Posts Tagged ‘gunung’

“M-Swa Adventurer” Di Puncak Merapi

2 Januari 2009
"M-Swa Adventurer" Di Puncak Merapi (2965 mdpl)

"M-Swa Adventurer" Di Puncak Merapi -- 1 Januari 2009

Tim “M-Swa Adventurer” (Noval dan bapaknya, dari warung mracangan “Madurejo Swalayan”) mendaki gunung Merapi (2.965 meter di atas permukaan laut), berdiri di puncak Garuda, menjadi saksi atas datangnya hari baru 1 Januari 2009. Pendakian ini dicapai dari desa Selo, Boyolali, sekitar 60 km arah utara Yogyakarta, pada tanggal 31 Desember 2008 – 1 Januari 2009.

Merapi…..
sumber penghidupan sekaligus sumber bencana

Menggapai puncaknya adalah sebuah perjalanan mencari inspirasi
tentang gairah menemukan pencerahan baru
tentang semangat mengatasi tantangan
tentang kesadaran pengagungan kepada Sang Pencipta.

Namun,
Hari baru hanyalah sebuah keseharian
Menyaksikan sebuah mahakarya adalah kesempatan

Dan bilamana kesempatan itu datang dan kita memilikinya
Subhanallah…..
Maha Suci Allah Sang Pemilik Mahakarya itu
yang telah menciptakannya bersamaan dengan seruan-Nya :
“Hendaklah kalian berfikir…….”

Disertai doa dan harapan, semoga di tahun 2009 ini lebih banyak sukses diraih bersama segenap keluarga dan masyarakat desa Madurejo, Prambanan, Sleman, dengan terus dan tetap konsisten dalam menjalankan kewajiban ibadahnya di bidang masing-masing.

Yogyakarta 2 Januari 2009
Yusuf Iskandar

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (4)

7 Februari 2008

Gapuro Cemoro Sewu 

Mengawali Pendakian, Membelah Hutan Cemara

Hari ke 366 dari tahun 2007 (tanggal 31 Desember 2007), sekitar jam 8:00 pagi kami sudah siap-siap di depan gapura jalan utama pendakian Cemoro Sewu, lengkap dengan segendongan tas punggung berisi perlengkapan dan perbekalan. Cuaca masih mendung, angin dingin masih berhembus tapi mulai melemah dibanding tadi malam. Sedikit melakukan gerak badan, cukup untuk sekedar pemanasan sebelum mulai mengayunkan langkah.

Pagi itu banyak kelompok pendaki yang juga bersiap-siap hendak mengawali pendakian. Persyaratan administratif harus dipenuhi dengan melapor dan mendaftar di pos pendakian yang berada tepat di samping gerbang, juga membayar (kalau tidak salah ingat) Rp 5.000,- per orang. Masing-masing kami berdoa, lalu mulai melangkahkan kaki menyusuri jalur pendakian. Sejak pagi Noval seperti sudah tidak sabar, bahkan sejak malam sebelumnya. Bolak-balik tanya, kapan mulai mendaki. Begitu semangatnya, seperti tak terpengaruh oleh cuaca buruk yang sejak kemarin menyelimuti Cemoro Sewu.

***

Ada dua titik awal pendakian dari arah selatan kaki gunung Lawu. Selain Cemoro Sewu yang masuk wilayah kabupaten Magetan, Jawa Timur, di sebelah baratnya ada Cemoro Kandang yang masuk wilayah kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jarak kedua lokasi itu hanya sekitar setengah kilometer, dipisahkan oleh sebuah sungai. Elevasi kedua tempat itu tidak terpaut jauh, berkisar 1.600 meter di atas permukaan laut.

Menurut informasi, jarak pendakian ke puncak Lawu dari arah Cemoro Sewu sekitar 9 km, sedangkan bila dicapai dari arah Cemoro Kandang 12 km. Rute Cemoro Sewu kondisi jalannya lebih baik, lebih aman dan relatif lebih mudah, meskipun lintasannya lebih terjal. Sedangkan rute Cemoro Kandang kondisinya lebih buruk, kurang aman dan lebih sulit, tetapi relatif tidak terlalu terjal. Oleh karena itu rute Cemoro Sewu lebih banyak dipilih para pendaki, termasuk rombongan kami.

