tirtonadi, langsung mencari bis yang menuju Tawangmangu.

Agak lama kami duduk di dalam bis, karena mesti menunggu penumpang penuh dulu, baru bisnya berangkat. Ongkos bisnya Rp 7.000,- per kepala. Segera tercium bau khas angkutan penumpang kelas ekonomi. Sudah lama saya tidak menikmati bau khas campur-aduk seperti ini. Perjalanan bis berjalan lancar. Hanya sayangnya, awak bis tidak memberitahu sebelumnya bahwa bis tidak bisa langsung menuju Tawangmangu, sebab jalan terputus karena tertutup tanah longsor sepanjang seratusan meter, kata orang-orang kemudian.

Apa boleh buat, di bawah gerimis sisa hujan, terpaksa mencari angkutan sambungan yang akan membawa menuju Tawangmangu melalui jalan terobosan. Ada pilihan, naik ojek atau mobil bak terbuka. Lalu, dipilihlah mobil bak terbuka yang biasa untuk ngangkut sayur-mayur. Semula diminta ongkos Rp 10.000,- per penumpang. Setelah tawar-menawar alot, akhirnya disepakati harga setengahnya menjadi Rp 5.000,-. Ternyata banyak juga penumpang yang tidak tahu bahwa jalan terputus, sehingga kami bisa bersama-sama mencari angkutan sambungan. Padahal mereka juga masyarakat sekitar Tawangmangu. Merekalah yang melakukan tawar-menawar. Kami sih tinggal ikut kesepakatan saja. Minimal, harga itu pasti harga yang pantas. Tidak khawatir bakal keblondrok ….., kelebihan membayar karena tidak tahu.

Akhirnya sampai di Tawangmangu sudah sore menjelang petang. Cuaca masih mendung, gerimis dan udara mulai terasa dingin. Angkutan menuju Cemoro Sewu dari Tawangmangu tinggal satu kendaraan terakhir. Jadi terpaksa menunggu cukup lama, sampai penumpang penuh. Tidak menjadi masalah, yang penting masih bisa terangkut ke Tawangmangu sore itu. Ongkos angkutannya Rp 5.000, per orang.

Seorang ibu yang duduk di sebelah saya banyak bercerita tentang bencana tanah longsor yang sedang melanda Tawangmangu, yang lokasinya hanya berjarak sekitar 2 km dari terminal. Sampai hari itu penggalian korban longsoran yang belum ditemukan masih terus dilakukan. Tapi sering terhalang hujan, katanya. Katanya juga, setiap hari banyak pejabat setempat yang keluar-masuk wilayah itu.

Masih banyak lagi cerita seru ibu di sebelah saya itu, tentang lokasi longsor yang selama ini dikenal sebagai sentra tanaman anthurium, termasuk gelombang cinta, yang tiba-tiba harganya melejit tidak masuk akal. Dan para korban yang tertimbun longsor itu banyak diantaranya adalah penduduk yang kaya mendadak berkat tanaman yang harganya ngedab-edabi (gila-gilaan) itu.  

***

Hari sudah agak gelap ketika kami tiba di desa Cemoro Sewu, di kaki gunung Lawu bagian selatan. Ada dua lokasi yang sering dijadikan titik awal pendakian ke gunung Lawu dari arah selatan, yaitu Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Sebenarnya masih ada rute lain dari sisi timur (kabupaten Magetan) dan dari sisi utara (kabupaten Ngawi). Tapi kedua lokasi yang terakhir ini jarang dipilih oleh para pendaki. Kami memilih Cemoro Sewu dengan pertimbangan rute pendakian dari Cemoro Sewu relatif lebih pendek, kondisi jalan lebih bagus dan lebih aman di saat musim penghujan.

Cuaca saat kami tiba di Cemoro Sewu sungguh tidak bersahabat. Di saat hari mulai gelap, angin berhembus sangat kencang, membuat pepohonan bergoyang-goyang seperti ada yang hendak merobohkan. Suara deru angin semakin menambah suasana mencekam. Hembusan angin gunung ini tentu saja membuat suhu udara dinginnya minta ampun. Serta merta, jaket, sarung tangan dan krepus topi kernet penutup kepala langsung dikenakan saking tidak tahannya didera hawa dingin. Biasanya bagian tubuh yang paling sensitif dengan hawa dingin adalah begian telinga dan telapak tangan. Hujan dan angin seperti kompak menerpa bumi. Sesekali deras sesekali mereda, silih berganti. Pokoknya benar-benar suasana yang tidak enak (Iya juga sih, kalau mau enak ya tidur di rumah…..). Tapi rupanya Noval begitu menikmati suasana yang tidak enak itu, malah sering bercanda ketawa-ketiwi. Itulah yang membuat perasaan saya tenang.  

Tempat yang pertama kami tuju adalah mushola yang letaknya di seberang jalan dari area gerbang utama jalur pendakian. Kewajiban sholat maghrib kami lunasi dulu. Ketika mengambil air wudlu, serasa berwudlu dengan air es, saking dinginnya. Sholat pun di beranda luar mushola, karena ruangan dalamnya ternyata sudah dikunci. Tentu saja tidak bisa berlindung dari angin dingin yang masih bertiup kencang. Jadinya, sholat sambil badan methotholen... (menggigil kedinginan amat sangat). Ucapan takbir terdengar bergetar menahan dingin, badan bergerak-gerak sendiri karena mengigil, gigi seperti gemerutuk.

Usai sholat, segera bergegas mengangkut semua barang dan perbekalan menuju ke pondok pendaki atau disebut pos pendaki. Ini sebuah bangunan permanen yang ukurannya tidak terlalu luas, tempat para pendaki biasanya bermalam atau beristirahat menjelang pendakian. Letaknya tepat di samping kiri gerbang jalan utama pendakian. Rupanya di dalam sudah ada beberapa pendaki lain yang hari itu lebih dahulu tiba di sana. Untung masih tersisa sedikit ruang buat kami menaruh barang-barang dan pantat (belum lagi, kepala, pundak, lutut, kaki…..). Lumayanlah, di dalam pondok itu kami agak terlindung dari hawa dingin, hujan dan angin, yang suaranya masih kedengaran menyeramkan.

Yusuf Iskandar

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (1)

1 Februari 2008

Terpaksa Ikut Mendaki

Menjelang penghujung tahun pada bulan Desember 2007 yang lalu, anak kedua saya (Noval, 13 tahun, kelas 2 SMP) tiba-tiba minta ijin mau mendaki gunung Lawu.

Weh…..! Kali ini bukan enggak ada hujan, enggak ada angin. Justru hujan lagi banyak-banyaknya dan angin puting beliung lagi seru-serunya. Kata Noval, mau ikut mas-mas mahasiswa yang kost di rumah, yang hendak menyambut datangnya fajar baru tahun 2008 di puncak gunung Lawu.

Saya tidak terlalu menganggapnya serius. Saya pikir paling-paling hanya sekedar keinginan spontan seorang anak yang memang lumrahnya ingin ini-itu. Saya pun tertawa saja, sekedar memberi respons positif agar tidak terkesan melecehkan.

Selang beberapa hari kemudian, Noval mengulangi permintaannya. Bukan hanya itu, rupanya diam-diam dia sudah ikut hadir dalam rembugan-rembugan persiapan yang dilakukan oleh mas-mas mahasiswa itu. Bahkan, dia malah sudah menunjukkan daftar check-list perlengkapan yang harus dibawa.

Wah, serius ini, pikir saya. Saya mencoba meredam keinginannya dengan cara mengingatkan agar sebaiknya lain kali saja. Ini mengingat cuaca yang sedang kurang bersahabat, selain Noval belum berpengalaman mendaki gunung. Sementara gunung Lawu termasuk gunung yang cukup tinggi di Jawa (3265 meter di atas permukaan laut). Bisa-bisa malah nanti merepotkan mas-mas saja.

