Posts Tagged ‘bantul’

Membangkitkan Semangat Usaha Korban Gempa Jogja

5 Juni 2008

Temu Usaha

Ketika gempa Jogja terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 27 Mei 2006, sesudahnya perhatian pemerintah dan masyarakat banyak tertuju kepada upaya rehabilitasi di bidang pembangunan fisik. Sedang perhatian kepada pemulihan sumber penghidupan khususnya ekonomi sangat kurang, apalagi di bidang pertanian yang terbukti sangat mendukung perekonomian masyarakat di pedesaan.

Dari latar belakang itulah, maka UN-FAO (United Nations – Food and Agriculture Organization) memprakarsai upaya pemulihan sumber penghidupan para pelaku industri rumah tangga berbasis hasil pertanian yang menjadi korban gempa. Dalam hal ini UN-FAO didukung oleh Program Kemitraan Indonesia-Australia (AUSAID) dan bekerjasama dengan berbagai lembaga donor dan mitra lokal.

Maka pembinaan dan pelatihan telah diberikan kepada kelompok masyarakat di dua wilayah, yaitu Desa Gondangan, Kabupaten Klaten dan Desa Srihardono, Kabupaten Bantul. Tujuan utamanya antara lain untuk pemulihan kapasitas produksi melalui penggantian aset usaha yang hilang, membangkitkan semangat berusaha (capacity building) dan pengembangan jaringan pemasarannya.

Kini, dua tahun setelah gempa, sebuah pertemuan digelar untuk membantu membuka akses pemasaran bagi produk hasil industri rumah tangga masyarakat korban gempa hasil binaan UN-FAO beserta segenap tim yang terlibat.

***

Makanan Olahan

Tanggal 29 Mei 2008, bertempat di hotel Grand Quality Yogyakarta, kebetulan saya diundang untuk turut menghadiri pertemuan antara pelaku usaha kecil korban gempa (produsen) dengan mitra dagang yang adalah calon pembeli potensial yang diharapkan akan turut memasarkannya. Saya sebut kebetulan, karena sebenarnya kehadiran saya di luar skenario panitia, terbukti pihak penerima tamu kebingungan mau memasukkan saya ke kelompok mana karena nama saya belum ada di formulir daftar hadir.

Ndilalah saja kok ya beberapa hari sebelumnya ada teman baru di TDA Joglo (Mas Cahyadi Joko Sukmono dari Frontier Indonesia) yang mengundang via email, padahal belum pernah saling ketemu. Ndilalah juga kok ya saya pas bisa datang. Ndilalah lagi, di sana saya bertemu dengan Mas Memetz (sesama warga kelompok diskusi MM4 TDA Joglo). Maka saya yang mula-mula menyebut kehadiran saya sebagai pribadi, hingga akhirnya ketika di dalam ruangan spontan berubah mewakili toko saya (Madurejo Swalayan), sama seperti wakil dari toko-toko ritel lainnya yang ada di Yogyakarta yang hari itu juga diundang hadir, antara lain dari toko Swalayan Pamela, Maga, bahkan juga Carrefour. Mestinya masih ada lebih banyak lagi toko swalayan atau minimarket sejenis di Yogyakarta (saya tidak tahu persis, apakah tidak diundang atau berhalangan hadir).

Melalui acara yang diberi judul Temu Usaha itu diperkenalkan dan sekaligus dipromosikan aneka jenis produk makanan olahan yang telah disempurnakan dari sisi keragaman produksi dan penampilan atau kemasannya. Dari daerah Gondangan, Klaten, yang merupakan daerah sentra industri makanan kecil dipamerkan antara lain krupuk aneka rasa, karak, criping, sukun, lalu ada kacang telor, pangsit, dsb. Dari daerah Srihardono, Bantul, yang merupakan sentra industri rumah tangga berbasis pertanian diperkenalkan antara lain geplak, peyek, tepung aci, krupuk aci aneka rasa, onde-onde dan juga minyak kelapa.

Dari Temu Usaha ini diharapkan akan menjadi kunci pembuka bagi sebuah kerjasama pemasaran antara pelaku industri rumah tangga dengan para pengusaha sebagai mitra usaha yang berkelanjutan. Bagi pelaku industri yang boleh dikatakan usahanya telah hancur karena gempa, melalui forum ini akan memiliki semangat untuk bangkit dan menata kembali, serta memulihkan dan meningkatkan sumber-sumber penghidupan ekonominya.

Acara pokoknya banyak terfokus pada diskusi tentang prosedur atau tata cata untuk dapat turut menjualkan produk olahan makanan di toko-toko ritel. Juga tentang cara penyajian atau pengemasannya (hal yang paling sering menjadi kelemahan pengusaha kecil kita). Hingga diberikannya kesempatan kepada mitra usaha untuk mencicipi (ini bagian yang paling saya sukai…) dan memberi penilaian atas lebih 20-an jenis produk olahan makanan yang diperkenalkan, dipamerkan dan dipromosikan.

Patut diberi apresiasi kepada pemrakarsa dan semua pihak yang terkait dengan program peduli kelompok usaha kecil semacam ini, baik FAO atau siapapun juga. Kepedulian terhadap upaya pembinaan dan pendampingan pengembangan bisnis masyarakat kecil semacam ini agaknya memang langka menjadi perhatian. Setidak-tidaknya agar sebagian dari masyarakat yang ekonominya sempat hancur terpuruk diporak-porandakan oleh gempa Jogja dua tahun yang lalu, bisa bangkit kembali untuk membangun sumber-sumber penghidupannya. Dan, tidak sekedar kembalinya bangunan fisik rumah saja, melainkan juga penghidupan di dalamnya.

Sebuah langkah kecil karena tidak bisa menjangkau semua kawasan korban gempa, namun juga sebuah langkah besar di antara banyak pihak yang kurang (sempat) memperhatikannya, bahkan pemerintah sendiri banyak mengalami kendala dan keterbatasan di sektor ini.

Yogyakarta, 4 Mei 2008
Yusuf Iskandar

(“Madurejo Swalayan” tentu saja ingin berperanserta sebisanya….., dan kali ini baru bisa bertemu dan bisa mencicipi….., berikutnya bisa turut menjualkan….. Pokoknya harus bisa saling membantu dan bisa saling menguntungkan….. Kalau Indonesia saja Bisa…!, apalagi Madurejo, buisa biyangeth….).

Ada Gempa Di Kotaku (4)

18 Desember 2007

Sekitar menjelang jam delapanan, ketika orang-orang masih saling berkelompok membicarakan bencana luar biasa yang barusan dialami, tiba-tiba terjadi gempa susulan. Memang tidak terlalu keras getarannya, tapi tak ayal lagi membuat semua orang terkejut dan secara refleks saling mengambil posisi aman untuk menyelamatkan diri kalau-kalau terjadi sesuatu. Mereka yang sedang memeriksa rumah masing-masing atau berada di dekat rumah pun serta merta berhamburan menjauh. Keterkejutan yang tak perlu dibantah kenapa-kenapanya. Mengingat semua orang masih dalam situasi mental yang traumatis, belum lepas dari apa yang terjadi dua jam sebelumnya.

Tiba-tiba muncul kabar dari mulut ke mulut entah darimana asal bin muasalnya : “Ada tsunami!”. “Air… air… air sudah dekat!”. “Semua orang pada lari ke utara…!”. Kata-kata menakutkan sejenis itu seperti tak terbendung menular dari mulut ke mulut. Bisa dibayangkan betapa kepanikan tiba-tiba merebak. Hampir setiap orang menjadi panik. Siap-siap…, bergegas meninggalkan rumah untuk bergerak mencari tempat aman. Arah utara yang terpikir, yaitu menjauh dari arah pantai dan menuju daerah tinggi. Suasana begitu kalut dan panik. Orang-orang yang belum lagi pulih dari rasa takut yang mencekam akibat gempa hebat pagi harinya, tiba-tiba dihadapkan dengan ancaman baru gelombang tsunami. Tentu saja bencana tsunami Aceh yang menjadi referensi kepanikan di dalam pikiran setiap orang.

Tak terkecuali keluarga kami pun sempat panik, terutama ibunya anak-anak. Juga enam orang mahasiswa yang kost di tempat kami, yang segera siap-siap dengan sepeda motornya. Ibunya anak-anak segera menutupi pintu rumah, menguncinya, dan siap-siap mengajak pergi entah mau kemana. Saya sendiri sebenarnya ragu. “Tidak mungkin ada tsunami”, kata hati kecil saya. Tapi suasana memang sudah sedemikian paniknya. Para tetangga pun nampak siap-siap dengan mobil, sepedamotor atau berjalan kaki meninggalkan rumah entah hendak kemana. Isu yang santer terdengar mengatakan bahwa air sudah semakin dekat.

Entah kenapa saya merasa sangat pede untuk tidak percaya, untuk tidak kelewat panik. Namun karena saya pikir ini bukan saat yang tepat untuk eyel-eyelan (beradu argumen) dengan istri, maka saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti “irama” kepanikan itu. Saya sarankan kepada istri, kalau memang mau pergi jangan lupa membawa bekal uang secukupnya. Jangan hanya berbekal kunci rumah, karena nampaknya yang terpikir hanya pokoknya mencari tempat aman secepatnya. Sekali lagi, entah hendak kemana.

Tapi sebelum kami memutuskan benar-benar mau meninggalkan rumah, saya minta kepada salah seorang anak kost untuk mencoba keluar mencari tahu informasi yang sebenarnya. Meskipun saya tahu bahwa hal itu tidak ada artinya sama sekali, toh saya suruh juga dua orang anak kost untuk menggunakan sepeda motornya keluar ke jalan raya.

Celakanya, kedua anak kost itu kembali dengan membawa berita yang lebih menakutkan. Air sudah semakin dekat dan orang-orang sudah berduyun-duyun bergerak cepat ke arah utara. Saya tetap tidak percaya. Saya ajak semua orang untuk mendengarkan berita dan laporan di radio mobil, yang ternyata tidak satupun ada peringatan tentang datangnya gelombang tsunami. Justru berita tentang kepanikan luar biasa yang sedang terjadi di mana-mana, di jalan-jalan yang menuju arah utara atau ke arah Kaliurang yang dianggap lebih tinggi lokasinya.

