Posts Tagged ‘sales’

Pemasok Juga Ngejar Omset

26 Juni 2009

‘Boss’ saya muring-muring lagi… Barang yang dikirim sales (pemasok) itemnya lebih banyak daripada yang di-order. Bagi pebisnis yang belum paham, “Ya sudah…., pemasok juga manusia, mungkin khilaf…”. Tapi bagi ‘Boss’ saya, ini ‘some kind of’ akal-akalan alias disengaja. Pemasok juga ngejar omset. Action-nya, segera angkat tilpun dan ‘bernyanyi’ kepada Supervisornya. Akhirnya selesai dengan halal-bihalal disertai janji tidak akan terulang kembali.

(Sekali lagi, ini akal-akalan pemasok untuk menaikkan omset mereka dengan memanfaatkan celah yang biasanya kurang disadari oleh toko baru yang pegawai-pegawainya belum pengalaman…)

Yogyakarta, 25 Juni 2009
Yusuf Iskandar

Selalu Ada Sales (Rada) Nakal

24 Juni 2009

‘Boss’ saya muring-muring (marah), toko dan pegawai barunya diplekotho (dipecundangi) oleh sales nakal. Pembayaran tempo yang mestinya dua minggu, baru beberapa hari sudah ditagih minta dibayar sebagian dulu. Lha wong namanya pegawai baru, belum familiar dengan seluk wal-beluknya bisnis eceran ini, maka langsung saja dibayar.

Sadar bahwa perputaran modalnya terganggu, ‘boss’ saya mencak-mencak… Ternyata pengalaman saja belum cukup, masih lebih sulit mengajarkannya kepada yang belum berpengalaman…

(Dan masih akan terus ada sales-sales rada nakal yang ingin memanfaatkan peluang, terutama bagi toko-toko baru yang belum berpengalaman….. Kalau kesepakatannya dilakukan pembayaran tempo dua minggu, ya mestinya tunggu dua minggu baru menagih. Enggak usahlah untung-untungan menagih sebelum waktunya, kecuali kedua belah pihak setuju ada kesepakatan baru).

NB :
Yang saya maksud dengan ‘Boss’ adalah istri saya yang sekarang sudah mahir mengelola toko ritelnya…, sedang saya dipromosi jadi sopirintendent (dari kata dasar ‘sopir’, yang terkadang digaji tapi seringkali nombok…..)

Yogyakarta, 24 Juni 2009
Yusuf Iskandar

Repotnya Buka Toko Baru

9 Juni 2009

Sejak mulai buka toko Jumat kemarin, masih saja sibuk bolak-balik-bolak ke dan dari Madurejo. Ini cara praktis untuk memulai usaha jualan setelah toko yang pertama. Tidak perlu buang-buang waktu untuk menunggu sales berdatangan, melainkan angkut saja semuanya dari toko yang sudah ada. Selebihnya tinggal ngajarin pegawai yang semuanya orang-orang baru dengan nol puthul pengalaman…. Inilah seninya….

(Toko kedua saya “Bintaran Mart” sudah mulai buka, tapi masih ada stok barang dagangan yang belum lengkap. Daripada menunggu datangnya pemasok atau sales, agar cepat lalu saya tempuh jalan pintas mengambil barang dagangan dari toko pertama yang sudah berjalan, “Madurejo Swalayan”. Tentu saja dengan cara membeli dan mbayar. ..)

Yogyakarta, 7 Juni 2009
Yusuf Iskandar

(44) “Jahe Telur”

13 Desember 2007

Pada suatu hari, siang menjelang sore, sekitar seminggu sebelum hari Lebaran yang lalu, datang seorang muda berpenampilan rapi masuk toko. Sekilas nampaknya sedang mencari-cari produk tertentu, lalu akhirnya bertanya tentang produk bubuk minuman “Jahe Telur” bungkus sachet. Dari penampilannya mengesankan sebagai seorang yang ramah, sopan, grapyak, suka guyon dan bersahabat. Seorang temannya yang tampak lebih pendiam datang menyusul di belakangnya.  

