Posts Tagged ‘bantuan’

Ada Gempa Di Kotaku (5)

18 Desember 2007

Hingga tengah hari, Sabtu siang, terjadi paling tidak tiga kali gempa susulan yang terasa cukup kuat, dan banyak kali gempa susulan berkekuatan kecil. Setiap terjadi gempa susulan selalu disertai bunyi bergemuruh ke segenap penjuru. Memang tidak lagi semenakutkan gempa utama tetapi cukup membuat deg-degan setiap orang. Hingga sore hari, belum banyak orang yang cukup punya nyali untuk berada di dalam rumah. Semua orang berhimpun di luar rumah, paling tidak di dekat-dekat teras. Ada yang pasang tenda, atau pasang atap seadanya, atau sekedar selembar tikar di tempat teduh. Dengan harapan kalau terjadi gempa susulan dapat dengan mudah meloncat menjauh dari rumah. Gambaran seperti itulah yang sempat saya amati, ketika siang hari keluar naik sepeda motor membeli buah sambil berkeliling melihat situasi kota.

Satu-satunya hiburan adalah radio, dan satu-satunya studio radio yang banyak disetel orang adalah siaran radio Sonora yang sejak terjadi gempa selalu memancarkan laporan via tilpun para pendengar dari segenap penjuru kota. Belakangan saya baru menemukan radio Pro3 FM-nya RRI. Sementara studio radio lainnya masih pada klepek-klepek, ditinggal kabur penyiarnya. Dari radiolah warga masyarakat Jogja semakin tahu apa yang terjadi di wilayah lain, tingkat kerusakan dimana-mana dan semakin banyaknya korban ditemukan berjatuhan. Termasuk permintaan bantuan dan ambulan.

Agaknya masyarakat Jogja pada saat itu perlu berterima kasih kepada studio radio Sonora. Di saat semua studio radio mati, di saat orang butuh informasi dan tidak ada yang dapat ditanya, radio Sonora terus-menerus mengudara 24 jam dengan memancarkan suara-suara  penilpun dari mana-mana. “Community journalism” telah terbangun dan berjalan dengan sendirinya. Masyarakat adalah wartawannya, siapapun dia, dimanapun dia berada. Dan hal ini sangat membantu bagi masyarakat lainnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sisi lain kotanya. Siapa dan dimana butuh bantuan apa, siapa dan dimana dapat membantu apa. Dan sistem itu bekerja. Bantuan cepat tersampaikan, meski seadanya, meski tidak seberapa nilainya, tapi pasti sangat besar artinya bagi mereka yang sedang benar-benar membutuhkannya. Spontanitas bantu-membantu dan solidaritas sosial segera terbangun dengan sendirinya. Sungguh membanggakan. Sangat bertolak belakang kalau ingat berita tentang tawuran dan pertikaian.

***

Listrik mati di hampir semua kawasan. Telepon seluler serta-merta susah digunakan. Barangkali karena lalu-lintas komunikasi tiba-tiba sedemikian padatnya. Setiap orang kepingin saling mengirimkan kabarnya kepada sanak-famili pada waktu bersamaan. Demikian halnya sanak-famili yang di tempat jauh segera kepingin tahu kabar anak, keponakan, orang-orang terkasih, orang tua atau saudara lainnya yang tinggal di Jogja, sesaat setelah mendengar berita gempa dahsyat yang baru terjadi. Bisa dimaklumi, mengingat Jogja lagi penuh-penuhnya orang liburan panjang akhir pekan, juga lagi musim ujian sehingga umumnya mahasiswa berada di tempatnya.

Maka praktis seharian itu telepon seluler seperti macet-cet, susah dihubungi maupun menghubungi keluar. Hanya tilpun telkom rumahan (PSTN) yang masih berfungsi. Sayangnya wartel pada tutup, umumnya karena bangunannya juga rusak akibat gempa. Di rumah saya belum terpasang tilpun telkom. Maka HP menjadi andalan komunikasi. Itupun setengah mati susahnya. Lebih kesal lagi ternyata dari tiga pesawat HP yang ada di rumah, semuanya baterenya sudah lemah, tinggal satu atau dua bar indikator tenaganya. Jadi kepingin marah saja, kenapa semalam tidak ada yang punya inisiatif nge-charge batere HP. “Habis enggak tahu kalau mau ada gempa…..”, begitu setiap orang membela diri.

Sementara mau nge-charge batere, listrik mati dan tidak tahu akan sampai kapan. Kalau sudah begini baru teringat, kenapa selama ini tidak pernah terpikir untuk memiliki asesori colokan tambahan atau kabel ekstension (atau entah apa namanya) yang bisa dipakai untuk nge-charge HP dari mobil. Untungnya masih ada sisa cukup bensin dalam tangki mobil dan sepeda motor, karena dimana-mana serentak terjadi antrian panjang untuk memperoleh BBM. Setidak-tidaknya kalau mendadak diperlukan, mobil atau sepeda motor siap untuk digunakan.

Satu-satunya SMS yang berhasil saya kirimkan keluar di saat pagi adalah kabar selamat kepada sanak keluarga di kampung saya di Kendal. Bagaimanapun juga kabar gempa dahsyat akan segera sampai ke sana dan pasti akan segera menghubungi Jogja. Setelah itu, SMS sulit sekali dikirim keluar, sekali-dua kali berhasil membalas SMS teman-teman yang menanyakan kabar saya, setelah itu mental dan mental lagi tidak mau terkirim. Keadaan ini berlangsung hingga sore hari dan malam hari. Sesekali SMS bisa diterima, tapi tidak pernah bisa dibalas keluar.

Siang itu kami semua lebih banyak meluangkan waktu untuk beres-beres rumah sebisanya. Mengumpulkan barang-barang yang pecah, menata kembali benda-benda yang berserakan dan berhamburan. Minimal agar tidak mengganggu aktifitas di dalam rumah dan aman dari pecahan-pecahan beling (kaca). Perkara membuangnya bagaimana, nanti diurus belakangan.

Saat malam tiba, sebagian kawasan kota Jogja masih gelap gulita, sebagian lainnya ada yang sudah mulai menyala listriknya. Yang paling mencekam tentu saja di kawasan yang paling parah kondisinya, seperti sebagian besar wilayah kabupaten Bantul dimana sangat banyak rumah yang rata dengan tanah. Sudah pasti masyarakat pada tidur di luar rumah dalam suasana gelap-gulita. Atau di tenda-tenda kalau kebetulan sudah sempat menerima tenda bantuan. Lebih banyak lagi yang belum terjangkau tenda bantuan, asal ada tempat berteduh sementara dari benda-benda apa saja. Sementara langit mendung dan menampakkan tanda-tanda bakal turun hujan, begitu kata ramalan cuaca di radio. Dari radio pula saya mendengar tilpun permintaan bantuan makan, tenda, penerangan, medis, datang dari penilpun dimana-mana, tak henti-hentinya.

Tidak kalah serunya nasib anak-anak kost, terutama yang biasa makan di luar. Jelas tidak mudah menemukan warung makan di saat kondisi darurat seperti ini. Mereka midar-mider kesana-kemari untuk membeli makan, yang tentu saja tidak mudah menemukannya. Mentok-mentoknya masak mie instan, itupun kalau kebetulan masih punya persediaaan di kamarnya, karena di luar susah menemukan warung yang buka. Rumah makan atau restoran tidak ada yang buka. Apalagi warung kaki lima sego kucing (nasi kucing, istilah Jogja untuk sebungkus kecil nasi dengan sedikit lauk yang dibungkus daun pisang, umumnya dijual dengan harga Rp 600,- sampai Rp 800,- per bungkusnya, mirip segenggam makanan untuk kucing) yang biasanya betebaran di setiap penjuru kampung, hari itu tidak ada yang buka. Bisa jadi para penjualnya masing-masing juga lagi pada sibuk mengurus rumah dan keluarganya. Kalau kucingnya banyak berkeliaran di mana-mana, tapi sego atau nasinya yang enggak ada…..

***

Beruntung sekali, di kawasan Umbulharjo listrik sudah menyala sekitar jam 7 malam. Sementara di kampung sebelah-menyebelah masih gelap-gulita. Hal pertama yang kami lakukan setelah menghidupkan penerangan rumah adalah beramai-ramai nge-charge HP, lalu nyetel TV (kebetulan satu TV yang tadi siang njungkir ternyata masih bisa dinyalakan). Maka hampir semua acara televisi adalah berita gempa. Kami pun semakin tahu lebih banyak apa yang terjadi di belahan lain kota Yogyakarta dan sekitarnya, terutama kabupaten Bantul. Tiada kata yang pas melukiskan tragedi Sabtu pagi itu, selain tragis, menyedihkan dan memilukan.

Sementara istri menyiapkan makan malam seadanya, ya mie instan itu tadi dicampur sisa sayuran yang masih ada di dalam kulkas. Saya sibuk menjerang air untuk bikin kopi. Jangan sampai tertunda lagi. Secangkir kopi cap “Kapal Api” terasa luar biasa nikmatnya. Kopinya panas, tapi serasa menyejukkan pikiran. Maklum, sejak leyeh-leyeh bermalasan menunggu jarum panjang mencapai angka 12 di pagi harinya, namun kurang enam menit acara ngopi pagi batal gara-gara ada gempa. Bukan tidak sempat ngopi, melainkan kopi yang sudah disiapkan istri saya cangkirnya menggelinding dan isinya ndlewer (tumpah) kemana-mana……

Umbulharjo, Yogyakarta – 6 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (8)

18 Desember 2007

Hari Minggu, sehari setelah gempa, adalah hari kebersihan. Trauma gempa kemarin masih belum hilang. Namun dalam rumah perlu dibenahi dan dibersihkan dari puing-puing perabot rumah tangga yang masih berantakan dan tercecer di sana-sini. Sementara di luar rumah juga perlu dibersihkan dari pot-pot bunga yang hancur jumpalitan.

