Archive for the ‘(10) Belum Untung Kok Sudah Mbayar Ini-Itu’ Category

(10) Belum Untung Kok Sudah Mbayar Ini-Itu

13 Desember 2007

Tahun pertama atau lebih spesifik lagi dalam bulan-bulan awal sejak toko mulai beroperasi, bisa menjadi hari-hari panjang penuh kekhawatiran dan ketidaksabaran. Khawatir kalau-kalau usaha toko tidak jalan, tidak didatangi calon pelanggan, tidak ada pemasukan yang diharapkan. Tidak sabar ketika usahanya tersendat-sendat, tak kunjung ramai pembeli, bertanya-tanya dalam hati kapan keuntungan mulai datang. Pendeknya, menjadi hari-hari penuh keprihatinan.Sementara hasil usaha toko belum banyak memberikan keuntungan, tetapi biaya-biaya rutin bulanan tetap harus dikeluarkan.

 

Biaya awal untuk menutup operasional toko itulah yang saya maksud dengan modal kerja operasional yang harus saya sediakan dulu, sampai pada gilirannya nanti keuntungan toko mampu mengambilalih menutupnya. Jangan sampai terjadi, baru membuka toko sudah uring-uringan, nggrundel, wong belum ada untung kok sudah mbayar ini-itu. Jadi, harus benar-benar dipahami bahwa ada atau tidak ada keuntungan, maka biaya modal kerja operasional tetap harus dikeluarkan. Agar tidak terus terus-terusan mengeluarkan biaya awal ini, maka satu-satunya cara hanyalah berusaha agar tokonya segera menggapai keuntungan.

 

Biar tidak terlampau kaget, maka pada saat menyusun business plan hendaknya semua biaya operasi sudah diidentifikasi. Biaya-biaya apa sajakah gerangan yang perlu dibayar setiap bulan? Konkritnya, konsentrasikan saja pada biaya-biaya yang nyata. Menilik pada saat awal berdirinya “Madurejo Swalayan” hanyalah toko kecil yang belum terlampau memerlukan analisa keuangan yang rumit bin njlimet, maka saya menyederhanakan biaya overhead dan mengabaikan depresiasi serta nilai sisa (salvage value), dan cukup semuanya saya bungkus ke dalam kelompok biaya lain-lain saja. Gampang-gampangan wae……, tapi tidak berarti menggampangkan. Kalau kepingin yang rumit, di toko ada bukunya, bisa dipelajari sendiri……..

 

***  

Pertama : Biaya upah. Biaya dalam kelompok ini mencakup upah bulanan tenaga kerja untuk enam orang pelayan toko (pramuniaga) termasuk kasirnya, seorang Pengawas (Supervisor) dan Manager (terpaksa KKN dengan mengangkat istri sendiri sebagai Manager merangkap CFO). Untuk tahap awal ini, CEO (merangkap konsultan, sopir, terkadang juga janitor) harus rela “kerja bakti”. Tidak dibayar dulu, juga tidak dijanjikan nge-rapel upah. Kebijaksanaan ini disepakati agar tidak terlalu “memberatkan” beban cashflow toko yang baru muntup-muntup memulai usaha. Nanti ndak kehilangan gairah…… Kalau kelak usaha semakin maju, (Insya Allah) CEO dipertimbangkan untuk diberi upah, seikhlasnya. Pokoknya diniati amal saleh sajalah. 

Kedua : Biaya operasional. Dalam kelompok ini tercakup semua biaya rutin yang harus dikeluarkan guna menunjang operasi toko. Antara lain : membayar tagihan tilpun dan listrik (jantung berdegup-degup ketika mendengar tarif dasar listrik dan tilpun bakal naik). Kemudian ada biaya bensin (entah jenis BBM-nya apa, pokoknya sebut saja bengsin…..), yaitu biaya untuk membeli BBM-nya gen-set dan transportasi dari rumah ke toko pergi-pulang. Inilah salah satu kerugiannya kalau lokasi toko jauh dari rumah, ongkos transport jadi tinggi. Sedangkan kendaraan kijang 2000 cc yang digunakan Manager dan CEO-nya selama ini lumayan boros (kayaknya mesti ditukar dengan yang lebih irit, deh…….!). Sesekali kalau cuaca cerah naik honda bebek juga oke (cap apapun sepeda motornya, pokoknya sebut saja honda…..).   

Dalam kelompok ini masih ada biaya minum untuk semua pegawai, paling tidak harus selalu tersedia air akua (cap apapun air mineralnya dan darimanapun sumbernya asal bukan dari akuarium, pokoknya sebut saja akua…..). Di tempat lain, barangkali kelompok biaya ini masih perlu ditambah dengan biaya sampah, keamanan, preman, iuran RT dan aneka-ria iuran maupun pungutan lainnya. Untungnya “Madurejo Swalayan” masih berada di pinggir kota dan agak ndeso, sehingga masalah sampah masih relatif mudah diatasi. Demikian pula biaya keamanan masih bisa dicakup melalui forum siskamling dengan sistim jimpitan setiap malam (botol plastik bekas yang dipotong setengah lalu di-canthel-kan di pagar dan setiap malam diisi uang seikhlasnya, tidak lagi beras).

