Posts Tagged ‘grand opening’

Awas Merapi

26 Desember 2010

Awas Merapi…! Ibarat minimarket baru, Sang Maha Pemilik Merapi tinggal memilih “hari baik” untuk melakukan grand opening, sementara beberapa waktu terakhir ini sudah dilancarkan soft opening. Semoga “bisnis”-Nya kali ini membawa keberkahan baik bagi alam sekitar dimana Merapi berada maupun para stakeholders, sebab sudah dijanjikan bahwa tiada satupun “bisnis”-Nya yang sia-sia…

Yogyakarta, 25 Oktober 2010
Yusuf Iskandar

Menjelang Grand Opening “Bintaran Mart”

7 Juni 2009

Akhirnya Jadi Buka Juga

Bismillah…. berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pada hari ini ‘Bintaran Mart’ (Madurejo-2) dinyatakan dibuka secara resmi. Hal-hal yang berkenaan dengan pemindahan barang-barang dagangan dan lain sebagainya, akan diselenggarakan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya… Jogja, 5 Juni 2009.

IMG_2457_r

(Istilahnya memang Grand Opening, tapi sebenarnya ya cuma membuka pintu dan mulai jualan. Begitu saja….., tidak perlu heboh-heboh amat….. Alhamdulillah, akhrnya jadi buka juga warung ritel kecilku…. — Lokasi “Bintaran Mart” di Jalan Bintaran Kulon 36, Yogyakarta 55151 – Termasuk kampung Bintaran, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta)

Yogyakarta, 5 Juni 2009
Yusuf Iskandar

IMG_2452_rIMG_2454_rIMG_2456_rIMG_2460_r

—–

Malam Syukuran

Tadi malam acara syukuran untuk ‘Bintaran Mart’. Saya diminta ‘boss’ mewakili keluarga untuk memberi sambutan dalam bahasa Jawa….. Modar aku….! Keringat gemrobyos…. Lalu ada bacaan surat Yasin… yang dialunkan dengan ‘cengkok’ irama tembang Jawa (Jogja bangeth…!)…. Jadi kagok…. karena mahraj & tajwid-nya jadi kacau-beliau…. Tapi ya itulah ‘tradisi’ yang berjalan….

IMG_2447_r

Teman-teman usai syukuran

(Hadir lebih 25 orang tetangga di kampung mBintaran termasuk pengurus RT/RW, pak Kaum dan sesepuh kampung. Intinya : mengajak segenap tetangga dan saudara untuk beribadah bersama di bidangnya masing-masing…. Semoga Allah swt. memudahkan dan melapangkan pintu rejeki, kesehatan dan keselamatan bagi kami sekeluarga bersama segenap warga di sekitarnya).

Yogyakarta, 5 Juni 2009

—–

Memasang Papan Nama

Tadi malam memasang papan nama ‘Bintaran Mart’ (sebenarnya terlambat dari waktu yang direncanakan sebelumnya) – Lalu ada rembugan dengan sesepuh warga mBintaran untuk mengundang acara syukuran besok malam – Sementara anak-istri dan dibantu saudara-saudara lannya melanjutkan menyusun barang-barang di gondola – Walhasil, pulangnya rada masuk angin, lalu minta dikerokin sama ‘boss’…… mak glek….

Yogyakarta, 4 Juni 2009

IMG_2437_r

IMG_2431_r

——

Dasar Anak-anak…..

‘Boss’ sy senang, kedua anaknya mau mengisi waktu (sambil menunggu hasil UAN) dengan membantu mempersiapkan ‘Bintaran Mart’. Tapi kemudian sewot juga…. belum apa-apa sudah cengengesan kompak minta naik gaji….. hiks….. (sorak-sorak bergembira…. bergembira semua… sudah bebas negeri kita….., bebas minta naik gaji maksudnya…..).

