Posts Tagged ‘islam’

Ketika Wilders Menanam Ketakutan, “Fitna” Buahnya (Bag. 2)

1 April 2008

Fitna_2

Pengantar :

Tulisan ini adalah penjelasan tambahan setelah saya menerima beberapa pertanyaan terkait tulisan saya sebelumnya tentang “Fitna”. Sebelumnya mohon maaf apabila dalam tulisan ini ada sedikit bahasan tentang ayat Qur’an, semata-mata untuk memperjelas pokok pikirannya.

——-

Sejak awal, ide liar Geert Wilders nampaknya memang berangkat dari prasangka buruk (su’udz-dzon). Judul filmnya sendiri mencerminkan niatnya untuk menebar fitnah. Dan, fitnah itu disasarkan kepada segenap lapisan orang Islam di dunia dengan cara menggeneralisir bahwa seperti itulah “ancaman” yang bakal datang dari orang-orang Islam.

Seandainya fitnahnya “Fitna” itu ditujukan hanya kepada representasi golongannya orang-orang semacam Osama bin Laden, maka itu hanyalah nila setitik. Orang Islam pada umumnya barangkali ora urus (tidak perduli). Tapi ketika fitnah itu ditujukan kepada segenap lapisan kaum muslim di dunia, itulah persoalannya. Sudah barang tentu sama artinya dengan mengublek-ublek susu sebelanga.

Kalau ada orang difitnah, maka sangat wajar kalau kemudian orang itu marah. Apalagi kalau fitnah itu menyangkut perkara keyakinan, maka tingkat keberangannya bisa berlapis-lapis. Mulai lapisan terbawah yang hanya cengengesan sampai yang teratas bertindak anarkis. Reaksi dari setiap lapisan korban fitnah itulah yang memang diharapkan oleh si penebar.

Dalam Islam, sesungguhnya kedudukan orang yang terfitnah (teraniaya) adalah sangat dekat ke haribaan Illahi-Robbi. Sedemikian dekatnya sehingga kalaupun orang yang teraniaya itu mau berdoa apa saja agar dibalaskan yang setimpal kepada si pemfitnah, Tuhan akan mengabulkannya.

Jangan pernah mengira bahwa penafsiran ayat-ayat Qur’an seperti yang dipahami dan “diamalkan” oleh segolongan orang sekelas dan sejenis Osama bin Laden adalah sama dengan penafsiran dan pengamalan oleh segolongan kaum muslim yang lain (yang jumlahnya jauh lebih banyak). Penafsiran ayat-ayat Qur’an memang tidak mudah, setidak-tidaknya diperlukan ilmu tafsir untuk memahaminya.

Sekadar ilustrasi : bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab yang bernilai sastra sangat tinggi. Oleh karena itu, tidak setiap orang yang sehari-hari berbahasa Arab serta-merta bisa dengan mudah memahamnya. Bahkan lulus dari jurusan Sastra Arab dengan magna cum laude pun tidak ada hubungannya dengan kepandaiannya menafsirkan ayat Qur’an. Dalam studi theologi Islam ada cabang ilmu Tafsir Al-Qur’an.

Barangkali analogi yang lebih mudah adalah tentang buku-buku sastra Jawa, dimana tidak serta-merta orang-orang Jawa yang sehari-hari berbahasa Jawa akan bisa memahaminya dengan mudah. Lebih banyak yang malah tidak paham maksudnya sama sekali.

Ketidakmudahan penafsiran ayat-ayat Qur’an itu nampaknya oleh sebagian orang Islam (baca : tokoh Islam) ditangkap sebagai “peluang bisnis” untuk “dijual” kepada sebagian orang Islam yang lain. Dengan perkataan lain, penafsirannya menjadi rentan terhadap “kepentingan”. Tidak terkecuali kepentingan politik, bisnis, ekonomi, dan sebagainya.

Contoh paling mudah adalah, coba lihat hiruk-pikuk setiap kali menjelang Pemilu di jaman Orba dulu. Para juru kampanye dengan entengnya mengutip ayat-ayat Qur’an kemudian berteriak lantang bahwa tanda gambar itu haram dan tanda gambar ini masuk sorga. Akibatnya, para pengikut fanatiknya akan menelan begitu saja apa kata sang tokoh.