Hari Sabtu sebenarnya saya sudah memperoleh kabar dari Pengawas “Madurejo Swalayan” bahwa secara fisik toko dalam keadaan baik. Tapi di bagian dalam ada sebagian plafon yang roboh. Isi toko sudah barang tentu berantakan. Barang-barang di rak pada berhamburan, meski tidak semuanya. Beruntung perangkat komputernya tidak bergulingan seperti yang ada di rumah. Pagi hari setelah gempa, hanya ada seorang pegawai yang datang. Itupun karena kebetulan rumahnya dan keluarganya selamat. Akhirnya dipersilakan pulang saja, barangkali tenaganya lebih dibutuhkan di rumah kalau-kalau terjadi sesuatu. Sedang karyawan lainnya masih belum jelas kondisinya. Informasi awal mengatakan semua dalam keadaan selamat, tapi rumahnya sebagian hancur. Maka “Madurejo Swalayan” tidak bisa beroperasi, berlaku keadaan darurat, entah sampai kapan.

Pada hari Minggunya saya minta Pengawas toko untuk berkeliling memastikan bagaimana kondisi para pegawai dan keluarganya. Sebagian di antara mereka kondisi rumahnya hanya retak-retak saja. Tapi tiga orang karyawan rumahnya berantakan dan tidak layak huni. Ada yang roboh dan ada yang ndoyong sehingga tidak berani menempatinya. Ada yang bisa dengan legowo menerima musibah ini dan ada yang shock.

Prioritas saya saat itu adalah bagaimana bisa membantu karyawan yang terkena gempa dengan mengirim sekedar bantuan guna meringankan beban penderitaan mereka. Yang paling praktis saat itu adalah bahan kebutuhan pokok. Maka saya lalu menyempatkan untuk berkeliling mengunjungi satu-persatu rumah pegawai-pegawai saya, hingga ke tempat yang agak jauh ke pelosok desa di pinggiran perbukitan timur. Dusun Sengir, namanya. Bukan sekedar memberi bantuan tapi juga memberi dorongan moril dan membesarkan hati mereka agar ikhlas dan tabah menerima musibah ini. Saya pikir, inilah salah satu hikmah gempa. Saya jadi tahu dimana rumah tinggal mereka dan saya jadi mengenal keluarganya.

Saya ajak kedua anak saya untuk ikut berkeliling mengantarkan bantuan. Agar mereka melihat sendiri, betapa beban hidup yang harus dialami dan ditanggung oleh mereka yang menjadi korban gempa. Terlebih bagi mereka yang tinggal di pelosok yang jauh dari jalan raya, yang berarti jauh pula dari jangkauan bantuan. Juga agar mereka bisa membedakan antara dirinya yang meski ketakutan tapi masih bisa kembali ke rumah dengan persediaan bahan makan yang cukup, dengan mereka yang bukan saja ketakutan tapi juga tidak bisa kembali ke rumah dengan tanpa persedian bahan makanan. Lalu bagaimana dengan pakaiannya?. Bagaimana dengan kesehatannya? Bagaimana pula dengan sekolah anak-anaknya?.

***

Kerusakan bagian dalam “Madurejo Swalayan” memang perlu segera diperbaiki agar secepatnya toko siap untuk beroperasi kembali. Namun ternyata tidak mudah mencari tukang pada saat-saat seperti itu. Semua tukang tentunya sedang repot entah karena mengurusi dan membenahi rumahnya sendiri, tetangganya, saudaranya atau malah cedera terkena gempa. Seperti banyak diketahui, banyak warga masyarakat Bantul yang bermata-pencaharian sebagai buruh atau tukang bangunan. Saudara dan teman saya yang rumahnya memerlukan penanganan segera terpaksa mendatangkan tukang dari daerah lain. Apa boleh buat. Ongkos tukangnya sendiri sih normal saja, tapi biaya “overhead” menjadi tinggi.

Beberapa pegawai toko sudah mulai ada yang bisa masuk kerja pada hari kelima pasca gempa. Agenda pertama adalah beres-beres dan benah-benah toko. Meski perbaikan toko belum dikerjakan, tapi pintu depan toko sudah mulai dibuka sedikit. Tujuan utamanya adalah sekedar membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya. Barangkali membutuhkan sesuatu, mengingat sejak gempa terjadi hampir semua toko dan warung pada tutup dan masyarakat pun kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Akhirnya baru pada hari ke-10 pasca gempa, perbaikan “Madurejo Swalayan” sempat dikerjakan. Untungnya kerusakan tidak terlalu parah, sehingga tidak memakan waktu lama.

Untuk sementara waktu, selain pintu toko hanya dibuka sedikit, juga jam operasinya dibatasi mulai jam 7:00 pagi sampai jam 3:00 sore saja. Listrik di kawasan desa Madurejo dan sekitarnya baru hidup pada hari kelima pasca gempa. Itupun masih mota-mati (bolak-balik mati). Merebaknya isu penjarahan juga menjadi pertimbangan untuk tidak buka sampai malam. Isu terjadinya penjarahan memang cukup gencar. Baik penjarahan oleh masyarakat korban gempa yang tidak sabar menanti datangnya bantuan, maupun oleh oknum tidak bertanggungjawab yang mengail di air keruh, memanfaatkan momen kepanikan dan keterdesakan masyarakat untuk memperoleh keuntungan sendiri. Banyak cerita dan kejadian menyebar dari mulut ke mulut tentang hal ini.

***

Kawasan sebelah timur desa Madurejo, tepatnya di lereng-lereng pegunungan yang bersambungan dengan bukit Patuk, memang termasuk kawasan yang berada di sekitar patahan atau sesar Opak yang tergolong aktif alias selalu bergerak. Kawasan sesar aktif ini membentang dari pantai Samas di Bantul selatan menuju arah timut laut hingga Jatinom di sisi barat laut Klaten, melewati daerah Kretek, Bambanglipuro, Jetis, Imogiri, Piyungan, Berbah dan Prambanan. Masih ditambah percabangan sesar aktif ke arah Gantiwarno dan Wedi, Klaten.

Maka ketika di laut pantai selatan ada gempa, getaran gempa mudah sekali untuk menjalar mengikuti jalur sesar aktif itu. Akibatnya, bukan hanya wilayah kabupaten Bantul yang mengalami kerusakan parah, melainkan juga ke arah timur laut. Semakin jauh dari pusat gempa, semakin ringan tingkat kerusakannya. Itu sebabnya korban dan kerusakan terparah berada di daerah Bantul selatan hingga timur, termasuk Imogiri dan Piyungan, dan daerah Klaten bagian barat.

Dengan keluar masuk desa untuk mengirim bantuan itulah saya melihat bahwa distribusi bantuan dari pemerintah maupun lembaga-lembaga lain, terutama ke wilayah yang jauh dari jalan raya, memang terlambat. Lebih-lebih kawasan timur yang berbatasan dengan kabupaten Klaten. Agaknya kawasan timur ini kalah “populer” dengan kota Bantul. Akibatnya, semua bantuan yang berdatangan umumnya terkonsentrasi dan diprioritaskan untuk dikirim ke kawasan Bantul selatan. Dampak dari terlambatnya distribusi bantuan nampak di sepanjang jalan raya dari arah Jogja menuju Piyungan dan Wonosari, dan dari arah Piyungan menuju ke Prambanan. Dua penggal jalan yang saya lewati siang itu.

Lalu lintas tersendat di kedua penggal jalan ini karena di tengah jalan berjejer masyarakat korban gempa yang memasang penyekat jalan dengan kursi, drum, meja, atau apa saja, sambil meminta bantuan kepada setiap kendaraan yang lewat. Poster-poster seadanya bertuliskan korban gempa dan belum datangnya bantuan menghiasi di sepanjang jalan. Trenyuh melihatnya. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin ribuan. Belakangan saya dengar dan saya baca di koran, di kawasan lain pun terjadi hal yang kurang lebih sama. Bahkan di jalan raya Bantul selatan sudah mulai menjurus ke anarkis. Mereka tidak segan-segan menggedor-gedor mobil yang tidak mau memberikan sekedar bantuan. Bagi pengendara kendaraan tentunya juga dilematis. Mau memberi sekedar uang pada dua atau tiga orang, tentu orang-orang lainnya di sepanjang jalan itu juga perlu dibantu. Mau memberi bantuan kepada semua orang, tentunya tidak mampu.

Kenapa bisa terjadi hal yang demikian? Bak mengurai benang kusut. Padahal kalau kita lihat di televisi, kita dengar di radio dan kita baca di surat kabar, kiriman bantuan sudah sedemikian banyaknya datang dari mana-mana, bahkan sejak hari kedua pasca gempa. Solidaritas sosial yang demikian membanggakan, tidak hanya dari warga lokal, tapi juga nasional dan internasional. Tapi kenapa keluhan keterlambatan distribusi terjadi dimana-mana?

Semakin kita berpikir untuk menjawab kenapa, semakin kita terpancing untuk menyalahkan pihak lain. Jadi? Pelajaran apa yang bisa dipetik? Atau setidak-tidaknya, bisakah kita memetik pelajaran?