Yogyakarta, 3 Juni 2009

IMG_2440_rIMG_2438_r

IMG_2444_r
IMG_2445_r

(21) Gethok Tular

13 Desember 2007

Idealnya sebelum toko buka, atau menjelang “soft or grand opening”, terlebih dahulu perlu dilakukan woro-woro (pemberitahuan) kepada khalayak. Paling tidak agar masyarakat desa sekitar, yang adalah bakal calon pelanggan, tahu bahwa akan dibuka toko baru yang siap melayani kebutuhan mereka. Semula memang sudah digagas akan membuat semacam selebaran untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun karena dikejar jam tayang harus buka sebelum bulan puasa, maka segenap energi terkonsentrasi penuh pada masalah tokonya sendiri. Sedangkan soal thethek bengek promosi, iklan, dsb, agak terabaikan. Maklum, karena memang tidak ada bagian khusus yang menangani hal itu.

Hal pertama yang terpikir menjelang beroperasinya toko adalah mengadakan selamatan syukuran. Selamatan atau syukuran adalah tradisi yang saya pikir sangat baik untuk dilestarikan. Esensinya adalah berbagi nikmat rejeki. Bentuknya adalah membagi-bagikan sekotak nasi komplit cukup untuk makan malam satu keluarga dan doa bersama.

Sebagai warga baru, saya perlu melakukan kulo nuwun akan numpang mencari nafkah di desa itu. Sebagai warga beragama, saya perlu berbagi kenikmatan kepada tetangga-tetangga baru saya dengan mengajak mereka untuk berdoa bersama sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Namun yang tidak kalah penting, dalam forum itu saya punya kesempatan untuk melakukan perkenalan tentang “Madurejo Swalayan”.

Maka terkumpullah warga dan tetangga baru se-RW yang jumlahnya lebih seratus orang. Termasuk dalam list undangan ada para punggawa desa, Pak Lurah, Pak Dukuh dan Pak RW. Acara ini terselenggara atas kerjasama yang baik dengan seorang sesepuh yang kebetulan masih ada “pernah-pernahan” hubungan saudara.

Tidak semata-mata saya berpromosi agar : “Mari berbelanja di Madurejo Swalayan”, cukup kalau masyarakat sekitar lego-lilo-legowo menerima kami sebagai bagian dari warganya yang sedang membuka usaha baru toko swalayan. Jika hal itu terjadi, maka terbangunlah sistem komunikasi gethok tular, cerita dari mulut ke mulut, yang cepat atau lambat berfungsi sebagai media promosi secara tidak langsung. Kali ini saya tempuh metode gethok tular terselubung.

Hasilnya, setelah itu kami jadi punya kenalan-kenalan dan tetangga-tetangga baru yang bisa diajak bertegur sapa. Ada acara buka bersama di kampung, alhamdulillah, kami juga diundang. Ada kegiatan keagamaan di masjid, kami juga diundang. Maka, menguasai sedikit saja “bahasa” agama, sangat membantu dalam memperlancar komunikasi dan silaturrahmi di tengah komunitas yang mayoritas warga muslim tradisional.

Di forum selamatan itulah, sambil duduk lesehan dan bersila, saya mesti menyampaikan kata sambutan dalam bahasa Jawa halus. Sekali-sekalinya seumur hidup saya. Ternyata kok ya tidak gampang….

Padahal seingat saya, sejak lahir cenger saya ditimang-timang dan diajari berbahasa Jawa. Nenek moyangku juga wong Jowo. Di sekolah pernah diajari bahasa Jawa gagrag anyar. Setiap hari juga banyak ngomong coro Jowo. Kalaupun berkomunikasi bahasa Indonesia dan Inggris pun tetap dengan logat Jawa. Kelakuan juga nJawani. Eee… giliran harus menyampaikan sepatah-dua patah kata, dan menurut kebiasaan disampaikan dalam bahasa Jawa kromo hinggil, tiba-tiba rada gelagapan. Butiran keringat sak jagung-jagung menetes karena energi terkuras seketika untuk mencari pilihan kata-kata yang pas. Hanya sedikit rasa pede saja yang akhirnya membuat everything is under control…… 

Lega sudah, satu momen penting terselesaikan malam itu, dua hari menjelang toko buka.

 

***

Cara lain yang saya lakukan untuk berpromosi adalah masih dengan menggunakan metode “word of mouth”, gethok-tular tapi secara terbuka, langsung kepada sasaran. Karyawan-karyawan toko yang semuanya warga masyarakat sekitar, saya bebani misi untuk bercerita kepada segenap saudara-saudaranya, tetangga-tetangganya dan teman-temannya bahwa akan dibuka toko baru yang namanya “Madurejo Swalayan”. Para tukang yang masih bekerja menyelesaikan bagian belakang toko juga saya minta melakukan hal yang sama. 

Rupanya cara ini cukup efektif. Terbukti pada hari “H”, tanggal 2 Oktober 2005, hari pertama yang direncanakan untuk mulai beroperasinya toko, banyak orang-orang desa yang mampir. Seorang ibu yang biasa buka warung di Pasar Gendeng (diucapkan seperti membaca kata “klenteng”), warung dimana saya biasa beli nasi bungkus untuk makan siang selama sebulan mempersiapkan “grand-opening” toko, juga sempat berkunjung dan memperkenalkan diri. Bagi saya ini bukan komunikasi perkenalan biasa, melainkan perkenalan ekonomis.

Tidak ada pengguntingan pita, tidak ada pelepasan balon, tidak ada halo-halo. Pokoknya : “Bismillah… niat ingsun mencari rejeki yang halal…..”, lalu ….. regedeeeek…….. dibukalah pintu toko. Saya sebagai CEO “Madurejo Swalayan” (seprono-seprene nyambut gawe ketemu orang stress karena pangkat ndak naik-naik, sekarang saya bisa mendapukkan diri jadi CEO), siap menyambut dan melayani pengunjung toko.

Tidak banyak yang saya harapkan di hari-hari awal beroperasinya toko. Harga BBM baru naik kemarinnya, jadi wajar saja kalau saat itu adalah saatnya orang banyak berhitung (kadang-kadang berhutang) sebelum membelanjakan uangnya. Teriring doa, meskipun jumlah uangnya tidak banyak, mudah-mudahan lumintu lan mberkahi (langgeng dan menjadi berkah)…

Madurejo, Sleman – 4 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(19) Mencari Hari Baik

13 Desember 2007

Semata-mata faktor kebetulan kalau ikrar kebulatan tekad kami untuk membuka toko swalayan berkonsep modern itu baru dicetuskan sekitar tiga setengah bulan sebelum bulan puasa tiba tahun lalu. Mula-mula memang agak pesimis, apa bisa terkejar untuk buka sebelum puasa tiba? Maka disusunkah strateginya. Kalau Plan-A itu gagal, maka harus ada Plan B, yaitu buka di tengah bulan puasa menjelang hari Lebaran. Lalu dicadangkan juga Plan-C, buka kapan sajalah kalau sudah siap. Sebagai orang Jawa, Plan-C ini bisa saya terjemahkan menjadi alon-alon waton kelakon…….. Menganut pepatah “daripada – lebih baik”, padahal tekad kami adalah “harus”. Oleh karena itu Plan-C dicadangkan dengan target agar kalau bisa jangan sampai terjadi.

Alternatifnya tinggal Plan-A harus berhasil. Sesial-sialnya (jika terjadi faktor wallahu alam, hanya Tuhan yang tahu, maka Plan-B harus berhasil). Kata “harus” dalam hal ini menjadi sugesti tersendiri agar kami bekerja lebih keras mencapai target. Bak sedang dikejar kirik edan (anak anjing gila) sehingga mampu berlari sipat kuping dan melompati pagar rumah Cina. Dan kirik itu adalah hari  “H”, hari pertama buka toko. (Kini kirik itu sudah berhasil mengejar, tahun Imlek 2557 – Tahun Anjing 2006 Masehi – sudah dimulai. Siapa tahu ruh sejarah dunia berulang dan merasuki pada diri kita yang kecil ini. Sejarah dimana globalisasi perdagangan dunia mencapai masa kejayaannya di jaman Dinasti Ming pada Tahun Anjing 1418 Masehi).