Orang yang kemudian memperkenalkan diri bernama Imam ini baru datang dari Merauke, Papua. Mengaku berasal dari desa tetangga tidak jauh dari Madurejo tapi sudah beberapa tahun merantau ke Papua buka usaha warung, berjualan minuman bubuk kesehatan. Ya  “Jahe Telur” itu. Dia pulang kampung untuk kulakan “Jahe Telur”, tapi belum menemukan barangnya. Karena melihat ada toko baru di dekat kampungnya, maka dia minta tolong untuk dicarikan produk itu. Rencananya dalam dua-tiga hari sebelum Lebaran akan kembali ke Merauke. Sampai disini, bagian pendahuluan kisah perantauannya sangat meyakinkan, sampai kemudian tiba di bagian isi kisahnya. Maka terjadilah dialog, tanya-jawab dari seorang pengelola toko yang terkagum-kagum dengan seorang perantau yang sukses di rantau.  

Saya tanya Merauke-nya di sebelah mana, diapun menjawab dengan mantap. Saya katakan saya punya saudara seorang Kyai di sana, diapun dengan kalemnya mengatakan sering juga main-main ke pesantrennya. Saya tanya mengapa Lebaran bukannya berada di kampung tapi malah mau balik ke Merauke, diapun menjawab mau mremo, di saat orang-orang muslim pada pulang kampung, orang-orang asing justru banyak mengunjungi warungnya. Saya tanya siapa konsumen utama minuman “Jahe Telur”, diapun menjawab dengan meyakinkan bahwa banyak orang-orang bule menyukai produk itu. 

Saya semakin menyukai cara menjawabnya yang sangat pede. Lalu saya tanya apakah memang di sana banyak bule, diapun menjawab dengan berapi-api bahwa di sana banyak sekali bule-bule yang bekerja di perusahaan minyak, kebanyakan bule-bulenya dari Australia yang bekerja di perusahaan Prifot (yang dimaksud pasti Freeport). Weee……, lhadalah…….! Ini inlander belum tahu kalau sedang bicara dengan seorang pangsiunan pajuang kumpeni (company) yang disebut itu…….. 

Mencermati jawaban-jawabannya, akhirnya kesimpulan saya hanya satu, yaitu bahwa orang ini sedang beraksi hendak berniat tidak baik. Tapi apa? Saya sengaja tidak meng-counter ceritanya, kecuali hanya manggut-manggut serius. Sebab kalau itu saya lakukan, maka kisah ini akan berhenti. Sedangkan saya ingin tahu kelanjutannya, karena bagi saya ini bahan cerita yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Oleh karena itu harus saya biarkan dulu cerita mengalir sampai ke bagian ending-nya. 

Sampai akhirnya dia minta tolong sungguh-sungguh agar dicarikan produk “Jahe Telur” yang katanya buatan Kediri, agar dia tidak perlu mencari jauh-jauh sebab dia akan melanjutkan perjalanan kulakan lainnya ke Solo. Lain waktu kalau memerlukannya lagi dia akan langsung menghubungi saya. Tidak lupa saya ditinggali contoh bungkus sachet-nya. Dia minta diusahakan “Jahe Telur” sebanyak 30 pak. Harga satu paknya Rp 105.000,- isi 30 sachet. Bahkan dia mengatakan, apa perlu titip uangnya dulu?. Saya jawab tidak perlu, daripada nanti benar-benar dititipi malah nambah urusan di belakang. Kemudian dua orang muda inipun pergi sambil meninggalkan nomor HP dan pesan agar dihubungi kalau barangnya sudah ada. Luar biasa skenarionya.   

Segera setelah itu, saya ceritakan peristiwa ini ke beberapa pegawai “Madurejo Swalayan” dengan pesan agar berhati-hati. Saya beritahukan kepada mereka bahwa kelanjutan skenario kisah di atas kemungkinan akan begini : Entah hari ini, entah besok, akan datang seorang yang mengaku sales dari produk “Jahe Telur” dan menawarkan produk dagangannya. Jika skenario saya benar, maka jelas ini upaya penipuan.    

Eee…. kok ya ndilalah……. Tidak sampai satu jam, datang mobil Panther warna biru tua berplat nomor  Jakarta. Seseorang memperkenalkan diri sebagai sales lepas, menawarkan produk minuman bubuk. Katanya dia membawa segala macam produk minuman kesehatan. Jawaban saya singkat saja sambil acuh tak acuh, bahwa saya belum berniat jualan produk minuman bubuk kesehatan. Dia pun menjadi semakin spesifik, katanya ada produk minuman bubuk kopi-kopian, jahe-jahean, telur-teluran, dst. dalam bentuk sachet-an. Saya tetap menunjukkan sikap tidak tertarik. Sampai akhirnya dia mengatakan bahwa dia juga membawa produk “Jahe Telur” buatan Kediri.    

