Terpaksa Ikut Mendaki
Menjelang penghujung tahun pada bulan Desember 2007 yang lalu, anak kedua saya (Noval, 13 tahun, kelas 2 SMP) tiba-tiba minta ijin mau mendaki gunung Lawu.
Weh…..! Kali ini bukan enggak ada hujan, enggak ada angin. Justru hujan lagi banyak-banyaknya dan angin puting beliung lagi seru-serunya. Kata Noval, mau ikut mas-mas mahasiswa yang kost di rumah, yang hendak menyambut datangnya fajar baru tahun 2008 di puncak gunung Lawu.
Saya tidak terlalu menganggapnya serius. Saya pikir paling-paling hanya sekedar keinginan spontan seorang anak yang memang lumrahnya ingin ini-itu. Saya pun tertawa saja, sekedar memberi respons positif agar tidak terkesan melecehkan.
Selang beberapa hari kemudian, Noval mengulangi permintaannya. Bukan hanya itu, rupanya diam-diam dia sudah ikut hadir dalam rembugan-rembugan persiapan yang dilakukan oleh mas-mas mahasiswa itu. Bahkan, dia malah sudah menunjukkan daftar check-list perlengkapan yang harus dibawa.
Wah, serius ini, pikir saya. Saya mencoba meredam keinginannya dengan cara mengingatkan agar sebaiknya lain kali saja. Ini mengingat cuaca yang sedang kurang bersahabat, selain Noval belum berpengalaman mendaki gunung. Sementara gunung Lawu termasuk gunung yang cukup tinggi di Jawa (3265 meter di atas permukaan laut). Bisa-bisa malah nanti merepotkan mas-mas saja.
Tapi Noval berkilah. Katanya : “Wong kata mas-masnya boleh ikut kok, asal diijinkan sama bapak”. “Wah, cilaka aku…”, pikir saya. Berarti kuncinya ada di bapaknya. Ibunya sendiri sudah tidak kuasa menahannya.
(Menyadari bahwa mendaki gunung adalah aktifitas yang mutlak memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima, selain tentunya bekal pengetahuan dan keterampilan tentang survival dan kepetualangan. Hal ini sering diabaikan oleh para pendaki pemula yang terkadang hanya mengandalkan kenekatan dan semangat saja. Sebab saya dulu juga mengalaminya. Pengalaman pertama mendaki gunung adalah ke gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, pada tahun 1983. Dan pada saat itu benar-benar hanya berbekal semangat saja, tanpa pernah sebelumnya belajar tentang seluk dan beluknya olahraga ini. Belakangan saya baru menyadari, bahwa apa yang saya lakukan dulu itu sebenarnya tergolong nekat).
Kebetulan, ada bencana tanah longsor di Tawangmangu yang menelan banyak korban jiwa, yang lalu disusul tanah longsor lainnya yang menyebabkan jalan raya Karanganyar – Tawangmangu terputus. Ada bencana longsor kok malah kebetulan…..?. Maksudnya, berita itu saya jadikan sebagai alasan untuk mencegah Noval. Perlu diketahui bahwa untuk mendaki gunung Lawu, salah satu tempat yang paling populer di kalangan pendaki adalah melalui desa Cemoro Sewu, sekitar 7 km dari Tawangmangu.
Sambil saya tunjukkan berita di televisi tentang pencarian korban tanah longsor, saya sekali lagi mengingatkan Noval bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mendaki gunung. Karena cuaca memang sedang kurang baik, ditandai dengan banyaknya hujan, tanah longsor dan angin puting beliung. Selain itu, puncak Lawu adalah salah satu puncak gunung di Jawa yang suhu udara di puncaknya tergolong sangat dingin dibanding puncak gunung lainnya, lebih-lebih di bulan-bulan penghujan seperti ini.
Dasar memang sudah tidak bisa dipenging (dicegah). Dengan entengnya Noval pun melancarkan ultimatum : “Pokoknya hujan enggak hujan, saya tetap mau ikut mendaki…..”.
Kalau sudah begini, tobat aku….. (jangan ada yang komentar nurun bapaknya, lho….!). Saya pun lalu diam seribu basa, tapi tetap saya usahakan tersenyum. Bukan menyerah, melainkan malah merasa tertantang. Sambil diam, sambil putar otak, saya justru berpikir sebaliknya, bagaimana kalau bapaknya ikut saja sekalian. Mendampingi Noval, sekaligus bernostalgia mendaki gunung Lawu yang pernah saya capai puncaknya pada sekitar tahun 1984.
