Pengantar :
Tulisan ini adalah penjelasan tambahan setelah saya menerima beberapa pertanyaan terkait tulisan saya sebelumnya tentang “Fitna”. Sebelumnya mohon maaf apabila dalam tulisan ini ada sedikit bahasan tentang ayat Qur’an, semata-mata untuk memperjelas pokok pikirannya.
——-
Sejak awal, ide liar Geert Wilders nampaknya memang berangkat dari prasangka buruk (su’udz-dzon). Judul filmnya sendiri mencerminkan niatnya untuk menebar fitnah. Dan, fitnah itu disasarkan kepada segenap lapisan orang Islam di dunia dengan cara menggeneralisir bahwa seperti itulah “ancaman” yang bakal datang dari orang-orang Islam.
Seandainya fitnahnya “Fitna” itu ditujukan hanya kepada representasi golongannya orang-orang semacam Osama bin Laden, maka itu hanyalah nila setitik. Orang Islam pada umumnya barangkali ora urus (tidak perduli). Tapi ketika fitnah itu ditujukan kepada segenap lapisan kaum muslim di dunia, itulah persoalannya. Sudah barang tentu sama artinya dengan mengublek-ublek susu sebelanga.
Kalau ada orang difitnah, maka sangat wajar kalau kemudian orang itu marah. Apalagi kalau fitnah itu menyangkut perkara keyakinan, maka tingkat keberangannya bisa berlapis-lapis. Mulai lapisan terbawah yang hanya cengengesan sampai yang teratas bertindak anarkis. Reaksi dari setiap lapisan korban fitnah itulah yang memang diharapkan oleh si penebar.
Dalam Islam, sesungguhnya kedudukan orang yang terfitnah (teraniaya) adalah sangat dekat ke haribaan Illahi-Robbi. Sedemikian dekatnya sehingga kalaupun orang yang teraniaya itu mau berdoa apa saja agar dibalaskan yang setimpal kepada si pemfitnah, Tuhan akan mengabulkannya.
Jangan pernah mengira bahwa penafsiran ayat-ayat Qur’an seperti yang dipahami dan “diamalkan” oleh segolongan orang sekelas dan sejenis Osama bin Laden adalah sama dengan penafsiran dan pengamalan oleh segolongan kaum muslim yang lain (yang jumlahnya jauh lebih banyak). Penafsiran ayat-ayat Qur’an memang tidak mudah, setidak-tidaknya diperlukan ilmu tafsir untuk memahaminya.
Sekadar ilustrasi : bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab yang bernilai sastra sangat tinggi. Oleh karena itu, tidak setiap orang yang sehari-hari berbahasa Arab serta-merta bisa dengan mudah memahamnya. Bahkan lulus dari jurusan Sastra Arab dengan magna cum laude pun tidak ada hubungannya dengan kepandaiannya menafsirkan ayat Qur’an. Dalam studi theologi Islam ada cabang ilmu Tafsir Al-Qur’an.
Barangkali analogi yang lebih mudah adalah tentang buku-buku sastra Jawa, dimana tidak serta-merta orang-orang Jawa yang sehari-hari berbahasa Jawa akan bisa memahaminya dengan mudah. Lebih banyak yang malah tidak paham maksudnya sama sekali.
Ketidakmudahan penafsiran ayat-ayat Qur’an itu nampaknya oleh sebagian orang Islam (baca : tokoh Islam) ditangkap sebagai “peluang bisnis” untuk “dijual” kepada sebagian orang Islam yang lain. Dengan perkataan lain, penafsirannya menjadi rentan terhadap “kepentingan”. Tidak terkecuali kepentingan politik, bisnis, ekonomi, dan sebagainya.
Contoh paling mudah adalah, coba lihat hiruk-pikuk setiap kali menjelang Pemilu di jaman Orba dulu. Para juru kampanye dengan entengnya mengutip ayat-ayat Qur’an kemudian berteriak lantang bahwa tanda gambar itu haram dan tanda gambar ini masuk sorga. Akibatnya, para pengikut fanatiknya akan menelan begitu saja apa kata sang tokoh.
***
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, ketika orang sekaliber dan sekharismatik Osama bin Laden sambil mata melotot dan mengangkat pedang, mengutip ayat Qur’an surat Muhammad (QS. 47:4) : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Therefore, when ye meet the unbelievers, smite at their necks and when ye have caused a bloodbath among them bind a bond firmly on them).
Tidak diikuti dengan penjelasan siapa orang kafir yang dimaksud dalam ayat itu dan dalam situasi seperti apa perintah itu diturunkan. Sepemahaman saya, intinya ayat itu menjelaskan bahwa perintah itu turun ketika kaum muslimin berhadapan dengan orang-orang kafir yang memusuhi orang-orang Islam di medan perang.
Contoh lain adalah kutipan surat Al-Anfaal (QS. 8:60) : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Prepare for them whatever force and cavalry ye are able of gathering, to strike terror, to strike terror into the hearts of the enemies, of Allah and your enemies).
Beberapa tafsir menjelaskan yang intinya adalah bahwa umat Islam diperintahkan untuk mempersiapkan diri dan perlengkapan perangnya dengan semaksimal mungkin, guna unjuk kekuatan untuk menakut-nakuti dan menjatuhkan moral musuh sebelum maju ke medan perang.
Hal-hal di atas itulah, sebagian contoh yang kemudian oleh orang-orang sejenis Geert Wilders yang memang sudah tertanam semangat untuk memfitnah, lalu dijadikan “peluang bisnis” sebagai senjata untuk menebar “Fitna”. Sialnya, Geert Wilders juga menelan begitu saja penggalan-penggalan kejadian semacam itu (dan banyak lagi lainnya dalam film “Fitna”), lalu sambung-menyambung menjadi satu, itulah film “Fitna”…
Kalau saja Wilders mau meluangkan waktu untuk mengkaji terlebih dahulu dengan merujuk kepada orang-orang yang memang kompetan dan mumpuni di bidang ilmu tafsir Qur’an, pasti kejadianya akan berbeda. Tapi ya itu tadi, karena dari awal niat ingsung Wilders memang hendak menebar “Fitna”.
Osama dan teman-teman sepemahamannya yang hanya nila setitik itu mempunyai “kepentingan”. Wilders pun menangkap peluang itu karena juga punya “kepentingan”. Maka jangan salahkan orang-orang Islam lainnya yang sebelanga juga membela diri demi “kepentingan” yang lain. Allah pun punya “kepentingan”, antara lain hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.
Hanya saja bagi orang-orang Islam lainnya itu kini punya pilihan. Dan, Allah sungguh memberi pilihan-pilhan yang sebenarnya sangat indah, tapi jelas bukan dengan membalas secara anarkis dengan menghalalkan segala cara, sebab yang terakhir ini pun rentan untuk ditunggangi dengan aneka “kepentingan”.
(Saya berlindung kepada Allah apabila paparan dan kutipan tafsir yang saya tulis di atas terdapat ketidakbenaran atau ketidak-akuratan. Mudah-mudahan ada ikhwan lain yang membantu meluruskannya. ).
Yogyakarta, 1 April 2008
Yusuf Iskandar