“Jreeeeeeng………!!!” (begitulah bunyi musik pengiringnya). Dia pun langsung menawarkan apakah saya akan melihat dulu bentuknya. Karena tujuan saya sudah tercapai, maka saya jawab tidak perlu. Rupanya dia penasaran. Lalu bertanya : “Apakah belum ada orang yang menanyakan produk itu?”. Saya jawab : “Belum ada yang tanya, tuh”. Akhirnya sales itupun berpamitan. Dengan senyum kemenangan saya temani sales itu sampai ke depan toko, sambil saya ingat-ingat plat nomor mobilnya yang rupanya sengaja diparkir agak jauh dari halaman toko. (Dalam hati saya berkata : “Berantem sudah, kalian!”). 

Beberapa belas menit kemudian, rupanya Mas Imam, sang “perantau sukses“ tadi tilpun saya. Katanya dia lupa, apakah tadi contoh bungkus “Jahe Telur” sudah ditinggalkan ke saya atau belum. Saya jawab : “Sudah mas, Insya Allah besok akan saya coba carikan produk itu di Pasar Sentul, Yogya” (disertai doa pendek semoga berbohong pada saat sedang dikibulin bukanlah perbuatan dosa….). Dia berkata bahwa dia sedang belanja di pasar di Solo. He..he..he.. , cepat amat naik sepeda motornya mas, kok sudah blusukan di Solo…….. 

Apa yang akan terjadi jika sekiranya saya larut dalam permainan sandiwara mereka? Lalu mereka berhasil memperdaya pengelola “Madurejo Swalayan”? Kira-kira akan begini : Kami akan kulakan produk “Jahe Telur” sebanyak minimal 30 pak, senilai Rp 3,15 juta, malah mungkin lebih. Setelah itu kami akan menghubungi nomor HP Mas Imam dan ternyata nada sibuk, diulang lagi tidak ada yang ngangkat, dicoba lagi masih tidak nyambung, dan terus tidak nyambung. Mas Imam pun ditunggu dua hari, dua minggu sampai dua tahun tidak akan pernah kembali lagi. Kecian deh gue…..!

Barangkali produk “Jahe Telur” itu bukan palsu. Memerlukan kerja serius untuk mempersiapkan dan mendesain kemasan sachet. Tapi pasti produk itu dibuat asal-asalan. Kalau saya perhatikan lebih jeli contoh bungkus sachet “Jahe Telur” yang ditingkalkan, di bagian pinggir bawah bungkus warna kuning itu ada lipatan kecil (nampaknya sengaja dilipat agar tidak terlihat tulisannya). Ketika saya baca ternyata di balik lipatan itu ada tulisan kecil : Dep. Ker. No. sekian-sekian. Lho…?, kalau Dep. Kes. saya tahu. Lha, kalau Dep. Ker., apa barangkali Departemen Kerehatan (departemen yang ngurusi orang-orang yang banyak rehatnya…)?.  Itulah sepenggal kisah sukses saya menghalau petualang bisnis. Seperti pernah saya singgung sebelumnya : Dimana ada toko baru buka, di situ ada petualang bisnis. Tinggal bagaimana pengelola toko mengasah dan mempertajam gerak refleknya untuk mengantisipasi gerak tipu yang dimainkan oleh para petualang semacam ini. Jangan mudah tergiur, kalau tidak ada hujan tidak ada angin, kok ujug-ujug ada orang berbaik hati memberi order jutaan rupiah.  

***  Sebaliknya, ada juga kisah tidak sukses. Beberapa ulah oknum sales-sales nakal yang hanya ingin barang dagangannya dikulak banyak-banyak. Sebenarnya tidak juga kalau dibilang penipuan. Wong terjadi proses jual beli, artinya ada penyerahan barang dan ada pembayaran. Hanya saja sang oknum sales ini mau untung sendiri. Tidak perduli barangnya tidak laku, harganya kemahalan, alih-alih membina kerjasama saling menguntungkan. Yang penting barangnya banyak terbeli saat itu, setelah itu pergi dan tidak pernah kembali lagi menampakkan batang hidungnya. Produk yang dibeli memang ada, tapi nggaaaaak …..laku-laku. Lha wong memang jenis produk yang tidak laku di pasaran. 

