Jangan pernah menanyakan kepada penganut aliran “Just Do It” pertanyaan ini : “Apakah membuka usaha toko itu menguntungkan?”. Karena sebenanya itu “pertanyaan bodoh”. Wong namanya jualan pasti cari untung. Kalau tidak untung ya balik kanan saja, enggak jadi jualan. Apalagi kalau jualannya sukses dan berkembang, pasti jawabannnya : “Jelas, menguntungkan sekali”.
Lalu kalau kemudian pertanyaan dilanjutkan : “Seberapa besar keuntungannya?”. Maka jawabannya adalah seperti pernah saya ceritakan sebelumnya. “Dulu toko saya kecil, sekarang sudah agak besar”, “Dulu saya hanya punya satu toko, sekarang saya punya dua”, “Dulu saya menggunakan sepeda motor untuk kesana-kemari, sekarang sudah ada mobil untuk operasional”, “Dulu rumah saya kecil di pojok kampung sana, sekarang sudah dibangun tingkat”.
Bagi orang yang suka repot dengan hitung-hitungan bisnis, barangkali bukan jawaban seperti itu yang diharapkan. Maka untuk mengukur apakah menguntungkan atau tidak, harus dijawab dengan pembanding. Menguntungkan dibanding apa. Biasanya yang dijadikan referensi adalah bunga bank, tabungan maupun deposito.
Singkating carito (singkat cerita), kalau naruh uang di bank lalu ditinggal tidur saja setiap bulan mendatangkan keuntungan (kecuali uangnya dikemplang yang punya bank). Maka naruh uang di bisnis toko mestinya lebih menguntungkan dibandingkan dengan di bank. Kalau tidak, lha ngapain jungkir balik, kepala jadi kaki – kaki jadi kepala, kalau tidak ada keuntungan lebih?
Maka pertanyaan yang terakhir itu mestinya ditujukan kepada penganut aliran “Just Plan It”. Dan jawabannya adalah : Mari kita lihat lembar cashflow (aliran uang tunai) usahanya. Biarlah “Madurejo Swalayan” menjadi contoh soal, biar tidak repot-repot melakukan kerja praktek lapangan di korporasi lain.
***
Sekedar mengingatkan kembali (agar lebih mudah membayangkannya), rencana usaha “Madurejo Swalayan” dipersiapkan dengan dua Opsi : Opsi pertama, mengikutkan semua modal tetap (properti dan prasarana toko) ke dalam hitung-hitungan modal awal. Opsi kedua, tidak memasukkan modal tetap properti (hanya prasarana toko saja) ke dalam modal awal. Berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan omset penjualan yang diperkirakan akan terjadi, ada dua versi skenario usaha, yaitu : skenario pesimistik (kemungkinan terjelek) dan skenario optimistik (kemungkinan terbaik).
Pada rencana usaha tahap awal yang disusun sebelum usaha dijalankan, feasibility study, icak-icaknyo……, ROI (return on investment) atau tingkat pengembalian modal menurut skenario pesimistik diperoleh angka 10,7% ( Opsi pertama) dan 25,1% (Opsi kedua) per tahun. Sedangkan menurut skenario optimistik, masing-masing menunjukkan angka 13,9% (Opsi pertama) dan 30,5% (Opsi kedua) per tahun.
Dari skenario optimistik ini nampaknya “di atas kertas” menunjukkan bahwa meletakkan portofolio ke dalam bisnis toko swalayan ini berpotensi memberikan keuntungan yang lebih baik ketimbang meminjamkan uang ke bank (baik melalui Opsi pertama maupun kedua). Sedangkan imbalan yang diberikan oleh bank pada saat ini dengan tingkat bunga tabungan maupun depositonya bergerak bervariasi di seputaran angka 8%-12% per tahun. Hal lain yang perlu dilihat juga sebagai keuntungan selain angka-angka ROI, adalah bahwa ketika break-even (pulang pokok) tercapai, masih ada aset berupa properti lahan dan bangunan yang pasti nilai riilnya sudah naik, dan masih ada modal kerja (itu sebabnya kenapa Opsi kedua menjadi pertimbangan saya). Sementara aset berupa segepok uang di bank, ya akan tetap segitu juga nominalnya dengan nilai riil yang pasti sudah digerogoti rayap inflasi, kalau tidak keburu dibawa kabur pemilik banknya.
Kini, ketika “Madurejo Swalayan” sudah berjalan empat bulan, lalu dilakukan updated business plan berdasarkan data aktual. Angka-angka dalam cashflow-nya ternyata menunjukkan kinerja yang cukup membaik, yaitu menghasilkan peningkatan ROI menjadi 16,4% (Opsi pertama) dan 35% (Opsi kedua) per tahun. Adanya peningkatan dalam updated ROI ini kiranya cukup memberi alasan kalau pengelola “Madurejo Swalayan” kemudian berpikir tentang satu lagi skenario tingkat pertumbuhan penjualan, yaitu skenario “sangat optimistik”.
Secara teoritis barangkali hal itu berlebihan, tapi secara praktis tidak ada salahnya menjadikan pengalaman para pendahulu peritel tradisional dalam menjalankan bisnis ini sebagai inspirasi. Gunanya untuk membangkitkan dan menggali peluang-peluang yang selama ini tak terpikirkan. Saya lebih suka menyebut hal ini dengan kalimat : melihat dari sudut pandang yang berbeda. (Harap dimaklumi, barangkali karena selama 16 tahun telanjur punya pengalaman bekerja kalau tidak di dataran tinggi ya di gedung tinggi, sehingga dapat melihat banyak hal yang tidak dilihat orang lain…….).