Tapi Noval berkilah. Katanya : “Wong kata mas-masnya boleh ikut kok, asal diijinkan sama bapak”. “Wah, cilaka aku…”, pikir saya. Berarti kuncinya ada di bapaknya. Ibunya sendiri sudah tidak kuasa menahannya.

(Menyadari bahwa mendaki gunung adalah aktifitas yang mutlak memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima, selain tentunya bekal pengetahuan dan keterampilan tentang survival dan kepetualangan. Hal ini sering diabaikan oleh para pendaki pemula yang terkadang hanya mengandalkan kenekatan dan semangat saja. Sebab saya dulu juga mengalaminya. Pengalaman pertama mendaki gunung adalah ke gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, pada tahun 1983. Dan pada saat itu benar-benar hanya berbekal semangat saja, tanpa pernah sebelumnya belajar tentang seluk dan beluknya olahraga ini. Belakangan saya baru menyadari, bahwa apa yang saya lakukan dulu itu sebenarnya tergolong nekat).  

Kebetulan, ada bencana tanah longsor di Tawangmangu yang menelan banyak korban jiwa, yang lalu disusul tanah longsor lainnya yang menyebabkan jalan raya Karanganyar – Tawangmangu terputus. Ada bencana longsor kok malah kebetulan…..?. Maksudnya, berita itu saya jadikan sebagai alasan untuk mencegah Noval. Perlu diketahui bahwa untuk mendaki gunung Lawu, salah satu tempat yang paling populer di kalangan pendaki adalah melalui desa Cemoro Sewu, sekitar 7 km dari Tawangmangu.

Sambil saya tunjukkan berita di televisi tentang pencarian korban tanah longsor, saya sekali lagi mengingatkan Noval bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mendaki gunung. Karena cuaca memang sedang kurang baik, ditandai dengan banyaknya hujan, tanah longsor dan angin puting beliung. Selain itu, puncak Lawu adalah salah satu puncak gunung di Jawa yang suhu udara di puncaknya tergolong sangat dingin dibanding puncak gunung lainnya, lebih-lebih di bulan-bulan penghujan seperti ini. 

Dasar memang sudah tidak bisa dipenging (dicegah). Dengan entengnya Noval pun melancarkan ultimatum : “Pokoknya hujan enggak hujan, saya tetap mau ikut mendaki…..”.

Kalau sudah begini, tobat aku….. (jangan ada yang komentar nurun bapaknya, lho….!). Saya pun lalu diam seribu basa, tapi tetap saya usahakan tersenyum. Bukan menyerah, melainkan malah merasa tertantang. Sambil diam, sambil putar otak, saya justru berpikir sebaliknya, bagaimana kalau bapaknya ikut saja sekalian. Mendampingi Noval, sekaligus bernostalgia mendaki gunung Lawu yang pernah saya capai puncaknya pada sekitar tahun 1984.

Akhirnya, keluarlah persetujuan : “OK, kalau begitu bapak ikut”. Seperti diiringi bunyi musik “jreng…..!”, dan Noval pun mak gregah jadi sumringah (tersentak dalam kegembiraan). Tahu akhirnya saya setuju dan malah ikut sekalian, ibunya hanya berkomentar pendek : “Ya, ikuti saja kemauannya sekarang. Biar dia merasakan, nanti kan kapok sendiri…..”.

Wow…., belum tahu dia (dia, ibunya Noval), bahwa mendaki gunung itu semacam candu, yang bisa menyebabkan pelakunya kecanduan. Sekali seseorang bisa menikmati baunya hutan dan pesonanya gunung beserta tantangan-tantangannya, semakin dia ingin mengulang dan mengulang lagi….. Seperti penggal lagunya Titik Puspa, tak percaya tapi nyata……. Saya lalu berkomentar kepada ibunya : “Coba saja lihat…., sepulang dari mendaki nanti pasti Noval mengajak naik gunung lagi. Tinggal bapaknya yang gempor…..”.