Kalau sudah curiga dan tidak yakin produknya tidak bakal laku kenapa dikulak juga? Itulah masalahnya. Sedemikian dahsyatnya rayuan dan bujukan sang sales dalam menawarkan barang dagangannya, bagai terkena gendam dan lalu produk itu pun dibeli dalam jumlah cukup banyak. Entah jenis phobia apa namanya, sebagai toko yang baru buka sepertinya ada ketakutan jangan-jangan calon pelanggan akan kecewa kalau mereka mencari produk itu dan ternyata tidak lengkap tersedia. Toh kalau tidak laku bisa ditukar nantinya, begitu jalan pikiran praktisnya saat itu.   

Sebagai toko yang baru buka dan yang sedang berjuang mengumpulkan keuntungan cepek-nopek setiap harinya, memang rentan terhadap tipuan menggairahkan semacam ini. Produk yang ditawarkannya bisa bermacam-macam. Modus operandi dan alur cerita sandiwaranya juga bisa beraneka-versi. Namun ending yang diharapkan oleh sang petualang bisnis itu tetap sama……. meraup untung setinggi-tingginya dengan menjual barang yang sebenarnya berharga murah sebanyak-banyaknya, tidak perduli itu jenis produk yang akan laku dijual lagi di pasaran atau tidak. Puji Tuhan, saya masih bisa turut menghidupi para petualang bisnis .….! (meskipun kesal juga sebenarnya).

Madurejo, Sleman – 24 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(18) Pasrah Bongkokan

13 Desember 2007

Ketika kami memutuskan hendak membuka toko ritel, maka yang pertama kali terlintas di pikiran adalah toko yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Sederhana sekali. Ah, mudah mencari barangnya dan mudah pula menjualnya, toh pasti dibutuhkan orang. Sampai di situ lalu semua persiapan diarahkan untuk berbisnis kebutuhan sehari-hari.

Ketika tiba waktunya kulakan untuk mengisi rak-rak toko, ternyata muncul pertanyaan lanjutan. Kebutuhan pokok sehari-hari seperti apa? Kebutuhan sehari-hari keluarga saya tentu berbeda dengan keluarga tetangga saya, dan pasti juga berbeda dengan keluarga masyarakat desa Madurejo yang adalah calon pelanggan saya. Masyarakat Madurejo yang mana? Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, buruh lepas harian, petani penggarap, bakul pasar, atau pedagang besar?

Kalau hendak memenuhi kebutuhan pokok semua lapisan masyarakat, lalu jenis yang mana saja yang sebaiknya disediakan? Apakah itu saja sudah cukup? Apakah tidak perlu juga menjual kebutuhan pelengkap agar lebih menarik minat calon pembeli untuk masuk toko?

Survey kecil-kecilan yang telah saya lakukan ternyata tidak cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Masih terlalu banyak hal yang belum dapat saya ketahui. Nah, ternyata sumber referensi paling akurat justru datang dari pemasok. Kepada merekalah akhirnya saya tanyakan produk-produk apa saja yang paling dibutuhkan masyarakat sekitar desa Madurejo. Saya percaya bahwa jawaban para pemasok itu umumnya sangat membantu. Tentu saja kita tetap harus jeli menyimak jawaban itu jujur atau dalam rangka merayu agar saya membelinya. Taruhlah saya tidak bisa membedakan, maka saya meyakini rasio kebenarannya cukup tinggi terhadap kekeliruannya. Meski prinsip ketelitian tetap diperlukan.

***

Awalnya memang kelihatan mudah. Namun ketika para distributor itu mulai berdatangan sambil menyodorkan daftar barang plus harganya yang jumlahnya mencapai ratusan item. Saya jadi kami-tenggengen…… (bengong tidak tahu harus bagaimana). Tidak mungkin dikulak semuanya. Kalau harus dipilih, yang mana saja? Berapa lama waktu saya butuhkan untuk pilih-pilih?. Berbekal semangat saling percaya, terpaksa ditempuh jalan pintas. Jalan pintas ini saya lakukan hanya kepada pemasok resmi yang jelas sudah saya ketahui nama badan hukumnya, identitas orangnya, nomor tilpun dan alamat kontaknya,  memiliki daftar harga resmi, dan pemasok yang direferensikan oleh teman lain yang sudah punya toko.