***

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, ketika orang sekaliber dan sekharismatik Osama bin Laden sambil mata melotot dan mengangkat pedang, mengutip ayat Qur’an surat Muhammad (QS. 47:4) : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Therefore, when ye meet the unbelievers, smite at their necks and when ye have caused a bloodbath among them bind a bond firmly on them).

Tidak diikuti dengan penjelasan siapa orang kafir yang dimaksud dalam ayat itu dan dalam situasi seperti apa perintah itu diturunkan. Sepemahaman saya, intinya ayat itu menjelaskan bahwa perintah itu turun ketika kaum muslimin berhadapan dengan orang-orang kafir yang memusuhi orang-orang Islam di medan perang.  

Contoh lain adalah kutipan surat Al-Anfaal (QS. 8:60) :  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…..” (dalam film “Fitna” penggalan ayat itu ditulis : Prepare for them whatever force and cavalry ye are able of gathering, to strike terror, to strike terror into the hearts of the enemies, of Allah and your enemies).

Beberapa tafsir menjelaskan yang intinya adalah bahwa umat Islam diperintahkan untuk mempersiapkan diri dan perlengkapan perangnya dengan semaksimal mungkin, guna unjuk kekuatan untuk menakut-nakuti dan menjatuhkan moral musuh sebelum maju ke medan perang.

Hal-hal di atas itulah, sebagian contoh yang kemudian oleh orang-orang sejenis Geert Wilders yang memang sudah tertanam semangat untuk memfitnah, lalu dijadikan “peluang bisnis” sebagai senjata untuk menebar “Fitna”. Sialnya, Geert Wilders juga menelan begitu saja penggalan-penggalan kejadian semacam itu (dan banyak lagi lainnya dalam film “Fitna”), lalu sambung-menyambung menjadi satu, itulah film “Fitna”…

Kalau saja Wilders mau meluangkan waktu untuk mengkaji terlebih dahulu dengan merujuk kepada orang-orang yang memang kompetan dan mumpuni di bidang ilmu tafsir Qur’an, pasti kejadianya akan berbeda. Tapi ya itu tadi, karena dari awal niat ingsung Wilders memang hendak menebar “Fitna”.

Osama dan teman-teman sepemahamannya yang hanya nila setitik itu mempunyai “kepentingan”. Wilders pun menangkap peluang itu karena juga punya “kepentingan”. Maka jangan salahkan orang-orang Islam lainnya yang sebelanga juga membela diri demi “kepentingan” yang lain. Allah pun punya “kepentingan”, antara lain hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.

Hanya saja bagi orang-orang Islam lainnya itu kini punya pilihan. Dan, Allah sungguh memberi pilihan-pilhan yang sebenarnya sangat indah, tapi jelas bukan dengan membalas secara anarkis dengan menghalalkan segala cara, sebab yang terakhir ini pun rentan untuk ditunggangi dengan aneka “kepentingan”.

(Saya berlindung kepada Allah apabila paparan dan kutipan tafsir yang saya tulis di atas terdapat ketidakbenaran atau ketidak-akuratan. Mudah-mudahan ada ikhwan lain yang membantu meluruskannya. ).

Yogyakarta, 1 April 2008
Yusuf Iskandar

Ketika Wilders Menanam Ketakutan, “Fitna” Buahnya (Bag. 1)

30 Maret 2008

FitnaHati Geert Wilders demikian galau dan khawatir. Penganut fanatik aliran kebebasan yang menjadi anggota Parlemen Belanda dari Partai Kebebasan sejak tahun 1998 itu semakin hari semakin ketakutan. Takut kebebasan hidupnya akan direnggut. Takut ada pihak lain yang tidak sejalan dengan pikirannya akan mendominasi kehidupan dunianya. Takut semangat kebebasan sebebas-bebasnya yang sedang diperjuangkannya akan pupus di tengah jalan.

Namun sayang, ketakutan yang semakin tertanam di hati dan jiwa Geert Wilders adalah ketakutan yang tanpa ilmu, tanpa hati dan tanpa ruh untuk menemukan kebenaran yang sejati. Maka, berbagai alasan pembenaran untuk membela diri harus dibuat. Berbagai logika sesaat untuk mencapai target yang diharapkan perlu direkonstruksi dan dibangun, hingga pada akhirnya diharapkan memperoleh pembenaran kolektif. Upaya mencari pembenaran yang tidak dibarengi dengan upaya memahami ilmunya, sehingga yang terjadi adalah upaya yang dibangun atas dasar prasangka.

Wilders terkejut ketika melihat pertumbuhan komunitas masyarakat muslim di negerinya Belanda dan juga di Eropa. Seabad yang lalu jumlah orang Islam di Belanda hanya 54 gelintir manusia dan ternyata pada tahun 2004 sudah menjadi 944.000 orang. Lebih kaget lagi, pada tahun 2007 jumlah masyarakat muslim di seluruh belahan Eropa diperkirakan mencapai 54 juta orang.

Sementara dalam gambaran Wilders, orang-orang Islam ini adalah orang-orang yang sama seperti yang menabrakkan dua pesawat komersial ke gedung WTC New York pada 11 September 2001 atau yang mengebom stasiun kereta api Atocha Madrid pada 11 Maret 2004. Dalam benak Wilders, orang-orang Islam ini adalah para teroris yang bakal menguasai dunia dengan semangat meneror dan menghancurkan kebebasan sebebas-bebasnya yang diimpikan Wilders. Semua gambaran itu dikemas dalam bingkai prasangka buruk tanpa ilmu, hati dan spirit yang proporsional untuk menemukan kebenaran.

Kini ketakutan Wilders semakin memuncak. “Islam will dominate the world”, teriaknya. Lebih konyol lagi Wilders mempropagandakan ketakutannya jangan-jangan negerinya Belanda akan menjadi negara Islam kalau perkembangan Islam semakin dibiarkan. Dan secara berlebihan Wilders pun mengingatkan bangsanya : “The Netherlands under the spell of Islam”.

Dieksploitirnya gambaran masa depan Belanda jika perkembangan islam tidak diredam. Kaum gay, anak-anak dan wanita, adalah korban gambaran suram kehidupan masyarakat Belanda yang akan menanggung akibatnya. Apalagi kalau bukan demi alasan kebebasan hidup yang hendak dibela Wilders.

Untuk memperkuat alasannya mencegah perkembangan Islam, maka Wilders berusaha mengumpulkan data dan fakta yang menurutnya cukup menjadi bukti. Antara lain, berbagai rekaman dan dokumentasi tentang serangan menara WTC, pemboman stasiun Atocha, pidato dan ceramah tokoh-tokoh Islam, kliping koran terkait geliat Islam. Jika perlu pun celotehan innocent seorang anak berumur 3,5 tahun bernama Basmallah yang ditanya dengan pertanyaan tendensius tentang bangsa Yahudi juga ditunjukkan.

Tak ketinggalan, kumandang dan terjemahan ayat-ayat Qur’an diketengahkan, antara lain QS. 8:60, QS. 4:56, QS. 47:4, QS. 4:89 dan QS. 8:39. Terjemahan ayat-ayat Qur’an yang serta-merta lalu dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa di dunia, menurut penafsiran Wilders sendiri. Padahal kalau Wilders tahu ilmunya, bahwa tidak sedemikian gampang untuk menafsirkan ayat-ayat Qur’an, karena setiap ayat dalam kitab Qur’an tidaklah berdiri sendiri. Ada yang disebut asbabunnuzul (konteks dan sebab-sebab turunnya ayat), ada Hadist yang mendukung penafsirannya, dan ada “alat-alat” lain yang diperlukan dan perlu dipahami, sebelum sampai pada kesimpulan yang benar.

Wilders lalu mengilustrasikan paranoidnya dengan sebuah gambar yang sebenarnya indah dan artistik namun memaksa yang melihatnya untuk geleng-geleng kepala, betapa “bodohnya” anggota Parlemen ini dengan kreatifitasnya. Tampaklah halaman kitab Qur’an yang sepertinya hendak dibuka, lalu gambar berubah menjadi hitam, dan terdengar suara kertas disobek, disertai tulisan : “The sound you heard was a page being removed from the phonebook”.

Karena kesimpulan Wilders dibangun atas dasar prasangka buruk, maka yang kemudian ingin diteriakkan kepada dunia adalah : “Stop Islamisation” dan “Defend our Freedom”. Jika pada tahun 1945 Nazi ditumpas di Eropa dan tahun 1989 Komunis juga diberangus di Eropa, maka Wilders pun menyerukan kepada dunia : “Now, the islamic ideology has to be defeated”.

Penggalan-penggalan cerita itu dirangkai dengan “bagus” oleh Geert Wilders dalam sebuah episode film pendek berdurasi 16 menit 48 detik berjudul “Fitna”, yang disutradarai oleh Scarlet Pimpernel dan script-nya ditulis sendiri oleh Geert Wilders. Film yang secara resmi baru di-release pada tanggal 27 Maret 2008 itu segera saja menggegerkan dan mengundang kontroversi.

Tak kurang Sekjen PBB mengecamnya, pemerintah Belanda menyampaikan penyesalannya kepada semua kalangan muslim atas munculnya film “Fitna”. Komunitas muslim Belanda juga sedang mengajukan tuntutan ke pengadilan. Berbagai kalangan melancarkan protes namun sejauh ini tetap dalam damai. Kini, film “Fitna” dihentikan penayangannya di internet dan ditarik dari server-nya LiveLeak.com maupun Fitnathemovie.com.

Wilders mengawali filmnya dengan peringatan : “This film contains very shocking images”, dan mengakhirinya dengan menampilkan kartun nabi Muhammad saw. yang pada surbannya terpasang bom waktu yang meledak di akhir film (Wilders ternyata menggunakan kartun karya Kurt Westergaard ini tanpa ijin pemiliknya). Pada bagian akhir pula dipertontonkan animasi yang cukup artistik, perubahan tulisan FITNA menjadi FIN (sayap?).

Menilik judul dari film pendek ini, tampak jelas bahwa sejak semula ide dan kreatifitas liar Geert Wilders ini memang dimaksudkan untuk menebar fitnah. Wilders gagal mengidentifikasi untuk melihat perbedaan antara Islam dan islamisme, antara orang-orang Islam dan orang-orang yang mengamalkannya dengan keliru. Ketika kegagalan (atau boleh juga kalau hendak disebut kebodohan) Wilders ini mencapai puncaknya dan menjelma menjadi ketakutan yang tanpa ilmu, hati dan jiwa, maka Wilders pun tersesat, menjadi picik dan semakin liar. Ternyata bagi seorang Geert Wilders, just a wild is not enough, but getting wilder and wilder……

Orang-orang seperti ini banyak jumlahnya. Orang-orang yang seharusnya dikasihani karena sedang berada dalam kesesatan. Mereka punya hati, mereka punya jiwa, ilmunya pun ada dan dapat dipelajari. Tapi mengapa mereka memilih untuk membatasi diri dan justru mengembangkan prasangka-prasangka yang kemudian cenderung paranoid.

Sementara orang-orang yang menjadi korban fitnah adalah golongannya orang-orang yang teraniaya, yang dalam Islam sangat dekat posisinya di hadapan Tuhannya. Seorang Geert Wilders pantas didoakan agar segera menemukan jalan kebenarannya, agar kecerdasan otaknya tidak menjadi liar karena ketidakmampuannya memahami ilmu, mengendalikan hati dan jiwanya.

“Keliaran” semacam ini memang tidak bisa ditolerir dan harus dilawan. Tapi juga adalah kerugian besar kalau kemudian menghabiskan energi, waktu dan pikiran untuk bertindak melampaui batas. Jangan biarkan Wilders kemudian berkesimpulan bahwa ternyata “benar” orang Islam itu memang seperti apa yang ada dalam bayangan otaknya.

Yogyakarta, 30 Maret 2008
Yusuf Iskandar

Rahasia ”The Secret” (Ini Rahasia, Lho…)

26 Januari 2008

Sejak film “The Secret” diluncurkan tahun 2006, dan disusul dengan bukunya yang berjudul sama, “The Secret” (TS) seakan menjadi topik yang fenomenal dan membangkitkan kontroversi di kalangan pembacanya. Karena itulah buku karya Rhonda Byrne ini menjadi menarik.

Rahasia yang disampaikan dalam buku TS ini sebenarnya ringkas saja, yaitu tentang hukum ketertarikan atau tarik-menarik (law of attraction). Hukum tarik-menarik ini sendiri sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh banyak pemikir dan penulis-penulis sebelumnya. Hukum tarik-menarik mengatakan bahwa kemiripan menarik kemiripan. Jadi, ketika kita memikirkan suatu pikiran, maka sebenarnya kita juga sedang menarik pikiran-pikiran serupa ke dalam diri kita.

Hukum tarik-menarik adalah hukum alam, sama halnya seperti hukum gravitasi. Hukum tarik-menarik adalah hukum penciptaan. Para ahli fisika kuantum mengatakan bahwa seluruh Semesta muncul dari pikiran. Anda menciptakan hidup Anda melalu pikiran-pikiran Anda dan hukum tarik-menarik. Maka, hukum tarik-menarik memberikan apa yang Anda pikirkan. Begitulah penulisnya antara lain menyimpulkan.

Pikiran (thoughts), adalah pelaku utama dalam rahasia hukum tarik-menarik ini. Untuk mendeskripsikan tentang pikiran, dikatakan bahwa pikiran bersifat magnetis, pikiran memiliki frekuensi. Selama Anda berpikir, pikiran-pikiran itu dikirimkan ke Semesta, dan pikiran-pikiran itu akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirimkan keluar akan kembali ke sumbernya. Dan sumber itu adalah Anda.

Maka selain pikiran Anda, Semesta (the Universe) adalah “partner” yang diperlukan untuk bekerjanya hukum tarik-menarik ini. Rahasia yang ditunjukkan dalam buku TS ini antara lain mencakup bahasan panjang tentang bagaimana rahasia kekayaan, percintaan, kesehatan, hidup Anda dan kehidupan akan bekerja berdasarkan hukum tarik-menarik.

Ada tiga tahap yang digambarkan sebagai cara untuk menggunakan rahasia ini, yaitu tahap Meminta, Percaya dan lalu Menerima. Meminta, apa yang Anda inginkan kepada Semesta. Percaya, dengan melibatkan bertindak, berbicara, berpikir seakan-akan Anda telah menerima apa yang Anda minta. Menerima, melibatkan perasaan yang Anda rasakan ketika permintaan Anda terwujud.

***

Hal yang menurut saya kemudian menjadi pangkal pro dan kontra adalah pandangan kritis kaum agamawan terhadap pemikiran Rhonda Byrne yang seakan-akan menafikan peran Tuhan dalam sistem hukum tarik-menarik ini. Setidaknya kurang dirujuk secara eksplisit. Bahkan dalam banyak bahasan terkesan rancu dalam mendudukkan hakekat Tuhan.

Tetapi tidak dipungkiri, ada terkandung pemikiran positif tentang pentingnya berdoa dan berprasangka baik dalam tahap Meminta. Perlunya sebuah keyakinan (iman), kesabaran dan penyerahan diri (tawakkal) dalam tahap Percaya. Dan pentingnya terus bersyukur untuk mencapai tahap Menerima. Adalah benar, kalau dikatakan ada hal-hal yang tidak kasat mata (gaib) yang harus dipercayai. Juga adalah benar bahwa manusia mempunyai andil dalam menentukan nasibnya sendiri.

Namun kemudian menjadi ganjalan ketika sepertinya tidak “melibatkan” Tuhan dalam sistem proses hukum tarik-menarik antara Pikiran dan Semesta. Di sisi inilah, beberapa kalangan mewanti-wanti agar pembaca “berhati-hati” dalam memahami rahasia buku TS ini.