 

Ketiga : Biaya promosi. Biaya ini saya kaitkan dengan biaya sumbangan sosial. Bukan berarti kalau kita nyumbang lalu dibebani promosi, melainkan kalau kita berpromosi bisa melalui pemberian sumbangan. Ada bedanya, lho…..! Kalaupun tidak dikait-kaitkan juga tidak jadi masalah. Anggaran biaya untuk promosi saya asumsikan sekitar 0,5% dari total pemasukan kotor atau omset penjualan. Mempertimbangkan bahwa “Madurejo Swalayan” masih tergolong kelas teri dalam bisnis peritelan, maka 0,5% adalah angka yang cukup moderat untuk usaha yang masih muntup-muntup ini. Seiring perkembangan usaha angka ini dapat ditingkatkan. Pada tahap permulaan, jumlah yang lebih besar dapat dialokasikan tersendiri sebagai modal awal promosi untuk grand-opening.. Melakukan studi kelayakan kecil-kecilan dan sederhana untuk program pengiklanan juga akan membantu sampai setinggi apa persentase biaya promosi perlu dipatok atau dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu.

 

Keempat : Biaya kehilangan. Kelompok biaya ini adalah biaya yang perlu diperhitungkan untuk menutup perkiraan penyusutan atau kehilangan barang. Kehilangan barang dagangan antara lain dapat disebabkan oleh karena dicuri pengutil baik eksternal maupun internal, rusak dan tidak dapat ditukar (terkait dengan pemasok), ketlingsut (terselip entah secara fisik atau administratif), atau ….. diambil anak saya tapi pelayan toko tidak melaporkannya. Intinya, kehilangan barang harus tetap diantisipasi dan dianggarkan biaya penutupannya. Saya menggunakan asumsi angka rata-rata 1% dari total perkiraan hasil penjualan. Saya cukup comfortable dan optimis mampu mengendalikan angka ini. Untuk toko-toko yang kelasnya lebih besar, angka ini bisa mencapai rata-rata 2% sampai 4%.

 

Idealnya memang perlu dilakukan inventarisasi stok (stock take atau stock opname) secara periodik. Namun hal ini sangat jarang dilakukan oleh toko-toko kecil dan cenderung diabaikan saja. Pekerjaan ini memang cukup merepotkan karena pasti akan memakan waktu, tenaga dan tentunya ongkos. Hingga memasuki bulan keempat ini “Madurejo Swalayan” belum pernah melakukannya. Meskipun demikian, perlu dipikirkan dan dicarikan cara untuk melakukan inventarisasi stok dengan metode sampling. Tidak riil tapi mudah-mudahan representatif. 

 

Kelima : Biaya lain-lain. Ini adalah biaya yang dicadangkan untuk mengatasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak direncanakan sebelumnya. Lazim disebut sebagai biaya tak terduga, atau sebenarnya sudah diduga tapi tidak tahu besarannya. Untuk tahap awal ini saya mengalokasikan angka 5% dari total biaya operasional, sampai nanti saya memperoleh angka yang lebih representatif. .

 

***

 

Gabungan dari kelima komponen biaya itu akan menghasilkan total biaya operasi dalam hitung-hitungan laporan rugi-laba (income statement). Pada bulan-bulan awal di tahun pertama dimana keuntungan usaha belum memungkinkan, maka biaya-biaya tersebut harus dimasukkan sebagai modal kerja. Sampai kapan? Tidak bisa dijawab pasti. “Madurejo Swalayan” (Alhamdulillah) memasuki operasi bulan kedua sudah tidak memerlukan modal kerja operasional lagi karena keuntungan toko sudah mampu menutup biaya operasinya, meskipun total keuntungannya sendiri belum ada apa-apanya. Sedang di toko lain di lokasi lain barangkali perlu waktu satu tahun untuk melepasnya. Tidak ada yang salah dan benar, sepanjang memang sudah diperhitungkan dalam business plan yang disusun sebelumnya.

Seiring dengan berjalannya usaha, tahun demi tahun, tentunya angka-angka dalam biaya operasi akan meningkat. Bisa karena kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan tarif tilpun dan listrik, penyesuaian harga BBM, dsb., termasuk juga dampak tidak langsung dari inflasi dan ekskalasi. Karena itu kenaikan-kenaikan itu juga mesti tercermin dalam business plan. “Madurejo Swalayan” menggunakan angka kenaikan rata-rata 10% per tahun. 

Meskipun hitung-hitungan soal biaya operasi itu sepertinya merepotkan, namun intinya sebenarnya hanya satu hal saja. Yaitu : jangan nggrundel (mengeluh) kalau usaha belum untung kok sudah harus mbayar ini-itu…… Grundelan seperti ini hanya cenderung akan menggiring kita untuk melakukan cara tambal-sulam (dapat uang sedikit bayar yang ini dulu, ada pemasukan lagi bayar yang itu, mendadak harus bayar ini diambilkan dari situ, harus mbayar lagi ambilkan dulu dari sana, dst., hingga pada setiap akhir bulan sang CFO klepek-klepek……., muncul bintang-bintang berputar di atas kepalanya…….).

Madurejo, Sleman – 2 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar