Archive for April, 2008

Nasi Tumpang, Bosok Tapi Nendang

18 April 2008

Kepingin makan nasi pecel? Tidak sulit untuk menemukan tempatnya. Campuran sayur-mayur yang diguyur dengan sambal kacang lalu ditambah kerupuk atau peyek, tahu atau tempe, sebagai asesori tambahannya, banyak dijual dan menyebar hampir di setiap kota. Cari saja warung nasi pecel.

Lain halnya kalau mau mencoba makan nasi sambal tumpang atau biasa disebut nasi tumpang saja. Ke kota Kedirilah tempatnya. Bahan dasarnya nyaris sama, yaitu sayur-mayur. Akan tetapi di kota Kediri tempat asal nasi tumpang, varian sayurnya biasanya tertentu, yaitu daun pepaya, buah pepaya muda yang diiris kecil-kecil, kecambah dan terkadang ada tambahan mentimun. Yang beda adalah sambalnya, yang disebut dengan sambal tumpang.

Sepintas sambal tumpang ini mirip sambal pecel, tapi sebenarnya beda. Tidak menggunakan tumbukan kacang melainkan tempe bosok (busuk) yang rasa dan aromanya agak semangit (sangit). Hanya saja busuknya tempe ini bukan sebab tempe basi atau sisa yang sudah beberapa hari tidak laku dijual, melainkan memang sengaja dibusukkan (seperti kurang kerjaan saja…., bukannya makan tempe segar malah ditunggu setelah busuk baru dimasak). Inilah salah satu kekayaan budaya permakanan Indonesia. Anehnya, justru cita rasa semangit yang diramu dengan kencur, serai, daun salam, daun jeruk, bawang merah-putih dan santan, itulah yang diharapkan mak nyusss….

Bagi kebanyakan masyarakat Kediri dan sekitarnya, menu nasi tumpang ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai bekal sarapan pagi yang murah, meriah, bergizi dan hoenak tenan…. Warung nasi tumpang dapat dengan mudah dijumpai di banyak tempat di kampung-kampung atau di pinggir-pinggir jalan. Mirip warung-warung gudeg saat pagi hari di Jogja. Harga sepincuk nasi tumpang cukup murah wal-meriah, sekitaran Rp 2.000,- per porsi kecil.

***

Sarapan nasi tumpang….. membangkitkan kembali ingatan masa kecil hingga muda saya, sewaktu saya masih sering mengunjungi rumah nenek di Kediri. Mbah saya yang tinggal di kampung Banjaran ini setiap pagi buta beliau sudah kluthikan (bersibuk-sibuk) di dapur saat yang lain masih terlelap, untuk persiapan jualan nasi tumpang di depan rumah kecilnya saat matahari menjelang terbit.

Pelanggannya ya para tetangga sendiri, terutama para pegawai dan buruh yang hendak berangkat ke tempat kerja atau pelajar yang mau berangkat ke sekolah. Orang-orang tua, muda, anak-anak, silih berganti dan rela ngantri membeli nasi tumpang barang sepincuk dua pincuk (wadah daun yang berbentuk corongan lebar). “Ritual” pagi ini berlangsung dalam suasana semanak (penuh kekeluargaan), sambil becanda dan saling berbagi cerita ringan keseharian tentang apa saja. Ah, indah sekali….! Khas kehidupan keseharian para akar rumput dalam suasana penuh guyub, guyon, gayeng…..

Simbah memang sudah meninggal enam tahun yll. Namun saat-saat indah bersama simbah itu sepertinya masih lekat di ingatan, setiap kali saya berkunjung ke Kediri. Sebuah kenangan sederhana yang begitu terasa mengesankan…..

Masih terbayang bagaimana simbah meladeni saya dan cucu-cucunya yang lain dengan sabar dan telaten. Menyiapkan nasi tumpang yang disajikan dalam pincuk daun pisang made-in mbah saya sendiri. Lebih khas lagi, masih ada asesori peyek kacang atau ikan teri yang digoreng sendiri, berukuran kecil-kecil dan bentuknya tidak beraturan tapi berasa gurih dan kemripik. Hingga enam tahun yang lalu ketika simbah masih sugeng (hidup), beliau masih suka mengirimi anak dan cucunya sekaleng biskuit kong guan merah berisi peyek kacang dan teri.

***

Kini, setiap kali saya ke Kediri, menu nasi tumang nyaris tidak pernah saya lewatkan. Rasanya yang khas dengan sambal tempe bosok yang sama sekali tidak terkesan sebagai makanan busuk, bahkan nendang tenan sensasi semangit-nya…..

Seperti seminggu yang lalu saya berkunjung ke Kediri. Meski bukan saat pagi hari, tapi tetap saja yang pertama saya cari adalah nasi tumpang. Salah satu warung nasi tumpang yang cukup dikenal adalah nasi tumpang Bu Wandi yang berada di bilangan jalan Panglima Polim. Warung ini adalah cabang dari warungnya yang sejak lama ada di kawasan Pasar Paing.

Porsi sepiring nasi tumpang Bu Wandi cukup banyak. Tambahan berupa beberapa lembar peyek yang berukuran setelapak tangan orang dewasa semakin melengkapi kekhasan menu ini. Jika kurang lengkap, bisa ditambah dengan gorengan tahu kuning yang diceplus dengan cabe rawit. Sedangkan sambal tumpangnya sendiri biasanya memang sudah cukup pedas.