Ijinkan saya menyampaikan pandangan dari perspektif agama saya, Islam. Dalam memahami rahasia TS, dari awal saya sudah menentukan batasan bahwa Semesta (the Universe) yang dimaksud dalam TS adalah Tuhan Semesta Alam (Allahu Robbi). Dengan demikian, maka alur cerita TS menjadi sinkron dengan keyakinan agama saya. Hal-hal selebihnya yang menjadi ilustrasi dalam TS kemudian saya anggap sebagai intermezo saja, antara lain tentang Jin dan lampu Aladin.

Apa yang diceritakan Rhonda Byrne dalam TS, secara garis besar dapat saya ungkapkan secara berbeda dalam kerangka hubungan mahluk dan khaliknya dalam perspektif agama Islam.

Meminta (tahap pertama dalam proses menggunakan rahasia dalam TS), sebagai seorang hamba akan melakukannya dengan berdoa. Doa adalah wujud permohonan dan harapan yang tulus dari seorang hamba yang tak pernah berhenti dengan keinginan-keinginan. Dalam doa pula, kita melalui proses Percaya (tahap kedua dalam TS), yaitu meyakini akan ketergantungan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Lalu melalui doa yang tulus tentu harus disertai dengan kesabaran dan penyerahan diri secara total (tawakkal), tanpa mengenal putus asa.

Dengan demikian maka doa melahirkan kekuatan jiwa dan hati yang bersih dari prasangka buruk (su’udzdzon) terhadap Tuhan (memasuki tahap ketiga dalam TS). Sebab Tuhan telah menjanjikan akan mengabulkan setiap doa hambanya yang saleh. Hamba yang saleh adalah hamba yang senantiasa bersyukur dan menjelmakannya dalam setiap amal perbuatan, tiada henti dalam enak dan tidak enak, dalam suka dan duka, dalam sempit maupun lapang. “Raab-Mu berkata, mintalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan untukmu” (QS : Al-Mukminun 60).

Pada dasarnya, hukum tarik-menarik ini bukanlah “hal baru” dalam sejarah kehidupan manusia. Allah swt. menegaskan dalam salah satu Hadist Qudsi : “Aku mengikuti prasangka hambaKu dan Aku menyertainya di mana saja ia ingat Aku” (HR Bukhari Muslim). Maka jika pikiran positif tentang Aku (Allah swt) yang terus kita tumbuh-kembangkan dan yakini sehingga mengejawantah dalam setiap amal perbuatan sehari-hari, kebaikan pulalah yang akhirnya akan kembali ke dalam diri kita.

Semua proses itu terbingkai dalam landasan hati yang khusyuk, legowo dan penuh rasa sukacita, karena bebas dari prasangka buruk melainkan keyakinan dan optimisme bahwa permohonan dan harapan seorang mahluk pasti akan direspon positif oleh Sang Khalik. Tak henti-henti kita lantunkan doa sapu jagat demi kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bilamana semua daya upaya, pikiran, keyakinan, optimisme dan hak-hak Tuhan tidak ditunaikan sebagaimana mestinya, maka wajar kalau kemudian Tuhan pun enggan memancarkan kembali kewajiban-Nya. Manusia sendirilah yang seharusnya me-manage dirinya sebelum berharap umpan balik dari Tuhannya. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS : Ar Ro’du 11).

Ketika kita menumbuhkan pikiran positif tentang kekayaan, perniagaan (bisnis), kesehatan, hubungan antar manusia (mu’amalah), karir, kehidupan dan segala macam keinginan-keinginan (tidak hanya urusan duniawi, tetapi juga ukhrawi), dan lalu diikuti dengan amal perbuatan sesuai ajaran yang ditentukan, maka tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk mengirim balik mewujudkan semua keinginan itu kepada diri kita. Dan, itu janji-Nya. Masalahnya tinggal bagaimana kita menempatkan diri secara proporsional dalam sistem Mahluk – Khalik.