Umbulharjo, Yogyakarta – 8 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (9)

18 Desember 2007

Sejak hari kedua pasca gempa, gaung solidaritas sosial merebak kemana-mana. Nyaris tak ada stasiun televisi, radio dan media cetak yang melewatkan momen bencana gempa ini untuk saling bahu-membahu menggalang bantuan. Individu-individu yang peduli pada korban gempa berupaya menggalang bantuan dengan caranya sendiri. Relawan berdatangan dari mana-mana. Kelompok-kelompok organisasi non-formal seperti berebut untuk membantu. Belum lagi organisasi formal yang mengusung aneka warna bendera. Tak terkecuali masyarakat internasional pun berdatangan. Berbagai bentuk bantuan seakan-akan tumplek-bleg ke Jogja.

Jogja jadi semakin terkenal. Kota Bantul naik daun. Kalau dulu orang mudanya rada-rada malu menyebut asalnya dari Bantul, kini semua seakan bangga menyebut nama Bantul. Bahkan banyak masyarakat Jogja (apalagi yang pendatang) yang selama ini tidak pernah mengenal kecamatan Bambanglipuro (kedengaran aneh dan mengingatnya pun susah), kini semua orang sangat lancar menyebutnya.

***

Jangan heran kalau di hari-hari awal pasca gempa, jalur lalu lintas Jogja – Bantul luar biasa padatnya. Padat oleh mereka yang bergerak untuk mengungsi. Padat oleh mereka yang minta sumbangan di jalan. Padat oleh mereka yang midar-mider mencari kebutuhan hidup mengingat banyak toko pada tutup. Padat oleh mereka yang berdatangan ingin menyaksikan tingkat kerusakan kota dan perkampungan akibat gempa. Padat oleh kendaraan relawan dan kelompok-kelompok pemberi bantuan. Ditambah lagi dengan konvoi kendaraan pengangkut bantuan yang kesana-kemari. Ngebut lagi!.

Uedan tenan…! Sungguh membuat saya hueran bin gumun. Kendaraan-kendaraan pengangkut bantuan ini rupanya merasa dirinya sebagai pemakai jalan yang harus diutamakan. Akibatnya, tidak perduli jalan sempit dan ramai, konvoi kendaraan-kendaraan ini tetap memaksakan diri untuk bergerak cepat. Malah cenderung membahayakan pemakai jalan lainnya. Apalagi kalau kendaraan yang dipakai adalah kendaraan non-sipil (untuk tidak menyebut militer). Lampu pengatur lalu-lintas seperti tidak berfungsi.

Barangkali bisa menjadi masukan untuk merevisi undang-undang atau peraturan lalu lintas. Selain mobil ambulan, pejabat, pemadam kebakaran, maka mobil pembawa bantuan untuk korban bencana alam agaknya harus termasuk juga ke dalam golongan kendaraan yang harus didahulukan untuk diberi jalan. Meskipun tidak masuk akal, tapi prakteknya demikian.

Lha, kalau hanya membawa mie instan, beras, gula, susu, air mineral atau pakaian bekas, mau tiba di tempat tujuan jam 7 atau jam 8, apa bedanya? Tidak akan berpengaruh terhadap keselamatan jiwa korban bencana. Tapi ya tetap saja, kalau bisa sampainya jam 6 tapi sudah narik dua trip. Maka sopir-sopirnya pun seperti kesetanan. Dan siapapun pemakai jalan pada saat itu harus berlapang dada untuk mengalah. Semua orang harus mafhum, karena semua orang pula ingin menjadi yang teristimewa. “Mau ngirim bantuan, je…“, begitu kata wong Jogja.

Ya, sudah… Yang penting semua atas dasar niat baik untuk membantu sesamanya. Perlu digarisbawahi pada kata “niat baik”. Karena rupanya selalu ada oknum-oknum yang mancing di air buthek. Meski dibantah oleh pak polisi. Tapi sudah menjadi rahasia umum yang banyak diceritakan orang dari berbagai lokasi bencana. Mula-mula datang sebagai “relawan” membagi-bagikan mie instant. Begitu ada yang lengah, beberapa sepeda motor diangkut oleh teman-teman “relawan” ini. Barang-barang di rumah yang ditinggal mengungsi pun dijarah. Suasana memang menunjang, karena listrik masih padam, sementara setiap orang sedang pusing dengan dirinya sendiri dan keluarganya. Akibatnya, masyarakat korban gempa menjadi sensitif kalau ada orang tak dikenal datang pada saat sore atau malam hari. Ini memang cerita selingan saja, meski tidak diragukan kebenarannya.

***

Hal yang selalu mengundang kritik ketika terjadi bencana alam adalah lambatnya distribusi bantuan. Tak terkecuali dengan yang terjadi di Jogja, Bantul dan sekitarnya. Hari kedua pasca gempa, bantuan seperti mbanyu mili…, mengalir deras dari mana-mana. Tapi di radio, televisi dan surat kabar banyak dikeluhkan masyarakat yang tak juga kunjung menerima bantuan. Rasanya tidak percaya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Prosedur yang kelewat berbelit? Sistem yang terlalu birokratis? Atau, petugasnya kami-tenggengen (terbengong-bengong) tidak tahu apa yang harus dilakukan? Sehingga bantuan hanya menumpuk dan tidak segera disalurkan? Masih lebih baik kalau tidak disimpan oleh oknum nakal untuk dirinya sendiri.

Maka sangat dipahami kalau kemudian pihak-pihak swasta, lembaga swadaya atau pribadi-pribadi, memilih untuk menyalurkannya sendiri bantuan yang mereka telah himpun. Langsung ke sasaran dan tidak khawatir dikorup oleh oknum. Tapi ada juga kelemahannya. Terkadang satu kelompok korban memperoleh kelewat banyak bantuan, korban lainnya sama sekali belum menerima apa-apa. Apalagi kalau lokasi korban berada jauh dari akses jalan terdekat.

Itulah yang terjadi dengan masyarakat korban gempa yang berada antara lain di lereng-lereng perbukitan sebelah timur Piyungan – Prambanan. Kawasan ini kurang “populer” dan jauh dari jalan raya yang bisa diakses oleh kendaraan roda empat. Bantuan dari pemerintah belum menyentuh, kecuali dari lembaga-lembaga swasta. Ke sanalah saya akan mengarahkan bantuan yang saya terima sebagai titipan dari beberapa rekan. Insya Allah tidak akan percuma, apapun bentuknya.

Umbulharjo, Yogyakarta – 8 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (10)

18 Desember 2007

Gempa terjadi di Jogja dan sekitarnya dan sebagian kawasan selatan Jawa Tengah. Jelas ini bukan di Aceh, atau Nias atau Papua, dimana infrastruktur perhubungan menjadi kendala. Ini di Jogja, yang jalan-jalannya hingga pelosok desa relatif hampir semua sudah beraspal halus, setidak-tidaknya masih lebih mudah dijangkau. Sarana transportasi pun nyaris bukan halangan. Tapi kenapa manajemen distribusi bantuan kepada korban gempa sepertinya amburadul.

Begitulah setiap kali kita dengar komentar yang berhamburan di radio dan media lainnya. Sistem manajemen distribusi bantuan seringkali menjadi sorotan. Semua orang geregetan. Semua orang seperti mau marah. Sepertinya kita ini orang-orang bodoh yang tidak pernah bisa belajar dari penanganan korban bencana yang bertubi-tubi dialami oleh bangsa Indonesia (kalau kalimat ini saya terus-teruskan, bisa-bisa saya ikut-ikutan menghujat orang lain…..).

Atau memang kita ini terbiasa baru mau belajar setelah mengalaminya sendiri. Ketika bencana sedang dialami orang lain, kita pikir kita lolos dan tidak akan mengalaminya. Makanya malas untuk belajar. Ketika bencana itu benar-benar terjadi pada diri kita, barulah kita ngeh dan lalu bekerja sambil belajar (sambil berdoa juga, kalau sempat…). Nanti setelah bencana ini berlalu, kita semua akan sibuk rapat-rapat untuk melakukan evaluasi dan menyusun sistem manajemen penanganan korban gempa bumi.

Tapi ya sudah lewat. Menurut sejarah dan “gathukologi” (ilmu gathuk), gempa besar kemungkinan bisa terjadi lagi seratus-dua ratus tahun yang akan datang di wilayah yang sama. Dokumen sistem manajemen penanganan bencana yang kita susun berbulan-bulan itu sudah dimakan rayap di perpustakaan. Lalu kita baru akan bekerja lagi sambil belajar ketika (entah kapan) terjadi lagi gempa besar. Begitu seterusnya. Bukan hanya Jogja, melainkan juga Aceh, Nias, Lampung, Bengkulu, Sulawei Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur, dsb.

Maka kalau ada yang bisa saya sarankan kepada masyarakat yang selama ini “belum” pernah mengalami bencana besar. Bersiap-siaplah. Sekaranglah saatnya melakukan studi banding ke Jogja. Belajarlah ke Jogja, bagaimana seharusnya sistem manajemen penanganan korban bencana itu dilakukan. Kemudian lakukanlah seminar-seminar, sarasehan, diskusi, lokakarya, konferensi, simposium, kolokium, baik yang ilmiah maupun tidak ilmiah, guna merumuskan sebuah cetak biru sistem manajemen penanganan bencana yang paling pas buat daerah masing-masing.