Ada dua jalan pintas saya lakukan. Pertama, untuk distributor yang jenis produknya sangat buanyak. Katakan kepada salesnya, syukur-syukur bisa langsung dengan supervisornya, agar dibuatkan usulan pembelian senilai kurang-lebih sekian juta rupiah, untuk melengkapi isi toko. Kedua, untuk distributor yang jenis produknya tidak terlalu banyak. Minta kepada salesnya untuk memilihkan jenis produk yang sebaiknya ada untuk tahap awal ini, berdasarkan tingkat lakunya barang di kawasan sekitar. Setelah daftar barang di-review dan disetujui, lalu dihitung nilai pembeliannya.

Untuk sales lepas yang biasanya tidak memiliki daftar harga (tapi tetap harus diminta identitas jelasnya), disini indra keenam diperlukan. Kami sendiri yang harus memilih barangnya, sedikit kira-kira, rada-rada sok tahu dan agak-agak ngawur tidak jadi masalah. Asal jangan membabi-buta.

Perlu juga kiranya memahami model-model penawaran, pembelian dan pembayaran yang berlaku tidak sama antara pemasok satu dengan lainnya. Masing-masing cara berimplikasi pada aliran uang tunai kita. Dari sisi ini, tidak perlu ragu atau sungkan untuk melakukan negosiasi ketat terhadap para pemasok dan salesnya, menggali semaksimal mungkin setiap potensi yang bisa menambah setiap rupiah bagi positive cashflow toko kita.

Cara penjualan yang dilakukan pemasok memang macam-macam. Ada yang salesnya datang lebih dahulu untuk melakukan penawaran dan pembuatan pesanan barang (taking order) biasanya disebut bagian TO. Setelah itu baru barangnya dikirim pada lain hari lengkap dengan faktur pembayaran, tergantung sistem pembayarannya tunai atau tempo.

Idealnya, ketika bagian TO ini datang, kita mestinya membuat PO (Purchasing Order), atau setidak-tidaknya orang TO ini memberikan salinan catatan pesanan barangnya. Dalam banyak peristiwa, terkadang kita meremehkan hal ini, sehingga cukup saling percaya saja. Daftar pesanan dibuat, kita tandatangani, lain hari barang dikirim. Situasi ini membuka peluang bagi oknum pemasok nakal untuk menambah daftar pesanan tanpa kita ketahui.

Ada juga sales yang datang langsung bersama barang dagangannya. Mereka biasanya menggunakan mobil boks bertuliskan atau bergambar merek produk yang dijualnya. Dalam komunikasi sehari-hari mereka biasa disebut sales kanvas (saya tidak tahu sejarah penggunaan kata salah kaprah ini). Mereka langsung melakukan penawaran, disusul pemesanan, lalu barang diserahkan, kemudian dibayar kalau memang sistem pembayarannya tunai. Ungkapan yang sering dikatakan oleh sales jenis ini adalah : “Langsung turun barang”.

Jenis yang lain lagi adalah sales lepas (freelance) atau istilah pasarnya sales kelilingan atau sales frilenan. Sales jenis ini biasanya bekerja perseorangan, tidak mewakili merek produk tertentu dan juga tidak atas nama perusahaan distributor tertentu. Terkadang mereka datang menggunakan mobil boks, tapi banyak juga yang berkeliling menggunakan sepeda motor sambil mengangkut barang dagangannya tumpuk undung.

Pemasok yang resmi pada tingkat tertentu umumnya juga menawarkan kemungkinan untuk dilakukannya pembayaran secara tempo (tidak tunai). Pemasok-pemasok kecil, kebanyakan produk makanan atau asessori hasil industri rumahan, ada juga yang memberlakukan sistem titip jual atau konsinyasi, hanya barang-barang yang laku saja yang nantinya dibayar. Tentu sangat menguntungkan, mengingat bisnis ritel adalah bisnis yang mengandalkan adanya aliran uang tunai dari kumulasi nominal uang recehan.