Akibat gempa pagi harinya dan ingatan tentang tragedi tsunami di Aceh, membuat orang lupa bahwa pergi ke dataran tinggi ke utara sama artinya dengan mendekati gunung Merapi dengan wedhus gembel-nya. Belakangan saya baca di koran bahwa beberapa menit setelah terjadinya gempa, telah terjadi luncuran awan panas yang lebih besar dari biasanya. Rupanya pagi itu kebanyakan orang lupa dengan ancaman Merapi.

Dari radio pula dilaporkan bahwa lalu lintas telah menjadi kacau-balau dan macet total dimana-mana. Selain karena lampu lalulintas tidak berfungsi akibat listrik padam karena gempa pagi harinya, juga karena adrenalin semua orang sudah terpacu untuk tidak ingin menjadi korban seperti di Aceh. Kalaupun lampu lalulintas hidup pun rasanya tidak ada lagi orang yang menghiraukannya. Maka peristiwa tabrakan atau serempetan dalam berlalulintas bukan lagi sebuah kecerobohan atau keteledoran, melainkan sebuah proses. Proses untuk mencari selamat. Dikabarkan bahwa kepanikan dan kekalutan di jalan-jalan sudah sedemikian memuncaknya. Tabrakan di mana-mana tak terhindarkan lagi, dan celakanya tak ada yang perduli. Masing-masing terpacu untuk secepatnya menuju arah utara. Mobil, sepeda motor, orang-orang berlarian dengan jerit dan tangis kepanikan. Demikian yang saya dengar dari siaran radio Sonora.

Sementara di depan rumah saya di Umbulharjo, ibunya anak-anak kebingungan mencari anak laki-lakinya yang ternyata tidak berada di rumah, justru pada situasi dimana kebanyakan orang sedang berusaha untuk dapat saling berkumpul dengan keluarganya. Rupanya anak laki-laki saya pergi main dengan membawa sepedanya. Ibunya jadi gethem-gethem (geram). Semua orang kepingin berkumpul dengan keluarganya pada situasi segenting dan semenegangkan ini, anak laki-laki saya malah pergi main, begitu jalan pikiran ibunya. Sangat ibuwi (maksudnya, manusiawi sebagai seorang ibu).

Tidak seberapa lama kemudian anak laki-laki saya pulang dengan sepedanya sambil cengengesan. Lalu bercerita, katanya jalanan sangat padat dan ramai, dan orang-orang bilang ada tsunami. Sampai dia kesulitan untuk bersepeda menuju pulang. Ya tentu saja. Ketika semua orang bergerak cepat ke arah utara, dia malah bersepeda melawan arus ke arah selatan untuk pulang. Rupanya dengan temannya anak laki-laki saya baru saja bersepeda berkeliling menginspeksi bangunan-bangunan yang runtuh akibat gempa, demikian laporannya. Dasar anak!

Entah karena semakin bisa mengendalikan rasa paniknya, entah karena melihat saya agak ogah-ogahan diajak pergi. Akhirnya istri saya beserta kedua anak saya ya tetap berdiri di depan rumah saja. Anak-anak kost pun saya yakinkan bahwa tidak ada tsunami. Akhirnya kami semua hanya ngobrol sambil duduk-duduk di atas selembar tikar di depan rumah, sambil mendengarkan laporan-laporan berita di radio Sonora.

***

Kenapa tidak mungkin ada tsunami? Meskipun saya bukan ahli geologi, kecuali pernah kuliah mata pelajaran tentang geologi, kalau sekedar memahami fenomenaa gempa dan tsunami dari referensi-referensi dan artikel-artikel rasanya saya masih bisa memahaminya. Saya mulai banyak belajar tentang pergempaan dan pertsunamian sejak tragedi gempa dan tsunami di Aceh.

Ketika sebelumnya saya mendengar dari radio bahwa pusat gempanya dekat dengan pantai selatan dan dangkal, maka saya cukup pede untuk menyimpulkan bahwa gempa tidak terjadi di palung Jawa atau di garis pertemuan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Oleh karena itu sangat kecil kemungkinannya terjadi longsoran di dasar laut yang sampai menimbulkan gelombang balik yang cukup besar. Paling-paling hanya ombak saja, tapi bukan gelombang tsunami.

Kalaupun toh kesimpulan saya salah dan gelombang tsunami sebesar di Aceh terjadi juga, maka pasti tidak akan sampai ke kota Yogyakarta. Pertama, karena jarak antara garis pantai dengan kota Yogyakarta cukup jauh, lebih 25 km. Kedua, karena antara garis pantai dengan kota Yogyakarta terdapat pegunungan-pegunungan kecil yang pasti mampu menghambat aliran gelombang. Ketiga, karena elevasi kota Yogyaakarta yang berada lebih 100 meter di atas permukaan laut. Maka hanya kalau terjadi gelombang tsunami yang segunung besarnya, yang mampu menjangkau kota Yogyakarta. Dan secara teoritis, itu adalah hil yang mustahal. Kecuali….., Sing Mbau Rekso Bumi menerapkan “penyimpangan” skenario.

Dengan alasan-alasan itulah yang membuat saya tidak larut dalam kepanikan, meskipun sempat saya nikmati “irama”-nya (saya juga heran sendiri…, kok sempat-sempatnya mikir yang begituan di tengah kekalutan suasana). Lebih baik menggelar tikar di depan rumah, menikmati sambil rada deg-degan gemuruh lembut suara gempa-gempa susulan. Setiap terjadi gempa susulan, selalu diikuti dengan suara bergemuruh. Mungkin karena pusat gempanya tidak terlalu jauh dan dangkal. Sambil mendengarkan siaran radio yang melaporkan jumlah korban yang terus meningkat dimana-mana terutama di kawasan kabupaten Bantul dan memonitor laporan para penilpun tentang tingkat kerusakan yang sangat parah menyebar dari berbagai penjuru kota. Termasuk laporan tentang kepanikan luar biasa yang sedang terjadi di jalan-jalan di kawasan Jogja utara.

Satu di antara penilpun rupanya datang dari warga yang tinggal di kawasan tidak jauh dari pantai selatan Parangtritis, yang mengabarkan katanya keadaan air laut baik-baik saja dan tenang-tenang saja, maksudnya tidak nampak ada gejolak yang luar biasa. Nah, lo…! Artinya, memang tidak ada tsunami. Tiwas (telanjur) panik…..

Tapi sungguh saya tidak maidu (menyalahkan). Situasinya memang benar-benar “kondusif” untuk timbulnya kekalutan dan kepanikan. Dan hal semacam ini bisa dialami oleh siapa saja dan terjadi di mana saja.

Umbulharjo, Yogyakarta – 4 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (9)

18 Desember 2007

Sejak hari kedua pasca gempa, gaung solidaritas sosial merebak kemana-mana. Nyaris tak ada stasiun televisi, radio dan media cetak yang melewatkan momen bencana gempa ini untuk saling bahu-membahu menggalang bantuan. Individu-individu yang peduli pada korban gempa berupaya menggalang bantuan dengan caranya sendiri. Relawan berdatangan dari mana-mana. Kelompok-kelompok organisasi non-formal seperti berebut untuk membantu. Belum lagi organisasi formal yang mengusung aneka warna bendera. Tak terkecuali masyarakat internasional pun berdatangan. Berbagai bentuk bantuan seakan-akan tumplek-bleg ke Jogja.

Jogja jadi semakin terkenal. Kota Bantul naik daun. Kalau dulu orang mudanya rada-rada malu menyebut asalnya dari Bantul, kini semua seakan bangga menyebut nama Bantul. Bahkan banyak masyarakat Jogja (apalagi yang pendatang) yang selama ini tidak pernah mengenal kecamatan Bambanglipuro (kedengaran aneh dan mengingatnya pun susah), kini semua orang sangat lancar menyebutnya.

***

Jangan heran kalau di hari-hari awal pasca gempa, jalur lalu lintas Jogja – Bantul luar biasa padatnya. Padat oleh mereka yang bergerak untuk mengungsi. Padat oleh mereka yang minta sumbangan di jalan. Padat oleh mereka yang midar-mider mencari kebutuhan hidup mengingat banyak toko pada tutup. Padat oleh mereka yang berdatangan ingin menyaksikan tingkat kerusakan kota dan perkampungan akibat gempa. Padat oleh kendaraan relawan dan kelompok-kelompok pemberi bantuan. Ditambah lagi dengan konvoi kendaraan pengangkut bantuan yang kesana-kemari. Ngebut lagi!.

Uedan tenan…! Sungguh membuat saya hueran bin gumun. Kendaraan-kendaraan pengangkut bantuan ini rupanya merasa dirinya sebagai pemakai jalan yang harus diutamakan. Akibatnya, tidak perduli jalan sempit dan ramai, konvoi kendaraan-kendaraan ini tetap memaksakan diri untuk bergerak cepat. Malah cenderung membahayakan pemakai jalan lainnya. Apalagi kalau kendaraan yang dipakai adalah kendaraan non-sipil (untuk tidak menyebut militer). Lampu pengatur lalu-lintas seperti tidak berfungsi.

Barangkali bisa menjadi masukan untuk merevisi undang-undang atau peraturan lalu lintas. Selain mobil ambulan, pejabat, pemadam kebakaran, maka mobil pembawa bantuan untuk korban bencana alam agaknya harus termasuk juga ke dalam golongan kendaraan yang harus didahulukan untuk diberi jalan. Meskipun tidak masuk akal, tapi prakteknya demikian.

Lha, kalau hanya membawa mie instan, beras, gula, susu, air mineral atau pakaian bekas, mau tiba di tempat tujuan jam 7 atau jam 8, apa bedanya? Tidak akan berpengaruh terhadap keselamatan jiwa korban bencana. Tapi ya tetap saja, kalau bisa sampainya jam 6 tapi sudah narik dua trip. Maka sopir-sopirnya pun seperti kesetanan. Dan siapapun pemakai jalan pada saat itu harus berlapang dada untuk mengalah. Semua orang harus mafhum, karena semua orang pula ingin menjadi yang teristimewa. “Mau ngirim bantuan, je…“, begitu kata wong Jogja.

Ya, sudah… Yang penting semua atas dasar niat baik untuk membantu sesamanya. Perlu digarisbawahi pada kata “niat baik”. Karena rupanya selalu ada oknum-oknum yang mancing di air buthek. Meski dibantah oleh pak polisi. Tapi sudah menjadi rahasia umum yang banyak diceritakan orang dari berbagai lokasi bencana. Mula-mula datang sebagai “relawan” membagi-bagikan mie instant. Begitu ada yang lengah, beberapa sepeda motor diangkut oleh teman-teman “relawan” ini. Barang-barang di rumah yang ditinggal mengungsi pun dijarah. Suasana memang menunjang, karena listrik masih padam, sementara setiap orang sedang pusing dengan dirinya sendiri dan keluarganya. Akibatnya, masyarakat korban gempa menjadi sensitif kalau ada orang tak dikenal datang pada saat sore atau malam hari. Ini memang cerita selingan saja, meski tidak diragukan kebenarannya.