Lebih detil lagi, tanggal buka toko diusahakan pada akhir bulan atau awal bulan. Itu periode dimana orang-orang gajian baru menerima upah bulanannya. Lebih spesifik lagi, hari buka toko diusahakan jatuh di hari Sabtu atau Minggu. Itu hari dimana para buruh atau pekerja lepas baru menerima upah mingguannya, dan juga waktunya orang-orang suka jalan-jalan di akhir pekan. Ya, pertimbangan yang biasa-biasa saja. Dari pertimbangan sederhana itu maka ditemukanlah hari baik untuk grand-opening toko. Tentu saja tidak boleh menyalahkan kalau ada orang lain yang merasa perlu tanya “orang tua” atau “orang pinter”, atau membolak-balik kitab primbon, atau melakukan topo-broto guna menemukan hari baik untuk buka toko. Monggo-monggo saja…. 

Apakah ada pengaruhnya, mencari waktu yang pas untuk grand-opening toko? Bagi toko lain di lokasi lain, bisa jadi nggak ngaruh…., tapi bagi “Madurejo Swalayan” akan ada pengaruhnya. Latar belakangnya waktu itu seperti ini : “Madurejo Swalayan” adalah toko baru berkonsep modern di pinggiran kota, ada kelemahan dalam hal lokasi, relatif jauh dari kompleks pemukiman penduduk, pengelolanya belum berpengalaman, dan akan perlu waktu untuk bisa dikenal dan ditujui calon pelanggan. Maka wajar kalau diam-diam ada kekhawatiran, bagaimana kalau setelah toko buka lalu sepi pengunjung, tidak ada pembeli oleh sebab banyak hal. Njuk, semangat mengendor karena kurang sabar dan telaten.

Nah, periode bulan puasa hingga hari Lebaran adalah periode epidemi tahunan virus “ingin belanja” datang menyerang dan periode musimnya konsumen menomor-duakan faktor kualitas dan harga. Ada uang, ada barang, ada kebutuhan mendesak, maka transaksi akan terjadi. Bukan maksudnya meraih kesempatan di tengah kesempitan orang lain. Melainkan karena ada atau tidak ada “Madurejo Swalayan”, pagebluk konsumerisme itu akan tetap terjadi, dimana saja. Daripada masyarakat Madurejo dan sekitarnya mesti jauh-jauh ke kota Yogya untuk melampiaskan keinginan belanjanya, mbok ya tidak usah jauh-jauh, wong di dekatnya sudah ada “Madurejo Swalayan”, begitu kira-kira pikiran lugu saya bekerja waktu itu.

Maka kalau khayalan saya itu terjadi, paling tidak selama periode awal saya membuka toko, ada optimisme bahwa usaha saya berjalan dan toko saya dikunjungi orang. Selebihnya, sambil mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan awal yang terjadi. Optimisme semacam ini penting, terutama bagi orang-orang yang sulit mengendalikan kesabarannya. Bagaimanapun sejak awal kami tim manajemen  “Madurejo Swalayan” sudah memantapkan hati bahwa kami harus bersabar dan tekun mengumpulkan keuntungan cepek-nopek setiap hari. Bahwa kami tidak boleh cepat menyerah jika ternyata usaha ini terseok-seok jalannya. Bahwa kami harus telaten beranjak dari kekurangan yang satu ke kesalahan yang lain serta kudu cermat menapak selangkah demi selangkah.

Alhamdulillah, puji Tuhan….., hari-hari menjelang lebaran ternyata memang hari-hari panen raya. Jika di hari-hari awal sejak grand-opening, omset toko per harinya naik-turun pada tingkat yang tidak terlalu baik tidak terlalu buruk (sebaiknya tidak usah menyebut angka rupiah, nanti ndak diintip calon kompetitor). Maka di hari-hari menjelang lebaran, omset bisa naik menjadi dua, tiga bahkan lima kali lipatnya. Inilah optimisme awal yang sangat berharga, minimal saya menjadi lebih bersemangat berkata kepada tim manajemen “Madurejo Swalayan” bahwa ternyata : “Bersama kita bisa…….!”.  

Peningkatan omset yang luar biasa itu hanya terjadi di seputaran hari lebaran saja. Selewat lebaran ya kembali lagi ke level semula yang tidak seberapa rendah dan tidak seberapa tinggi. Minimal, telah terbangun semangat dan terbersit optimisme bahwa kami bisa mengelola usaha ini.