Saya sama sekali tidak bermaksud maidu (menyalahkan). Antara manajemen krisis dan krisis manajemen memang hanya dua kata yang dibolak-balik saja. Dalam kondisi badan lagi fresh, fit, segar-bugar, habis minum kopi, kedua hal itu dapat dipahami dan dirunut dengan jelas. Namun ketika pikiran sedang buthek, panik, dicaci setiap orang, maka sepertinya susah untuk membedakan antara keduanya. Apalagi bagi bangsa Indonesia yang lagi enggak enak badan. Bangsa Jepang dan Amerika yang sehat wal-ngafiat saja kalang-kabut dan dicaci di sana-sini ketika amburadul menangani korban gempa hebat di Kobe dan badai tropis di New Orleans.

***

Belum lepas dari ingatan kita, setahun yang lalu Jogja pernah geger-genjik bakal diterpa badai tropis dari laut kidul. Segala macam persiapan sudah dilakukan oleh setiap orang kalau benar-benar bencana badai tropis itu terjadi. Dari persiapan fisik, lahir-batin, moril-materiil, sampai bikin sayur lodeh tujuh macam. Pendeknya, masyarakat Jogja bersama pemimpinnya sudah siap tempur kalau bencana itu datang. Eee…, badai tropis urung berkunjung.

Sebulan yang lalu hingga sebelum gempa, semua orang terutama yang tinggal di seputaran kawasan gunung Merapi bersama mBah Marijan, sepertinya sudah benar-benar siap lahir-batin menghadapi amukan letusan Merapi. Semua jurus pengamanan, pengungsian, tanggap-darurat sudah dipersiapkan dengan matang. Belum sempat bencana itu terjadi (tentunya mudah-mudahan ya tidak terjadi, atau kalaupun terjadi janganlah sampai menelan korban…..), datanglah gempa dahsyat yang menelan korban ribuan jiwa dan milyaran harta benda. Dan, kalang-kabutlah semua orang karena tidak siap dengan serangan fajar gempa tak dinyana-nyana…

Apa benang merahnya? Sumprit..., ini hanya anekdot versi saya, sebelum saya akhiri catatan panjang saya.

Saya melihat, bahwa aba-aba ancaman badai tropis adalah “test case” pertama dari Sang Empunya Bumi. Ternyata : Ooo… masyarakat Jogja sudah siap to….. Lalu aba-aba datang lagi dengan ancaman Merapi sebagai “test case” kedua. Ternyata juga : Ooooooo… elok tenan (bagus sekali) masyarakat Jogja memang sudah siap. Nah, saiki tak wenehi (sekarang Saya kasih) “test case” ketiga tanpa aba-aba. Hurug-hurug-hurug-hurug….., cukup 57 detik saja!. Wee… ternyata wong Jogja ini cuma adigang-adigung suka menyepelekan ayat-ayatnya Sang Empunya Hidup…..

***

Well…, Merapi tadi pagi memuntahkan awan panas dan guguran lava sangat besar dan terbesar selama ini. Sehingga semua orang kalang kabut mengira Merapi meletus. Siangnya gempa agak kuat kembali mengguncang membuat semua orang panik dan berhamburan.

Maka, “aba-aba” seperti apa lagi yang dibutuhkan agar manusia ini tidak lupa bersimpuh dan bersyukur atas semua nikmat yang telah diperolehnya?

Umbulharjo, Yogyakarta – 8 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (11)

18 Desember 2007

Beberapa hari yang lalu saya menerima transfer sejumlah uang dari seorang rekan yang katanya pembaca setia “dongengan” saya. Beliau berniat membantu korban bencana gempa Jogja tapi kesulitan menyalurkannya (suka menjadi bagian saya kalau sudah urusan yang sulit-sulit…..). Berhubung beliaunya ini tinggal di tempat yang jauuuh…, yang ketika di Jogja Sabtu pagi ada gempa, di kotanya “belum”, karena masih Jum’at sore.

Maka dengan senang hati saya akan membantu menyalurkannya. Meski sudah dua minggu gempa Jogja berlalu, informasi yang saya terima mengatakan masih ada lokasi-lokasi yang seret bantuan, terutama wilayah yang jauh dari akses jalan besar. Kesanalah saya hendak menuju, antara lain di sisi timur jalan raya Piyungan – Prambanan dan di kawasan perengan bukit Patuk yang memang berada di seputaran jalur sesar aktif Piyungan – Prambanan.

Secepatnya saya belanja ke sebuah toko grosir, setumpuk mie instan dan beras yang sudah diplastiki 5 kilograman pun memenuhi kendaraan keluarga, sekijang munjung. Ini bukan acara kulakan untuk “Madurejo Swalayan”, tapi untuk persiapan nge-drop bantuan bahan makanan bersama rekan lain dari desa Madurejo. Meski stok barang dagangan di “Madurejo Swalayan” sebenarnya juga menipis, tapi saya belum berencana untuk kulakan banyak-banyak. Menunggu situasi pasar dan kehidupan masyarakat kembali normal. Sales-sales pun belum banyak yang berkeliling beroperasi.

Rupanya ada juga sales-sales yang nekat. Berkeliling bukannya ngecek barang dagangan produknya, tapi malah mengajukan “inkaso”, ini istilah untuk menagih pembayaran tunda yang sudah jatuh tempo. Terang saja, dibayar dengan kata “maaf”. Lha, wong lagi kayak gini, kok ya tega-teganya nagih utang. Ya, memang haknya, tapi mbok ya rada ngerti sedikit gitu lho…., bahwa beberapa minggu ini tidak ada pemasukan berarti.

Mendadak saya mesti ke Jakarta untuk urusan satu dan lain hal (ini bahasa diplomatis para birokrat), terpaksa pengiriman bantuan ditunda dua hari sekalian sambil menunggu datangnya tambahan bantuan dari luar daerah yang diperkirakan akan datang hari Sabtu ini.

***

Di Jakarta, meski hanya sehari, saya sempatkan untuk menilpun ke rumah. Harap maklum saja, di saat-saat seperti ini memang rada gamang sebenarnya untuk meninggalkan keluarga agak lama dan jauh. Rupanya Jum’at pagi kemarin terjadi gempa susulan cukup kuat yang membuat sebagian masyarakat Jogja dan sekitarnya cukup panik dan berhamburan ke luar ruangan. Begitu cerita istri saya, diperjelas pula oleh berita koran lokal “Kedaulatan Rakyat” yang saya baca tadi pagi.

Di stasiun Gambir tadi malam, sepur Argo Lawu yang akan mengantarkan saya kembali ke Jogja (bersama ratusan penumpang yang lain, tentunya) akan berangkat setengah jam lagi. Sambil makan nasi rawon yang tidak seberapa enak dan jus tomat, di sebuah kantin di lantai dua stasiun Gambir, tiba-tiba saya terkesiap selama sepersekian detik, ketika terdengar bunyi gemuruh hurug-hurug-hurug….. Rupanya sebuah kereta sedang melintas di lantai atas stasiun. Mirip seperti itulah gemuruhnya suara gempa di Yogyakarta pada Sabtu pagi, 27 Mei yang lalu.

Bagi mereka yang belum bisa membayangkan seperti apa gemuruhnya gempa di Jogja, yang saya alami ketika sedang berada di dalam rumah yang kebetulan struktur bangunannya agak tinggi, maka cobalah untuk berada di lantai dua stasiun Gambir. Bagi warga paguyuban PJKA (Pulang Jum’at Kembali Ahad), tentu mudah untuk melakukan rekonstruksi ini. Tunggulah beberapa saat sampai sebuah kereta lewat di atasnya. Boleh juga dipraktekkan untuk bertepuk tangan dan berteriak keras seperti yang saya lakukan pada 27 Mei pagi itu….. Jangan khawatir dilihat orang. Tidak akan ada orang yang perduli pada Anda (paling-paling disenyumi manis…), karena tepuk tangan dan teriakan Anda akan hilang tertelan suara gemuruh kereta yang sedang melintas di atas stasiun.

***

Intensitas gemuruhnya suara getaran gempa tentu tidak sama dan tidak merata, tergantung lokasi bangunan tempat kita berdiri dan struktur bangunannya. Gemuruh paling kuat akan dirasakan ketika berada di dalam rumah tingkat atau bangunan tembok yang tinggi. Bangunan dengan struktur dominan kayu (apalagi kalau kayunya sudah tua) tentu gemuruhnya lebih lembut dan hanya sebentar, sebab keburu rubuh atau kita yang kerubuhan….. Sedangkan struktur rumah tembok satu lantai, tingkat kegemuruhannya juga agak rendah. Tapi tetap saja bergemuruh dan kedengaran menakutkan, apalagi kalau sempat melihat dinding-dinding tinggi bangunannya bergoyang-goyang.

Kini, masyarakat Jogja masih sumelang (was-was), ditambah lagi isu menyesatkan masih berseliweran, jangan-jangan gempa dahsyat yang terjadi Sabtu pagi itu akan berulang. Sangat-sangat dapat dimaklumi kalau sampai kini pun masih ada orang-orang yang takut tidur di dalam rumah, apalagi di lantai atas. Beberapa tetangga saya hingga sekarang masih tidur malam di teras rumah, bahkan televisinya pun dipasang di luar rumah. Sekalian ronda, sekalian nonton Piala Dunia, barangkali. Syukurnya, keluarga saya sudah mulai pulih dari trauma kepanikan, kami sudah mulai merasa rada leluasa tidur di dalam rumah. Meskipun kalau gempa susulan sesekali terjadi, sempat mak tratap…, njenggirat kaget

Gempa-gempa susulan masih terus berulang terjadi hingga memasuki minggu ketiga pasca gempa. Gema suara gemuruhnya seperti masih menghantui, pada setiap kali gempa susulan terjadi. Masih banyak orang yang mengalami trauma psikologis yang ternyata memang tidak mudah untuk menetralisirnya. Masih ada kereta yang akan lewat di atas stasiun Gambir.

Masih ada gemuruh membayangi. Dan masih ada, bahkan banyak orang-orang dan terutama anak-anak yang perlu dibantu mengatasi trauma psikologis pasca gempa. Saya yakin ini bukan pekerjaan mudah. Sebagaimana korban-korban bencana alam di tempat lain, masih banyak diperlukan relawan untuk kerja sulit ini hingga waktu yang panjang pasca gempa.

Madurejo, Sleman – 10 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (13)

18 Desember 2007

Tiba-tiba saya ingat kepada bekas tetangga saya yang dulu pernah memberi saya seekor pitik ayam alas. Dia tinggal di Imogiri. Pikiran saya cepat melayang jauh ke sana, sebab saya tahu bahwa Imogiri adalah salah satu wilayah yang cukup parah terkena gempa. Bukan hanya perumahan penduduknya yang porak-poranda, bahkan kompleks makam raja-raja Ngayogyokarta Hadiningrat pun tak lepas dari kerusakan akibat goyangan gempa.

Hari Senin siang yang lalu saya meluncur ke Imogiri sambil membawa sisa titipan bantuan dari seorang teman yang tinggal jauh di seberang lautan sana. Setiba di jalan utama menjelang pasar, yang terlihat sepertinya hanya bangunan toko dan rumah-rumah penduduk yang roboh di sepanjang kiri-kanan jalan. Saya coba berkendaraan perlahan sambil tolah-toleh dimana rumah bekas tetangga saya itu. Lho, kok rumahnya hilang?

Ternyata rumahnya roboh. Rumah tetangganya yang di depan, belakang, kiri dan kanannya juga roboh. Makanya rumah bekas tetangga saya itu seperti hilang berada di tengah reruntuhan satu kawasan. Tidak jauh dari rumahnya, di seberang jalan, di teras rumah saudaranya yang kebetulan tidak “terlalu” roboh, melainkan miring-miring arep (mau) ambruk, saya lihat istrinya sedang menyiap-nyiapkan minuman dan makanan gorengan. Dalam hati saya bertanya : untuk apa, atau untuk siapa? Apakah nyambi jual teh hangat dan gorengan? Karena memang tidak banyak yang dapat dikerjakan oleh mereka yang menjadi korban gempa di minggu-minggu awal pasca gempa.

Setelah ikutan duduk di teras itu, sambil ngobrol-ngobrol, ya masih cerita tentang aneka pengalaman pergempaan tentunya, barulah saya tahu. Bukan hanya tahu, tapi trenyuh atiku dibuatnya. Pertanyaan basa-basi yang saya ajukan dengan hati-hati bernada serius : “Apakah nyambi jual minuman?”. Jawabnya sungguh membuat saya malu pada diri sendiri. “Inggih mboten, pak (Ya, tidak, pak)…”. Sambil rada nyengenges sang istri berkata : “Wong ini sekedar menyediakan untuk siapa saja yang membutuhkan, siapa saja yang kehausan di jalan. Ya, orang lewat, ya bakul pasar, ya para tukang yang sedang kerja membersihkan reruntuhan. Siapa saja silakan mengambil sendiri kalau mau…”, begitu kira-kira lanjutnya. Mak deg, atiku.

Hebat sekali orang ini. Lha wong rumahnya rubuh, tidur di “tenda-tendaan”, makan ya masih tergantung suplai orang lain, kok sempat-sempatnya menjerang air di pinggir jalan dan menyediakan teh hangat gratis buat siapa saja, teh manis lagi… Malah kalau ada kerabat dekatnya yang datang, seperti saya dan anak saya siang itu, lalu disuguhi bakwan goreng. Bener-bener ora tinemu ning akal (tidak masuk logika saya). Tapi ya…, yang namanya berbuat amal saleh menolong sesama itu nampaknya tidak memerlukan logika, dan memang tidak usah dilogika. Kalau memang sudah krenteg mau berbuat baik, “just do it”! Selebihnya biar Sang Maha Pemberi Rejeki yang mengurusnya… Menurut ungkapan populernya : Gusti Allah mboten sare (Tuhan itu tidak tidur)….. Mau ditinggal tidur segenap mahluk-Nya pun Dia tetap mboten sare…..

Setinggi-tingginya dan selama-lamanya saya pernah belajar (perlu saya tekankan pada kata selama-lamanya, sebab saya bersyukur bisa nggondhol pangkat sarjana setelah melalui semester 18….. Ing wayah semono, di jaman itu…..), dan sejauh-jauhnya saya pernah menuntut ngelmu dan pengalaman. Ternyata saya justru memperoleh pelajaran hidup sangat berharga dari bekas tetangga saya, orang Imogiri, tidak jauh-jauh dari tempat tinggal saya.

***

Bekas tetangga saya ini sempat mengajak saya melihat-lihat rumahnya dan rumah-rumah tetangganya. Rata-rata tinggal menyisakan sekitar setengah meter tinggi dinding batanya. Kalau saya cermati, kebanyakan rumah-rumah yang roboh di kawasan pedesaan ini adalah bangunan lama (meski tidak semuanya begitu, banyak juga bangunan baru yang ikut roboh). Tipikal bangunan kuno di pinggiran Jogja adalah berdinding tebal, karena dindingnya tersusun dari dua batu bata berjejer atau kalau tidak ya dipasang melintang, maka tebal dindingnya adalah dua kali (ada juga yang lebih) tebal dinding bata pada umumnya bangunan sekarang.

Namun adonan pasangannya tidak menggunakan pasir, gamping dan semen, melainkan campuran tanah liat atau lempung, bubuk bata merah dan gamping, dan sangat jarang yang menggunakan campuran semen. Selain itu, umumnya tidak menggunakan rangka penguat yang biasanya berupa kolom cor-coran dan besi batangan. Bahkan di sudut-sudut bangunannya pun hanya mengandalkan cara pemasangan batu bata yang disilang-menyilang. Kemudian rangka atapnya atau wuwungan, hanya menempel atau tergeletak di atas dinding batanya. Karuan saja, sangat rentan terhadap goyangan dan geseran.

Pertanyaannya, kenapa orang Jogja berani membuat struktur bangunan seperti ini? Termasuk bangunan-bangunan kuno milik keraton? Jawabnya mudah, karena orang Jogja tidak pernah menyangka ada gempa berkekuatan besar dapat melanda. Tidak juga pernah ada cerita temurun-turun dari embah buyutnya embah bahwa dahulu kala Sang Ontorejo Yang Maha Penguasa Perut Bumi pernah ngolet (menggeliat) di dalam buminya Jogja.

Kata kuncinya adalah “tidak pernah menyangka”. Maka, waspadalah para penduduk bumi di belahan lain yang selama ini anteng-anteng saja dan “tidak pernah menyangka”. Potensi gangguan alam bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dari mana saja, menimpa siapa saja, dengan atau tanpa peringatan dini. Tapi pasti ada ilmu yang bisa “dibaca”.

***

Bekas tetangga saya ini bersama anaknya kemudian mengantarkan saya mendistribusikan bantuan logistik ke kawasan Imogiri selatan. Kami menuju ke dukuh Karang Rejek, desa Karang Tengah, kira-kira dua kilometer tenggara pasar Imogiri. Sedikit menaiki dan menuruni lereng bukit, melalui jalan kecil selebar pas satu kendaraan. Hampir semua rumah di pedukuhan itu roboh, ada juga yang masih berdiri tapi tidak aman ditempati karena retak parah disana-sini.

Dari Karang Rejek, saya melanjutkan ke dukuh Srunggan, masih di desa Karang Tengah, sekitar tiga kilometer selatan pasar Imogiri. Di pedukuhan ini juga sebagian besar rumah roboh atau rusak parah. Yang pasti pemiliknya tidak lagi berani menempati. Mereka masih tidur di tenda-tenda. Ada yang masih berupa tenda-tendaan, sekedar atap kedap air dihalangi dinding seadanya. Namun di beberapa tempat saya lihat ada yang sudah dipasang tenda bagus dan terlihat baru berbentuk setengah silinder tengkurap (sebab kalau tengadah ya susah didirikan), bantuan dari Bulan Sabit Merah Internasional.

Perjalanan pengiriman bantuan siang hingga sore itu saya akhiri dengan berkendaraan mengelilingi kota kecamatan Imogiri, Bantul, dan kawasan sekitarnya. Betapa kerusakan merata di seluas kawasan yang saya lewati. Minggu ketiga pasca gempa ini kebanyakan masyarakat mulai melakukan bersih-bersih di wilayah masing-masing. Kebutuhan logistik sudah mulai tercukupi, meski masih dibutuhkan. Kebutuhan peralatan pertukangan mulai banyak diperlukan untuk membongkar reruntuhan dan ada juga yang mulai mendirikan tempat berteduh seadanya.

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (14)

18 Desember 2007

Seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat, baik yang berasal dari kota Jogja sendiri maupun dari luar Jogja, posko-posko bencana gempa Jogja bermunculan di berbagai penjuru kota. Mereka mengkoordinasi berbagai bantuan yang berhasil diterima dan dikumpulkan, lalu menyalurkannya langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di berbagai titik lokasi korban gempa. Langsung kepada para korban. Entah mengapa mereka umumnya tidak mau menyerahkannya melalui posko-posko yang dibangun pemerintah, melainkan memilih untuk menyalurkannya sendiri. Berbaik-sangka sajalah, barangkali agar bisa turut merasakan langsung seperti apa beban derita mereka yang menjadi korban.

Teman-teman saya yang mantan pegawai Freeport, Papua, juga membentuk posko peduli gempa Jogja. Segenap rekan dan sesama mantan pegawai Freeport yang tinggal di luar Jogja lalu dihubungi, barangkali berniat menyampaikan sekedar bantuan, maka posko peduli gempa siap membantu menyalurkannya. Tidak terkecuali segenap rekan yang masih aktif bekerja di Papua juga menggalang dana.

Akhirnya terkumpullah sejumlah dana yang segera dibelikan nasi bungkus, sembako, susu, tenda, selimut, peralatan masak, dsb. Semua didistribusikan sebagai tindakan tanggap darurat bagi korban gempa, ke seganap penjuru wilayah Jogja, Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Mulai dari pembagian nasi bungkus ke rumah sakit-rumah sakit hingga bantuan sembako ke pelosok desa. Sebagian di antaranya adalah keluarga karyawan Freeport yang rumahnya roboh atau rusak berat. Kini, posko peduli gempa siap-siap memasuki tahap rekonstruksi atau rehabilitasi. Sejumlah dana yang masih digalang di Papua akan segera menyusul untuk disalurkan.

Hari Rabu yang lalu, sejumlah paket bantuan logistik yang masih tersisa di posko saya bawa ke lokasi yang termasuk terpencil, yang selama dua minggu ini masih seret bantuan (saya menyukai urusan yang sulit-sulit seperti ini…). Berombongan bersama beberapa teman, saya kembali membawa rombongan menuju ke desa Terong, kecamatan Dlingo, Bantul. Ini adalah wilayah Bantul di pinggir timur laut yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Melalui jalan Wonosari yang mendaki, sampai di Patuk membelok ke barat ke arah Dlingo. Menyusuri pinggiran terbuka sisi barat laut bukit Patuk ini berpemandangan indah, apalagi saat senja hari, seperti yang saya alami hari Sabtu sebelumnya. Memandang ke arah barat daya, terbentang kota Yogyakarta dan sekitarnya terlihat dari ketinggian. Sesampai di sekitar kilometer enam lalu berbelok ke selatan menuruni bukit Patuk.

Lokasinya berdekatan dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun beda pedukuhan dan beda kampung. Kami lalu menuju ke dukuh Joho, melalui jalan desa berupa tanah berbatu, naik dan turun perbukitan, membelah kawasan tegalan atau ladang penduduk sampai mentok ke ujung pedukuhan. Sebelumnya daerah ini sulit dijangkau karena satu-satunya jalan penghubung dengan jalan besar tertutup longsoran. Dari sekitar 450 jiwa warganya banyak mengalami cedera, tidak ada korban meninggal dunia. Namun tidak perlu ditanyakan lagi jumlah rumah yang roboh, semua penduduknya kini tinggal di bawah tenda seadanya.

Dengan masih adanya gempa-gempa susulan yang sangat terasa di daerah ini, hingga minggu ketiga pasca gempa mereka belum cukup punya nyali untuk mulai membenahi rumahnya yang berantakan. Malah ada yang terpaksa tinggal bersama sapi-sapinya, karena rupanya konstruksi kandang sapi lebih aman terhadap potensi roboh oleh gempa. Ya…, tinggal di kandang sapi, akrab berbagi tempat bersama sapi-sapinya.

Karena lokasinya yang tidak mudah dicapai, boro-boro terlihat dari jalan besar, maka tidak banyak bantuan yang sampai ke dukuh ini, kecuali memperoleh cipratan bantuan dari pemerintah pedukuhan atau RT lain. Menurut catatan petugas posko di sini, hanya ada sedikit bantuan yang masuk, dua atau tiga kali diantaranya berupa bantuan agak banyak yang pernah mereka terima. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan yang mudah dicapai, puluhan paket bantuan pasti sudah mereka terima sejak gempa terjadi 27 Mei yang lalu.

Namun mereka toh tidak nggrundel, mengeluh atau protes. Ya memang begitulah adanya. Yang penting masih bisa terpenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui dapur umum. Anak-anak mereka pun masih bisa pergi ke sekolah. Bal-balan Piala Dunia juga masih dapat mereka saksikan. Beruntung, kalau malam listrik sudah nyala untuk beberapa jam lamanya.

Dari dukuh Joho kami menuju dukuh Pencitrejo, pedukuhan yang sama dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun kini kami menuju ke wilayah RT berbeda. Pembagian administratif di pedesaan ini memang rada membingungkan kalau belum familiar. Saya pun susah mengingatnya. Ada desa, lalu ada dukuh, lalu ada lagi dusun (terkadang disebut RW). Dalam satu dusun bisa terdiri dari banyak RT.

Nasib korban gempa di Pencitrejo RT 03 ini tidak beda jauh dengan warga Joho. Lokasinya tidak mudah diakses dari jalan besar. Sekitar 70 jiwa warganya masih tidur di tenda-tenda. Dapat dikatakan semua rumahnya roboh. Beberapa warga ada yang sudah berani mulai bersih-bersih rumah. Ya bersih-bersih saja, wong rumahnya roboh dan tidak bisa ditempati. Sebagian di antara rumah-rumah mereka berada di lereng, dimana banyak tanah yang merekah dan batu-batu besar menggelinding dari tempatnya semula saat gempa terjadi.

Dalam perjalanan pulang dari Pencitrejo, saya ketemu dengan petani yang sedang memanen singkong. Rasanya senang sekali memandangnya. Hasil panenannya ditimbun di tepi jalan desa yang hanya pas selebar kendaraan. Saya tergoda untuk berhenti, lalu akhirnya kepingin membeli sekadarnya. Saya sodorkan selembar uang lima ribuan. Rupanya malah ditukar dengan sekantong singkong banyak sekali. Lumayan untuk dibuat balok (singkong goreng) bekal ronda malamnya. Namanya juga tinggal di kampung.

***

Sejauh ini, tindakan tanggap darurat baik yang digerakkan oleh pemerintah maupun oleh spontanitas lembaga swadaya maupun individu masyarakat telah terbangun dengan baik sekali. Praktis semua lini pertahanan hidup dapat dikelola dengan sinergi yang manis. Semua pihak bahu-membahu membangun solidaritas sosial lintas batas. Para korban gempa yang rumahnya luluh-lantak pun tidak merasa sendirian. Banyak pihak merasa perduli untuk berbagi penderitaan, berbagi suka-duka dan berbagi nikmat.

Mereka para korban gempa mulai dapat tidur nyenyak di tenda-tenda darurat, sambil bermimpi kapan janji Pak De Jusuf Kalla yang hendak menabur bantuan Rp 10 juta hingga Rp 30 juta segera turun dari langit Jogja yang sesekali kelabu kecipratan abu Merapi. Listrik mulai mengalir dan hajatan bal-balan di Jerman pun dapat mengisi hari-hari malam dingin mereka. Beras berkarung-karung berlabel Bulog juga mulai berdatangan ke posko-posko bencana yang ada di hampir setiap pedukuhan. Petugas pemerintah yang akan membagikan uang lauk-pauk sebesar Rp 3.000,- per jiwa per hari dan tunjangan hidup Rp 100.000,- per bulan juga mulai sibuk mendata warganya, ada yang sudah mulai menerimanya, sebagian lainnya masih H2C (harap-harap cemas).

Maka kemudian muncul pertanyaan sederhana : Sampai kapankah mereka akan mampu bertahan dalam kondisi seperti itu? Sebab kini relawan domestik maupun mancanegara berangsur-angsur sudah mulai hengkang kembali ke kehidupannya masing-masing. Bantuan logistik tentu akan tiba saatnya menyurut. Orang-orang yang selama ini sangat perduli untuk berbagi tentu akan habis juga apa yang dapat dibaginya. Piala Dunia pun akan mencapai finalnya.

Akan tiba saatnya mereka para korban gempa kembali sendirian. Sendiri dengan problem keluarganya. Sendiri dengan rumahnya yang belum ada gantinya. Sendiri dengan anak-anaknya yang segera masuk sekolah. Sendiri dengan tunjangan hidup yang terbatas. Sendiri dan dheleg-dheleg, apakah masih mampu bekerja dengan upah mencukupi. Orang-orang yang semula sangat antusias dengan kepeduliannya, lalu entah pada kemana. Pemerintah yang semula mati-matian mengurusi mereka, mulai sibuk dengan urusan kantor yang sekian lama “terbengkelai”.

Tahap rekonstruksi atau rehabilitasi atau entah program apa lagi namanya memang segera dimulai. Tapi ada sekian ribu rumah, sekian ribu jiwa, sekian ribu derita, lengkap dengan sekian ribu persoalannya, harus ditangani. Sungguh pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah atau siapa saja.

Kerawanan sosial baru harusnya sudah mulai diantisipasi. Belum lagi kerawanan individual. Individu yang suka bersemangat lebih, seperti semangat mengumpulkan dana bantuan yang lebih, beras lebih, selimut lebih, mie instan lebih, susu lebih, tenda lebih, alat masak lebih dan kelebihan-kelebihan (kalau perlu, ya dilebih-lebihkan) lainnya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (15)

18 Desember 2007

Ada saweran di Jakarta. Persisnya dimana saya tidak tahu. Tapi tahu-tahu seseorang yang setia mengikuti “dongengan” saya tentang gempa Jogja ini kemudian memberitahukan bahwa uang hasil saweran bersama teman-temannya itu telah ditransfer ke rekening saya di Jogja.

Dari pengamatan saya selama mendistribusikan bantuan, nampaknya bantuan berupa logistik sudah hampir menjangkau semua lokasi, meskipun di beberapa lokasi awalnya nampak seret. Beberapa warga di lokasi yang sempat saya kunjungi memberitahukan bahwa mereka sangat butuh peralatan pertukangan. Karena pada minggu ketiga pasca gempa ini kebanyakan para korban gempa mulai melakukan gerakan gotong-royong membersihkan kampung dan rumahnya dari reruntuhan. Mereka telah mulai melakukannya dengan peralatan seadanya. Hanya sedikit lokasi yang saya baca informasinya di media masih memerlukan bantuan logistik, tenda dan selimut.

Mempertimbangkan hal itu, maka uang kiriman dari Jakarta itu akhirnya sebagian saya belikan beras dan sebagian besar lainnya saya belikan peralatan pertukangan, seperti sekop, cangkul, cethok, ember, linggis, tomblok (keranjang anyaman bambu) dan slenggrong (serok tangan).

***

Hari-hari ini jalan-jalan di Jogja dan sekitarnya penuh dengan timbunan reruntuhan bangunan. Hampir di setiap ujung gang, teronggok timbunan reruntuhan bangunan yang memang sengaja dikumpulkan di tepi jalan besar. Selanjutnya petugas dari pemerintah dibantu dengan personil TNI mengambil dan mengangkut material reruntuhan dengan truk-truk untuk ditimbun di tempat-tempat pembuangan yang telah ditentukan. Maka bagi mereka yang membutuhkan tanah urug, sekaranglah saat yang tepat untuk memperolehnya secara gratis, daripada beli tanah urug. Asal saja mau mengurus sendiri pengangkutannya.

Bagi para korban gempa di kawasan kota Jogja, pekerjaan pembersihan reruntuhan relatif lebih mudah, karena rumah yang runtuh jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan yang masih berdiri tegak. Sehingga sarana pertukangan tidak terlalu sulit untuk memperolehnya. Mau beli, banyak toko bangunan menyediakannya. Pinjam tetangga pun masih bisa. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di lokasi yang jauh dari kota yang hampir seluruh rumahnya rata dengan tanah. Peralatan pertukangan yang mereka miliki barangkali ikut tertimbun reruntuhan rumahnya. Bagi mereka itu, adanya pemberian bantuan peralatan pertukangan sangat mereka harapkan. Mereka pun sangat gembira ketika bantuan itu akhirnya datang juga.

Siang tadi saya mengunjungi empat pedukuhan yang kesemuanya berada di desa Sumberharjo, kecamatan Prambanan, Sleman. Masih terbilang tetangga desa dengan “Madurejo Swalayan”, meski jaraknya terpisah rada jauh. Peralatan pertukangan yang saya bawa pun saya bagi menjadi empat agar mudah mendistribusikannya. Saya ditemani oleh tetangga saya di Madurejo yang membawa mobil bak terbukanya, mengingat Kijang saya tentu tidak muat untuk mengangkut peralatan pertukangan yang saya beli.

Kawasan timur Jogja memang menjadi prioritas saya. Ini adalah kawasan terkena bencana yang berita keparahannya kalah “rating” dengan kawasan Bantul selatan. Padahal kawasan timur Jogja ini juga masih termasuk wilayah kabupaten Bantul yang berbatasan dengan kabupaten Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Karena juga berada di jalur sesar Opak yang aktif, maka tingkat kerusakannya tidak kalah dengan wilayah Bantul selatan dan tenggara, yang relatif lebih banyak didatangi tim bala bantuan.

Lokasi pertama yang saya datangi adalah dusun Gunung Gebang. Lokasinya tidak jauh dari jalan raya. Namun kondisi pedukuhan ini tidak terlihat dari jalan raya karena terbatasi oleh hamparan sawah dan pepohonan. Ketika saya memasukinya, sekitar dua kilometer ke arah timur dari jalan raya Prambanan – Piyungan, barulah saya tahu bahwa semua rumah warganya ambruk dan rusak berat karena gempa. Sekitar 950 jiwa warganya masih tinggal di tenda-tenda dan dilayani oleh dapur umum. Sebagian warganya sedang bergotong-royong menangani rumah-rumah yang roboh. Tentu mereka sangat senang menerima bantuan peralatan pertukangan yang sedang mereka butuhkan.

Dari Gunung Gebang saya menuju ke arah utara lalu ke timur lagi, lebih jauh ke dalam dari jalan raya Prambanan – Piyungan. Dusun Polangan namanya. Di wilayah ini pun semua rumahnya roboh dan rusak berat. Sekitar 450 warganya juga masih tinggal di tenda-tenda. Sebuah Sekolah Dasar tampak rusak berat, sehingga para murid pun belajar dan baru saja menyelesaikan ujian SD di tenda-tenda yang khusus dibangun menggantikan ruang kelas yang tidak aman lagi ditempati untuk kegiatan belajar-mengajar. Dusun ini tampak sepi, rupanya mereka sedang bergotong-royong membersihkan reruntuhan, sebagian lagi ada yang sudah mulai sibuk mengurus sawahnya yang saat ini sedang musim panen padi.

Dari Polangan saya bergerak semakin ke arah timur laut, semakin menjauh dari jalan raya, ke dusun Klero. Kondisi dusun ini pun tidak jauh berbeda. Meski jumlah rumah yang roboh tidak sebanyak pedukuhan lainnya, tapi umumnya kondisi rumah-rumah mereka tidak layak dan tidak aman untuk ditempati. Justru karena itu maka peralatan pertukangan akan sangat membantu mereka untuk sekalian saja meruntuhkan rumah yang nyaris roboh, sebelum nantinya malah merobohi penghuninya. Bantuan logistik nampaknya sudah mencukupi untuk waktu ini, namun peralatan pertukangan belum ada yang mengirimnya.

Menyusuri jalan-jalan desa sore tadi terasa menyenangkan. Dimana-mana hamparan sawah dengan padinya yang sudah mulai menguning. Di mana-mana pula ada kegiatan potong padi rame-rame. Tampak para petani sedang bersemangat memanen padinya. Sebagian padi hasil panenaannya ditimbun begitu saja di tepi jalan desa, sebagian orang ada yang mengangkutnya dengan sepeda motor. Tidak lagi dengan gerobak atau sepeda atau dipikul atau digendong. Damai hati ini rasanya menyaksikan pemandangan langka semacam itu.

Akhirnya sampailah saya di dusun paling timur, di lereng perbukitan, namanya dusun Sengir. Seminggu sebelumnya saya sudah mencapai desa ini untuk nge-drop bantuan sembako, karena kebetulan ada seorang pegawai “Madurejo Swalayan” yang rumahnya nyaris roboh tinggal di sini. Tapi sore tadi tujuan saya lebih jauh lagi, yaitu ke dusun Nglepen.

Jarak dari dusun Sengir ke dusun Nglepen sebenarnya hanya sekitar satu kilometer. Tapi untuk mencapainya mesti menempuh jalan terjal berupa tanah bebatuan, naik ke lereng atas kawasan perbukitan. Seekor Kijang warna hitam metalik yang terkadang digunakan untuk jalan-jalan bersama keluarga ke mal dan terkadang digunakan untuk kulakan ke toko grosir, sore tadi terseok-seok mendaki jalan terjal berbatu-batu. Muatannya penuh berisi beras dan peralatan pertukangan munjung, ditambah dengan enam orang penumpangnya termasuk sopir, Ini gara-gara mobil bak terbuka yang tadi membantu mengangkut alat pertukangan tidak berani ikut mendaki perbukitan.

***

Beberapa hari sebelumnya, dusun Nglepen ini hanya bisa dicapai dengan sepeda motor karena jalan utamanya terhalang longsoran. Bahkan sebelum itu dusun ini nyaris terisolir beberapa hari sejak gempa terjadi karena lokasinya memang tidak mudah dicapai. Kini para pejabat pemerintah setempat berduyun-duyun mengunjungi dusun ini silih berganti setiap hari. Apa gerangan yang menarik dari dusun ini?

Dusun yang hanya dihuni oleh sekitar 60 jiwa ini semua rumahnya roboh dan rusak berat. Tapi tunggu dulu, sepertinya ada beberapa rumah yang hilang ditelan bumi….. Ini peristiwa yang sulit dipercaya kalau bukan karena melihatnya sendiri. Ada sebentang tanahnya yang merekah sepanjang lebih 100 meter, dan mengakibatkan areal seluas sekitar 3 hektar bergeser ke arah barat sejauh 15 – 20 meter. Pergeseran sejauh itu tentu menyebabkan adanya rekahan yang sangat lebar sehingga seolah-olah apa saja yang tepat berada di atasnya seperti ambles bumi, ditarik Sang Ontorejo dari perut bumi…..