***

Hal yang selalu mengundang kritik ketika terjadi bencana alam adalah lambatnya distribusi bantuan. Tak terkecuali dengan yang terjadi di Jogja, Bantul dan sekitarnya. Hari kedua pasca gempa, bantuan seperti mbanyu mili…, mengalir deras dari mana-mana. Tapi di radio, televisi dan surat kabar banyak dikeluhkan masyarakat yang tak juga kunjung menerima bantuan. Rasanya tidak percaya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Prosedur yang kelewat berbelit? Sistem yang terlalu birokratis? Atau, petugasnya kami-tenggengen (terbengong-bengong) tidak tahu apa yang harus dilakukan? Sehingga bantuan hanya menumpuk dan tidak segera disalurkan? Masih lebih baik kalau tidak disimpan oleh oknum nakal untuk dirinya sendiri.

Maka sangat dipahami kalau kemudian pihak-pihak swasta, lembaga swadaya atau pribadi-pribadi, memilih untuk menyalurkannya sendiri bantuan yang mereka telah himpun. Langsung ke sasaran dan tidak khawatir dikorup oleh oknum. Tapi ada juga kelemahannya. Terkadang satu kelompok korban memperoleh kelewat banyak bantuan, korban lainnya sama sekali belum menerima apa-apa. Apalagi kalau lokasi korban berada jauh dari akses jalan terdekat.

Itulah yang terjadi dengan masyarakat korban gempa yang berada antara lain di lereng-lereng perbukitan sebelah timur Piyungan – Prambanan. Kawasan ini kurang “populer” dan jauh dari jalan raya yang bisa diakses oleh kendaraan roda empat. Bantuan dari pemerintah belum menyentuh, kecuali dari lembaga-lembaga swasta. Ke sanalah saya akan mengarahkan bantuan yang saya terima sebagai titipan dari beberapa rekan. Insya Allah tidak akan percuma, apapun bentuknya.

Umbulharjo, Yogyakarta – 8 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (12)

18 Desember 2007

Pak Rohani tidak dapat menyembunyikan butir air matanya ketika ia bercerita bagaimana ia dan istrinya lolos dari maut saat terjadi gempa dahsyat 27 Mei yang lalu. Pak Rohani dan istrinya saling berpelukan merunduk di belakang pintu rumahnya yang keburu roboh dan menimbun tubuh keduanya, ketika mereka berdua sedang berjuang lari keluar dari rumah pada detik-detik mematikan ketika bumi bergoncang hebat.

Itulah detik-detik dimana Pak Rohani dan istrinya berpacu dalam “injury time” (istilah ini saya gunakan kebetulan ada pesta Piala Dunia di Jerman). Saya hanya ingin sedikit mengulang cerita saya sebelumnya, bahwa kalau memang rumah yang kita tempati itu “layak” roboh akibat gempa, maka tidak ada satu hal pun yang dapat menundanya. Tidak juga Pak Rohani yang menyeret istrinya untuk segera keluar dari rumahnya.

Detik-detik “injury time” berlangsung dengan sangat cepat, dan kecepatan lari Pak Rohani dan istrinya ternyata tidak mampu mendahuluinya. Maka tertimbunlah mereka. Puji Syukur, mereka selamat dan akhirnya dapat keluar dari sela-sela reruntuhan rumahnya ketika gempa mereda. Tidak lama kemudian Pak Rohani tahu bahwa beberapa orang tetangganya bernasib sama, yaitu kerobohan rumahnya saat gempa terjadi. Namun nasib setelahnya tidak sama, beberapa orang tetangganya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kata-kata apa lagi yang dapat diucapkan oleh Pak Rohani dan istrinya, demi mengingat peristwa itu?

Pak Rohani adalah kepala dusun Kenaran, desa Sumberharjo, kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman. Delapan orang warganya meninggal dan 115 rumah warganya roboh akibat gempa. Kini pak Kadus (kepala dusun) yang kebetulan juga seorang aktifis NU ini ditunjuk menjadi koordinator posko pengelola bantuan gempa di kampungnya. Semua warganya, kalau malam tiba kini masih tidur di tenda panjang yang dibangun di tengah jalan kampungnya.

Kalau kita sering mendengar atau membaca berita tentang para korban gempa yang masih tinggal di tenda-tenda darurat, jangan dibayangkan itu adalah tenda seperti tenda pramuka, pecinta alam, atau tenda tentara. Sebagian kecil di antaranya yang kebetulan sudah memperoleh bantuan tenda “beneran”, memang benar demikian. Namun lebih banyak lainnya adalah “tenda-tendaan” yang berupa bedeng-bedeng atau sekedar atap penutup yang terbuat dari plastik atau terpal dengan dinding seng bekas, tripleks atau penghalang apa saja yang dapat digunakan.

Hari-hari malam seperti sekarang ini, malam-malam purnama, udara cukup dingin. Jadi jangan tanyakan bagaimana mereka tidur mlungker bin ngeringkel berdesak-desakan. Bagaimana anak-anak dan bayi-bayi mereka tidur. Bagaimana mereka mengatasi hembusan angin dingin. Tapi juga jangan heran, kalau di bawah “tenda-tendaan” itu mereka yang pecandu bola masih bisa berjama’ah begadang menyaksikan siaran Piala Dunia, jam 20:00, jam 23:00 lalu jam 01:00 dini hari. Setidaknya mereka jadi tidak tidur kedinginan, melainkan kedinginn saja karena tidak tidur.

Dusun Kenaran, Sumberharjo, lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari jalan raya Prambanan – Piyungan, kira-kira masuk sejauh 4 km ke arah timur. Namun tidak terlihat dari jalan raya karena untuk mencapainya harus melalui jalan aspal kecil yang membelah kawasan persawahan. Dusun itulah yang menjadi tujuan pertama saya pada hari Sabtu siang kemarin untuk membagikan bantuan bahan makanan titipan dari seorang teman yang telah mentransfer uangnya kepada saya. Kebetulan saya menuju lokasi itu bersamaan dengan tim dari radio Gema Panca Marga Pacitan yang membagi-bagikan pakaian kaos ratusan lembar jumlahnya.

Dari desa Sumberharjo, saya yang disertai oleh anggota tim yang terdiri dari istri, anak pertama saya yang sedang menunggu hasil ujian nasional SMP-nya dan keponakan kecil yang masih berusia 2,5 tahun, berpindah menuju ke arah yang lebih selatan. Masih bersama tim dari Pacitan, kami menuju dusun Wanujoyo Lor dan Wanujoyo Kidul, desa Srimartani, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul. Lokasinya sekitar 2 km ke arah timur dari jalan raya Piyungan – Prambanan melalui jalan yang membelah kawasan persawahan. Bantuan ke dusun ini saya salurkan melalui posko yang ada di depan jalan masuk dan ada juga yang saya sampaikan langsung melalui seorang sesepuh kampung sambil saya berkendaraan mengelilingi dusun.

Dari jalan raya, desa ini tampak baik-baik saja. Namun kita baru tahu apa yang terjadi setelah benar-benar memasuki wilayah pedukuhannya. Sungguh membuat kita menahan nafas. Bisa dikatakan hampir semua rumah yang ada telah roboh, rusak berat dan tidak layak huni. Sebagian besar di antaranya benar-benar rata dengan tanah. Dari lebih 1400 jiwa penduduknya, sebanyak 37 orang meninggal dunia dan ratusan orang cedera yang sebagiannya kini masih dirawat di rumah sakit. Namun ada juga bayi-bayi yang lahir beberapa hari setelah gempa.

***

Perjalanan pendistribusian bantuan bahan makanan Sabtu sore kemarin kami lanjutkan ke arah lebih ke selatan lagi. Tepatnya ke jalan yang menuju kota Wonosari. Setelah melewati jalan berkelok-kelok menaiki bukit, kira-kira di Km 19, di kecamatan Patuk, saya berbelok ke arah barat daya memasuki jalan kecil yang menuju kecamatan Dlingo. Setelah menempuh jarak sekitar 6,5 km menyusuri pinggiran bukit Patuk, lalu masuk ke kiri melalui jalan kecil pas selebar kendaraan kira-kira sejauh 2 km. Dua pedukuhan yang lokasinya bersebelahan menjadi tujuan kami, yaitu Pencitrejo dan Ngenep, di kecamatan Terong.

Meskipun secara administratif kedua dusun ini termasuk wilayah kabupaten Bantul, tapi lokasinya cukup jauh dari kota Bantul yang gambar dan fotonya sering muncul di televisi atau di koran, karena lokasi kedua pedukuhan ini berbatasan dengan kabupaten Gunung Kidul. Saya yakin orang tidak akan tahu kalau di lokasi terpencil di balik perbukitan ini kondisinya juga sangat parah, kalau tidak mengunjunginya sendiri. Namanya juga di desa dan di perbukitan, rumah-rumah penduduknya tentu tidak berjejer-jejer seperti di kota, melainkan menyebar di mana-mana di balik-balik semak pepohonan.

Tampak di pinggiran jalan kampung adalah beberapa tenda yang didirikan di sela reruntuhan rumah. Di situlah kini mereka tinggal. Menurut Pak Mujimin, kepala dusun Ngenep, seluruh rumah warganya roboh, 40 rumah di antaranya ambruk-bruk seketika saat gempa terjadi. Beruntung hanya seorang yang meninggal, meski banyak yang cedera. Menyaksikan apa yang terjadi, terlalu sulit rasanya menerka-nerka perasaan seperti apa yang sedang dirasakan oleh mereka yang menjadi korban gempa. Kami yang menyaksikan seperti terlarut dalam kesedihan yang mereka sedang rasakan. Terlebih kaum ibu, hanya bisa istighfar (memohon ampun kepada Allah). Ya, kalau bukan karena ampunan-Nya, rasa kasih dan sayang dari siapa lagi yang bisa diharapkan…..