Tidak puas dengan satu porsi, saya pun masih nambah dengan seporsi lagi sayur dan sambal tumpangnya thok, tanpa nasi. Pokoknya benar-benar puas, puas, puas….. setelah sekian lama tidak menikmati menu ini. Bahkan anak saya yang sebenarnya kurang suka makan pecel saja bisa menghabiskan seporsi nasi tumpang Bu Wandi dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Enak, katanya.

Sesekali di Jogja saya meminta ibunya anak-anak untuk membuatkan sambal tumpang. Tapi ternyata memang semangitnya tempe Jogja yang dibusukkan sendiri, berbeda dengan yang saya rasakan di Kediri.

Ke Kediri aku kan kembali, menikmati nasi tumpang yang benar-benar membuat kenyang dan nendang sensasi semangit tempe bosok-nya…..

Yogyakarta, 18 April 2008
Yusuf Iskandar

Stock Inventory Dan Peluang Bisnis Online

15 April 2008

Pengantar :

Pertemuan kedua kelompok Master Mind 4 TDA Joglo (komunitas Tangan Di Atas wilayah Jogja, Solo dan sekitarnya) diadakan kembali di rumah saya di Umbulharjo, Yogyakarta, pada tanggal 9 April 2008 yll. Pertemuan kali ini dihadiri oleh lima orang anggota (seorang berhalangan hadir), yaitu mas Memetz (praktisi bisnis ritel), mas Djoko Mukti (pemilik bisnis handycraft tas berbahan natural), mas Ichsan Santoso (pemilik bisnis ritel dan pakaian), mas Pipin (pewaralaba bengkel sepeda motor di Klaten) dan saya sendiri.

Setelah didahului dengan saling memberi update atas pencapaian dan kendala usaha yang sedang dijalani, diskusi selanjutnya difokuskan pada beberapa pokok bahasan, antara lain : masalah stock inventory dan peluang bisnis online untuk reseller.

——-

Stock Inventory Itu Perlu

Awalnya adalah keluhan saya dalam mengelola toko “Madurejo Swalayan” tentang repotnya melakukan stock inventory atau pendataan jumlah stok seluruh item barang yang ada di toko. Kelihatannya mudah saja, tinggal menghitung dan mencatat berapa jumlah setiap item barang yang ada. Tapi pelaksanaannya bisa sangat-sangat menyita waktu dan tenaga. Sementara toko harus tetap buka dan melayani konsumen. Hal ini disebabkan karena “Madurejo Swalayan” belum memiliki sistem yang baku tentang bagaimana melakukan stock inventory yang benar dan efektif. Berbeda halnya dengan toko-toko besar yang sudah memiliki sistem inventory sendiri.

Rupanya hal yang sama juga dihadapi oleh rekan-rekan lain yang tergabung dalam kelompok diskusi Master Mind TDA (Tangan Di Atas) Jogja. Sebagai sesama pemula dalam dunia bisnis, seorang teman juga mengalami kesulitan melakukan stock inventory untuk barang-barang di toko ritelnya. Seorang rekan lain judeg (kebingungan) mengelola stok suku cadang dari usaha bengkel sepeda motor terutama terkait dengan bengkel-bengkel cabangnya yang tersebar. Sedangkan bagi seorang rekan lainnya yang menerapkan kemitraan dengan pengrajin dalam usaha handycraft produk tas berbahan natural, masalah stock inventory akan lebih sederhana dan kelihatannya belum mendesak, meski tidak berarti boleh diabaikan.

Ada beberapa hal penting yang muncul dalam diskusi yang kemudian saya catat. Beberapa hal yang kiranya perlu untuk ditindaklanjuti sesuai kondisi masing-masing.

  • – Sebagai bagian dari rumusan “Retail is Detail”, stock inventory memang perlu dilakukan secara periodik yang waktunya disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Data-data stock inventory ini sangat diperlukan dalam membuat laporan neraca keuangan (financial balance sheet).
  • – Perlu dicari cara yang praktis untuk melakukan stock inventory bagi tiap-tiap jenis bisnis yang berbeda. Khusus untuk bisnis ritel memang lebih njlimet (rumit) karena menyangkut sejumlah item barang dagangan yang sangat banyak jenis dan jumlahnya.
  • – Salah satu cara yang (kelihatannya) relatif mudah diterapkan adalah dengan pengaturan rak (grondola) dan lemari untuk sekelompok jenis item barang tertentu (jika perlu setiap rak atau grondola dan lemari memiliki daftar barang masing-masing yang ada di atasnya).
  • – Menugaskan setiap pelayan toko atau pegawai untuk bertanggungjawab terhadap sekelompok item barang yang ada pada rak-rak atau lemari etalase tertentu, sehingga memudahkan dalam pengawasan dan pengontrolannya.
  • – Hal yang akan menjadi masalah adalah bagaimana agar pelaksanaan inventory dapat diselesaikan dengan cara seksama dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.
  • – Stock inventory perlu dilakukan secara periodik.

Peluang Bisnis Online Untuk Reseller

Salah satu trend bisnis saat ini adalah membuka toko di dunia maya alias online store dengan memanfaatkan fasilitas internet. Beberapa teman telah mulai mengembangkan usahanya justru melalui toko online. Nyaris bidang garapannya tak terbatas. Ada yang telah menjalankan toko pakaian (fashion) secara online dan nampaknya cukup berkembang. Juga menjual tas tangan berbahan natural, sebagai produk handycraft, juga memulainya secara online.

Sistem bisnis online ini telah diakui oleh banyak kalangan kini semakin berkembang pesat. Maka, ini adalah “dunia baru” dan sekaligus peluang yang perlu dicermati untuk jangan sampai ketinggalan jaman, terutama bagi para pelaku bisnis.