***

Ketika saya harus memilih barang yang akan dikulak, mulanya mudah saja, tinggal menunjuk barang-barang kebutuhan sehari-hari. Tetapi begitu disodorkan daftar barang yang jenis produknya ngudubilah buanyaknya, bahkan mencapai ratusan item, pikiran menjadi cunthel, buntu. Ada puluhan merek odol, sabun, pembalut wanita, pembersih muka, minyak goreng, mie instant, snack dan aneka ria kebutuhan sehari-hari, lengkap dengan sederet pilihan variannya, ya ukurannya, ya jenisnya, ya aromanya, ya rasanya.

Belum lagi ketika harus memilih komoditas pelengkap untuk mendampingi kebutuhan pokok sehari-hari. Alat tulis dan kantor, asesori perempuan, pakaian dan perlengkapan bayi, pakaian muslim, peralatan rumah tangga, mainan anak, perlengkapa olah raga, pulsa isi ulang? Apakah tempat yang tersedia memungkinkan untuk menampung semuanya? Apakah modal kerja yang tersedia mencukupi?

Yang paling saya jaga di tahap kulakan awal ini adalah perlunya agak mengendalikan diri. Jangan sangking bersemangatnya lalu segala macam jenis barang dikulak. Eee…., tahu-tahu anggaran sudah tandas habis sebelum toko mulai buka, padahal masih banyak jenis barang yang perlu disediakan. Situasi seperti ini tentu menjadi dilema sebelum toko resmi beroperasi, antara asal buka dulu atau menambah modal kerja. Iya, kalau masih punya dana cadangan. Lha, kalau tidak? Malah uring-uringan sendiri dan kudu nesu (ingin marah) saja jadinya……. 

Sebagai pengaman, saya menggunakan angka 80% dari total modal kerja yang dianggarkan untuk kulakan mengisi toko sebelum toko mulai beroperasi (itu angka yang saya petik dari langit, jadi jangan tanya kenapa 80%, yang penting telah terbukti bekerja untuk “Madurejo Swalayan”). Sisanya dibelanjakan seiring toko mulai buka, sambil mengamat-amati barang-barang yang sebaiknya ada tapi belum tersedia dan barang-barang seperti apa yang banyak dicari  pengunjung toko.

Idealnya, sejak awal sudah digariskan tentang jenis barang yang akan dijual disesuaikan dengan kapasitas ruangan toko dan modal yang disediakan, lalu cobalah untuk konsisten. Tidak seperti “Madurejo Swalayan”, ini pengalaman yang sebaiknya tidak ditiru. Sejak awal batasannya mengambang sehingga ketika harus memilih jenis barang yang akan dijual, jadi bingun-ngun…., lalu akhirnya cenderung berserah diri kepada pemasok untuk dipilihkan jenis barang apa saja yang laku di pasaran. Situasi ini memang rawan untuk dimanfaatkan oleh oknum sales nakal.

Kalau akhirnya meminta tolong pemasok untuk memilihkan jenis barang, jangan berhenti sampai di situ. Evaluasi harus dilakukan seiring berjalannya waktu. Tujuannya untuk melakukan seleksi, jenis barang atau merek produk apa saja yang perlu ditingkatkan stoknya dan yang perlu direm bahkan disudahi saja. Demikian pula, pemasok mana saja yang bisa diteruskan dan yang terpaksa distop. Pada gilirannya nanti akan terjadi seleksi alam berdasarkan pada kelakuan (maksudnya tingkat lakunya) barang dan tingkat kebutuhan masyarakat yang adalah pelanggan kita. Pastinya, hal ini tidak akan berlaku sama antara satu kawasan dengan kawasan yang lain.

Sepanjang kita yakin bahwa sang pemasok dan salesnya adalah pihak yang dapat dipercaya, maka pasrah bongkokan kepada sales untuk memilihkan jenis barang, bisa jadi pilihan yang dapat ditempuh dengan segala resikonya…… Resiko pada kondisi saat itu, pada saat order pertama dilakukan, pada saat kita sedang memulai bisnis, pada saat pengelola toko bingung hendak kulakan barang apa saja…….