Pak Mujimin kini merasa masygul menatap rumahnya yang hampir rampung dibangun dengan susah payah itu ikut tumbang juga. Pasalnya, hari Jum’at sore sebelum gempa terjadi, ia baru menyelesaikan bagian terakhir teras rumahnya. Besoknya adalah hari pertama rumah barunya jadi, tentu saja rumah baru menurut ukuran kampungnya. Namun sayang, Yang Maha Kuasa kelihatannya tidak mengijinkan Pak Mujimin menyaksikan rumah barunya, begitu Pak Mujimin membahasakan pengalaman pedihnya. Belum tinggi matahari terbit, matanya masih dikucek-kucek, belum sempat kedua matanya menyaksikan dengan jelas rumahnya yang baru rampung dibangun, keburu ada gempa merobohkannya.

Sabtu sore kemarin itu sebenarnya saya juga ada rencana untuk mendistribusikan bantuan ke lembah yang lebih terpencil lagi, masih di desa Terong. Rencananya bahan makanan akan dilangsir dengan sepeda motor karena tidak ada jalan yang dapat dilalui mobil. Selama ini memang sudah ada bantuan yang diterjunkan dari helikopter, tapi tentu belum mencukupi. Namun mengingat hari sudah menjelang gelap, akhirnya saya batalkan rencana untuk langsung menuju lokasi.

Pendistribusian bantuan bahan makanan sore kemarin terpaksa saya cukupkan dulu, untuk dilanjutkan hari berikutnya. Tidak ada kata terlambat. Tidak akan pernah ada istilah terlambat untuk membantu mereka yang membutuhkan, lebih-lebih mereka yang tinggal di lokasi-lokasi yang sedikit dicapai orang.

***

Sampai di rumah saya baru ingat, hari Minggu ini ada acara kerja bakti di lingkungan tempat tinggal saya untuk membersihkan sisa-sisa reruntuhan yang masih teronggok di ujung jalan. Kampung juga perlu dibersihkan. Ya sudah, bersih-bersih kampung dulu. Insya Allah hari Senin pendistribusian bantuan akan dilanjutkan.

Umbulharjo,Yogyakarta – 11 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (13)

18 Desember 2007

Tiba-tiba saya ingat kepada bekas tetangga saya yang dulu pernah memberi saya seekor pitik ayam alas. Dia tinggal di Imogiri. Pikiran saya cepat melayang jauh ke sana, sebab saya tahu bahwa Imogiri adalah salah satu wilayah yang cukup parah terkena gempa. Bukan hanya perumahan penduduknya yang porak-poranda, bahkan kompleks makam raja-raja Ngayogyokarta Hadiningrat pun tak lepas dari kerusakan akibat goyangan gempa.

Hari Senin siang yang lalu saya meluncur ke Imogiri sambil membawa sisa titipan bantuan dari seorang teman yang tinggal jauh di seberang lautan sana. Setiba di jalan utama menjelang pasar, yang terlihat sepertinya hanya bangunan toko dan rumah-rumah penduduk yang roboh di sepanjang kiri-kanan jalan. Saya coba berkendaraan perlahan sambil tolah-toleh dimana rumah bekas tetangga saya itu. Lho, kok rumahnya hilang?

Ternyata rumahnya roboh. Rumah tetangganya yang di depan, belakang, kiri dan kanannya juga roboh. Makanya rumah bekas tetangga saya itu seperti hilang berada di tengah reruntuhan satu kawasan. Tidak jauh dari rumahnya, di seberang jalan, di teras rumah saudaranya yang kebetulan tidak “terlalu” roboh, melainkan miring-miring arep (mau) ambruk, saya lihat istrinya sedang menyiap-nyiapkan minuman dan makanan gorengan. Dalam hati saya bertanya : untuk apa, atau untuk siapa? Apakah nyambi jual teh hangat dan gorengan? Karena memang tidak banyak yang dapat dikerjakan oleh mereka yang menjadi korban gempa di minggu-minggu awal pasca gempa.

Setelah ikutan duduk di teras itu, sambil ngobrol-ngobrol, ya masih cerita tentang aneka pengalaman pergempaan tentunya, barulah saya tahu. Bukan hanya tahu, tapi trenyuh atiku dibuatnya. Pertanyaan basa-basi yang saya ajukan dengan hati-hati bernada serius : “Apakah nyambi jual minuman?”. Jawabnya sungguh membuat saya malu pada diri sendiri. “Inggih mboten, pak (Ya, tidak, pak)…”. Sambil rada nyengenges sang istri berkata : “Wong ini sekedar menyediakan untuk siapa saja yang membutuhkan, siapa saja yang kehausan di jalan. Ya, orang lewat, ya bakul pasar, ya para tukang yang sedang kerja membersihkan reruntuhan. Siapa saja silakan mengambil sendiri kalau mau…”, begitu kira-kira lanjutnya. Mak deg, atiku.

Hebat sekali orang ini. Lha wong rumahnya rubuh, tidur di “tenda-tendaan”, makan ya masih tergantung suplai orang lain, kok sempat-sempatnya menjerang air di pinggir jalan dan menyediakan teh hangat gratis buat siapa saja, teh manis lagi… Malah kalau ada kerabat dekatnya yang datang, seperti saya dan anak saya siang itu, lalu disuguhi bakwan goreng. Bener-bener ora tinemu ning akal (tidak masuk logika saya). Tapi ya…, yang namanya berbuat amal saleh menolong sesama itu nampaknya tidak memerlukan logika, dan memang tidak usah dilogika. Kalau memang sudah krenteg mau berbuat baik, “just do it”! Selebihnya biar Sang Maha Pemberi Rejeki yang mengurusnya… Menurut ungkapan populernya : Gusti Allah mboten sare (Tuhan itu tidak tidur)….. Mau ditinggal tidur segenap mahluk-Nya pun Dia tetap mboten sare…..

Setinggi-tingginya dan selama-lamanya saya pernah belajar (perlu saya tekankan pada kata selama-lamanya, sebab saya bersyukur bisa nggondhol pangkat sarjana setelah melalui semester 18….. Ing wayah semono, di jaman itu…..), dan sejauh-jauhnya saya pernah menuntut ngelmu dan pengalaman. Ternyata saya justru memperoleh pelajaran hidup sangat berharga dari bekas tetangga saya, orang Imogiri, tidak jauh-jauh dari tempat tinggal saya.

***

Bekas tetangga saya ini sempat mengajak saya melihat-lihat rumahnya dan rumah-rumah tetangganya. Rata-rata tinggal menyisakan sekitar setengah meter tinggi dinding batanya. Kalau saya cermati, kebanyakan rumah-rumah yang roboh di kawasan pedesaan ini adalah bangunan lama (meski tidak semuanya begitu, banyak juga bangunan baru yang ikut roboh). Tipikal bangunan kuno di pinggiran Jogja adalah berdinding tebal, karena dindingnya tersusun dari dua batu bata berjejer atau kalau tidak ya dipasang melintang, maka tebal dindingnya adalah dua kali (ada juga yang lebih) tebal dinding bata pada umumnya bangunan sekarang.

Namun adonan pasangannya tidak menggunakan pasir, gamping dan semen, melainkan campuran tanah liat atau lempung, bubuk bata merah dan gamping, dan sangat jarang yang menggunakan campuran semen. Selain itu, umumnya tidak menggunakan rangka penguat yang biasanya berupa kolom cor-coran dan besi batangan. Bahkan di sudut-sudut bangunannya pun hanya mengandalkan cara pemasangan batu bata yang disilang-menyilang. Kemudian rangka atapnya atau wuwungan, hanya menempel atau tergeletak di atas dinding batanya. Karuan saja, sangat rentan terhadap goyangan dan geseran.

Pertanyaannya, kenapa orang Jogja berani membuat struktur bangunan seperti ini? Termasuk bangunan-bangunan kuno milik keraton? Jawabnya mudah, karena orang Jogja tidak pernah menyangka ada gempa berkekuatan besar dapat melanda. Tidak juga pernah ada cerita temurun-turun dari embah buyutnya embah bahwa dahulu kala Sang Ontorejo Yang Maha Penguasa Perut Bumi pernah ngolet (menggeliat) di dalam buminya Jogja.

Kata kuncinya adalah “tidak pernah menyangka”. Maka, waspadalah para penduduk bumi di belahan lain yang selama ini anteng-anteng saja dan “tidak pernah menyangka”. Potensi gangguan alam bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dari mana saja, menimpa siapa saja, dengan atau tanpa peringatan dini. Tapi pasti ada ilmu yang bisa “dibaca”.

***

Bekas tetangga saya ini bersama anaknya kemudian mengantarkan saya mendistribusikan bantuan logistik ke kawasan Imogiri selatan. Kami menuju ke dukuh Karang Rejek, desa Karang Tengah, kira-kira dua kilometer tenggara pasar Imogiri. Sedikit menaiki dan menuruni lereng bukit, melalui jalan kecil selebar pas satu kendaraan. Hampir semua rumah di pedukuhan itu roboh, ada juga yang masih berdiri tapi tidak aman ditempati karena retak parah disana-sini.

Dari Karang Rejek, saya melanjutkan ke dukuh Srunggan, masih di desa Karang Tengah, sekitar tiga kilometer selatan pasar Imogiri. Di pedukuhan ini juga sebagian besar rumah roboh atau rusak parah. Yang pasti pemiliknya tidak lagi berani menempati. Mereka masih tidur di tenda-tenda. Ada yang masih berupa tenda-tendaan, sekedar atap kedap air dihalangi dinding seadanya. Namun di beberapa tempat saya lihat ada yang sudah dipasang tenda bagus dan terlihat baru berbentuk setengah silinder tengkurap (sebab kalau tengadah ya susah didirikan), bantuan dari Bulan Sabit Merah Internasional.

Perjalanan pengiriman bantuan siang hingga sore itu saya akhiri dengan berkendaraan mengelilingi kota kecamatan Imogiri, Bantul, dan kawasan sekitarnya. Betapa kerusakan merata di seluas kawasan yang saya lewati. Minggu ketiga pasca gempa ini kebanyakan masyarakat mulai melakukan bersih-bersih di wilayah masing-masing. Kebutuhan logistik sudah mulai tercukupi, meski masih dibutuhkan. Kebutuhan peralatan pertukangan mulai banyak diperlukan untuk membongkar reruntuhan dan ada juga yang mulai mendirikan tempat berteduh seadanya.