Salah satu cara memulai bisnis yang cukup mudah adalah menjadi reseller. Intinya, menjualkan produk orang lain. Dengan memanfaatkan sarana toko online yang kini dapat dilakukan dengan gratis melalui blog, tanpa perlu repot-repot mempunyai situs sendiri (meski yang terakhir itu pada saatnya akan diperlukan sebagai simbol bonafiditas), bisnis reseller ini menjadi demikian mudah dilakukan. Melalui bisnis reseller (dalam beberapa kasus) juga terbuka kemungkinan untuk dilakukan dengan tanpa modal awal (kecuali biaya sewa internet)

Salah satu keuntungan menjadi anggota suatu kelompok bisnis atau katakanlah komunitas yang anggotanya memiliki visi bisnis dan “frekuensi” yang sama, adalah adanya lalulintas informasi yang cepat dan nyaris tanpa batas. Dari hasil pertukaran informasi maka akan mudah diketahui dan dikomunikasikan siapa mempunyai bisnis apa. Kemudian dipilih yang mana yang disuka, lalu dibangunlah kerjasama dalam bentuk reseller. Mudahnya, ikut memasarkan dan menjualkan suatu produk yang dipilih dan disuka itu. Selanjutnya tinggal membuat blog gratisan untuk membuka toko.

Peluang semacam ini cukup menarik dan relatif mudah dan murah untuk digarap sebagai langkah awal memulai sebuah bisnis. Kata kuncinya hanya satu, yaitu suka ngublek-ublek dan main-main dengan internet.

Yogyakarta, 15 April 2008
Yusuf Iskandar

Sopir Taksi Itu Bernama Ibrahim

10 April 2008

Kalau memperhatikan cara bicaranya, susunan kalimat dan pilihan kata yang digunakannya, saya yakin sopir taksi yang sore itu mengantar saya ke Cengkareng, pasti bukan sopir biasa. Mengesankan sebagai seorang yang terpelajar. Hal seperti ini seringkali merangsang rasa keingintahuan saya.

Mulailah saya membuka pembicaraan sebagai penjajakan bahwa dugaan saya benar. Percakapan tentang lalulintas Jakarta yang padat dan tersendat, tentang rute yang dipilih menuju bandara dan tentang taksi berwarna biru muda yang dikemudikannya. Semuanya dijawab dan dijelaskan dengan susunan kalimat dan tutur kata yang enak dan runtut.

Rupanya pak sopir taksi itu pernah kuliah di universitas negeri ternama di Jakarta, karena tidak lulus lalu pindah ke sebuah universitas swasta dan akhirnya berhasil meraih gelar sarjana ekonomi. Karir pekerjaannya dijalani dengan mulus dan lancar. Pernah bekerja di beberapa perusahaan, sampai yang terakhir berwiraswasta menjalankan usahanya di bidang kontraktor sipil dan konstruksi. Pendeknya, dari sisi materi untuk ukuran hidup bersama keluarganya di Jakarta nyaris tidak kurang suatu apapun, bahkan lebih dari cukup.

Hingga akhirnya musibah menimpa usahanya, seorang rekanannya membawa kabur uang proyek. Jadilah dia menjadi satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab. Semua asetnya terpaksa dijual dan hidup harus dimulai dari awal lagi. Cerita yang sebenarnya klasik, tapi tetap saja membangkitkan empati.

Sejak itu hidupnya tidak menentu. Jiwanya stress berat harus menanggung beban hidup yang tak pernah terbayangkan selama lebih 20 tahun karir pekerjaannya. Sejak musibah di-kemplang rekan sendiri menimpanya, kegiatan sehari-harinya tidak karuan. Seringkali ia terbengong-bengong di masjid Istiqlal saat orang-orang lain sibuk bekerja di siang hari. Keluarganya yang tinggal di Bekasi tentu saja menjadi kalang kabut dibuatnya.

Lelakon seperti ini sempat dijalaninya selama tiga bulan, hingga akhirnya ada seorang sahabatnya menyarankan untuk bekerja menjadi sopir taksi di salah satu kelompok perusahaan taksi paling terkenal berlambang burung biru.

Hal yang kemudian menarik perhatian saya adalah bahwa kini pak sopir itu sangat menikmati pekerjaannya sebagai sopir taksi, lebih dari yang pernah dia jalani selama karir pekerjaannya. Demikian pengakuannya di balik wajah cerianya. Cara bercerita, ekspresi yang ditunjukkan, alasan-alasan yang dikemukakan dan semua latar belakang yang diceritakannya, meyakinkan saya bahwa pengakuannya jujur.

***

Lama-lama mengasyikkan juga ngobrol dengan sopir taksi itu. Hingga tak terasa waktu satu jam terlewati hingga saya tiba di Terminal B Cengkareng. Pak sopir taksi yang rupanya doyan ngobrol ini akhirnya justru yang memberi saya banyak pelajaran tentang hidup dan kehidupan. Setidak-tidaknya dari pengalamannya bagaimana ia terpuruk dari usahanya yang pernah membawanya membumbung ke angkasa dan bagaimana ia kini harus bangkit dari awal lagi.

Apa yang menarik dari pilihannya bekerja menjadi sopir taksi? Ada beberapa hal yang sempat saya ingat yang barangkali tak pernah terpikir di benak orang “normal” yang selama ini ketawa-ketiwi menaiki taksinya.

