Kepingin makan nasi pecel? Tidak sulit untuk menemukan tempatnya. Campuran sayur-mayur yang diguyur dengan sambal kacang lalu ditambah kerupuk atau peyek, tahu atau tempe, sebagai asesori tambahannya, banyak dijual dan menyebar hampir di setiap kota. Cari saja warung nasi pecel.
Lain halnya kalau mau mencoba makan nasi sambal tumpang atau biasa disebut nasi tumpang saja. Ke kota Kedirilah tempatnya. Bahan dasarnya nyaris sama, yaitu sayur-mayur. Akan tetapi di kota Kediri tempat asal nasi tumpang, varian sayurnya biasanya tertentu, yaitu daun pepaya, buah pepaya muda yang diiris kecil-kecil, kecambah dan terkadang ada tambahan mentimun. Yang beda adalah sambalnya, yang disebut dengan sambal tumpang.
Sepintas sambal tumpang ini mirip sambal pecel, tapi sebenarnya beda. Tidak menggunakan tumbukan kacang melainkan tempe bosok (busuk) yang rasa dan aromanya agak semangit (sangit). Hanya saja busuknya tempe ini bukan sebab tempe basi atau sisa yang sudah beberapa hari tidak laku dijual, melainkan memang sengaja dibusukkan (seperti kurang kerjaan saja…., bukannya makan tempe segar malah ditunggu setelah busuk baru dimasak). Inilah salah satu kekayaan budaya permakanan Indonesia. Anehnya, justru cita rasa semangit yang diramu dengan kencur, serai, daun salam, daun jeruk, bawang merah-putih dan santan, itulah yang diharapkan mak nyusss….
Bagi kebanyakan masyarakat Kediri dan sekitarnya, menu nasi tumpang ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai bekal sarapan pagi yang murah, meriah, bergizi dan hoenak tenan…. Warung nasi tumpang dapat dengan mudah dijumpai di banyak tempat di kampung-kampung atau di pinggir-pinggir jalan. Mirip warung-warung gudeg saat pagi hari di Jogja. Harga sepincuk nasi tumpang cukup murah wal-meriah, sekitaran Rp 2.000,- per porsi kecil.
***
Sarapan nasi tumpang….. membangkitkan kembali ingatan masa kecil hingga muda saya, sewaktu saya masih sering mengunjungi rumah nenek di Kediri. Mbah saya yang tinggal di kampung Banjaran ini setiap pagi buta beliau sudah kluthikan (bersibuk-sibuk) di dapur saat yang lain masih terlelap, untuk persiapan jualan nasi tumpang di depan rumah kecilnya saat matahari menjelang terbit.
Pelanggannya ya para tetangga sendiri, terutama para pegawai dan buruh yang hendak berangkat ke tempat kerja atau pelajar yang mau berangkat ke sekolah. Orang-orang tua, muda, anak-anak, silih berganti dan rela ngantri membeli nasi tumpang barang sepincuk dua pincuk (wadah daun yang berbentuk corongan lebar). “Ritual” pagi ini berlangsung dalam suasana semanak (penuh kekeluargaan), sambil becanda dan saling berbagi cerita ringan keseharian tentang apa saja. Ah, indah sekali….! Khas kehidupan keseharian para akar rumput dalam suasana penuh guyub, guyon, gayeng…..
Simbah memang sudah meninggal enam tahun yll. Namun saat-saat indah bersama simbah itu sepertinya masih lekat di ingatan, setiap kali saya berkunjung ke Kediri. Sebuah kenangan sederhana yang begitu terasa mengesankan…..
Masih terbayang bagaimana simbah meladeni saya dan cucu-cucunya yang lain dengan sabar dan telaten. Menyiapkan nasi tumpang yang disajikan dalam pincuk daun pisang made-in mbah saya sendiri. Lebih khas lagi, masih ada asesori peyek kacang atau ikan teri yang digoreng sendiri, berukuran kecil-kecil dan bentuknya tidak beraturan tapi berasa gurih dan kemripik. Hingga enam tahun yang lalu ketika simbah masih sugeng (hidup), beliau masih suka mengirimi anak dan cucunya sekaleng biskuit kong guan merah berisi peyek kacang dan teri.
***
Kini, setiap kali saya ke Kediri, menu nasi tumang nyaris tidak pernah saya lewatkan. Rasanya yang khas dengan sambal tempe bosok yang sama sekali tidak terkesan sebagai makanan busuk, bahkan nendang tenan sensasi semangit-nya…..
Seperti seminggu yang lalu saya berkunjung ke Kediri. Meski bukan saat pagi hari, tapi tetap saja yang pertama saya cari adalah nasi tumpang. Salah satu warung nasi tumpang yang cukup dikenal adalah nasi tumpang Bu Wandi yang berada di bilangan jalan Panglima Polim. Warung ini adalah cabang dari warungnya yang sejak lama ada di kawasan Pasar Paing.
Porsi sepiring nasi tumpang Bu Wandi cukup banyak. Tambahan berupa beberapa lembar peyek yang berukuran setelapak tangan orang dewasa semakin melengkapi kekhasan menu ini. Jika kurang lengkap, bisa ditambah dengan gorengan tahu kuning yang diceplus dengan cabe rawit. Sedangkan sambal tumpangnya sendiri biasanya memang sudah cukup pedas.
Tidak puas dengan satu porsi, saya pun masih nambah dengan seporsi lagi sayur dan sambal tumpangnya thok, tanpa nasi. Pokoknya benar-benar puas, puas, puas….. setelah sekian lama tidak menikmati menu ini. Bahkan anak saya yang sebenarnya kurang suka makan pecel saja bisa menghabiskan seporsi nasi tumpang Bu Wandi dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Enak, katanya.
Sesekali di Jogja saya meminta ibunya anak-anak untuk membuatkan sambal tumpang. Tapi ternyata memang semangitnya tempe Jogja yang dibusukkan sendiri, berbeda dengan yang saya rasakan di Kediri.
Ke Kediri aku kan kembali, menikmati nasi tumpang yang benar-benar membuat kenyang dan nendang sensasi semangit tempe bosok-nya…..
Yogyakarta, 18 April 2008
Yusuf Iskandar