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (14)

18 Desember 2007

Seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat, baik yang berasal dari kota Jogja sendiri maupun dari luar Jogja, posko-posko bencana gempa Jogja bermunculan di berbagai penjuru kota. Mereka mengkoordinasi berbagai bantuan yang berhasil diterima dan dikumpulkan, lalu menyalurkannya langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di berbagai titik lokasi korban gempa. Langsung kepada para korban. Entah mengapa mereka umumnya tidak mau menyerahkannya melalui posko-posko yang dibangun pemerintah, melainkan memilih untuk menyalurkannya sendiri. Berbaik-sangka sajalah, barangkali agar bisa turut merasakan langsung seperti apa beban derita mereka yang menjadi korban.

Teman-teman saya yang mantan pegawai Freeport, Papua, juga membentuk posko peduli gempa Jogja. Segenap rekan dan sesama mantan pegawai Freeport yang tinggal di luar Jogja lalu dihubungi, barangkali berniat menyampaikan sekedar bantuan, maka posko peduli gempa siap membantu menyalurkannya. Tidak terkecuali segenap rekan yang masih aktif bekerja di Papua juga menggalang dana.

Akhirnya terkumpullah sejumlah dana yang segera dibelikan nasi bungkus, sembako, susu, tenda, selimut, peralatan masak, dsb. Semua didistribusikan sebagai tindakan tanggap darurat bagi korban gempa, ke seganap penjuru wilayah Jogja, Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Mulai dari pembagian nasi bungkus ke rumah sakit-rumah sakit hingga bantuan sembako ke pelosok desa. Sebagian di antaranya adalah keluarga karyawan Freeport yang rumahnya roboh atau rusak berat. Kini, posko peduli gempa siap-siap memasuki tahap rekonstruksi atau rehabilitasi. Sejumlah dana yang masih digalang di Papua akan segera menyusul untuk disalurkan.

Hari Rabu yang lalu, sejumlah paket bantuan logistik yang masih tersisa di posko saya bawa ke lokasi yang termasuk terpencil, yang selama dua minggu ini masih seret bantuan (saya menyukai urusan yang sulit-sulit seperti ini…). Berombongan bersama beberapa teman, saya kembali membawa rombongan menuju ke desa Terong, kecamatan Dlingo, Bantul. Ini adalah wilayah Bantul di pinggir timur laut yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Melalui jalan Wonosari yang mendaki, sampai di Patuk membelok ke barat ke arah Dlingo. Menyusuri pinggiran terbuka sisi barat laut bukit Patuk ini berpemandangan indah, apalagi saat senja hari, seperti yang saya alami hari Sabtu sebelumnya. Memandang ke arah barat daya, terbentang kota Yogyakarta dan sekitarnya terlihat dari ketinggian. Sesampai di sekitar kilometer enam lalu berbelok ke selatan menuruni bukit Patuk.

Lokasinya berdekatan dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun beda pedukuhan dan beda kampung. Kami lalu menuju ke dukuh Joho, melalui jalan desa berupa tanah berbatu, naik dan turun perbukitan, membelah kawasan tegalan atau ladang penduduk sampai mentok ke ujung pedukuhan. Sebelumnya daerah ini sulit dijangkau karena satu-satunya jalan penghubung dengan jalan besar tertutup longsoran. Dari sekitar 450 jiwa warganya banyak mengalami cedera, tidak ada korban meninggal dunia. Namun tidak perlu ditanyakan lagi jumlah rumah yang roboh, semua penduduknya kini tinggal di bawah tenda seadanya.

Dengan masih adanya gempa-gempa susulan yang sangat terasa di daerah ini, hingga minggu ketiga pasca gempa mereka belum cukup punya nyali untuk mulai membenahi rumahnya yang berantakan. Malah ada yang terpaksa tinggal bersama sapi-sapinya, karena rupanya konstruksi kandang sapi lebih aman terhadap potensi roboh oleh gempa. Ya…, tinggal di kandang sapi, akrab berbagi tempat bersama sapi-sapinya.

Karena lokasinya yang tidak mudah dicapai, boro-boro terlihat dari jalan besar, maka tidak banyak bantuan yang sampai ke dukuh ini, kecuali memperoleh cipratan bantuan dari pemerintah pedukuhan atau RT lain. Menurut catatan petugas posko di sini, hanya ada sedikit bantuan yang masuk, dua atau tiga kali diantaranya berupa bantuan agak banyak yang pernah mereka terima. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan yang mudah dicapai, puluhan paket bantuan pasti sudah mereka terima sejak gempa terjadi 27 Mei yang lalu.

Namun mereka toh tidak nggrundel, mengeluh atau protes. Ya memang begitulah adanya. Yang penting masih bisa terpenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui dapur umum. Anak-anak mereka pun masih bisa pergi ke sekolah. Bal-balan Piala Dunia juga masih dapat mereka saksikan. Beruntung, kalau malam listrik sudah nyala untuk beberapa jam lamanya.

Dari dukuh Joho kami menuju dukuh Pencitrejo, pedukuhan yang sama dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun kini kami menuju ke wilayah RT berbeda. Pembagian administratif di pedesaan ini memang rada membingungkan kalau belum familiar. Saya pun susah mengingatnya. Ada desa, lalu ada dukuh, lalu ada lagi dusun (terkadang disebut RW). Dalam satu dusun bisa terdiri dari banyak RT.

Nasib korban gempa di Pencitrejo RT 03 ini tidak beda jauh dengan warga Joho. Lokasinya tidak mudah diakses dari jalan besar. Sekitar 70 jiwa warganya masih tidur di tenda-tenda. Dapat dikatakan semua rumahnya roboh. Beberapa warga ada yang sudah berani mulai bersih-bersih rumah. Ya bersih-bersih saja, wong rumahnya roboh dan tidak bisa ditempati. Sebagian di antara rumah-rumah mereka berada di lereng, dimana banyak tanah yang merekah dan batu-batu besar menggelinding dari tempatnya semula saat gempa terjadi.

Dalam perjalanan pulang dari Pencitrejo, saya ketemu dengan petani yang sedang memanen singkong. Rasanya senang sekali memandangnya. Hasil panenannya ditimbun di tepi jalan desa yang hanya pas selebar kendaraan. Saya tergoda untuk berhenti, lalu akhirnya kepingin membeli sekadarnya. Saya sodorkan selembar uang lima ribuan. Rupanya malah ditukar dengan sekantong singkong banyak sekali. Lumayan untuk dibuat balok (singkong goreng) bekal ronda malamnya. Namanya juga tinggal di kampung.

***

Sejauh ini, tindakan tanggap darurat baik yang digerakkan oleh pemerintah maupun oleh spontanitas lembaga swadaya maupun individu masyarakat telah terbangun dengan baik sekali. Praktis semua lini pertahanan hidup dapat dikelola dengan sinergi yang manis. Semua pihak bahu-membahu membangun solidaritas sosial lintas batas. Para korban gempa yang rumahnya luluh-lantak pun tidak merasa sendirian. Banyak pihak merasa perduli untuk berbagi penderitaan, berbagi suka-duka dan berbagi nikmat.

Mereka para korban gempa mulai dapat tidur nyenyak di tenda-tenda darurat, sambil bermimpi kapan janji Pak De Jusuf Kalla yang hendak menabur bantuan Rp 10 juta hingga Rp 30 juta segera turun dari langit Jogja yang sesekali kelabu kecipratan abu Merapi. Listrik mulai mengalir dan hajatan bal-balan di Jerman pun dapat mengisi hari-hari malam dingin mereka. Beras berkarung-karung berlabel Bulog juga mulai berdatangan ke posko-posko bencana yang ada di hampir setiap pedukuhan. Petugas pemerintah yang akan membagikan uang lauk-pauk sebesar Rp 3.000,- per jiwa per hari dan tunjangan hidup Rp 100.000,- per bulan juga mulai sibuk mendata warganya, ada yang sudah mulai menerimanya, sebagian lainnya masih H2C (harap-harap cemas).

Maka kemudian muncul pertanyaan sederhana : Sampai kapankah mereka akan mampu bertahan dalam kondisi seperti itu? Sebab kini relawan domestik maupun mancanegara berangsur-angsur sudah mulai hengkang kembali ke kehidupannya masing-masing. Bantuan logistik tentu akan tiba saatnya menyurut. Orang-orang yang selama ini sangat perduli untuk berbagi tentu akan habis juga apa yang dapat dibaginya. Piala Dunia pun akan mencapai finalnya.

Akan tiba saatnya mereka para korban gempa kembali sendirian. Sendiri dengan problem keluarganya. Sendiri dengan rumahnya yang belum ada gantinya. Sendiri dengan anak-anaknya yang segera masuk sekolah. Sendiri dengan tunjangan hidup yang terbatas. Sendiri dan dheleg-dheleg, apakah masih mampu bekerja dengan upah mencukupi. Orang-orang yang semula sangat antusias dengan kepeduliannya, lalu entah pada kemana. Pemerintah yang semula mati-matian mengurusi mereka, mulai sibuk dengan urusan kantor yang sekian lama “terbengkelai”.

Tahap rekonstruksi atau rehabilitasi atau entah program apa lagi namanya memang segera dimulai. Tapi ada sekian ribu rumah, sekian ribu jiwa, sekian ribu derita, lengkap dengan sekian ribu persoalannya, harus ditangani. Sungguh pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah atau siapa saja.

Kerawanan sosial baru harusnya sudah mulai diantisipasi. Belum lagi kerawanan individual. Individu yang suka bersemangat lebih, seperti semangat mengumpulkan dana bantuan yang lebih, beras lebih, selimut lebih, mie instan lebih, susu lebih, tenda lebih, alat masak lebih dan kelebihan-kelebihan (kalau perlu, ya dilebih-lebihkan) lainnya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (15)

18 Desember 2007

Ada saweran di Jakarta. Persisnya dimana saya tidak tahu. Tapi tahu-tahu seseorang yang setia mengikuti “dongengan” saya tentang gempa Jogja ini kemudian memberitahukan bahwa uang hasil saweran bersama teman-temannya itu telah ditransfer ke rekening saya di Jogja.

Dari pengamatan saya selama mendistribusikan bantuan, nampaknya bantuan berupa logistik sudah hampir menjangkau semua lokasi, meskipun di beberapa lokasi awalnya nampak seret. Beberapa warga di lokasi yang sempat saya kunjungi memberitahukan bahwa mereka sangat butuh peralatan pertukangan. Karena pada minggu ketiga pasca gempa ini kebanyakan para korban gempa mulai melakukan gerakan gotong-royong membersihkan kampung dan rumahnya dari reruntuhan. Mereka telah mulai melakukannya dengan peralatan seadanya. Hanya sedikit lokasi yang saya baca informasinya di media masih memerlukan bantuan logistik, tenda dan selimut.