Pertama, menjadi sopir taksi burung biru ternyata membuatnya mempunyai kebebasan finansial (maksudnya bukan bebas secara finansial, melainkan bebas menentukan perfinansialannya). Meski dengan sistem kerja 2-1 (dua hari “on”, sehari “off”), tapi dia bebas menentukan mau bekerja berapa jam sehari dan berapa penghasilan perhari yang dianggapnya cukup. Semakin dia rajin dan tekun, semakin tinggi komisi dan bonus yang boleh diharapkannya. Ketekunannya dalam lima bulan ini telah membuatnya dipercaya oleh perusahaannya. Begitu pengakuannya.

Kedua, di group taksi burung biru ini dia menemukan banyak teman-teman senasib (maksudnya banyak sesama sopir yang juga bergelar sarjana dan banyak sesama sopir yang sebelumnya adalah pengusaha yang kemudian bangkrut karena menjadi korban tipu-tipu dan bukan sebab lain —  kalau tidak salah dulu juga ada mantan Direktur Bank Duta yang akhirnya memilih profesi ini). Sehingga pak sopir taksi ini merasa berada di “frekuensi” yang sama dengan banyak rekannya sesama sopir taksi.

Ketiga, pak sopir taksi yang grapyak-semanak (cepat akrab bagai saudara) dan pandai bicara ini akhirnya banyak berinteraksi dengan masyarakat yang menjadi penumpangnya, dari beragam pekerjaan, latar belakang, dan permasalahannya masing-masing. Ini yang kemudian membuatnya merasa tidak sendiri dan lebih bisa menikmati pekerjaannya sebagai sopir taksi. Belum lagi seringkali ada juga penumpang yang memberi wejangan-wejangan keagamaan tentang kehidupan. Hal yang selama ini tidak pernah didengarnya.

Keempat, dan ini yang paling membuatnya merasa bersyukur, ikhlas dan lebih arif menyikapi lelakon hidupnya, yaitu bahwa rejeki itu memang sudah ada yang mendistribusikannya dari langit bagi setiap mahluk, dan ada hak orang lain yang menempel dalam rejeki itu. Selama ini dia merasa banyak berbuat salah dalam cara memperoleh kupon antrian pembagian rejeki dan cara mengelola rejeki yang diperolehnya.

Pak sopir taksi yang lancar mengutip ayat-ayat Qur’an ini merasa sangat beruntung. Ya, beruntung karena dia merasa memperoleh hidayah (petunjuk) untuk menyadari kesalahannya selama ini, dibandingkan dengan banyak orang lain yang kekeuh tidak mau menyadari kekeliruannya dalam menjalani sisa kehidupan.

Dari tanda pengenal di taksinya, akhirnya saya tahu bahwa pak sopir taksi yang arif itu bernama Ibrahim. Pak Ibrahim ini rupanya berasal dari Solo (Solowesi maksudnya…., tepatnya Makassar) dan sudah menikmai manis, asam, asin, pahit dan getirnya Jakarta sejak 27 tahun yang lalu saat lulus dari SMA di Makassar.

“Terima kasih pak Ibrahim, Sampeyan telah bersedia berbagi sehingga saya juga bisa ikut belajar dari pengalaman hidup yang Sampeyan jalani…”.

Yogyakarta, 10 April 2008
Yusuf Iskandar

Bebeknya Bu Suwarni Prambanan, Enak Dibacem Dan Perlu

6 April 2008

Bu SuwarniSekali waktu berkunjunglah ke Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Sekitar satu kilometer sebelum mencapai Prambanan dari arah Solo atau kalau dari arah Jogja sekitar satu kilometer setelah candi Prambanan, membelok ke selatan menuju ke stasiun Prambanan. Di jalan depan stasiun ke arah barat, sebelum belok melintas persimpangan rel kereta api, di pojok kanan ada sebuah warung makan yang cukup terkenal. Namanya Rumah Makan Bu Suwarni.

Menu utama warungnya Bu Suwarni ini adalah menu bebek-bebekan, terutama bebek goreng dan soto bebek. Bagi penggemar rasa khas daging bebek, warung ini layak dipertimbangakan untuk menjadi pilihan. Bebek gorengnya yang dibumbu bacem, terasa benar bacemannya. Baceman khas Jogja dengan rasa manis yang agak kuat. Bumbu bacemnya merasuk hingga menyentuh bagian paling dalam dari daging bebek yang tekstur seratnya lebih kentara dibanding daging ayam.

Kalau kurang suka dengan bebek goreng bumbu bacem khas Jogja, masih ada pilihan soto bebek. Soto bebeknya Bu Suwarni memang beda. Kalau umumnya daging bebek digoreng, dibakar, atau dipanggang, maka soto bebeknya miraos tenan…. Dari sruputan kuahnya sudah terasa kaldu daging bebeknya. Sotonya sendiri tidak jauh beda dengan ramuan soto ayam. Ada campuran tauge kecil (untuk membedakan dengan umumnya tauge yang ukurannya besar), irisan kol dan loncang (daun bawang), ditambah irisan ampela bebek, lalu diguyur kuah soto berkaldu bebek. Khas sekali rasanya.

Warung makan Bu Suwarni ini memang tipikal bisnis keluarga. Sejak berdiri lebih 25 tahun yang lalu, manajemen warung ini tidak jauh-jauh dari sentuhan keluarga besarnya. Bahkan semua pelayannya adalah juga masih ada hubungan kekeluargaan. Hingga kini warung bebek-bebekan ini sepertinya tak goyah oleh aneka badai ekonomi. Tetap beroperasi dan bahkan semakin berkibar.

Dulu-dulunya, warung Bu Suwarni hanya menempati petak kecil di pinggiran jalan raya Prambanan. Sejak tahun 1987, bu Suwarni yang berasal dari dukuh Pereng, Prambanan, pindah ke dalam. Ya, di jalan stasiun barat itu hingga sekarang. Tahun 2006 sewaktu terjadi gempa Yogya, dimana sebagian Prambanan termasuk wilayah yang cukup parah terkena gempa, Rumah Makan Bu Suwarni pun roboh. Kini bangunan warungnya nampak jauh lebih representatif, seiring dengan perkembangan usahanya.