Maka, bagi saya sebagai seorang muslim, memahami rahasia hukum tarik-menarik adalah sesungguhnya memahami rahasia firman-firman Allah dalam Al-Qur’an. Kalau kemudian buku TS sukses meledak di pasar dan mendatangkan kekayaan bagi penulisnya, maka itulah karunia besar yang diberikan Allah kepada Bu Rhonda dalam menggali, memikirkan dan mengemasnya dengan sangat brillian. Bersyukurlah Bu Rhonda…. (yang ini rahasia, lho….). Kalaupun ada kontroversi di muka bumi ini karenanya, maka kewajiban kita untuk mendayagunakan akal dan pikiran kita (belajar) dengan semaksimal mungkin.

Yogyakarta, 26 Januari 2008
Yusuf Iskandar

(39) “Ilmu Gaib”

13 Desember 2007

Memberi sumbangan, donasi, pensponsoran, bantuan, dsb. adalah bagian dari aktifitas bisnis, tak terkecuali bisnis ritel toko swalayan. Di perusahaan-perusahaan besar, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan label Community Development atau Pengembangan Masyarakat. Apapun labelnya, aktifitas ini tentu tidak dalam rangka hal-hal yang terkait dengan KKN, pungli atau tindakan-tindakan tidak terpuji lain sejenisnya. Sedangkan di perusahaan-perusahaan kecil atau usaha kelas bulu seperti halnya “Madurejo Swalayan”, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan judul sumbangan sosial, bantuan atau kegiatan lain yang langsung bersentuhan dengan peran sosial pemiliknya dan juga usahanya.

Karena pentingnya aktifitas bisnis ini, maka perlu disiapkan pos anggaran tersendiri. Seperti pernah saya singgung sebelumnya, aktifitas sumbangan sosial ini tidak salah kalau mau dikaitkan dengan aktifitas pensponsoran (promosi). Aktifitas yang berbau sosial adalah aktifitas yang berbentuk “memberi” kepada masyarakat.

“Memberi”  tidak selalu berhubungan dengan uang, melainkan bisa juga berupa barang atau jasa atau sesuatu yang berbeda. Tergantung situasi dan kondisi yang sedang membutuhkan Terkadang uang lebih diperlukan, di saat yang lain barang atau jasa barangkali lebih mengena. Dan, selebaran infomezzo TIPS milik “Madurejo Swalayan” adalah juga “pemberian” kepada masyarakat yang membutuhkan.        

Hal yang paling penting dari penyebaran selebaran berisi tips-tips singkat itu adalah kita telah berbagi informasi yang sekiranya akan bermanfaat bagi pembacanya. Berarti kita telah “memberi” sesuatu yang bermanfaat kepada paling tidak satu rim pembaca selebaran atau berapapun jumlah kopiannya. Belum lagi kalau selebaran itu turut dibaca juga oleh anggota keluarga, tetangga atau teman, maka betapa banyaknya masyarakat yang turut memperoleh manfaat dari tips-tips yang kita berikan.  

Juga termasuk “pemberian” adalah mempersilakan orang lewat yang kehujanan untuk berhenti nunut ngeyup (numpang berteduh). Tentu saja ini bukan satu-satunya cara. Ada banyak ide dan gagasan. Setiap orang punya cara dan bentuk “pemberian”-nya masing-masing. Banyak atau sedikit, bukan intinya.  

***  

Kata orang-orang bijak, kalau ingin banyak menerima maka harus banyak memberi. Atau, dengan banyak memberi maka bolehlah berharap untuk banyak menerima. Agama yang saya peluk, memerintahkan yang kira-kira intinya adalah agar berbanyak-banyak beramal, maka Tuhan akan memberikan balasan yang jauh lebih banyak dari sumber-sumber yang tak terduga. Dalam agama apapun saya yakin ada pandangan keyakinan yang kurang lebihnya punya esensi yang sama. 

Untuk memahami hal gaib ini ijinkan saya memandangnya dari perspektif Islam, agama yang saya yakini, karena untuk meyakini hal yang satu ini tidak bisa didekati dengan ngelmu dunia.  Dalam terminologi Islam ada paket zakat, infak dan sedekah. Pemberian informasi (ilmu dan pengetahuan) yang bermanfaat adalah termasuk amal sedekah jariyah, yaitu amal sedekah yang akan terus tumbuh dan berkembang nilai kebaikannya bahkan ketika ditinggal mati oleh pelakunya. 