Mempertimbangkan hal itu, maka uang kiriman dari Jakarta itu akhirnya sebagian saya belikan beras dan sebagian besar lainnya saya belikan peralatan pertukangan, seperti sekop, cangkul, cethok, ember, linggis, tomblok (keranjang anyaman bambu) dan slenggrong (serok tangan).

***

Hari-hari ini jalan-jalan di Jogja dan sekitarnya penuh dengan timbunan reruntuhan bangunan. Hampir di setiap ujung gang, teronggok timbunan reruntuhan bangunan yang memang sengaja dikumpulkan di tepi jalan besar. Selanjutnya petugas dari pemerintah dibantu dengan personil TNI mengambil dan mengangkut material reruntuhan dengan truk-truk untuk ditimbun di tempat-tempat pembuangan yang telah ditentukan. Maka bagi mereka yang membutuhkan tanah urug, sekaranglah saat yang tepat untuk memperolehnya secara gratis, daripada beli tanah urug. Asal saja mau mengurus sendiri pengangkutannya.

Bagi para korban gempa di kawasan kota Jogja, pekerjaan pembersihan reruntuhan relatif lebih mudah, karena rumah yang runtuh jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan yang masih berdiri tegak. Sehingga sarana pertukangan tidak terlalu sulit untuk memperolehnya. Mau beli, banyak toko bangunan menyediakannya. Pinjam tetangga pun masih bisa. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di lokasi yang jauh dari kota yang hampir seluruh rumahnya rata dengan tanah. Peralatan pertukangan yang mereka miliki barangkali ikut tertimbun reruntuhan rumahnya. Bagi mereka itu, adanya pemberian bantuan peralatan pertukangan sangat mereka harapkan. Mereka pun sangat gembira ketika bantuan itu akhirnya datang juga.

Siang tadi saya mengunjungi empat pedukuhan yang kesemuanya berada di desa Sumberharjo, kecamatan Prambanan, Sleman. Masih terbilang tetangga desa dengan “Madurejo Swalayan”, meski jaraknya terpisah rada jauh. Peralatan pertukangan yang saya bawa pun saya bagi menjadi empat agar mudah mendistribusikannya. Saya ditemani oleh tetangga saya di Madurejo yang membawa mobil bak terbukanya, mengingat Kijang saya tentu tidak muat untuk mengangkut peralatan pertukangan yang saya beli.

Kawasan timur Jogja memang menjadi prioritas saya. Ini adalah kawasan terkena bencana yang berita keparahannya kalah “rating” dengan kawasan Bantul selatan. Padahal kawasan timur Jogja ini juga masih termasuk wilayah kabupaten Bantul yang berbatasan dengan kabupaten Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Karena juga berada di jalur sesar Opak yang aktif, maka tingkat kerusakannya tidak kalah dengan wilayah Bantul selatan dan tenggara, yang relatif lebih banyak didatangi tim bala bantuan.

Lokasi pertama yang saya datangi adalah dusun Gunung Gebang. Lokasinya tidak jauh dari jalan raya. Namun kondisi pedukuhan ini tidak terlihat dari jalan raya karena terbatasi oleh hamparan sawah dan pepohonan. Ketika saya memasukinya, sekitar dua kilometer ke arah timur dari jalan raya Prambanan – Piyungan, barulah saya tahu bahwa semua rumah warganya ambruk dan rusak berat karena gempa. Sekitar 950 jiwa warganya masih tinggal di tenda-tenda dan dilayani oleh dapur umum. Sebagian warganya sedang bergotong-royong menangani rumah-rumah yang roboh. Tentu mereka sangat senang menerima bantuan peralatan pertukangan yang sedang mereka butuhkan.

Dari Gunung Gebang saya menuju ke arah utara lalu ke timur lagi, lebih jauh ke dalam dari jalan raya Prambanan – Piyungan. Dusun Polangan namanya. Di wilayah ini pun semua rumahnya roboh dan rusak berat. Sekitar 450 warganya juga masih tinggal di tenda-tenda. Sebuah Sekolah Dasar tampak rusak berat, sehingga para murid pun belajar dan baru saja menyelesaikan ujian SD di tenda-tenda yang khusus dibangun menggantikan ruang kelas yang tidak aman lagi ditempati untuk kegiatan belajar-mengajar. Dusun ini tampak sepi, rupanya mereka sedang bergotong-royong membersihkan reruntuhan, sebagian lagi ada yang sudah mulai sibuk mengurus sawahnya yang saat ini sedang musim panen padi.

Dari Polangan saya bergerak semakin ke arah timur laut, semakin menjauh dari jalan raya, ke dusun Klero. Kondisi dusun ini pun tidak jauh berbeda. Meski jumlah rumah yang roboh tidak sebanyak pedukuhan lainnya, tapi umumnya kondisi rumah-rumah mereka tidak layak dan tidak aman untuk ditempati. Justru karena itu maka peralatan pertukangan akan sangat membantu mereka untuk sekalian saja meruntuhkan rumah yang nyaris roboh, sebelum nantinya malah merobohi penghuninya. Bantuan logistik nampaknya sudah mencukupi untuk waktu ini, namun peralatan pertukangan belum ada yang mengirimnya.

Menyusuri jalan-jalan desa sore tadi terasa menyenangkan. Dimana-mana hamparan sawah dengan padinya yang sudah mulai menguning. Di mana-mana pula ada kegiatan potong padi rame-rame. Tampak para petani sedang bersemangat memanen padinya. Sebagian padi hasil panenaannya ditimbun begitu saja di tepi jalan desa, sebagian orang ada yang mengangkutnya dengan sepeda motor. Tidak lagi dengan gerobak atau sepeda atau dipikul atau digendong. Damai hati ini rasanya menyaksikan pemandangan langka semacam itu.

Akhirnya sampailah saya di dusun paling timur, di lereng perbukitan, namanya dusun Sengir. Seminggu sebelumnya saya sudah mencapai desa ini untuk nge-drop bantuan sembako, karena kebetulan ada seorang pegawai “Madurejo Swalayan” yang rumahnya nyaris roboh tinggal di sini. Tapi sore tadi tujuan saya lebih jauh lagi, yaitu ke dusun Nglepen.

Jarak dari dusun Sengir ke dusun Nglepen sebenarnya hanya sekitar satu kilometer. Tapi untuk mencapainya mesti menempuh jalan terjal berupa tanah bebatuan, naik ke lereng atas kawasan perbukitan. Seekor Kijang warna hitam metalik yang terkadang digunakan untuk jalan-jalan bersama keluarga ke mal dan terkadang digunakan untuk kulakan ke toko grosir, sore tadi terseok-seok mendaki jalan terjal berbatu-batu. Muatannya penuh berisi beras dan peralatan pertukangan munjung, ditambah dengan enam orang penumpangnya termasuk sopir, Ini gara-gara mobil bak terbuka yang tadi membantu mengangkut alat pertukangan tidak berani ikut mendaki perbukitan.

***

Beberapa hari sebelumnya, dusun Nglepen ini hanya bisa dicapai dengan sepeda motor karena jalan utamanya terhalang longsoran. Bahkan sebelum itu dusun ini nyaris terisolir beberapa hari sejak gempa terjadi karena lokasinya memang tidak mudah dicapai. Kini para pejabat pemerintah setempat berduyun-duyun mengunjungi dusun ini silih berganti setiap hari. Apa gerangan yang menarik dari dusun ini?

Dusun yang hanya dihuni oleh sekitar 60 jiwa ini semua rumahnya roboh dan rusak berat. Tapi tunggu dulu, sepertinya ada beberapa rumah yang hilang ditelan bumi….. Ini peristiwa yang sulit dipercaya kalau bukan karena melihatnya sendiri. Ada sebentang tanahnya yang merekah sepanjang lebih 100 meter, dan mengakibatkan areal seluas sekitar 3 hektar bergeser ke arah barat sejauh 15 – 20 meter. Pergeseran sejauh itu tentu menyebabkan adanya rekahan yang sangat lebar sehingga seolah-olah apa saja yang tepat berada di atasnya seperti ambles bumi, ditarik Sang Ontorejo dari perut bumi…..

Masih tampak jelas garis-garis rekahan di seluruh kawasan yang bergeser ini. Warga yang tinggal di situ pun semula tidak percaya. Omah sak lemah-lemahe (rumah setanah-tanahnya) telah pindah dari lokasinya semula. Tapi faktanya, ada sebuah rumah yang kini bergeser ke barat sejauh 20 meter meninggalkan dapurnya yang masih berada di sisi timur rekahan. Demikian pula sebuah kandang sapi ditinggal rumah induknya yang bergeser ke barat. Pohon-pohon pisang dan kelapa menjadi seolah-olah tumbuh di dasar cerukan karena tanahnya amblas ke dalam rekahan sedalam sepuluh meteran. Beberapa rumah yang tepat berada di rekahan pun hancur berkeping-keping terbawa dasar tanahnya yang amblas. Sungguh beruntung peristiwa ini tidak memakan korban jiwa. Hanya longsornya beberapa bagian jalan desa sempat menyebabkan dusun ini terisolir dari bantuan hingga beberapa hari pasca gempa.

Barangkali kawasan ini tepat berada di salah satu bidang percabangan sesar Opak yang aktif. Hampir semua kawasan di sisi barat jalur rekahan ini rusak berat. Sementara kawasan yang berada di lokasi lebih tinggi di sisi timur rekahan nyaris tidak mengalami kerusakan berarti. Begitulah fenomena alam gempa dan peristiwa geologis, kalau harus memilih “korban”-nya. Peristiwa alam yang tidak dapat diduga dan tidak dapat diramalkan, tapi pasti ada yang bisa “dibaca”.

Warga dusun Nglepen merasa senang ketika ada yang mengirim peralatan pertukangan guna membantu pekerjaan mereka membenahi sisa-sisa reruntuhan rumahnya yang barangkali masih ada benda-benda yang dapat dimanfaatkan. Sebagian warganya kini minta direlokasi ke tempat lain.

Mestinya mereka yang paham ilmu geologi yang berduyun-duyun ke sana, mumpung rekahannya masih perawan dan bau tanah, dan belum tergerus erosi air hujan. Jangan-jangan ada bencana lain sedang menanti, ketika hujan deras mengguyur. Bukan para punggawa pemerintah yang hanya piya-piye terkagum-kagum lalu foto-foto, setelah itu pulang tidak tahu apa yang mesti dilakukan selain menulis laporan standar dan bercerita kepada tetangga-tetangganya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 17 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (16)

18 Desember 2007

Kemarin saya menerima lagi titipan uang dari teman yang minta disalurkan sebagai bantuan kepada korban gempa. Selain itu, kebetulan masih ada sedikit sisa dana transferan dari Texas dan saweran dari Jakarta. Akhirnya saya gabungkan semuanya lalu saya belikan beras, tikar dan alat pertukangan. Salah satu titipan itu datang dari seorang teman yang bekerja sebagai pegawai negeri di Jogja dan rumahnya rusak karena gempa. Tentu saja ketika akan menyalurkannya saya jadi rada bingun (tidak diakhiri “g”).

Lha, kalau ada seorang pegawai negeri yang rumahnya rusak karena gempa kok nitip uang untuk disalurkan kepada korban gempa, njuk harus saya berikan kepada korban gempa yang seperti apa lagi? Untung, untung, untung, untung….., saya sudah menyalurkan dana pribadi untuk korban gempa. Seandainya belum? Wah, jannnn…, isin tenan aku (malu sekali saya).

Saya mencoba membayangkan (mudah-mudahan orang lain juga bisa membayangkan seperti saya)….. Seandainya kemarin itu saya belum “sempat” menyisihkan sekedar bantuan untuk korban gempa, apa peristiwa ini bukan sebuah pukulan telak ke ulu hati….. Kalau di Jerman, ini pasti sudah menjadi tendangan penalti yang merobek jantung pertahanan akibat sliding tackle di depan gawang…..

Jelas, “gengsi” saya akan terprovokasi atau setidak-tidaknya terusiklah. Lha, wong yang jelas-jelas menjadi korban gempa saja masih bisa membantu korban gempa lainnya. Lha saya yang selamat wal-afiat masak tidak bisa! Begitu bayangan “gengsi” saya…..

Khayalan saya selanjutnya….(saya rada terampil kalau urusan yal-khayyal), secepat kilat saya akan merogoh saku, mengeluarkan uang, lalu mengirimkan bantuan, entah melalui lembaga mana saja. Demi “gengsi”, saya merasa perlu untuk tergopoh-gopoh segera mengirimkan bantuan, sekadarnya….(maksudnya, sekadar 5 gram emas 22 karat atau 24 karat…). Perkara bantuan saya itu nantinya di langit tingkat tujuh akan digolongkan sebagai bantuan demi “gengsi”, biarlah itu menjadi bisnis saya dengan Sang Maha Pemberi Rejeki.

***

Siang tadi saya meluncur ke jalan arah Imogiri menaiki seekor Kijang sambil nggotong beras, tikar dan alat pertukangan. Tiba di sekitar kilometer 12 berbelok masuk ke timur menuju perkampungan dusun Blawong, Desa Trimulyo, kecamatan Jetis, Bantul. Lokasinya berada di tepian sungai Opak. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Namun di perkampungan padat ini ternyata bantuan beras dari pemerintah tersendat-sendat. Bantuan dari luar pun rada sulit mencapainya, paling-paling berhenti di posko yang berada di dekat jalan raya. Maklum, jalan menuju lokasi ini rada suk-suk-an….. (berdesak-desakan) dengan timbunan puing reruntuhan.

Jalan kampung yang biasanya cukup lebar, kini menjadi sempit pas selebar kendaraan karena di kiri-kanannya penuh dengan timbunan reruntuhan. Dengan kata lain, nyaris semua rumah yang dulunya berdempet-dempetan kini roboh-boh, sehingga puing reruntuhannya ya ditimbun begitu saja di tepian jalan kampung.

Di salah satu sudut jalan saya baca sebuah tulisan bercat hijau, yang bunyinya bernada getir : “Kami bukan tontonan!”. Rupanya sejak terjadi gempa, banyak orang keluar-masuk kampung hanya untuk melihat saja, bukannya memberi bantuan. Seandainya siang tadi saya tidak membawa bantuan, sungkan rasanya kalau harus berkendaran perlahan menyusup di sela-sela timbunan puing reruntuhan di sepanjang jalan kampung. Belum lagi cuaca panas dan berdebu. Ada rasa tidak tega menyaksikan rumah-rumah yang rata dengan tanah sementara penghuninya tidur di “tenda-tendaan” atau barak ala kadarnya. Entah sampai kapan.

Dari dusun Blawong saya melanjutkan perjalanan pendistribusian bantuan ke arah selatan lagi. Kira-kira di kilometer 14 jalan raya Imogiri Timur, lalu berbelok lagi ke arah timur, masuk ke dusun Manggung, kelurahan Wukirsari, kecamatan Imogiri, Bantul. Kondisi umum para korban gempa di daerah ini juga tidak jauh beda dengan di dusun Blawong, dan dusun-dusun lain di sekitarnya yang memang tergolong kawasan parah terkena gempa. Hanya karena lokasinya agak ke dalam dari jalan raya, maka bantuan-bantuan dari luar agak sulit mencapai lokasi-lokasi yang seperti ini.

Untuk masuk ke jalan kampung pun agak sulit, wong penuh dengan timbunan reruntuhan di kiri-kanan jalan kampungnya. Kalau bukan karena sudah tahu sasaran lokasi yang hendak dituju, atau ada petunjuk jalan yang menemani, sepertinya sulit mengharapkan dermawan pemberi bantuan mau masuk ke sana. Maka wajarlah, meski sudah memasuki minggu keempat pasca gempa, masih ada korban gempa di lokasi yang seperti ini yang mengeluh masih kekurangan bantuan logistik.

Namun pada umumnya para korban gempa mulai membutuhkan peralatan pertukangan, karena mereka sudah mulai berbenah memberesi puing-puing reruntuhan rumah masing-masing. Bagian-bagian rumah yang masih bagus diambil dan dikumpulkan, untuk kemudian dimanfaatkan untuk membangun “rumah baru” seadanya. Maksudnya tentu bedeng-bedeng yang lebih pantas dan aman untuk berlindung dari hujan, panas dan angin malam. Daripada terus-menerus tinggal di ‘tenda-tendaan”, yang kalau siang kepanasan dan kalau malam kedinginan. Pendek kata, enggak pernah ada enaknya…..

Paling tidak, agar mereka memiliki rumah tinggal yang lebih layak dan representatif sambil menunggu bantuan pemerintah (kalau pemerintahnya tidak ngapusi…), atau sambil menghimpun kekuatan sendiri baik secara finansial maupun moral untuk membangun kembali rumahnya. Barangkali untuk jangka waktu enam bulan sampai setahun ke depan, atau malah selamanya.

Seorang teman di Missouri menanyakan kira-kira bantuan apa yang paling dibutuhkan oleh korban gempa pada saat ini. Saya menyarankan, kalau dananya cukup banyak, maka membangunkan beberapa rumah sederhana adalah yang paling dibutuhkan. Tapi kalau dananya tidak mencukupi, memberi sarana untuk mereka membangun sendiri “rumah baru”-nya akan sangat mereka harapkan. Seperti misalnya peralatan pertukangan, atau material bangunan seperti seng, tripleks, gedeg (dinding anyaman bambu), semen, dsb. Sedangkan untuk material seperti batu bata, genteng dan kayu, umumnya mereka masih bisa memanfaatkannya dari sisa reruntuhan.

Alternatif lain, membangunkan prasarana umum seperti fasilitas air bersih atau kamar mandi umum, rehabilitasi tempat ibadah atau sarana sekolah swasta (kalau sekolah negeri biasanya sudah dianggarkan oleh pemerintah). Jangan lupa, bulan depan sudah masuk musim sekolah, tahun ajaran baru, maka bantuan buku dan peralatan sekolah juga akan sangat mereka harapkan. Permintaan ini pernah disampaikan kepada saya sewaktu saya mengirim bantuan logistik ke desa Karang Tengah, Imogiri, dan desa Terong, Dlingo, seminggu yang lalu. Saya pun hanya bisa manggut-manggut membenarkan kesulitannya….. Sebenarnya saya juga tahu ini perilaku bodoh. Wong sudah jelas-jelas sulit, kok dibenarkan….. Lha, mau bilang iya, takut tidak bisa memenuhinya. Mau bilang Insya Allah, takut kalau saya tidak mampu mengusahakannya.

***

Memasuki minggu keempat pasca gempa, umumnya para pemberi bantuan dan relawan mulai merubah orientasi bentuk bantuannya ke arah rekonstruksi dan rehabilitasi. Periode tanggap-darurat dipandang sudah cukup, meski di sana-sini masih ada keluhan perlu beras dan logistik.

Semoga masih banyak orang-orang yang terusik “gengsi”-nya untuk membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang pasti akan memakan waktu yang sangat panjang, moral maupun spiritual, fisik maupun psikis, uang maupun jasa. Tidak ada kata terlambat. Tidak perduli apakah bantuan itu karena “gengsi” atau karena keikhlasan. Semua akan sangat bermanfaat membantu para korban gempa bangkit dari keterpurukannya. Bangkit menyongong hari esok…..

Umbulharjo,  Yogyakarta – 20 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (17 – Wis, Ah!)

18 Desember 2007

Beberapa hari setelah gempa memurungkan Jogja, ada seorang korban gempa kehausan di jalan Prambanan – Piyungan. Kebetulan “Madurejo Swalayan” sudah buka setengah pintu, maka orang itu lalu masuk toko dan membeli air mineral. Saya sebut korban gempa karena menurut cerita tetangga saya di Madurejo, rumah orang itu yang di Prambanan rusak berat.

Hanya saja orang itu adalah korban gempa yang tidak membutuhkan bantuan, malah tergolong korban gempa yang sewajarnya kalau ikut membantu korban gempa lainnya. Meskipun punya rumah di Prambanan, tapi orang itu tinggal di Jakarta. Bantuan jatah uang lauk pauk yang Rp 90.000,- per jiwa per bulan atau tujangan pakaian dan alat rumah tangga yang Rp 100.000,- nilainya, barangkali tidak berarti apa-apa. Malah masih bisa keliling Jogja naik mobil. Boro-boro tidur di tenda, meski rumahnya tidak bisa ditinggali, tidur di hotel pun bukan masalah.