Pada hari-hari menyongsong datangnya tahun baru, biasanya gunung Lawu banyak didatangi oleh para pendaki. Menurut informasi, pada tahun-tahun sebelumnya setiap menjelang tahun baru dan juga menjelang perayaan kemerdekaan, jumlah pendaki bisa mencapai 1.000-1.500 orang. Bisa dibayangkan, seperti apa riuhnya naik gunung ramai-ramai. Tapi itulah yang terjadi setiap tahun.

Namun agaknya tahun baru 2008 ini berbeda. Saya perkirakan jumlah pendaki yang naik dan turun yang sempat saya jumpai, jumlahnya kurang dari 100 orang. Banyak hal menjadi penyebabnya, mungkin karena saat menjelang tahun baru ini bersamaan dengan terjadinya bencana yang mengepung Lawu. Antara lain bencana tanah longsor di Tawangmangu yang telah menewaskan puluhan jiwa. Juga tanah longsor di jalur utama Karanganyar – Tawangmangu membuat transportasi menjadi tidak mudah. Wilayah kabupaten Ngawi di sisi utara Lawu juga sedang terkepung banjir besar. Lebih dari semua itu, cuaca sedang buruk-buruknya dengan curah hujan yang tinggi dan angin yang bertiup kencang.

Meskipun demikian, masih menurut informasi, pada saat datangnya tahun baru 1429 Hijriyah (tanggal 1 Muharram 1429H) atau lebih dikenal dengan tanggal 1 Suro, bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2008, dapat dipastikan gunung Lawu bakal kembali ramai dikunjungi orang. Biasanya jumlah pengunjung bisa mencapai 2.000-3.000 orang. Ini pasti lebih heboh lagi. Sekian banyak orang bersama-sama mendaki gunung menuju puncak Lawu, dari berbagai penjuru kaki gunung.

Hal yang terakhir ini saya sebut pengunjung, bukan pendaki. Ini karena mereka berniat mencapai puncak Lawu bukan dalam rangka berpecinta alam atau berpetualang, melainkan ziarah ke makam Prabu Brawijaya V yang makamnya ada di dekat puncak Lawu. Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau para pengunjung atau peziarah ini justru banyak didominasi kaum sepuh. Bahkan, tidak sedikit kakek-nenek yang sudah thunuk-thunuk berusia 60-70 tahun, “ikut-ikutan” mendaki Lawu pada awal bulan Suro. Begitu cerita salah seorang warga kaki gunung Lawu.

Masih menurut informasi (lha wong saya juga belum pernah mengalami sendiri), mereka terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, baik rakyat jelata yang umumnya petani, pegawai, pejabat, pengusaha, juga para hulu balang keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Kendati judulnya ziarah, tapi sebenarnya semua punya niat sowan atau silaturrahim secara gaib dengan yang mBaurekso gunung Lawu. Tujuannya bisa bermacam-macam. Namun dalam ungkapan sehari-hari barangkali dapat diterjemahkan sebagai ngalap berkah.

Pendeknya, setiap bulan Suro seperti ada pasar malam di gunung Lawu. Situasi ini tentu saja dimanfaatkan oleh penduduk sekitar lereng Lawu sebagai peluang bisnis. Warung atau kedai tiban segera betebaran di sepanjang rute pendakian. Maka para “pendaki” Suroan ini tidak perlu repot-repot membawa perlengkapan dan perbekalan pendakian. Cukup seperlunya saja. Selebihnya tinggal beli makan di warung dan tidur seadanya, bahkan hanya sekedar krukupan (berbalut) sarung dan mlungker (melipat badan) di mana saja.