Dari data aktual omset hasil penjualan harian yang saya kumpulkan selama empat bulan, dengan menghapus sejumlah anomali data (terutama yang terjadi beberapa hari di seputar lebaran), maka saya dapat memvisualisasikannya ke dalam grafik. Grafiknya runcing-runcing naik turun, tapi punya kecenderungan naik seperti disimbolkan oleh huruf “M” pada logo “Madurejo Swalayan”.
Grafik trendline itu membentuk persamaan matematis garis regresi linier. Jangan pusingkan tentang hal yang terakhir ini. Telan saja terjemahannya, bahwa persamaan garis itu menunjukkan adanya kecenderungan (trend) tingkat penjualan harian yang meningkat, yang sedang bergerak naik. (Semua pekerjaan itu mudah dilakukan dengan memanfaatkan program excel). Dalam persentase, rata-rata pertumbuhan penjualan selama empat bulan pertama ini mencapai lebih 8%, padahal sebelumnya saya memprediksi pertumbuhan rata-rata 10% akan dicapai dalam 15 bulan pertama. Saya berharap angka ini masih akan terus naik menuju ke titik keseimbangannya.
Saya bukan ahli matematika (wong waktu kuliah dulu juga ikut ujian ulangan terus), bukan juga ahli ekonomi (wong tahunya cuma terima gaji dan setelah itu membelanjakannya dan membelanjakannya lagi). Tapi menurut “gathukologi” (ilmu gathuk, ilmu yang dipas-paskan), titik keseimbangan yang saya maksud adalah titik dimana tingkat pertumbuhan penjualan akan relatif stabil (grafiknya cenderung bergerak datar, atau naik tapi sedikitlah…..). Titik ini akan dicapai ketika pada suatu waktu terpenuhinya hukum “Supply and Demand”. Banyaknya pembeli (konsumen) sudah cukup terpenuhi oleh adanya toko yang ada di Madurejo dan sekitarnya.
Karena jumlah penduduk di Madurejo dan sekitarnya akan terus meningkat seiring dengan penyebaran penduduk (faktor demografi) di kawasan pinggiran timur kota Yogyakarta, maka pertumbuhan penjualan yang dialami oleh toko-toko yang ada juga akan meningkat lagi menuju ke titik keseimbangan berikutnya. Sehingga kecenderungan pertumbuhan penjualan toko akan berjenjang-jenjang, penjualan meningkat, lalu mendatar, meningkat lagi, mendatar lagi, dan demikian seterusnya sampai benar-benar jenuh-nuh menjelang dunia bubar jalan di penutupan jaman.
Skenario pertumbuhan penjualan seperti ini bisa terjadi kalau pertumbuhan jumlah toko tidak lebih cepat dari pertumbuhan jumlah penduduk. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka siap-siap untuk berkompetisi secara cerdas guna menggiring dan menggaet pembeli sebanyak-banyaknya. Berjuang agar tetap survive…..!
Meskipun begicu, menurut para pelaku bisnis ritel yang sudah banyak nggado asam garam, peluang masih suuuangat luas dan terbuka lebar-lebar untuk menggapai keuntungan yang lebih besar dan lebih cepat, tidak perduli skenario pertumbuhan penjualan seperti apapun yang bakal terjadi. Asal tahu kiat dan caranya, katanya. Nah, di bagian inilah susahnya. Seringkali mengakibatkan banyak juga pelaku bisnis ritel yang terpaksa klepek-klepek….. gulung tikar.
Satu hal yang kemudian saya pahami, yaitu bahwa pengalamanlah yang akhirnya akan mengasah “feeling” dan “sense of business” untuk mencapainya. Cuma cilakak-nya, satu-satunya cara untuk memperoleh pengalaman hanyalah dengan memulainya sendiri, lengkap dengan resiko-resikonya, pahit-getirnya, untung-ruginya. Untuk bagian ini pengelola “Madurejo Swalayan” belum bisa banyak bercerita, kecuali sekedar ajakan : “Ayo, kita belajar bersama-sama!”. (Memang iya sih. Tidak ada investasi yang sak deg – sak nyet atau spontan menghasilkan keuntungan lebih. Semua perlu proses. Tinggal dipilih, mau proses yang “pokoknya”, atau yang terukur gerak dan lagunya).
***
Kini, kalau ada yang bertanya apakah berinvestasi di bisnis toko swalayan ini menguntungkan dibandingkan menyimpan uang di bank?. Maka dari hitung-hitungan sederhana yang telah saya coba kutak-katik selama ini, “di atas kertas” jawabannya cukup jelas : “Ya, ini bisnis menguntungkan”, setidaknya di sana ada potensi dan peluang besar untuk meraup keuntungan. Berani menerima tantangan? Resikonya cuma mbobok celengan kok…….
Ada satu iklan televisi di negeri antak-berantak (sengaja diakhiri dengan huruf “k”) dari produk yang dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin (penyebab sakit menakutkan kok dijual…..) yang sampai sekarang saya tidak mudheng (paham) mangsudnya. Bunyinya begini : “Naruh uang di bank kok jadi tradisi – Tanya kenapa?”…… (diucapkan dengan logat Indonesia timur).
Madurejo, Sleman – 8 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar