Hingga tengah hari, Sabtu siang, terjadi paling tidak tiga kali gempa susulan yang terasa cukup kuat, dan banyak kali gempa susulan berkekuatan kecil. Setiap terjadi gempa susulan selalu disertai bunyi bergemuruh ke segenap penjuru. Memang tidak lagi semenakutkan gempa utama tetapi cukup membuat deg-degan setiap orang. Hingga sore hari, belum banyak orang yang cukup punya nyali untuk berada di dalam rumah. Semua orang berhimpun di luar rumah, paling tidak di dekat-dekat teras. Ada yang pasang tenda, atau pasang atap seadanya, atau sekedar selembar tikar di tempat teduh. Dengan harapan kalau terjadi gempa susulan dapat dengan mudah meloncat menjauh dari rumah. Gambaran seperti itulah yang sempat saya amati, ketika siang hari keluar naik sepeda motor membeli buah sambil berkeliling melihat situasi kota.
Satu-satunya hiburan adalah radio, dan satu-satunya studio radio yang banyak disetel orang adalah siaran radio Sonora yang sejak terjadi gempa selalu memancarkan laporan via tilpun para pendengar dari segenap penjuru kota. Belakangan saya baru menemukan radio Pro3 FM-nya RRI. Sementara studio radio lainnya masih pada klepek-klepek, ditinggal kabur penyiarnya. Dari radiolah warga masyarakat Jogja semakin tahu apa yang terjadi di wilayah lain, tingkat kerusakan dimana-mana dan semakin banyaknya korban ditemukan berjatuhan. Termasuk permintaan bantuan dan ambulan.
Agaknya masyarakat Jogja pada saat itu perlu berterima kasih kepada studio radio Sonora. Di saat semua studio radio mati, di saat orang butuh informasi dan tidak ada yang dapat ditanya, radio Sonora terus-menerus mengudara 24 jam dengan memancarkan suara-suara penilpun dari mana-mana. “Community journalism” telah terbangun dan berjalan dengan sendirinya. Masyarakat adalah wartawannya, siapapun dia, dimanapun dia berada. Dan hal ini sangat membantu bagi masyarakat lainnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sisi lain kotanya. Siapa dan dimana butuh bantuan apa, siapa dan dimana dapat membantu apa. Dan sistem itu bekerja. Bantuan cepat tersampaikan, meski seadanya, meski tidak seberapa nilainya, tapi pasti sangat besar artinya bagi mereka yang sedang benar-benar membutuhkannya. Spontanitas bantu-membantu dan solidaritas sosial segera terbangun dengan sendirinya. Sungguh membanggakan. Sangat bertolak belakang kalau ingat berita tentang tawuran dan pertikaian.
***
Listrik mati di hampir semua kawasan. Telepon seluler serta-merta susah digunakan. Barangkali karena lalu-lintas komunikasi tiba-tiba sedemikian padatnya. Setiap orang kepingin saling mengirimkan kabarnya kepada sanak-famili pada waktu bersamaan. Demikian halnya sanak-famili yang di tempat jauh segera kepingin tahu kabar anak, keponakan, orang-orang terkasih, orang tua atau saudara lainnya yang tinggal di Jogja, sesaat setelah mendengar berita gempa dahsyat yang baru terjadi. Bisa dimaklumi, mengingat Jogja lagi penuh-penuhnya orang liburan panjang akhir pekan, juga lagi musim ujian sehingga umumnya mahasiswa berada di tempatnya.
Maka praktis seharian itu telepon seluler seperti macet-cet, susah dihubungi maupun menghubungi keluar. Hanya tilpun telkom rumahan (PSTN) yang masih berfungsi. Sayangnya wartel pada tutup, umumnya karena bangunannya juga rusak akibat gempa. Di rumah saya belum terpasang tilpun telkom. Maka HP menjadi andalan komunikasi. Itupun setengah mati susahnya. Lebih kesal lagi ternyata dari tiga pesawat HP yang ada di rumah, semuanya baterenya sudah lemah, tinggal satu atau dua bar indikator tenaganya. Jadi kepingin marah saja, kenapa semalam tidak ada yang punya inisiatif nge-charge batere HP. “Habis enggak tahu kalau mau ada gempa…..”, begitu setiap orang membela diri.
Sementara mau nge-charge batere, listrik mati dan tidak tahu akan sampai kapan. Kalau sudah begini baru teringat, kenapa selama ini tidak pernah terpikir untuk memiliki asesori colokan tambahan atau kabel ekstension (atau entah apa namanya) yang bisa dipakai untuk nge-charge HP dari mobil. Untungnya masih ada sisa cukup bensin dalam tangki mobil dan sepeda motor, karena dimana-mana serentak terjadi antrian panjang untuk memperoleh BBM. Setidak-tidaknya kalau mendadak diperlukan, mobil atau sepeda motor siap untuk digunakan.