Madurejo, Sleman – 20 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(17) Pemasok, Antara Kawan dan Lawan

13 Desember 2007

Menjelang hari “H”, hari pertama buka toko yang direncanakan, para pemasok (suppliers) berduyun-duyun berdatangan menawarkan produk-produknya. Mereka berdatangan, baik karena diberitahu oleh toko lain yang sebelumnya saya titipi kartu nama, diberitahu oleh sesama pemasok, sengaja kami hubungi untuk memberikan penawaran barang, ataupun secara kebetulan melihat papan nama toko baru saat mereka lewat di Jl. Prambanan – Piyungan, Yogyakarta.

Pemasok, dalam menunaikan tugasnya di lapangan biasanya diujungtombaki oleh orang-orang yang disebut salesman. Dalam komunikasi salah kaprah sehari-hari suka disebut dengan sales saja. Para pemasok ini bisa puluhan jumlahnya, baik yang resmi berbadan hukum yang mewakili perusahaan distributor produk tertentu maupun sales lepas (freelance) atau disebut juga sebagai grosir keliling.

Jangan heran dan terpesona kalau kemudian bertaburan kalimat-kalimat rayuan (seduction) dan bujukan meyakinkan (persuasion) dari para sales ini agar kita tertarik melakukan transaksi pembelian. Mulai dari menawarkan keunggulan produknya yang sudah dikenal masyarakat, yang katanya sudah ada iklannya di televisi. Sampai perlu menyebut referensi, misalnya di toko “Anu” (disebutnya nama toko yang berlokasi di kawasan yang sama dengan toko kita) seminggu bisa laku sekian biji. Tidak lupa mereka pun akan menunjukkan salinan order pembelian dari toko itu guna meyakinkan kita.

Dalam upayanya mendesak kita dalam soal “timing”, mereka akan mengatakan bahwa mereka akan kembali melewati lokasi toko kita setiap dua atau tiga minggu, terkadang sebulan sekali. Ketika dekat-dekat Lebaran, maka mereka akan berbaik hati mengingatkan bahwa jenis barang tertentu biasanya permintaan pasar meningkat sementara persediaan terbatas, sedang mereka akan libur selama beberapa waktu. Situasi seperti ini tentu akan membingungkan hitungan matematis di kepala kita, padahal keputusan harus dibuat saat itu juga, sedangkan sebagai pemain baru kita belum punya pengalaman.

Belum lagi soal iming-iming. Jika membeli sejumlah sekian akan menerima diskon sekian persen, jika membeli produk ini sekian akan ada bonus itu, jika pembayarannya tunai akan ada tambahan diskon sekian persen, untuk “grand-opening” toko baru ada tambahan diskon sekian persen lagi, dan banyak macam iming-iming lainnya yang seringkali membuat kita terlena.

“Retour policy” juga menjadi senjata sales. Mereka akan mengatakan nanti kalau barangnya tidak laku atau rusak bisa ditukar dengan produk lain. Jadi tidak perlu khawatir. Kita sering lupa, bagaimanapun juga hal itu tetap berarti mengalir-keluarnya uang tunai dari kas kita. Masih ada lagi sales lepas yang mengatasnamakan lembaga sosial tertentu, sehingga kalau kita membeli barang mereka berarti kita turut berbuat amal. Hati siapa yang tidak tersentuh mendengarnya.

Kalau sudah mentok karena terus kita tolak misalnya, akhirnya mereka akan mengatakan bahwa produknya perlu ada agar toko lebih lengkap, jangan sampai nanti ada pembeli yang membutuhkan ternyata barangnya tidak tersedia. Pembeli bisa kecewa. Sampai di titik ini kita sering terpengaruh. “Iya, ya…, benar juga. Sayang kalau sampai ada pembeli yang kecewa karena barang yang dicari tidak ada”, demikian biasanya setan gundul entah datang dari mana akan berbisik di telinga kita. Sebagai toko yang baru memulai usahanya, wajar kalau diam-diam muncul ketakutan, jangan-jangan kita dijauhi calon pelanggan setelah tahu tokonya tidak lengkap.

