Archive for the ‘(02) Banting Setir Adalah Merubah Mind-Set’ Category

(2) Banting Setir Adalah Merubah Mind-Set

13 Desember 2007

Tiba-tiba saja saya menjadi suka dengan istilah banting setir. Dalam bayangan saya, banting setir adalah istilah gerak refleks seorang sopir guna menghindari situasi mendadak yang tidak menguntungkan atau membahayakan ketika sedang mengemudi. Oleh karena itu, pekerjaan banting setir ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan urusan sopir, sedangkan penumpang cuma bisa pasrah bongkokan, nderek selamet….. (numpang selamat). Hasil bantingannya pun berbau spekulasi, niatnya agar selamat, tapi bisa juga menjadi fatal.

Ketika istilah banting setir diplesetkan menjadi istilah ganti pekerjaan atau profesi, urusannya jadi lain. Jelas ini bukan gerak refleks, melainkan gerak atau manuver sang sopir yang harus terencana dan diperhitungkan dengan cermat, karena hasil bantingannya diharapkan menuju ke arah yang lebih baik dan jangan sampai malah berakibat fatal.

Oleh karena itu, yang saya pahami kemudian adalah jangan sekali-kali melakukan banting setir atau ganti profesi secara refleks, apalagi dengan emosional. Karena pekerjaan ini tidak semata-mata menjadi urusan sang sopir, masih ada istri dan anak-anak, malah terkadang adik, kakak, ipar, orang tua, mertua, keponakan, pembantu, anak asuh yang turut menjadi penumpang. Meski tanggung jawab utama tetap ada di kepala, pundak, lutut dan kakinya sang sopir.

Melakukan banting setir ini mestinya bukan keputusan yang sembrono. Karena bisa berarti kita sedang meninggalkan “comfort zone” (zona nyaman) dalam episode hidup orang gajian menuju ke alam “tak menentu”. Dari kondisi berpenghasilan tetap (apalagi kalau jumlahnya cukup banyak) menuju ke kondisi berpenghasilan tidak tetap (cenderung sedikit di awal-awalnya). Namun kabar baiknya adalah bahwa kita sebenarnya sedang bergerak dari kawasan berpenghasilan terbatas (makanya disebut kawasan karena ada batasnya) menuju ke alam berpenghasilan tak terhingga (makanya disebut alam yang tak berbatas).

Miturut teori manajemen perubahan, banting setir ini dapat saya identikkan dengan langkah putar haluan (turnaround) kalau sopir itu adalah seorang manager atau CEO sebuah perusahaan. Bedanya, kalau strategi putar haluan ini karena alasan mendatangkan cashflow, sedang strategi banting setir karena alasan mendatangkan isi kendil, dandang, kuali, panci, wajan, agar dapur terus ngebul yang asapnya semakin tebal dan semakin membubung tinggi…….

 

Maka ketika pada suatu hari di pegunungan Papua (setelah menjalani “peran politik” sebagai massa mengambang cukup lama, boleh juga disebut status quo) situasi dan kondisi ternyata telah menempatkan saya dalam lajur jalan penuh fait accompli. Maka banting setir untuk pindah lajur jalan adalah pilihan terbaik yang harus diambil dari keadaan yang (bisa) lebih buruk.

 

Pasti ini bukan peristiwa gerak refleks. Saya butuh waktu sembilan bulan sepuluh hari untuk menimbang-nimbang apakah perlu banting setir ataukah tidak. Apakah penumpang saya sudah siap untuk mengikuti gerak manuver sopirnya ataukah belum. Semua terencana dan terarah, sehingga kalau akhirnya banting setir saya lakukan, maka peristiwa itu terjadi dengan kesadaran tinggi dan bukan dengan emosional.