***

Rute Cemoro Sewu ini memang rute yang enak dan aman. Sepanjang jalan di rute ini kondisinya berupa jalan berbatu, yaitu jalan yang sudah diperkeras dengan pemasangan batu. Tidak ada lagi jalan tanah. Nampaknya pemerintah Magetan melihat perlunya memperbaiki fasilitas jalan menuju puncak Lawu, demi kenyamanan dan keamanan para peziarah maupun juga bagi wisatawan, pecinta alam atau pendaki gunung. Pembangunan infrastruktur jalan batu ini baru diselesaikan sejak beberapa tahun terakhir. Saya jadi ingat, ketika mendaki Lawu lebih 20 tahun yang lalu kondisinya sangat berbeda dan tidak sebagus sekarang, tapi justru lebih alami.

Beberapa ratus meter pertama menyusuri jalur pendakian ini kami melewati kawasan hutan cemara. Jalan batu yang mulai agak menanjak bagai membelah rimbunan pepohonan cemara yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Kami pun naik-naik ke puncak gunung… tinggi… tinggi sekali…. kiri kanan kulihat saja… banyak pohon cemara… Begitu, senandung dalam hati. Sayangnya, Noval, dan banyak anak-anak jaman sekarang kurang bisa menyenandungkan syair ceria ini.

Barangkali itulah sebabnya kawasan itu disebut Cemoro Sewu, karena banyaknya pohon cemara di sana. Baunya khas, suasananya damai, pemandangannya hijau menyejukkan (selain karena cuaca memang masih mendung dan angin dingin masih berhembus).

Tapi langit di atas pucuk cemara (di atas jauh, maksudnya…..) mulai menampakkan tanda-tanda bakal cerah. Semburat berkas cahaya matahari mulai masuk di celah-celah hijaunya dedaunan pohon cemara. Hanya saja, di pucuk pohon cemara… saya tidak melihat… burung kutilang berbunyi… bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu… mengangguk-angguk sambil bernyanyi… trilili…lili..lili…lili…

Hati pun berbunga-bunga. Semangat semakin membara. Berjalan serasa lebih cepat sambil nggendong ransel besar (padahal ya biasa-biasa saja, wong ngos-ngosan juga…..). Berharap cuaca cerah akan menyertai perjalanan menuju puncak Lawu yang diperkirakan baru akan dicapai sore hari.       

Yusuf Iskandar  

Menggapai Fajar Baru Di Puncak Lawu (1)

1 Februari 2008

Terpaksa Ikut Mendaki

Menjelang penghujung tahun pada bulan Desember 2007 yang lalu, anak kedua saya (Noval, 13 tahun, kelas 2 SMP) tiba-tiba minta ijin mau mendaki gunung Lawu.

Weh…..! Kali ini bukan enggak ada hujan, enggak ada angin. Justru hujan lagi banyak-banyaknya dan angin puting beliung lagi seru-serunya. Kata Noval, mau ikut mas-mas mahasiswa yang kost di rumah, yang hendak menyambut datangnya fajar baru tahun 2008 di puncak gunung Lawu.

Saya tidak terlalu menganggapnya serius. Saya pikir paling-paling hanya sekedar keinginan spontan seorang anak yang memang lumrahnya ingin ini-itu. Saya pun tertawa saja, sekedar memberi respons positif agar tidak terkesan melecehkan.

Selang beberapa hari kemudian, Noval mengulangi permintaannya. Bukan hanya itu, rupanya diam-diam dia sudah ikut hadir dalam rembugan-rembugan persiapan yang dilakukan oleh mas-mas mahasiswa itu. Bahkan, dia malah sudah menunjukkan daftar check-list perlengkapan yang harus dibawa.

Wah, serius ini, pikir saya. Saya mencoba meredam keinginannya dengan cara mengingatkan agar sebaiknya lain kali saja. Ini mengingat cuaca yang sedang kurang bersahabat, selain Noval belum berpengalaman mendaki gunung. Sementara gunung Lawu termasuk gunung yang cukup tinggi di Jawa (3265 meter di atas permukaan laut). Bisa-bisa malah nanti merepotkan mas-mas saja.