Dalam kaitannya dengan kinerja toko, harus diwaspadai bahwa kinerja di seputar lebaran itu bukanlah mencerminkan kinerja toko yang sebenarnya. Kalau saya tarik data omset harian selama beberapa bulan pertama ini, maka hari-hari di seputar lebaran harus saya perlakukan sebagai anomali (penyimpangan) data. Maka untuk memperoleh data yang representatif, hasil pencapaian di seputar hari lebaran harus saya buang dari kompilasi data untuk keperluan analisis atau evaluasi performance toko

Kini, setelah “Madurejo Swalayan” melangkah di bulan keempat, data omset harian mulai menampakkan kinerja yang sebenarnya. Secara keseluruhan belum dapat dikatakan bagus-bagus amat, tapi sudah mulai menunjukkan kecenderungan (trend) positif. Tiba saatnya untuk mulai mengerahkan kemampuan dalam menganalisis dan mengevaluasi, menthelengi (menatap dalam-dalam) data dan mengaitkannya dengan apa yang sedang terjadi di “lapangan“.

***

Agaknya semangat seperti yang dialami “Madurejo Swalayan” ini juga yang melandasi kenapa supermarket “Diamond” di lantai dasar Saphir Square Mall Yogya yang belum jadi itu, juga memaksakan diri untuk mulai beroperasi di bulan puasa tahun lalu kendati prasarananya masih seadanya. Ya itu tadi, memanfaatkan momentum pagebluk konsumerisme menjelang hari lebaran.  

Bagi mini-market atau toko ritel baru yang berlokasi di tengah komunitas yang mayoritas calon pelanggannya adalah masyarakat muslim, maka momentum bulan puasa atau hari lebaran kiranya dapat dijadikan tonggak untuk menentukan hari baik sebagai hari pertama buka toko. Bagi daerah lain, barangkali momentum Natal dan Tahun Baru bisa jadi lebih mengena. Atau, pada kondisi-kondisi tertentu, barangkali dapat diambil momentum hari perayaan 17-an, Hari Kartini, Hari Raya Kurban, Waisak, Imlek atau hari-hari besar tertentu lainnya. (Kalau suatu saat nanti “Madurejo Swalayan” akan membuka cabang di Bali, maka akan saya hindari Hari Raya Nyepi sebagai hari pertama buka toko……)

Setelah hari  “H” rencana grand-opening toko ditentukan, lalu tarik waktu mundur dan persiapkan sekitar empat sampai enam bulan waktu efektif untuk ancang-ancang. Kalau tokonya ternyata malah juga belum mulai dibangun, maka periode ancang-ancangnya perlu diperpanjang lagi. Perkecualian kalau : Pertama, Anda tergolong jenis mahluk yang bisa me-manage beban stress akibat pekerjaan yang tumpuk undung. Kedua, Anda akan menyerahkan pengelolaan toko kepada orang lain, termasuk kalau Anda berencana menjadi terwaralaba, maka lupakan semua gagasan tentang “timing” di atas (maksudnya, biar orang lain yang mikir, bukan Anda….).

Kendati demikian, kalau toko Anda sudah siap mulai jualan hari ini, sementara bulan puasa akan tiba enam bulan lagi, ya janganlah kalau lalu keukeuh menunggu bulan puasa saja sebagai hari baik untuk mulai buka tokonya. Keburu modal kerja Anda bablasss…… Kelamaan mengelus-elus dan menghitung-hitung ulang simpanan modal, akhirnya Anda keduluan terserang virus konsumerisme. TV, kulkas, sepeda motor, mobil di rumah yang selama ini baik-baik saja, tiba-tiba ingin ditukar dengan yang lebih baru seperti yang ada di iklan televisi. Dinding, jendela dan teras rumah yang sebenarnya tidak bermasalah tiba-tiba ingin dibedah dan direnovasi. Rak yo kojur tenan……. (benar-benar celaka….).

Madurejo, Sleman – 29 Januari 2006 (Tahun Baru Imlek 2557).