Melihat keberhasilan warungnya bu Suwarni berbisnis menu bebek pada saat ini hingga rata-rata menghabiskan 50 ekor bebek per harinya, terbayang bagaimana gigihnya sosok bu Suwarni muda ketika memulai membuka warung makan bebek goreng. Tentu dengan kondisi yang sangat sederhana pada masa itu. Kalau kini usia bu Suwarni sekitar 47 tahunan, berarti bu Suwarni masih berusia sekitar 21 tahun ketika memulai bisnis ini pada tahun 1982.

Kita sering “terjebak” hanya melihat ujung dari perjalanan hidup seseorang ketika kesuksesan sudah diraih. Tapi kita sering alpa melihat dan mempelajari bagaimana jatuh-bangunnya sesorang dalam merintis, mengembangkan, mempertahankan dan akhirnya menjaga prestasi usahanya. Bu Suwarni layak menjadi sebuah cermin bagi semangat enterpreneurship di jaman kini. Istilah kewirausahaan yang pada masa itu belum dikenal orang, kecuali sekedar bagaimana bertahan hidup dengan cara yang halal dan barokah. Tipikal cara berpikir orang-orang desa yang lugu dan tidak neko-neko. Kalau akhirnya semangat bertahan hidup itu mampu memberikan hasil yang lebih dari cukup, maka itu adalah berkah dari kerja kerasnya selama meniti masa-masa sulit sekian tahun yang lalu.

***

Sebelum meninggalkan warungnya bu Suwarni, saya sempatkan untuk melongok dapurnya dan memesan seekor bebek utuh tanpa kepala untuk di bawa pulang. Saya baru tahu kalau beli bebek utuh rupanya tidak termasuk kepalanya seperti halnya kalau beli seekor ayam utuh. Tapi, apalah artinya sepenggal kepala bebek (sedang kepala-kepala yang lain saja kita sering tidak perduli) jika dibandingkan dengan kepuasan menyantap sepotong bebek goreng dan semangkuk soto bebek yang rasanya khas dan miraos (enak) dengan ganti harga yang wajar.

Bebeknya bu Suwarni, memang enak dibacem dan perlu (perlu dicoba maksudnya).

Yogyakarta, 6 April 2008
Yusuf Iskandar

Jumatan Di Tengah Jalan Kehujanan

5 April 2008

Wong ndeso seperti saya ini rada keder juga ternyata menghadapi kepadatan lalu lintas Jakarta. Seperti pengalaman mau menyeberang jalan Mampang Prapatan Raya di teriknya siang Jumat kemarin, susahnya minta ampun. Lalulintas seperti tidak ada selanya. Akhirnya cari barengan. Kalau berjamaah rupanya menjadi lebih diperhatikan orang, termasuk berjamaah untuk menyeberang jalan. Setidak-tidaknya pengendara kendaraan lain menjadi tidak nekat. Tujuan saya memang mau sholat jumatan berjamaah di seberang jalan.

Masjid yang letaknya tepat di pinggir jalan itu rupanya penuh. Setengah jamaah sudah berada di dalam bangunan masjid, setengah lainnya menyebar di trotoar dan di jalan. Padahal, sebagian teras masjidnya sudah dibangun dengan “memakan” trotoar jalan. Maka sebagian Jl. Mampang Prapatan pun digelari tikar dan karpet untuk menampung peserta jumatan yang membludak. Bukan hanya sebagian, setengah lebar jalan malah. Akibatnya lalulintas jadi tersendat karena ada penyempitan jalan.

Hal yang tampaknya sudah lumrah di Jakarta. Saya memang baru pertama kali mengalami yang seperti ini. Selama ini kalau kebetulan jumatan di Jakarta, biasanya di dalam gedung atau kompleks perkantoran, atau di masjid yang lokasinya tidak persis di jalan besar.

Sambil duduk sila di atas gelaran karpet di tengah jalan, saya membayangkan bagaimana kalau jumatan pas hujan deras dan air di jalan mengalir deras pula. Kemana mau pindah?

Ee… lha kok tenan. Belum selesai khotbah, sholat belum dimulai, gerimis tiba-tiba turun. Semakin deras dan titik airnya semakin besar-besar. Jamaah nampak mulai gelisah, sebagian sudah pada berdiri dan bubar menyelamatkan diri mencari tempat aman dari hujan. Ya susah juga, wong di dalam masjidnya sudah penuh.

Untungnya sewaktu sholat dimulai, gerimis hanya berupa titik air kecil-kecil saja, belum berubah menjadi hujan. Untungnya lagi sang khatib yang menyampaikan pesan-pesan khotbah agak pengertian, sehingga khotbahnya tidak berpanjang-panjang. Demikian halnya sang imam pemimpin sholat juga “tahu diri” kalau setengah jamaahnya yang di belakang sedang gelisah bakal kehujanan. Irama gerak sholat pun agak digas lebih cepat dan dengan memilih bacaan surat Qur’an yang tidak terlalu panjang.

Tepat ketika sholat selesai, hujan turun, mak bress….., semakin lebat. Untung sholat sudah selesai. Serta-merta jamaah lari sipat kuping bubar jalan berhamburan bagai anak ayam tidak memperdulikan induknya. Lalulintas terhenti beberapa saat, memberi kesempatan kepada orang-orang yang hendak menyeberang jalan menyelamatkan diri dari hujan. Tak terelakkan kalau kemudian pakaian jadi basah.