Bahkan Pak Robert Kiyosaki pun sangat meyakini bahwa banyak memberi adalah bagian dari sukses bisnis seseorang. Bahasan panjang pun dikupas abis oleh Pak Robert dalam salah satu serial sekian-logi bukunya, khusus tentang pentingnya berbuat amal dan berkontribusi sosial. Tak terkecuali Pak George Soros yang pernah dicaci-maki abis ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1997-an, juga sangat menganggap penting untuk mengkontribusikan sebagian dari kekayaan usahanya.  

Singkatnya, “memberi” itu wajib hukumnya bagi pelaku usaha manapun dan apapun. Jangan dibantah. Tidak pernah ada sejarahnya orang yang keleleran tidak bahagia hidupnya karena banyak memberi. Tapi kalau kemrungsung hidupnya karena pelit bin medhit, banyak sekali……. (Kalimat puitis-dramatis semacam ini memang perlu dipahami dengan perenungan, tidak dengan terjemahan kamus seperti ketika sekolah dulu).  

Celoteh di atas itu mirip-mirip cerita gaib dari “dunia lain”. Omongan yang sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, apalagi dengan persamaan matematika-ekonomi. Ketemu pirang perkoro (ketemu berapa perkara – ungkapan bahasa Jawa), wong banyak yang dikeluarkan kok pemasukannya malah tambah. Diminus-minus tapi hasilnya banyak plus. Awalnya hanya perlu diyakini kebenarannya, berikutnya akan semakin diyakini setelah mengalaminya sendiri atau melihat bukti empirisnya. Selebihnya, percaya syukur, enggak ya sebodo teuing…….  

Pak Isaac Newton pernah berkata bahwa setiap aksi akan menghasilkan reaksi dengan arah berlawanan. Barangkali hukum ini agak pas untuk menjelaskan. Aksi menabur pemberian keluar, menghasilkan reaksi menuai penerimaan ke dalam. Hanya ada sedikit penyimpangan, aksi pemberiannya kecil tapi kok reaksi penerimaannya bisa besar tak terhingga. Itulah “ilmu gaib”.  

Meski demikian, runtutan logis yang ada di pikiran saya kira-kira begini : Kalau usaha toko kita berjalan baik dan berhasil menghimpun keuntungan lebih, yang pastinya berasal dari pembelian pelanggan kita, rasanya wajar kalau kemudian kita pun membagikan sebagian keuntungan itu untuk kebaikan pelanggan kita juga. Bentuk dan jumlah “pemberian”-nya dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang pas.   

Tanpa perlu formulasi yang rumit-rumit, bangunan kerjasama antara pengelola toko dan masyarakat sekitarnya adalah bangunan kerjasama saling menguntungkan (simbiose mutualisme). Toko butuh pembeli, pembeli butuh toko. Toko mengambil keuntungan wajar, pembeli ikhlas membayarnya. Toko kebanyakan bathi (untung), pembeli menerima “kembalian” bentuk lain yang bermanfaat. Kok ya manis sekali teamwork-nya. Transaksi pun berlangsung penuh senyum dan ukhuwah (paseduluran), setiap hari, setiap waktu. 

Itu teorinya, Bung! Lha, prakteknya? Prakteknya ya seperti itu!. Cuma, ada yang bisa dan ada yang tidak. Lebih konkritnya, ada yang ikhlas dan ada yang tidak ikhlas. Tinggal pilih saja kok repot…….    

Memang benar, logis bagi saya belum tentu logis bagi orang lain. Tapi pasti benang merah kebenarannya sama. Kalau ternyata kisah tentang “ilmu gaib” ini kedengarannya seperti mengada-ada, lha ya monggo-monggo saja untuk mempercayainya atau tidak. Ora patheken……., enggak bakal kudisan….. (embuh apa istilah bahasa Indonesianya yang pas……).    

Madurejo, Sleman –15 Pebruari 2006 (Ultah Ibu CFO, ada bancakan nasi kuning, tanpa sayur asem)
Yusuf Iskandar