Archive for the ‘(40) Masuk Toko Sandal Dilepas’ Category

(40) Masuk Toko Sandal Dilepas

13 Desember 2007

Buka usaha mini-market swalayan di kota, tentu sudah biasa. Tapi, buka toko swalayan-modern di pinggir kota, baru belum biasa. Di balik yang belum biasa inilah tersedia tantangan dan peluang (plus sedikit nekat….).  Sebenarnya lokasi toko “Madurejo Swalayan” tidak ndeso-ndeso amat, wong lokasinya ada di pinggir jalan, kira-kira pertengahan jalan Prambanan – Piyungan yang cukup ramai. Ya, jalannya yang ramai, karena merupakan jalan sudetan ke Wonosari dari arah Solo. Hanya saja sebagian masyarakat di sekitar desa Madurejo memang belum terbiasa dengan model belanja melayani sendiri. Sebagian masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian dan pedagang kecil. Entah buruh tani, entah pemilik lahan. Maka selama ini kebutuhan sehari-harinya masih cukup dilayani oleh warung, toko atau pasar tradisional.  

Oleh karena itu sangat disadari bahwa pangsa pasar toko “Madurejo Swalayan” memang bukan mereka itu, melainkan sebagian lainnya yang selama ini sudah berinteraksi dengan masyarakat kota. Entah sebagai pekerja lepas harian, pegawai kantoran, pengusaha, pelajar atau mahasiswa, dan kalangan menengah ke atas lainnya. Selama ini mereka suka belanja ke Yogya, atau paling tidak ke Prambanan atau Piyungan, kota kecamatan terdekat. Mereka itulah sebagian masyarakat yang menjadi target pasar “Madurejo Swalayan”. Bahasa kampungnya, toko ini akan nyegati mereka agar tidak perlu belanja jauh-jauh ke Yogya.  

Lebih-lebih dengan naiknya harga BBM, praktis ongkos transport ke kota juga ikut membengkak. Alhamdulillah, toko ini buka pada saat harga BBM naik (Alhamdulillah untuk tokonya, bukan untuk naiknya harga BBM). Maka secara teoritis, warung, toko atau pasar tradisional tidak akan tersaingi oleh toko ini. Sudah punya segmen pasar sendiri-sendiri. Istilahnya Aa Gym, Tuhan pasti tidak akan salah mendistribusikan bagian rejeki bagi setiap orang. Tuhan Yang Maha Distributor – Maha Pemurah – Maha Adil.  Tapi ya setiap perubahan selalu ada dampaknya. Meskipun sudah diproyeksikan untuk menjaring konsumen kalangan menengah ke atas, tentu tidak mungkin untuk dipasang tulisan “Orang ndeso dilarang belanja”. Akhirnya hukum pasar berlaku, dimana ada barang lebih murah, kesana pula pembeli akan menuju. Maka tidak heran, kalau selisih harga Rp 50,- pun akan dikejar pembeli. Namun itu sisi belakang mata uang. Sedang sisi depannya adalah, orang desa pun tentu ingin tahu toko swalayan-modern itu seperti apa, barang apa saja yang dijual, harganya berapa, dsb.  Lha wong namanya toko swalayan-modern, kelebihan pertama tentu tampilan toko akan berbeda dengan toko tradisional, sebagai salah satu bentuk layanan dan untuk menarik perhatian calon pembeli. Singkat kata, konsumen atau pengunjung toko, entah beli entah tidak, harus dilayani sebaik-baiknya dan dimanjakan. Tampilan mesti keren, kerapian perlu dijaga, kebersihan apa lagi, pelayanan harus diutamakan. Semua itu menjadi sangat penting agar konsumen senang masuk toko, yang akhirnya kembali lagi esoknya dan belanja lagi lain waktu.   ***   

Suatu ketika datang ibu-ibu tua hendak membeli sesuatu. Begitu masuk toko tampak rada canggung, tolah-toleh kok enggak ada pelayan yang nyamperin. Di toko yang biasanya ibu itu berbelanja, selalu ada penjaga yang tanya mau beli apa lalu mengambilkan barangnya dan dibayar, sesekali terjadi tawar-menawar harga. Tapi di sini kok dibiarkan saja, hingga agak lama ibu itu berdiri saja menunggu dilayani. Penjaga toko swalayan memang perlu jeli mengambil inisiatif untuk meng-guide jika menemui pengunjung yang seperti ini. 

Kali lain ada bapak-bapak yang masuk berbelanja. Nampaknya beliau sudah tahu kalau mesti melayani sendiri. Tanpa canggung mencari barang yang hendak dibeli dan akhirnya ketemu. Giliran mau membayar, dikeluarkannya uang dari sakunya, lalu mencari penjaga toko dan menyerahkan uangnya. Ooo.., rupanya bapak itu belum tahu kalau semua transaksi pembayaran dilayani oleh kasir.  

Ada lagi yang masuk toko terus mengambil keranjang belanja warna biru muda, lalu dipilang-piling. Namanya toko baru, ya keranjang belanjanya masih baru. Enggak lama keranjang dibawa ke kasir. Kok keranjang kosong dibawa ke kasir? Rupanya keranjang itu yang mau dibayar, dikiranya termasuk barang yang dijual, padahal sudah dipasang tulisan petunjuk bahwa itu adalah keranjang belanja. 

Suatu hari datang seorang ibu dengan anak perempuannya. Melihat lantai toko yang putih bersih, rupanya mereka tidak tega untuk mengotori lantai dengan sandalnya. Maka, ibu dan anaknya pun kompak melepas sandal di luar teras, seperti mau melewati batas suci atau batas sandal/sepatu di masjid, lalu nyeker masuk toko……  

Biasanya pelayan toko akan  segera menyusuli dan meminta agar sandalnya dipakai saja. Namun sungguh mulia niat baik ibu ini, benar-benar tidak mau memakai sandalnya. Sayang kalau lantai toko yang putih bersih nanti jadi kotor, katanya. Bukan sekali-dua peristiwa seperti ini terjadi. Terkadang pelayan toko yang ngalahi mengambilkan sandalnya dan memberikan kepada sang empunya kaki agar sandalnya dipakai saja.  

Hikmah yang bisa dipetik : Pertama, perlu telaten dan sabar memasyarakatkan konsep toko swalayan di kawasan pinggir kota. Kedua, kebelumtahuan masyarakat akan konsep swalayan modern adalah “aset” potensial, kalau bisa mengelolanya.   

Madurejo, Sleman – 23 Nopember 2005.

Yusuf Iskandar