Tapi Noval berkilah. Katanya : “Wong kata mas-masnya boleh ikut kok, asal diijinkan sama bapak”. “Wah, cilaka aku…”, pikir saya. Berarti kuncinya ada di bapaknya. Ibunya sendiri sudah tidak kuasa menahannya.

(Menyadari bahwa mendaki gunung adalah aktifitas yang mutlak memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima, selain tentunya bekal pengetahuan dan keterampilan tentang survival dan kepetualangan. Hal ini sering diabaikan oleh para pendaki pemula yang terkadang hanya mengandalkan kenekatan dan semangat saja. Sebab saya dulu juga mengalaminya. Pengalaman pertama mendaki gunung adalah ke gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, pada tahun 1983. Dan pada saat itu benar-benar hanya berbekal semangat saja, tanpa pernah sebelumnya belajar tentang seluk dan beluknya olahraga ini. Belakangan saya baru menyadari, bahwa apa yang saya lakukan dulu itu sebenarnya tergolong nekat).  

Kebetulan, ada bencana tanah longsor di Tawangmangu yang menelan banyak korban jiwa, yang lalu disusul tanah longsor lainnya yang menyebabkan jalan raya Karanganyar – Tawangmangu terputus. Ada bencana longsor kok malah kebetulan…..?. Maksudnya, berita itu saya jadikan sebagai alasan untuk mencegah Noval. Perlu diketahui bahwa untuk mendaki gunung Lawu, salah satu tempat yang paling populer di kalangan pendaki adalah melalui desa Cemoro Sewu, sekitar 7 km dari Tawangmangu.

Sambil saya tunjukkan berita di televisi tentang pencarian korban tanah longsor, saya sekali lagi mengingatkan Noval bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mendaki gunung. Karena cuaca memang sedang kurang baik, ditandai dengan banyaknya hujan, tanah longsor dan angin puting beliung. Selain itu, puncak Lawu adalah salah satu puncak gunung di Jawa yang suhu udara di puncaknya tergolong sangat dingin dibanding puncak gunung lainnya, lebih-lebih di bulan-bulan penghujan seperti ini. 

Dasar memang sudah tidak bisa dipenging (dicegah). Dengan entengnya Noval pun melancarkan ultimatum : “Pokoknya hujan enggak hujan, saya tetap mau ikut mendaki…..”.

Kalau sudah begini, tobat aku….. (jangan ada yang komentar nurun bapaknya, lho….!). Saya pun lalu diam seribu basa, tapi tetap saya usahakan tersenyum. Bukan menyerah, melainkan malah merasa tertantang. Sambil diam, sambil putar otak, saya justru berpikir sebaliknya, bagaimana kalau bapaknya ikut saja sekalian. Mendampingi Noval, sekaligus bernostalgia mendaki gunung Lawu yang pernah saya capai puncaknya pada sekitar tahun 1984.

Akhirnya, keluarlah persetujuan : “OK, kalau begitu bapak ikut”. Seperti diiringi bunyi musik “jreng…..!”, dan Noval pun mak gregah jadi sumringah (tersentak dalam kegembiraan). Tahu akhirnya saya setuju dan malah ikut sekalian, ibunya hanya berkomentar pendek : “Ya, ikuti saja kemauannya sekarang. Biar dia merasakan, nanti kan kapok sendiri…..”.

Wow…., belum tahu dia (dia, ibunya Noval), bahwa mendaki gunung itu semacam candu, yang bisa menyebabkan pelakunya kecanduan. Sekali seseorang bisa menikmati baunya hutan dan pesonanya gunung beserta tantangan-tantangannya, semakin dia ingin mengulang dan mengulang lagi….. Seperti penggal lagunya Titik Puspa, tak percaya tapi nyata……. Saya lalu berkomentar kepada ibunya : “Coba saja lihat…., sepulang dari mendaki nanti pasti Noval mengajak naik gunung lagi. Tinggal bapaknya yang gempor…..”.