Masih tampak jelas garis-garis rekahan di seluruh kawasan yang bergeser ini. Warga yang tinggal di situ pun semula tidak percaya. Omah sak lemah-lemahe (rumah setanah-tanahnya) telah pindah dari lokasinya semula. Tapi faktanya, ada sebuah rumah yang kini bergeser ke barat sejauh 20 meter meninggalkan dapurnya yang masih berada di sisi timur rekahan. Demikian pula sebuah kandang sapi ditinggal rumah induknya yang bergeser ke barat. Pohon-pohon pisang dan kelapa menjadi seolah-olah tumbuh di dasar cerukan karena tanahnya amblas ke dalam rekahan sedalam sepuluh meteran. Beberapa rumah yang tepat berada di rekahan pun hancur berkeping-keping terbawa dasar tanahnya yang amblas. Sungguh beruntung peristiwa ini tidak memakan korban jiwa. Hanya longsornya beberapa bagian jalan desa sempat menyebabkan dusun ini terisolir dari bantuan hingga beberapa hari pasca gempa.

Barangkali kawasan ini tepat berada di salah satu bidang percabangan sesar Opak yang aktif. Hampir semua kawasan di sisi barat jalur rekahan ini rusak berat. Sementara kawasan yang berada di lokasi lebih tinggi di sisi timur rekahan nyaris tidak mengalami kerusakan berarti. Begitulah fenomena alam gempa dan peristiwa geologis, kalau harus memilih “korban”-nya. Peristiwa alam yang tidak dapat diduga dan tidak dapat diramalkan, tapi pasti ada yang bisa “dibaca”.

Warga dusun Nglepen merasa senang ketika ada yang mengirim peralatan pertukangan guna membantu pekerjaan mereka membenahi sisa-sisa reruntuhan rumahnya yang barangkali masih ada benda-benda yang dapat dimanfaatkan. Sebagian warganya kini minta direlokasi ke tempat lain.

Mestinya mereka yang paham ilmu geologi yang berduyun-duyun ke sana, mumpung rekahannya masih perawan dan bau tanah, dan belum tergerus erosi air hujan. Jangan-jangan ada bencana lain sedang menanti, ketika hujan deras mengguyur. Bukan para punggawa pemerintah yang hanya piya-piye terkagum-kagum lalu foto-foto, setelah itu pulang tidak tahu apa yang mesti dilakukan selain menulis laporan standar dan bercerita kepada tetangga-tetangganya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 17 Juni 2006
Yusuf Iskandar

(39) “Ilmu Gaib”

13 Desember 2007

Memberi sumbangan, donasi, pensponsoran, bantuan, dsb. adalah bagian dari aktifitas bisnis, tak terkecuali bisnis ritel toko swalayan. Di perusahaan-perusahaan besar, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan label Community Development atau Pengembangan Masyarakat. Apapun labelnya, aktifitas ini tentu tidak dalam rangka hal-hal yang terkait dengan KKN, pungli atau tindakan-tindakan tidak terpuji lain sejenisnya. Sedangkan di perusahaan-perusahaan kecil atau usaha kelas bulu seperti halnya “Madurejo Swalayan”, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan judul sumbangan sosial, bantuan atau kegiatan lain yang langsung bersentuhan dengan peran sosial pemiliknya dan juga usahanya.

Karena pentingnya aktifitas bisnis ini, maka perlu disiapkan pos anggaran tersendiri. Seperti pernah saya singgung sebelumnya, aktifitas sumbangan sosial ini tidak salah kalau mau dikaitkan dengan aktifitas pensponsoran (promosi). Aktifitas yang berbau sosial adalah aktifitas yang berbentuk “memberi” kepada masyarakat.

“Memberi”  tidak selalu berhubungan dengan uang, melainkan bisa juga berupa barang atau jasa atau sesuatu yang berbeda. Tergantung situasi dan kondisi yang sedang membutuhkan Terkadang uang lebih diperlukan, di saat yang lain barang atau jasa barangkali lebih mengena. Dan, selebaran infomezzo TIPS milik “Madurejo Swalayan” adalah juga “pemberian” kepada masyarakat yang membutuhkan.        

Hal yang paling penting dari penyebaran selebaran berisi tips-tips singkat itu adalah kita telah berbagi informasi yang sekiranya akan bermanfaat bagi pembacanya. Berarti kita telah “memberi” sesuatu yang bermanfaat kepada paling tidak satu rim pembaca selebaran atau berapapun jumlah kopiannya. Belum lagi kalau selebaran itu turut dibaca juga oleh anggota keluarga, tetangga atau teman, maka betapa banyaknya masyarakat yang turut memperoleh manfaat dari tips-tips yang kita berikan.  

Juga termasuk “pemberian” adalah mempersilakan orang lewat yang kehujanan untuk berhenti nunut ngeyup (numpang berteduh). Tentu saja ini bukan satu-satunya cara. Ada banyak ide dan gagasan. Setiap orang punya cara dan bentuk “pemberian”-nya masing-masing. Banyak atau sedikit, bukan intinya.  

***  

Kata orang-orang bijak, kalau ingin banyak menerima maka harus banyak memberi. Atau, dengan banyak memberi maka bolehlah berharap untuk banyak menerima. Agama yang saya peluk, memerintahkan yang kira-kira intinya adalah agar berbanyak-banyak beramal, maka Tuhan akan memberikan balasan yang jauh lebih banyak dari sumber-sumber yang tak terduga. Dalam agama apapun saya yakin ada pandangan keyakinan yang kurang lebihnya punya esensi yang sama. 

Untuk memahami hal gaib ini ijinkan saya memandangnya dari perspektif Islam, agama yang saya yakini, karena untuk meyakini hal yang satu ini tidak bisa didekati dengan ngelmu dunia.  Dalam terminologi Islam ada paket zakat, infak dan sedekah. Pemberian informasi (ilmu dan pengetahuan) yang bermanfaat adalah termasuk amal sedekah jariyah, yaitu amal sedekah yang akan terus tumbuh dan berkembang nilai kebaikannya bahkan ketika ditinggal mati oleh pelakunya. 

Bahkan Pak Robert Kiyosaki pun sangat meyakini bahwa banyak memberi adalah bagian dari sukses bisnis seseorang. Bahasan panjang pun dikupas abis oleh Pak Robert dalam salah satu serial sekian-logi bukunya, khusus tentang pentingnya berbuat amal dan berkontribusi sosial. Tak terkecuali Pak George Soros yang pernah dicaci-maki abis ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1997-an, juga sangat menganggap penting untuk mengkontribusikan sebagian dari kekayaan usahanya.  

Singkatnya, “memberi” itu wajib hukumnya bagi pelaku usaha manapun dan apapun. Jangan dibantah. Tidak pernah ada sejarahnya orang yang keleleran tidak bahagia hidupnya karena banyak memberi. Tapi kalau kemrungsung hidupnya karena pelit bin medhit, banyak sekali……. (Kalimat puitis-dramatis semacam ini memang perlu dipahami dengan perenungan, tidak dengan terjemahan kamus seperti ketika sekolah dulu).  

Celoteh di atas itu mirip-mirip cerita gaib dari “dunia lain”. Omongan yang sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, apalagi dengan persamaan matematika-ekonomi. Ketemu pirang perkoro (ketemu berapa perkara – ungkapan bahasa Jawa), wong banyak yang dikeluarkan kok pemasukannya malah tambah. Diminus-minus tapi hasilnya banyak plus. Awalnya hanya perlu diyakini kebenarannya, berikutnya akan semakin diyakini setelah mengalaminya sendiri atau melihat bukti empirisnya. Selebihnya, percaya syukur, enggak ya sebodo teuing…….  

Pak Isaac Newton pernah berkata bahwa setiap aksi akan menghasilkan reaksi dengan arah berlawanan. Barangkali hukum ini agak pas untuk menjelaskan. Aksi menabur pemberian keluar, menghasilkan reaksi menuai penerimaan ke dalam. Hanya ada sedikit penyimpangan, aksi pemberiannya kecil tapi kok reaksi penerimaannya bisa besar tak terhingga. Itulah “ilmu gaib”.  

Meski demikian, runtutan logis yang ada di pikiran saya kira-kira begini : Kalau usaha toko kita berjalan baik dan berhasil menghimpun keuntungan lebih, yang pastinya berasal dari pembelian pelanggan kita, rasanya wajar kalau kemudian kita pun membagikan sebagian keuntungan itu untuk kebaikan pelanggan kita juga. Bentuk dan jumlah “pemberian”-nya dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang pas.   

Tanpa perlu formulasi yang rumit-rumit, bangunan kerjasama antara pengelola toko dan masyarakat sekitarnya adalah bangunan kerjasama saling menguntungkan (simbiose mutualisme). Toko butuh pembeli, pembeli butuh toko. Toko mengambil keuntungan wajar, pembeli ikhlas membayarnya. Toko kebanyakan bathi (untung), pembeli menerima “kembalian” bentuk lain yang bermanfaat. Kok ya manis sekali teamwork-nya. Transaksi pun berlangsung penuh senyum dan ukhuwah (paseduluran), setiap hari, setiap waktu. 

Itu teorinya, Bung! Lha, prakteknya? Prakteknya ya seperti itu!. Cuma, ada yang bisa dan ada yang tidak. Lebih konkritnya, ada yang ikhlas dan ada yang tidak ikhlas. Tinggal pilih saja kok repot…….    

Memang benar, logis bagi saya belum tentu logis bagi orang lain. Tapi pasti benang merah kebenarannya sama. Kalau ternyata kisah tentang “ilmu gaib” ini kedengarannya seperti mengada-ada, lha ya monggo-monggo saja untuk mempercayainya atau tidak. Ora patheken……., enggak bakal kudisan….. (embuh apa istilah bahasa Indonesianya yang pas……).    

Madurejo, Sleman –15 Pebruari 2006 (Ultah Ibu CFO, ada bancakan nasi kuning, tanpa sayur asem)
Yusuf Iskandar