Satu-satunya SMS yang berhasil saya kirimkan keluar di saat pagi adalah kabar selamat kepada sanak keluarga di kampung saya di Kendal. Bagaimanapun juga kabar gempa dahsyat akan segera sampai ke sana dan pasti akan segera menghubungi Jogja. Setelah itu, SMS sulit sekali dikirim keluar, sekali-dua kali berhasil membalas SMS teman-teman yang menanyakan kabar saya, setelah itu mental dan mental lagi tidak mau terkirim. Keadaan ini berlangsung hingga sore hari dan malam hari. Sesekali SMS bisa diterima, tapi tidak pernah bisa dibalas keluar.
Siang itu kami semua lebih banyak meluangkan waktu untuk beres-beres rumah sebisanya. Mengumpulkan barang-barang yang pecah, menata kembali benda-benda yang berserakan dan berhamburan. Minimal agar tidak mengganggu aktifitas di dalam rumah dan aman dari pecahan-pecahan beling (kaca). Perkara membuangnya bagaimana, nanti diurus belakangan.
Saat malam tiba, sebagian kawasan kota Jogja masih gelap gulita, sebagian lainnya ada yang sudah mulai menyala listriknya. Yang paling mencekam tentu saja di kawasan yang paling parah kondisinya, seperti sebagian besar wilayah kabupaten Bantul dimana sangat banyak rumah yang rata dengan tanah. Sudah pasti masyarakat pada tidur di luar rumah dalam suasana gelap-gulita. Atau di tenda-tenda kalau kebetulan sudah sempat menerima tenda bantuan. Lebih banyak lagi yang belum terjangkau tenda bantuan, asal ada tempat berteduh sementara dari benda-benda apa saja. Sementara langit mendung dan menampakkan tanda-tanda bakal turun hujan, begitu kata ramalan cuaca di radio. Dari radio pula saya mendengar tilpun permintaan bantuan makan, tenda, penerangan, medis, datang dari penilpun dimana-mana, tak henti-hentinya.
Tidak kalah serunya nasib anak-anak kost, terutama yang biasa makan di luar. Jelas tidak mudah menemukan warung makan di saat kondisi darurat seperti ini. Mereka midar-mider kesana-kemari untuk membeli makan, yang tentu saja tidak mudah menemukannya. Mentok-mentoknya masak mie instan, itupun kalau kebetulan masih punya persediaaan di kamarnya, karena di luar susah menemukan warung yang buka. Rumah makan atau restoran tidak ada yang buka. Apalagi warung kaki lima sego kucing (nasi kucing, istilah Jogja untuk sebungkus kecil nasi dengan sedikit lauk yang dibungkus daun pisang, umumnya dijual dengan harga Rp 600,- sampai Rp 800,- per bungkusnya, mirip segenggam makanan untuk kucing) yang biasanya betebaran di setiap penjuru kampung, hari itu tidak ada yang buka. Bisa jadi para penjualnya masing-masing juga lagi pada sibuk mengurus rumah dan keluarganya. Kalau kucingnya banyak berkeliaran di mana-mana, tapi sego atau nasinya yang enggak ada…..
***
Beruntung sekali, di kawasan Umbulharjo listrik sudah menyala sekitar jam 7 malam. Sementara di kampung sebelah-menyebelah masih gelap-gulita. Hal pertama yang kami lakukan setelah menghidupkan penerangan rumah adalah beramai-ramai nge-charge HP, lalu nyetel TV (kebetulan satu TV yang tadi siang njungkir ternyata masih bisa dinyalakan). Maka hampir semua acara televisi adalah berita gempa. Kami pun semakin tahu lebih banyak apa yang terjadi di belahan lain kota Yogyakarta dan sekitarnya, terutama kabupaten Bantul. Tiada kata yang pas melukiskan tragedi Sabtu pagi itu, selain tragis, menyedihkan dan memilukan.
Sementara istri menyiapkan makan malam seadanya, ya mie instan itu tadi dicampur sisa sayuran yang masih ada di dalam kulkas. Saya sibuk menjerang air untuk bikin kopi. Jangan sampai tertunda lagi. Secangkir kopi cap “Kapal Api” terasa luar biasa nikmatnya. Kopinya panas, tapi serasa menyejukkan pikiran. Maklum, sejak leyeh-leyeh bermalasan menunggu jarum panjang mencapai angka 12 di pagi harinya, namun kurang enam menit acara ngopi pagi batal gara-gara ada gempa. Bukan tidak sempat ngopi, melainkan kopi yang sudah disiapkan istri saya cangkirnya menggelinding dan isinya ndlewer (tumpah) kemana-mana……
Umbulharjo, Yogyakarta – 6 Juni 2006
Yusuf Iskandar