***

Sehari menjelang keberangkatan. Saya dan Noval mulai membuka gudang di belakang rumah dan mencari-cari perlengkapan berpetualang yang masih tersimpan. Tiga buah sleeping bag masih ada, sebuah dulu saya beli di Jatayu, Bandung, dan dua buah dibeli di New Orleans. Juga sebuah tenda masih bagus kondisinya. Dua buah sarung tangan tebal, bekas belajar ski di Denver juga masih ada. Krepus atau kain penutup kepala yang ada jendela di bagian mukanya (dulu saya sebut topi kernet, Noval menyebutnya topi maling) masih ada satu, tinggal membeli satu lagi di Kauman, Yogya. Tas ransel parasit (dulu disebut carrier) juga sudah ada.

Yang mengherankan, seperangkat rantang untuk piranti masak, model tentara punya, yang dulu saya beli di Jatayu, Bandung, rupanya masih tersimpan di gudang. Tidak itu saja, masih tersisa juga parafin untuk membuat api dan kompor lipat sederhana tempat parafin dibakar lalu di atasnya ditaruh rantang untuk masak. Perlengkapan ini dulu sangat berguna, ketika kompor gas belum populer seperti sekarang. Dan piranti kuno ini sekarang saya bawa, untuk mengantisipasi kalau-kalau ada masalah dengan kompor gas. Toh, beratnya tidak seberapa. Belakangan nanti terbukti bahwa keputusan saya membawa piranti kuno ini bermanfaat. 

Semua perlengkapan termasuk jaket dan pakaian seperlunya, bahan makanan, perlengkapan darurat, serta perlengkapan penunjang lainnya sudah disiapkan hingga hari terakhir menjelang berangkat. Tidak terkecuali, ibunya Noval pun turut mernah-mernahke (membantu menata dan mempersiapkan) perbekalan Noval dan bapaknya. Mie instant, beras, gula, kopi, bahkan sempat pula merebus kacang untuk bekal di perjalanan, termasuk membekali Noval dengan makanan kesukaannya, daging rendang. Pokoknya, turut heboh……, tidak kalah sibuknya.   

Sebelumnya saya sempatkan juga mencari info pendakian dari internet. Noval sangat antusias membaca semua info yang saya print. Dari informasi awal yang saya peroleh, saya memperkirakan bahwa pendakian tidak akan melewati rute yang sulit, melainkan asal fisik dan mental kuat untuk mendaki dan mendaki, dalam keadaan terburuk adalah dibawah cuaca dingin, hujan dan angin.

Tanggal 30 Desember 2007 siang, kami berangkat. Tim pendakian akhirnya terdiri dari 4 (empat) orang, yaitu Noval, bapaknya dan seorang mahasiswa yang kost di rumah dan seorang temannya (Rojali dan Subchi). Ada dua orang mahasiswa yang sampai hari terakhir mengundurkan diri karena ada kegiatan kampus yang tidak dapat ditinggalkan.

Yusuf Iskandar

Hari Baru Di Puncak Lawu

1 Januari 2008

Hari Baru Di Puncak Lawu

Tim “Madurejo Swalayan” Menuju Puncak Lawu

Noval, 13 tahun, berharap bisa menyongsong fajar baru 2008 di puncak gunung Lawu (3265 meter dpl). Namun apa daya, yang dijumpainya pagi tanggal 1 Januari 2008 tadi pagi adalah hujan badai dan kabut tebal dengan suhu udara berkisar 4oC.

Bagaimanapun juga, sebagai warga terkecil dari tim “Madurejo Swalayan”, Noval ingin menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru 2008.

Semoga kesuksesan senantiasa menyertai siapa saja yang berusaha dan bekerja keras, seperti Noval akhirnya mencapai puncak Lawu, setelah berjuang tertatih-tatih mendaki jalan terjal, diterpa hujan badai dan dibawah cengkeraman udara dingin. Dan ini adalah pendakian pertamanya.

Yogyakarta, 1 Januari 2008.

Yusuf Iskandar
(Bapaknya Noval yang terpaksa ikut mendampingi Noval menuju puncak Lawu, karena Noval tetap keukeuh ingin ke sana meskipun sudah diberitahu bahwa kondisi cuaca saat ini sedang kurang menguntungkan)