***

Agaknya jumatan di tengah jalan sudah menjadi hal biasa di kota besar seperti Jakarta, yang kebetulan letak masjidnya tepat di pinggir jalan besar. Sehingga seminggu sekali jalan raya yang padat lalulintasnya terpaksa dikorbankan, menjadi “three-in-one” (maksudnya berubah dari 3 lajur menjadi tinggal 1 lajur jalan). Apa hendak dikata kalau kemudian jalan yang sudah padat itu menjadi agak macet dan tersendat lalulintasnya. Peristiwa mingguan yang tak terbayangkan sebelumnya oleh orang desa seperti saya yang biasanya jumatan di kampung dalam suasana santai dan tidak kemrungsung.

Kedua belah pihak nampaknya harus saling maklum. Pihak yang jumatan ya mesti hati-hati sholat di pinggir bahkan di tengah jalan. Pihak pengguna jalan juga mesti agak mengalah akibat penyempitan jalan.

Apa ada solusinya yang praktis dan mudah? Rasanya tidak ada. Sebab di satu pihak, sampai kapanpun masjid dan jamaahnya ya tetap ada di situ, bahkan peserta jumatan cenderung semakin banyak seiring semakin padatnya penduduk kota. Di pihak lain, lalulintas ya akan tetap padat seperti itu dan juga kecenderungannya semakin padat.

Peristiwa jumatan di tengah jalan dan sesekali kehujanan, mau diapa-apakan ya tetap terjadi seperti itu. Sampai kapanpun, kecuali kalau kotanya pindah. Maka satu-satunya solusi adalah menghidupkan dan membumikan semangat dan budaya tenggang rasa yang akhir-akhir ini terasa semakin pudar.

Tenggang rasa, kata yang enak diucapkan, manis dijadikan bahan pidato, indah dituliskan, tapi ngudubilah tidak mudah untuk diamalkan. Boro-boro menenggang rasa, menenggang kebutuhan hidup saja seperti diuber setan…. Kalau sudah demikian, tinggal kita ini memilih mau berada di sisi sebelah “mananya” tenggang rasa. It’s your call……

Yogyakarta, 5 April 2008
Yusuf Iskandar

Kapucino Dan Ayam Goreng

4 April 2008

Tiba di bandara Cengkareng masih terlalu pagi. Mau langsung nyingklak taksi ke Kuningan, jangan-jangan perkantoran di sana belum mulai buka dasar. Mendingan menikmati secangkir kopi dulu.

Tempat paling dekat dan mudah dicapai adalah warung KFC Jagonya Ayam. Tapi apapun ayamnya, minumnya tetap kopi. Memang ngopi tujuannya. Ketika sudah berdiri di depan counter, entah kenapa yang saya pesan bukan kopi seperti biasanya, melainkan kapucino, saudaranya kopi. Sekali waktu kepingin juga mencoba menu yang berbeda, begitu yang ada dalam pikiran saya.

Pelayan KFC dengan sigap segera meracik kapucino dan lalu menyodorkan secangkir styrofoam putih ukuran kecil, seharga total Rp 7.400,- termasuk Pajak Pembangunan 10%. Saya taksir isi cairan kapucinonya tidak lebih dari 100 ml.

Sruputan pertama begitu menggoda, selebihnya terserah peminumnya. Namun saya rada kecewa, sruputan pertama ternyata tidak meninggalkan taste yang pas. Agak semu-semu pahit, mungkin coklatnya kebanyakan. Pokoknya, saya kurang puas dengan rasa kapucino yang saya harapkan. Bisa jadi, selera perkapucinoan saya yang beda. Tapi yang jelas rasanya tidak seperti biasanya kapucino yang saya minum.

Sambil menikmati kapucino yang tidak nikmat, sambil menghisap Marlboro, sambil menulis SMS, saya lalu merenung-renung. Apa iya saya pantas kecewa gara-gara kapucino yang kurang pas rasanya?

Akhirnya saya hanya bisa tersenyum sendiri (di dalam hati tentunya, wong kedai KFC sudah mulai ramai). Mestinya saya yang salah. Sudah jelas-jelas ini warung jualan ayam goreng kok berharap mendapat kapucino enak. Kalau mau kapucino atau kopi yang enak, ya mestinya ke Starbucks, bukannya KFC. Jadi kalaupun disediakan minuman kopi atau kapucino, maka itu hanyalah pelengkap penderita (bagi pembeli yang kecewa seperti saya, maksudnya).

Tiba saatnya saya menuju ke pangkalan taksi. Sambil dalam hati saya membuat kesimpulan : Kalau mau minum kopi enak, ya jangan mencari warung ayam goreng. Kalau mau makan ayam goreng yang enak, ya jangan mencari warung kopi. Mudah saja.

Namun kalau kemudian ketemu kedua-duanya enak, maka itulah diferensiasi bagi warung itu. Pembeda yang menjadi nilai tambah bagi warung itu dalam merebut pasar. Dan seringkali faktor pembeda ini menjadi awal dari kemenangan persaingan usaha.

Ngopi dulu, ah……

Jakarta, 4 April 2008
Yusuf Iskandar

Dinaikkan Kelas Oleh Garuda

3 April 2008

Seperti biasa ketika panggilan boarding dikumandangkan, para penumpang termasuk saya segera berbaris antri menuju pintu 2 bandara Adi Sutjipto, Jogja. Tiba giliran kartu boarding saya diperiksa, saya dipersilakan untuk menyisih dulu. “Wah, ada masalah apa ini?”, begitu pikir saya spontan, karena tidak biasanya hal seperti ini terjadi.