Yusuf Iskandar

(17) Pemasok, Antara Kawan dan Lawan

13 Desember 2007

Menjelang hari “H”, hari pertama buka toko yang direncanakan, para pemasok (suppliers) berduyun-duyun berdatangan menawarkan produk-produknya. Mereka berdatangan, baik karena diberitahu oleh toko lain yang sebelumnya saya titipi kartu nama, diberitahu oleh sesama pemasok, sengaja kami hubungi untuk memberikan penawaran barang, ataupun secara kebetulan melihat papan nama toko baru saat mereka lewat di Jl. Prambanan – Piyungan, Yogyakarta.

Pemasok, dalam menunaikan tugasnya di lapangan biasanya diujungtombaki oleh orang-orang yang disebut salesman. Dalam komunikasi salah kaprah sehari-hari suka disebut dengan sales saja. Para pemasok ini bisa puluhan jumlahnya, baik yang resmi berbadan hukum yang mewakili perusahaan distributor produk tertentu maupun sales lepas (freelance) atau disebut juga sebagai grosir keliling.

Jangan heran dan terpesona kalau kemudian bertaburan kalimat-kalimat rayuan (seduction) dan bujukan meyakinkan (persuasion) dari para sales ini agar kita tertarik melakukan transaksi pembelian. Mulai dari menawarkan keunggulan produknya yang sudah dikenal masyarakat, yang katanya sudah ada iklannya di televisi. Sampai perlu menyebut referensi, misalnya di toko “Anu” (disebutnya nama toko yang berlokasi di kawasan yang sama dengan toko kita) seminggu bisa laku sekian biji. Tidak lupa mereka pun akan menunjukkan salinan order pembelian dari toko itu guna meyakinkan kita.

Dalam upayanya mendesak kita dalam soal “timing”, mereka akan mengatakan bahwa mereka akan kembali melewati lokasi toko kita setiap dua atau tiga minggu, terkadang sebulan sekali. Ketika dekat-dekat Lebaran, maka mereka akan berbaik hati mengingatkan bahwa jenis barang tertentu biasanya permintaan pasar meningkat sementara persediaan terbatas, sedang mereka akan libur selama beberapa waktu. Situasi seperti ini tentu akan membingungkan hitungan matematis di kepala kita, padahal keputusan harus dibuat saat itu juga, sedangkan sebagai pemain baru kita belum punya pengalaman.

Belum lagi soal iming-iming. Jika membeli sejumlah sekian akan menerima diskon sekian persen, jika membeli produk ini sekian akan ada bonus itu, jika pembayarannya tunai akan ada tambahan diskon sekian persen, untuk “grand-opening” toko baru ada tambahan diskon sekian persen lagi, dan banyak macam iming-iming lainnya yang seringkali membuat kita terlena.

“Retour policy” juga menjadi senjata sales. Mereka akan mengatakan nanti kalau barangnya tidak laku atau rusak bisa ditukar dengan produk lain. Jadi tidak perlu khawatir. Kita sering lupa, bagaimanapun juga hal itu tetap berarti mengalir-keluarnya uang tunai dari kas kita. Masih ada lagi sales lepas yang mengatasnamakan lembaga sosial tertentu, sehingga kalau kita membeli barang mereka berarti kita turut berbuat amal. Hati siapa yang tidak tersentuh mendengarnya.

Kalau sudah mentok karena terus kita tolak misalnya, akhirnya mereka akan mengatakan bahwa produknya perlu ada agar toko lebih lengkap, jangan sampai nanti ada pembeli yang membutuhkan ternyata barangnya tidak tersedia. Pembeli bisa kecewa. Sampai di titik ini kita sering terpengaruh. “Iya, ya…, benar juga. Sayang kalau sampai ada pembeli yang kecewa karena barang yang dicari tidak ada”, demikian biasanya setan gundul entah datang dari mana akan berbisik di telinga kita. Sebagai toko yang baru memulai usahanya, wajar kalau diam-diam muncul ketakutan, jangan-jangan kita dijauhi calon pelanggan setelah tahu tokonya tidak lengkap.