Ngelmu gaib” diyakinkan. Ndremimil (mengucap berulang-ulang) permohonan kepada “Atasan” saya dipanjatkan tak terhitung banyaknya, sampai manik-manik tasbih yang jumlahnya 99 pun tidak mampu menampungnya. Semoga manuver banting setirnya sang sopir ini akan mengarah ke lajur jalan yang lebih baik (dalam bahasa buku suci agama saya disebut : masuk ke satu lajur jalan dengan cara yang benar dan keluar berpindah lajur pun dengan cara yang benar pula……. — QS 17:80 ). Benar menurut saya dan mudah-mudahan benar pula menurut ijabah “Atasan” saya. Untuk berhasilnya sebuah manajemen problem solving and decision making dari sebuah proyek, maka teamwork antara “Atasan” dan bawahan memang mutlak harus baik, benar, manis dan mesra. 

***    

Namun sayang tujuh ribu kali sayang, terjadi kesalahan kecil yang menyertai keputusan saya untuk banting setir. Tidak fatal, cuma menambah pikiran dan pekerjaan di belakang hari. Ada penumpang saya yang belum saya persiapkan dengan tuntas, yaitu anak-anak. Penumpang kecil dalam kendaraan yang saya sopiri. Saya melakukan pendekatan dan lobi kepada anak-anak dengan cara yang sama terhadap ibunya. Belakangan saya baru menyadari bahwa ternyata itu saja belum mencukupi. Seharusnya perlu pendekatan dan lobi lebih intensif kepada mereka.    

 

Maka akibatnya, meskipun mereka setuju dan mengerti bahwa bapaknya mau melakukan manuver banting setir, tetapi yang sesungguhnya belum mereka pahami adalah implikasi dan akibat “non-teknis” bagi keseharian mereka nantinya. Penjelasan sedalam inilah yang belum pernah saya lakukan. Tinggal kemudian hari menjadi pekerjaan rumah bagi bapak dan ibunya untuk menyertai dan memahamkan kepada anak-anak tentang akan adanya perubahan pola dan kebiasaan hidup keluarga. Jelas sangat makan waktu dan juga makan hati.

 

Perubahan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga mau tidak mau terpaksa harus berubah sebagai antisipasi laku boros dan kehati-hatian. Harus dipahami kalau sebelumnya bapaknya menjadi pegawai dan menerima gaji tetap setiap bulannya, sehingga kalaupun bulan ini uang habis maka bulan depan masih akan menerima lagi. Kemudian berubah menjadi pekerja serabutan yang penghasilan bulanannya tidak tetap dengan tanpa kepastian apakah bulan depan masih dapat memperoleh jumlah yang sama. Biasanya ada uang tertinggal Rp 50.000,- di atas meja tidak ada yang memperdulikan, kini sisa uang Rp 5.000,- pun diurus kemana perginya. Di mata anak-anak, kini orang tuanya kok berubah jadi pelit.

Ternyata memang tidak mudah merubah mind-set yang sudah berurat-berakar sejak mereka lahir jebrol hingga remaja, tiba-tiba berubah 180 derajat. Mind-set anak-anak dalam menyikapi perubahan kebiasaan hidup diri dan keluarganya dan mind-set anak-anak dalam memandang jenis pekerjaan baru dan berbeda yang dilakukan orang tuanya. Itu baru anak-anak. Tidak kalah pentingnya juga mind-set ibunya, dari biasa terima setoran tetap setiap bulan dari sang sopir yang jumlahnya ibarat bisa untuk apa saja, menjadi setoran tidak tetap yang terkadang malah mesti gantian nyetori alias nombok. Sedangkan mind-set bapaknya, ya itu tadi, sampai perlu waktu sembilan bulan sepuluh hari untuk mempersiapkan diri lahir-batin, jasmani-rohani, moral-spiritual, dunia wal-akhirat……

Keputusan untuk melakukan banting setir atau berganti profesi sudah semestinya merupakan sebuah keputusan besar dalam episode kehidupan manusia. Banting setir adalah merubah mind-set. Sebuah keputusan yang seharusnya didahului dengan pertimbangan yang cermat dan terarah karena akan berimplikasi langsung dan membawa perubahan pada mind-set diri sendiri dan segenap anggota keluarga dalam melanjutkan perjalanan hidupnya menuju arah yang lebih baik.

 

Madurejo, Sleman – 27 Pebruari 2006

Yusuf Iskandar