Rupanya saya diberitahu bahwa kartu boarding saya diganti, yang tadinya berwarna hijau bertuliskan “Economy Class” ditukar dengan yang berwarna ungu bertuliskan “Executive Class”. Tanpa basa-basi kalimat pengantar, kecuali sekadar : “Boarding passnya diganti ya, pak”. Begitu saja kata si embak petugas Garuda..

Jelas saya “tidak puas” (maksudnya, kok tidak ada penjelasannya…). Ketika saya tanya kenapa? Jawabnya singkat : “Di-upgrade”. Lha ya sudah tahu kalau di-upgrade.

Biar tidak kelamaan, akhirnya ya saya komentari sendiri saja sekenanya : “Up grade otomatis ya, mbak”.

“Iya”, jawab pendek si embak (rupanya bukan hanya senjata, pintu dan kunci yang bisa otomatis, upgrade juga bisa…).

Ya sudah. Tiba-tiba saja ayunan langkah saya menuju pesawat yang parkirnya agak jauh terasa lebih ringan, cara berjalan saya pun menjadi agak gaya, dan pandangan ke sekeliling pelataran parkir pesawat pagi itu terasa lebih jernih. Itu karena tadi pagi saat matahari belum mecungul, sebelum jam enam pagi, saya sudah mendapat rejeki dinaikkan kelas oleh Garuda.

Sebenarnya memang bukan peristiwa yang luar biasa. Hanya karena sudah lama saya tidak menerima jenis rejeki seperti ini maka menjadi begitu istimewa. Saking istimewanya hingga saya berpikir, bagaimana caranya agar rejeki semacam ini bisa berulang kembali.

***

Sebagai penumpang pesawat kelas eksekutif, tentu saja berhak menerima fasilitas, perlakuan dan pelayanan berbeda dibanding penumpang kelas ekonomi. Tempat duduk lebih longgar dan lebar, sajian pembukanya bukan permen melainkan jus, diberi pinjaman handuk kecil hangat, bekal untuk sarapan plus penyajiannya juga beda, bolak-balik ditanya dan ditawari apa mau ditambah minumnya (tapi makanannya tidak).

Bukan itu yang menjadi pemikiran saya (diperlakukan enak saja masih dipikir, apalagi kalau tidak enak…), melainkan kenapa tiket saya bisa di-upgrade?

Saya memang anggota Frequent Flyer Garuda, tapi kalau karena itu mestinya banyak juga penumpang lain yang juga jadi member Frequent Flyer. Sementara ketika saya coba mengamati tempat duduk kelas eksekutif, di sana masih ada 6 kursi kosong dari 16 kursi kelas eksekutif yang tersedia. Jangan-jangan diundi? Rasanya tidak mungkin juga. Kurang kerjaan amat…!

Mestinya bagian pertiketan atau pelaporan penumpang yang tahu jawabannya. Tapi kok jadi saya yang kurang kerjaan kalau mau menanyakan kepada mereka.

Yang ada di pikiran saya sebenarnya adalah kalau saya tahu apa alasannya, maka saya akan tahu apa persyaratannya (conditions). Kalau tahu persyaratannya, maka lain waktu saya akan berusaha memenuhi persyaratan itu. Untuk apa lagi kalau bukan agar dinaikkan kelas lagi oleh Garuda.

Bagaimana menjadikan peristiwa tadi pagi sebagai lesson learn. Jika ada kemenangan kecil (small winning) bisa kita raih untuk mendatangkan keuntungan, maka hanya dengan mengetahui dan memahami kondisinya maka kemenangan-kemenangan kecil berikutnya akan dapat kita kumpulkan sehingga menjadi keuntungan besar.

He…he…he…,  terima kasih Garuda. Sampeyan tidak salah memilih penumpang untuk diberi rejeki…. (atau dikasihani?).

Jakarta, 2 April 2008
Yusuf Iskandar

Ketika Wilders Menanam Ketakutan, “Fitna” Buahnya (Bag. 2)

1 April 2008

Fitna_2

Pengantar :

Tulisan ini adalah penjelasan tambahan setelah saya menerima beberapa pertanyaan terkait tulisan saya sebelumnya tentang “Fitna”. Sebelumnya mohon maaf apabila dalam tulisan ini ada sedikit bahasan tentang ayat Qur’an, semata-mata untuk memperjelas pokok pikirannya.

——-

Sejak awal, ide liar Geert Wilders nampaknya memang berangkat dari prasangka buruk (su’udz-dzon). Judul filmnya sendiri mencerminkan niatnya untuk menebar fitnah. Dan, fitnah itu disasarkan kepada segenap lapisan orang Islam di dunia dengan cara menggeneralisir bahwa seperti itulah “ancaman” yang bakal datang dari orang-orang Islam.

Seandainya fitnahnya “Fitna” itu ditujukan hanya kepada representasi golongannya orang-orang semacam Osama bin Laden, maka itu hanyalah nila setitik. Orang Islam pada umumnya barangkali ora urus (tidak perduli). Tapi ketika fitnah itu ditujukan kepada segenap lapisan kaum muslim di dunia, itulah persoalannya. Sudah barang tentu sama artinya dengan mengublek-ublek susu sebelanga.

Kalau ada orang difitnah, maka sangat wajar kalau kemudian orang itu marah. Apalagi kalau fitnah itu menyangkut perkara keyakinan, maka tingkat keberangannya bisa berlapis-lapis. Mulai lapisan terbawah yang hanya cengengesan sampai yang teratas bertindak anarkis. Reaksi dari setiap lapisan korban fitnah itulah yang memang diharapkan oleh si penebar.