Rupanya kasir “Madurejo Swalayan” mengenali wajah orang itu. Cuma tidak berani ngajak omong. Takut, katanya. Orang itu bernama Hidayat Nurwachid.

***

Beberapa hari yang lalu datang seorang nenek tua (soalnya ada juga nenek yang muda) ke rumah saya di Umbulharjo. Nenek itu minta agar saya membeli sisa dua kilo emping melinjo dari lima kilo yang sejak pagi harinya dibawanya berkeliling kampung. Dua kilo emping melinjo itu diwadahi dalam dua tas kresek kumal warna putih dan hitam. Nenek tua yang katanya tinggal di sebelah utara pasar Pleret itu bercerita bahwa rumahnya roboh, suaminya kakinya patah dan kini masih dirawat di rumah sakit, dan seorang anaknya meninggal tertimpa reruntuhan.

Dari sorot matanya saya menangkap ketulusan ceritanya (entahlah kalau tangkapan saya salah, tapi saya menghindar untuk tidak berprasangka buruk…..). Ketika saya tanya darimana emping melinjonya itu, dia menjawab emping itu hasil bikinannya sendiri sebelum ada gempa. Daerah Plered dan sekitarnya memang banyak tanaman melinjo dan sebagian masyarakatnya ada yang menekuni kerajinan membuat emping melinjo. Katanya, itulah sisa hartanya yang masih bisa diselamatkan. Entah bagaimana emping nenek itu bisa menyelamatkan diri, saya merasa tidak perlu terlalu jauh menanyakannya.

Uang yang diperoleh dari hasil menjual melinjo itu akan digunakan untuk tambahan membeli gedeg (dinding anyaman bambu) agar dia bisa membangun tempat tinggal sementara seadanya, di lokasi bekas reruntuhan rumahnya. Nenek itu juga meminta kalau-kalau di rumah saya punya seprei bekas yang boleh diminta.

Itulah salah satu potret korban gempa yang akan banyak dijumpai di kawasan Jogja dan sekitarnya saat sekarang ini. Potret tentang orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain. Hanya sebuah potret, dari ribuan potret yang mungkin ada. Sebanyak apapun kita membantunya, rasanya tidak akan mampu membantu mereka keluar dari keterpurukannya. Tapi sebaliknya, sesedikit apapun kita ikhlas membantunya, rasanya akan sangat berarti untuk sedikit saja meringankan beban derita mereka. Kalaupun tidak mampu membantu banyak untuk banyak orang, membantu sedikit untuk satu orang kiranya sudah cukup menjadikannya sebagai sebuah kemuliaan.

***

Hingga menjelang sebulan pasca gempa yang terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2006, jam 05:54 WIB dan telah memporak-porandakan wilayah Jogja dan sekitarnya, kini gaungnya memang telah mulai memudar. Masyarakat korban gempa pun mulai sibuk dengan persoalannya masing-masing. Namun kehidupan terus berlanjut. Dengan atau tanpa bantuan relawan. Dengan atau tanpa kepedulian masyarakat lain. Tapi mestinya tetap dengan pendampingan pihak pemerintah dan timnya untuk menyertai mereka yang kini terpuruk, mereka yang nyaris kehilangan masa depan, mereka yang tidak tahu mau apa dan bagaimana setelah ini.

Gempa susulan masih sesekali terjadi, kadang siang atau malam. Sesekali dengan intensitas cukup besar, sehingga mengagetkan semua orang. Hanya trauma kepanikan sudah lebih terkondisikan, sehingga tidak serta-merta orang-orang berhamburan lari. Namun tetap saja deg-degan saat gempa susulan terjadi. Retak-retak pada bangunan rumah saya sepertinya semakin membesar. Akibat gempa yang lalu saja terbentuk retak-retak seukuran rambut menghiasi bangunan rumah saya, kini retak-retak itu sepertinya sudah seukuran tujuh rambut.

Kehidupan masyarakat telah berangsur normal. Maksudnya, yang selamat ya tetap hidup dengan keselamatannya, yang menderita ya tetap hidup dengan penderitaannya. Hanya ahlak dan pekerti manusia akan mengisi celah di antara keduanya. Peluang untuk beramal baik atau tidak baik terbuka lebar menghubungkan di antara keduanya.

Tidak perlu ada kambing hitam, karena sudah jelas tidak ada yang memprovokasi terjadinya gempa. Tidak juga ada pihak yang dapat disalahkan. Berbeda halnya dengan bencana banjir atau tanah longsor, dimana antara pihak pemerintah, LSM, pengusaha dan masyarakat biasanya akan cenderung saling ding-tudding…..

Gempa bumi adalah “hak prerogatif” Sang Empunya Bumi, untuk menyusun jadwal lempeng tektonik mana yang mau ditumbukkan dengan keras, lempeng mana yang mau diogrok-ogrok duluan. Juga untuk memilih lokasi, memilih waktu dan menyusun daftar korbannya. Juga memilih siapa yang sedang dihukum dan siapa yang sedang diuji. Tinggal manusia sendiri yang kudu jeli introspeksi dalam membaca ayat-ayat-Nya. Ya, diri kita sendiri. Bukan ustadz atau pendeta, bukan penceramah agama, bukan atasan, bukan beking atau centeng, bukan juga rojo brono (harta karun) yang menggunung. Terserah kita mau “belajar” pethenthengan atau ditinggal tidur saja, gempa tetap terjadi sesuai “agenda”-Nya.

***

Setelah semua mata tertuju ke selatan Jogja, terutama ke wilayah kabupaten mBantul dan sekitarnya, kini semua mata beralih pandang ke utara Jogja. Disana ada gunung Merapi yang sedang batuk-batuk enggak enak badan. Wedhus gembel sudah mengembik panjang, lava pijar sudah tumpah dleweran, korban pun sudah jatuh. Ancaman banjir lahar bak sedang mengincar mangsanya.

Mudah-mudahan tidak lagi ada ujian lebih berat harus ditanggung oleh masyarakat Jogja. En toch, Sang Maha Pemilik Merapi berniat menambah ujian bagi masyarakat Jogja, agar naik kelas menjadi lebih “cerdas” memahami ayat-ayat-Nya, kita semua berusaha dan berdoa agar semuanya masih “manageable” untuk tidak menimbulkan korban jiwa.

Kini sebaiknya segenap elemen masyarakat bahu-membahu mengantisipasi “aba-aba” Yang Maha Kuasa. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator yang baik. Orang-orang pinter itu di koran dan televisi suka bercerita tentang kearifan lokal. Tapi sungguh saya sendiri sulit untuk memahami mangsudnya. Bagi saya yang penting masyarakat perlu diberi pemahaman lebih intensif tentang potensi bencana dan bagaimana menghindarinya. Masyarakat awam perlu diajari ilmu tentang tingkah laku atau budi pekerti yang mudah dipahami, ya tingkah laku bumi, ya tingkah laku penghuninya. Bukan menunggu wangsit yang akan dituturkan mBah Marijan. Bukan mempersiapkan ubo rampe (pernik-pernik) yang tidak berujung-pangkal. Bukan juga menyiapkan data-data untuk mencari kambing hitam. Seperti saya pun tidak pernah menginginkan untuk membuat dongeng tentang “Di Kotaku Ada Gunung mBledos”.

***

Gemuruh gempa di kotaku Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei yang lalu memang hanya “terselenggara” selama 57 detik. Pemenang dari “injury time” seketika dapat diketahui hasilnya. Namun gemuruh masalah yang menyertainya bisa tak berbilang batasnya. Hanya waktulah kelak yang akan menentukan siapa pemenangnya. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi akan memakan waktu sangat panjang. Masih diperlukan banyak dukungan dan kepedulian dari siapa saja dan dari bidang keilmuan apa saja.

Berbagai spanduk kini banyak menghiasi di setiap penjuru kota (ada sponsornya, tentu saja). Berisi kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri, menyejukkan hati dan memompa semangat. Pak Sultan Ngarso Dalem bersama segenap punggawa dan masyarakat pun telah berikrar bersama di desa Wonokromo, Pleret, Bantul : “Bangkitlah Jogjaku!”.

Bolah-boleh saja kalau mau alon-alon waton kelakon (pelan tapi terselesaikan). Juga boleh kalau mau milih mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan asal kumpul), atau kumpul ora kumpul mangan (kumpul atau tidak kumpul asal makan). Sumonggo kerso….., silakan saja….. Semua itu ternyata tidak ada bedanya kalau sudah terpojok oleh ujian yang maha dahsyat. Terbukti bahwa semua tak berkutik melawan kehendak-Nya saat terjadi gempa.

Maka ketika bantuan terlambat, semua orang toh akhirnya meminta sumbangan di sepanjang jalan, atau menghadang truk pembawa bantuan, dan ada juga yang nekat menjarah. Tak jelas lagi siapa yang ora mangan (tidak makan) dan siapa yang ora kumpul (tidak kumpul). Akhirnya semua lupa dan berubah menjadi sing penting mangan (yang penting makan). Tidak perlu dicari siapa yang salah, karena memang begitulah sistem kosmologi yang berlaku bagi mahluk jenis apapun yang sedang terpuruk dan terpojok. Dan itu bisa terjadi menimpa siapa saja. Tidak hanya manusia, melainkan juga kucing, kambing, macan, dhemit, tuyul and his gang…..

Mari, jangan terus terpuruk meratapi nasib. Siapapun harus bisa belajar dari tragedi ini. Belajar rame-rame menurut ngelmu dan kompetensinya. Belajar menjadi korban bencana yang baik, belajar menjadi korban selamat yang baik, belajar menjadi pemberi bantuan yang baik, belajar menjadi pengelola bantuan yang baik, belajar menjadi pemerintah (tukang memberi perintah) yang baik, belajar menjadi pengamat yang baik, dan banyak pelajaran lainnya…..  Tuhan tidak akan pernah membebani mahluk ciptaan-Nya melainkan sebatas kemampuan mahluk itu untuk mengatasinya. Wong Tuhan yang bikin, pasti Beliau juga tahu seberapa kekuatan benda bikinan-Nya.<

“Ayo bangkit, bangkitlah Jogjaku…..!”. Maksudnya, bangkit dari keterpurukan akibat gempa dan bangkit siap-siap menyalami Merapi…..

(Wis, ah!. Arep bal-balan karo sembur-semburan lumpur. Nuwun…..).

Umbulharjo, Yogyakarta – 23 Juni 2006
Yusuf Iskandar