***

Tidak dapat dipungkiri, pemasok (supplier) adalah salah satu bagian penting dalam mata rantai bisnis ritel. Keberadaannya sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran usaha toko. Daripada repot-repot pergi kulakan, mencari barang, membelinya, lalu mengangkutnya sendiri, lebih menghemat banyak waktu apabila kita membelinya dari pemasok yang datang sendiri ke toko, harganya pun bersaing. Pendeknya, hubungan antara pengelola toko dan pemasok adalah hubungan kerjasama bisnis yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Simbiose mutualisme. Pengelola toko butuh kulakan dengan cepat dan harga bersaing, sedangkan pemasok butuh barang dagangannya dibeli oleh pengelola toko. 

Meskipun demikian, tidak semua sales layak untuk diajak bekerjasama. Ada juga oknum sales yang nakal, mau untung sendiri, ingin meraup untung besar sesaat, tidak berniat membina hubungan kerjasama yang langgeng. Oknum sales jenis ini terkadang hanya mementingkan asal dagangannya dibeli, tidak perduli bakal cepat laku atau tidak. Biasanya oknum sales ini minta pembayaran tunai. Jika barang dagangannya sudah banyak dibeli, sementara kita tidak tahu itu jenis barang yang cepat laku (fast moving) atau bukan, kita juga tidak tahu harga yang ditawarkan wajar atau terlalu tinggi, maka oknum sales nakal ini biasanya hanya sekali mampir lalu tidak kembali lagi.

Disinilah susahnya bagi pengelola toko yang belum berpengalaman, yang baru pertama kali berurusan dengan sales, yaitu bagaimana mengenali oknum sales-sales nakal. Pengalaman menjengkelkan itu juga yang terpaksa dialami oleh pengelola “Madurejo Swalayan”.

Harus disadari bahwa hal menjengkelkan itu sebenarnya adalah bagian dari resiko bisnis. Resiko yang mestinya harus sudah diperhitungkan sebelum mulai membuka toko. Bagaimanapun juga, sales adalah juga penjual yang ingin barang dagangannya laris manis. Sales juga membekali diri dengan pengetahuan, ketrampilan dan belajar bagaimana teknik menjual yang sukses. Bagaimana mempengaruhi calon pembeli agar jadi bertransaksi. Bagaimana meyakinkan calon pembeli bahwa produknya layak dibeli, dalam jumlah banyak kalau bisa. Dan, calon pembeli itu adalah kita, orang yang baru belajar bisnis ritel, orang yang suka bingung dan sulit mengambil keputusan ketika rayuan maut para sales menyerang tiba-tiba.

***

Lha, kalau sudah tahu tentang berbagai perilaku sales seperti itu, mestinya bisa dong menghindari oknum sales nakal….? Well……., mestinya iya. Tapi menurut “ngelmu” psikologi penjualan yang “dipelajari” oleh para sales itu mengajarkan bahwa selalu ada celah untuk meninabobokkan pemain baru seperti saya sehingga terpengaruh untuk membeli produk mereka.

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat rayuan, bujukan ataupun iming-iming yang ditawarkan para sales itu, tidak juga selamanya bertujuan negatif atau menyesatkan. Sebaliknya adakalanya justru menjadi nilai positif. Hanya saja, kita perlu berpikir jernih dan logis sebelum saat itu memutuskan untuk melakukan pembelian, atau menunda atau menolak.

Susahnya, sebagai pemain baru seringkali kita tidak punya cukup bekal referensi dan pengalaman, “feeling” pun belum terasah. Maka seringkali hanya mengandalkan iktikad baik dan percaya kepada pemasok semata sebagai landasan membuat keputusan. Situasi atau posisi lemah semacam ini jelas sangat dipahami oleh para pemasok beserta sales-salesnya. Maka muncullah oknum sales nakal, meskipun jumlah mereka tidak banyak.

Begitulah….. ! Pemasok adalah kawan kita. Pemasok professional sangat memahami bahwa hubungan simbiose mutualisme ini perlu dilanggengkan. Namun bagi sebagian kecil oknum pemasok lainnya, mereka adalah lawan kita. Mereka hanya mau untung sendiri tanpa mau memikirkan kelanggengan kerjasama yang saling menguntungkan. Masalahnya adalah, kita baru tahu mana kawan dan mana lawan justru setelah usaha kita berjalan sekian waktu, bukan sebelum memulainya.

Madurejo, Sleman – 19 Januari 2006.

Yusuf Iskandar