Dalam Islam, sesungguhnya kedudukan orang yang terfitnah (teraniaya) adalah sangat dekat ke haribaan Illahi-Robbi. Sedemikian dekatnya sehingga kalaupun orang yang teraniaya itu mau berdoa apa saja agar dibalaskan yang setimpal kepada si pemfitnah, Tuhan akan mengabulkannya.

Jangan pernah mengira bahwa penafsiran ayat-ayat Qur’an seperti yang dipahami dan “diamalkan” oleh segolongan orang sekelas dan sejenis Osama bin Laden adalah sama dengan penafsiran dan pengamalan oleh segolongan kaum muslim yang lain (yang jumlahnya jauh lebih banyak). Penafsiran ayat-ayat Qur’an memang tidak mudah, setidak-tidaknya diperlukan ilmu tafsir untuk memahaminya.

Sekadar ilustrasi : bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab yang bernilai sastra sangat tinggi. Oleh karena itu, tidak setiap orang yang sehari-hari berbahasa Arab serta-merta bisa dengan mudah memahamnya. Bahkan lulus dari jurusan Sastra Arab dengan magna cum laude pun tidak ada hubungannya dengan kepandaiannya menafsirkan ayat Qur’an. Dalam studi theologi Islam ada cabang ilmu Tafsir Al-Qur’an.

Barangkali analogi yang lebih mudah adalah tentang buku-buku sastra Jawa, dimana tidak serta-merta orang-orang Jawa yang sehari-hari berbahasa Jawa akan bisa memahaminya dengan mudah. Lebih banyak yang malah tidak paham maksudnya sama sekali.

Ketidakmudahan penafsiran ayat-ayat Qur’an itu nampaknya oleh sebagian orang Islam (baca : tokoh Islam) ditangkap sebagai “peluang bisnis” untuk “dijual” kepada sebagian orang Islam yang lain. Dengan perkataan lain, penafsirannya menjadi rentan terhadap “kepentingan”. Tidak terkecuali kepentingan politik, bisnis, ekonomi, dan sebagainya.

Contoh paling mudah adalah, coba lihat hiruk-pikuk setiap kali menjelang Pemilu di jaman Orba dulu. Para juru kampanye dengan entengnya mengutip ayat-ayat Qur’an kemudian berteriak lantang bahwa tanda gambar itu haram dan tanda gambar ini masuk sorga. Akibatnya, para pengikut fanatiknya akan menelan begitu saja apa kata sang tokoh.

***

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, ketika orang sekaliber dan sekharismatik Osama bin Laden sambil mata melotot dan mengangkat pedang, mengutip ayat Qur’an surat Muhammad (QS. 47:4) : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Therefore, when ye meet the unbelievers, smite at their necks and when ye have caused a bloodbath among them bind a bond firmly on them).

Tidak diikuti dengan penjelasan siapa orang kafir yang dimaksud dalam ayat itu dan dalam situasi seperti apa perintah itu diturunkan. Sepemahaman saya, intinya ayat itu menjelaskan bahwa perintah itu turun ketika kaum muslimin berhadapan dengan orang-orang kafir yang memusuhi orang-orang Islam di medan perang.  

Contoh lain adalah kutipan surat Al-Anfaal (QS. 8:60) :  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Prepare for them whatever force and cavalry ye are able of gathering, to strike terror, to strike terror into the hearts of the enemies, of Allah and your enemies).

Beberapa tafsir menjelaskan yang intinya adalah bahwa umat Islam diperintahkan untuk mempersiapkan diri dan perlengkapan perangnya dengan semaksimal mungkin, guna unjuk kekuatan untuk menakut-nakuti dan menjatuhkan moral musuh sebelum maju ke medan perang.

Hal-hal di atas itulah, sebagian contoh yang kemudian oleh orang-orang sejenis Geert Wilders yang memang sudah tertanam semangat untuk memfitnah, lalu dijadikan “peluang bisnis” sebagai senjata untuk menebar “Fitna”. Sialnya, Geert Wilders juga menelan begitu saja penggalan-penggalan kejadian semacam itu (dan banyak lagi lainnya dalam film “Fitna”), lalu sambung-menyambung menjadi satu, itulah film “Fitna”…

Kalau saja Wilders mau meluangkan waktu untuk mengkaji terlebih dahulu dengan merujuk kepada orang-orang yang memang kompetan dan mumpuni di bidang ilmu tafsir Qur’an, pasti kejadianya akan berbeda. Tapi ya itu tadi, karena dari awal niat ingsung Wilders memang hendak menebar “Fitna”.

Osama dan teman-teman sepemahamannya yang hanya nila setitik itu mempunyai “kepentingan”. Wilders pun menangkap peluang itu karena juga punya “kepentingan”. Maka jangan salahkan orang-orang Islam lainnya yang sebelanga juga membela diri demi “kepentingan” yang lain. Allah pun punya “kepentingan”, antara lain hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.

Hanya saja bagi orang-orang Islam lainnya itu kini punya pilihan. Dan, Allah sungguh memberi pilihan-pilhan yang sebenarnya sangat indah, tapi jelas bukan dengan membalas secara anarkis dengan menghalalkan segala cara, sebab yang terakhir ini pun rentan untuk ditunggangi dengan aneka “kepentingan”.

(Saya berlindung kepada Allah apabila paparan dan kutipan tafsir yang saya tulis di atas terdapat ketidakbenaran atau ketidak-akuratan. Mudah-mudahan ada ikhwan lain yang membantu meluruskannya. ).

Yogyakarta, 1 April 2008
Yusuf Iskandar