Akhirnya, keluarlah persetujuan : “OK, kalau begitu bapak ikut”. Seperti diiringi bunyi musik “jreng…..!”, dan Noval pun mak gregah jadi sumringah (tersentak dalam kegembiraan). Tahu akhirnya saya setuju dan malah ikut sekalian, ibunya hanya berkomentar pendek : “Ya, ikuti saja kemauannya sekarang. Biar dia merasakan, nanti kan kapok sendiri…..”.
Wow…., belum tahu dia (dia, ibunya Noval), bahwa mendaki gunung itu semacam candu, yang bisa menyebabkan pelakunya kecanduan. Sekali seseorang bisa menikmati baunya hutan dan pesonanya gunung beserta tantangan-tantangannya, semakin dia ingin mengulang dan mengulang lagi….. Seperti penggal lagunya Titik Puspa, tak percaya tapi nyata……. Saya lalu berkomentar kepada ibunya : “Coba saja lihat…., sepulang dari mendaki nanti pasti Noval mengajak naik gunung lagi. Tinggal bapaknya yang gempor…..”.
***
Sehari menjelang keberangkatan. Saya dan Noval mulai membuka gudang di belakang rumah dan mencari-cari perlengkapan berpetualang yang masih tersimpan. Tiga buah sleeping bag masih ada, sebuah dulu saya beli di Jatayu, Bandung, dan dua buah dibeli di New Orleans. Juga sebuah tenda masih bagus kondisinya. Dua buah sarung tangan tebal, bekas belajar ski di Denver juga masih ada. Krepus atau kain penutup kepala yang ada jendela di bagian mukanya (dulu saya sebut topi kernet, Noval menyebutnya topi maling) masih ada satu, tinggal membeli satu lagi di Kauman, Yogya. Tas ransel parasit (dulu disebut carrier) juga sudah ada.
Yang mengherankan, seperangkat rantang untuk piranti masak, model tentara punya, yang dulu saya beli di Jatayu, Bandung, rupanya masih tersimpan di gudang. Tidak itu saja, masih tersisa juga parafin untuk membuat api dan kompor lipat sederhana tempat parafin dibakar lalu di atasnya ditaruh rantang untuk masak. Perlengkapan ini dulu sangat berguna, ketika kompor gas belum populer seperti sekarang. Dan piranti kuno ini sekarang saya bawa, untuk mengantisipasi kalau-kalau ada masalah dengan kompor gas. Toh, beratnya tidak seberapa. Belakangan nanti terbukti bahwa keputusan saya membawa piranti kuno ini bermanfaat.
Semua perlengkapan termasuk jaket dan pakaian seperlunya, bahan makanan, perlengkapan darurat, serta perlengkapan penunjang lainnya sudah disiapkan hingga hari terakhir menjelang berangkat. Tidak terkecuali, ibunya Noval pun turut mernah-mernahke (membantu menata dan mempersiapkan) perbekalan Noval dan bapaknya. Mie instant, beras, gula, kopi, bahkan sempat pula merebus kacang untuk bekal di perjalanan, termasuk membekali Noval dengan makanan kesukaannya, daging rendang. Pokoknya, turut heboh……, tidak kalah sibuknya.
Sebelumnya saya sempatkan juga mencari info pendakian dari internet. Noval sangat antusias membaca semua info yang saya print. Dari informasi awal yang saya peroleh, saya memperkirakan bahwa pendakian tidak akan melewati rute yang sulit, melainkan asal fisik dan mental kuat untuk mendaki dan mendaki, dalam keadaan terburuk adalah dibawah cuaca dingin, hujan dan angin.
Tanggal 30 Desember 2007 siang, kami berangkat. Tim pendakian akhirnya terdiri dari 4 (empat) orang, yaitu Noval, bapaknya dan seorang mahasiswa yang kost di rumah dan seorang temannya (Rojali dan Subchi). Ada dua orang mahasiswa yang sampai hari terakhir mengundurkan diri karena ada kegiatan kampus yang tidak dapat ditinggalkan.
Yusuf Iskandar