***

Tidak dapat dipungkiri, pemasok (supplier) adalah salah satu bagian penting dalam mata rantai bisnis ritel. Keberadaannya sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran usaha toko. Daripada repot-repot pergi kulakan, mencari barang, membelinya, lalu mengangkutnya sendiri, lebih menghemat banyak waktu apabila kita membelinya dari pemasok yang datang sendiri ke toko, harganya pun bersaing. Pendeknya, hubungan antara pengelola toko dan pemasok adalah hubungan kerjasama bisnis yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Simbiose mutualisme. Pengelola toko butuh kulakan dengan cepat dan harga bersaing, sedangkan pemasok butuh barang dagangannya dibeli oleh pengelola toko. 

Meskipun demikian, tidak semua sales layak untuk diajak bekerjasama. Ada juga oknum sales yang nakal, mau untung sendiri, ingin meraup untung besar sesaat, tidak berniat membina hubungan kerjasama yang langgeng. Oknum sales jenis ini terkadang hanya mementingkan asal dagangannya dibeli, tidak perduli bakal cepat laku atau tidak. Biasanya oknum sales ini minta pembayaran tunai. Jika barang dagangannya sudah banyak dibeli, sementara kita tidak tahu itu jenis barang yang cepat laku (fast moving) atau bukan, kita juga tidak tahu harga yang ditawarkan wajar atau terlalu tinggi, maka oknum sales nakal ini biasanya hanya sekali mampir lalu tidak kembali lagi.

Disinilah susahnya bagi pengelola toko yang belum berpengalaman, yang baru pertama kali berurusan dengan sales, yaitu bagaimana mengenali oknum sales-sales nakal. Pengalaman menjengkelkan itu juga yang terpaksa dialami oleh pengelola “Madurejo Swalayan”.

Harus disadari bahwa hal menjengkelkan itu sebenarnya adalah bagian dari resiko bisnis. Resiko yang mestinya harus sudah diperhitungkan sebelum mulai membuka toko. Bagaimanapun juga, sales adalah juga penjual yang ingin barang dagangannya laris manis. Sales juga membekali diri dengan pengetahuan, ketrampilan dan belajar bagaimana teknik menjual yang sukses. Bagaimana mempengaruhi calon pembeli agar jadi bertransaksi. Bagaimana meyakinkan calon pembeli bahwa produknya layak dibeli, dalam jumlah banyak kalau bisa. Dan, calon pembeli itu adalah kita, orang yang baru belajar bisnis ritel, orang yang suka bingung dan sulit mengambil keputusan ketika rayuan maut para sales menyerang tiba-tiba.

***

Lha, kalau sudah tahu tentang berbagai perilaku sales seperti itu, mestinya bisa dong menghindari oknum sales nakal….? Well……., mestinya iya. Tapi menurut “ngelmu” psikologi penjualan yang “dipelajari” oleh para sales itu mengajarkan bahwa selalu ada celah untuk meninabobokkan pemain baru seperti saya sehingga terpengaruh untuk membeli produk mereka.

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat rayuan, bujukan ataupun iming-iming yang ditawarkan para sales itu, tidak juga selamanya bertujuan negatif atau menyesatkan. Sebaliknya adakalanya justru menjadi nilai positif. Hanya saja, kita perlu berpikir jernih dan logis sebelum saat itu memutuskan untuk melakukan pembelian, atau menunda atau menolak.

Susahnya, sebagai pemain baru seringkali kita tidak punya cukup bekal referensi dan pengalaman, “feeling” pun belum terasah. Maka seringkali hanya mengandalkan iktikad baik dan percaya kepada pemasok semata sebagai landasan membuat keputusan. Situasi atau posisi lemah semacam ini jelas sangat dipahami oleh para pemasok beserta sales-salesnya. Maka muncullah oknum sales nakal, meskipun jumlah mereka tidak banyak.

Begitulah….. ! Pemasok adalah kawan kita. Pemasok professional sangat memahami bahwa hubungan simbiose mutualisme ini perlu dilanggengkan. Namun bagi sebagian kecil oknum pemasok lainnya, mereka adalah lawan kita. Mereka hanya mau untung sendiri tanpa mau memikirkan kelanggengan kerjasama yang saling menguntungkan. Masalahnya adalah, kita baru tahu mana kawan dan mana lawan justru setelah usaha kita berjalan sekian waktu, bukan sebelum memulainya.

Madurejo, Sleman – 19 Januari 2006.

Yusuf Iskandar