***

Sehari menjelang keberangkatan. Saya dan Noval mulai membuka gudang di belakang rumah dan mencari-cari perlengkapan berpetualang yang masih tersimpan. Tiga buah sleeping bag masih ada, sebuah dulu saya beli di Jatayu, Bandung, dan dua buah dibeli di New Orleans. Juga sebuah tenda masih bagus kondisinya. Dua buah sarung tangan tebal, bekas belajar ski di Denver juga masih ada. Krepus atau kain penutup kepala yang ada jendela di bagian mukanya (dulu saya sebut topi kernet, Noval menyebutnya topi maling) masih ada satu, tinggal membeli satu lagi di Kauman, Yogya. Tas ransel parasit (dulu disebut carrier) juga sudah ada.

Yang mengherankan, seperangkat rantang untuk piranti masak, model tentara punya, yang dulu saya beli di Jatayu, Bandung, rupanya masih tersimpan di gudang. Tidak itu saja, masih tersisa juga parafin untuk membuat api dan kompor lipat sederhana tempat parafin dibakar lalu di atasnya ditaruh rantang untuk masak. Perlengkapan ini dulu sangat berguna, ketika kompor gas belum populer seperti sekarang. Dan piranti kuno ini sekarang saya bawa, untuk mengantisipasi kalau-kalau ada masalah dengan kompor gas. Toh, beratnya tidak seberapa. Belakangan nanti terbukti bahwa keputusan saya membawa piranti kuno ini bermanfaat. 

Semua perlengkapan termasuk jaket dan pakaian seperlunya, bahan makanan, perlengkapan darurat, serta perlengkapan penunjang lainnya sudah disiapkan hingga hari terakhir menjelang berangkat. Tidak terkecuali, ibunya Noval pun turut mernah-mernahke (membantu menata dan mempersiapkan) perbekalan Noval dan bapaknya. Mie instant, beras, gula, kopi, bahkan sempat pula merebus kacang untuk bekal di perjalanan, termasuk membekali Noval dengan makanan kesukaannya, daging rendang. Pokoknya, turut heboh……, tidak kalah sibuknya.   

Sebelumnya saya sempatkan juga mencari info pendakian dari internet. Noval sangat antusias membaca semua info yang saya print. Dari informasi awal yang saya peroleh, saya memperkirakan bahwa pendakian tidak akan melewati rute yang sulit, melainkan asal fisik dan mental kuat untuk mendaki dan mendaki, dalam keadaan terburuk adalah dibawah cuaca dingin, hujan dan angin.

Tanggal 30 Desember 2007 siang, kami berangkat. Tim pendakian akhirnya terdiri dari 4 (empat) orang, yaitu Noval, bapaknya dan seorang mahasiswa yang kost di rumah dan seorang temannya (Rojali dan Subchi). Ada dua orang mahasiswa yang sampai hari terakhir mengundurkan diri karena ada kegiatan kampus yang tidak dapat ditinggalkan.

Yusuf Iskandar

Hari Baru Di Puncak Lawu

1 Januari 2008

Hari Baru Di Puncak Lawu

Tim “Madurejo Swalayan” Menuju Puncak Lawu

Noval, 13 tahun, berharap bisa menyongsong fajar baru 2008 di puncak gunung Lawu (3265 meter dpl). Namun apa daya, yang dijumpainya pagi tanggal 1 Januari 2008 tadi pagi adalah hujan badai dan kabut tebal dengan suhu udara berkisar 4oC.

Bagaimanapun juga, sebagai warga terkecil dari tim “Madurejo Swalayan”, Noval ingin menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru 2008.

Semoga kesuksesan senantiasa menyertai siapa saja yang berusaha dan bekerja keras, seperti Noval akhirnya mencapai puncak Lawu, setelah berjuang tertatih-tatih mendaki jalan terjal, diterpa hujan badai dan dibawah cengkeraman udara dingin. Dan ini adalah pendakian pertamanya.

Yogyakarta, 1 Januari 2008.

Yusuf Iskandar
(Bapaknya Noval yang terpaksa ikut mendampingi Noval menuju puncak Lawu, karena Noval tetap keukeuh ingin ke sana meskipun sudah diberitahu bahwa kondisi cuaca saat ini sedang kurang menguntungkan)