Archive for the ‘D – MEMULAI BISNIS’ Category

(19) Mencari Hari Baik

13 Desember 2007

Semata-mata faktor kebetulan kalau ikrar kebulatan tekad kami untuk membuka toko swalayan berkonsep modern itu baru dicetuskan sekitar tiga setengah bulan sebelum bulan puasa tiba tahun lalu. Mula-mula memang agak pesimis, apa bisa terkejar untuk buka sebelum puasa tiba? Maka disusunkah strateginya. Kalau Plan-A itu gagal, maka harus ada Plan B, yaitu buka di tengah bulan puasa menjelang hari Lebaran. Lalu dicadangkan juga Plan-C, buka kapan sajalah kalau sudah siap. Sebagai orang Jawa, Plan-C ini bisa saya terjemahkan menjadi alon-alon waton kelakon…….. Menganut pepatah “daripada – lebih baik”, padahal tekad kami adalah “harus”. Oleh karena itu Plan-C dicadangkan dengan target agar kalau bisa jangan sampai terjadi.

Alternatifnya tinggal Plan-A harus berhasil. Sesial-sialnya (jika terjadi faktor wallahu alam, hanya Tuhan yang tahu, maka Plan-B harus berhasil). Kata “harus” dalam hal ini menjadi sugesti tersendiri agar kami bekerja lebih keras mencapai target. Bak sedang dikejar kirik edan (anak anjing gila) sehingga mampu berlari sipat kuping dan melompati pagar rumah Cina. Dan kirik itu adalah hari  “H”, hari pertama buka toko. (Kini kirik itu sudah berhasil mengejar, tahun Imlek 2557 – Tahun Anjing 2006 Masehi – sudah dimulai. Siapa tahu ruh sejarah dunia berulang dan merasuki pada diri kita yang kecil ini. Sejarah dimana globalisasi perdagangan dunia mencapai masa kejayaannya di jaman Dinasti Ming pada Tahun Anjing 1418 Masehi).

Lebih detil lagi, tanggal buka toko diusahakan pada akhir bulan atau awal bulan. Itu periode dimana orang-orang gajian baru menerima upah bulanannya. Lebih spesifik lagi, hari buka toko diusahakan jatuh di hari Sabtu atau Minggu. Itu hari dimana para buruh atau pekerja lepas baru menerima upah mingguannya, dan juga waktunya orang-orang suka jalan-jalan di akhir pekan. Ya, pertimbangan yang biasa-biasa saja. Dari pertimbangan sederhana itu maka ditemukanlah hari baik untuk grand-opening toko. Tentu saja tidak boleh menyalahkan kalau ada orang lain yang merasa perlu tanya “orang tua” atau “orang pinter”, atau membolak-balik kitab primbon, atau melakukan topo-broto guna menemukan hari baik untuk buka toko. Monggo-monggo saja…. 

Apakah ada pengaruhnya, mencari waktu yang pas untuk grand-opening toko? Bagi toko lain di lokasi lain, bisa jadi nggak ngaruh…., tapi bagi “Madurejo Swalayan” akan ada pengaruhnya. Latar belakangnya waktu itu seperti ini : “Madurejo Swalayan” adalah toko baru berkonsep modern di pinggiran kota, ada kelemahan dalam hal lokasi, relatif jauh dari kompleks pemukiman penduduk, pengelolanya belum berpengalaman, dan akan perlu waktu untuk bisa dikenal dan ditujui calon pelanggan. Maka wajar kalau diam-diam ada kekhawatiran, bagaimana kalau setelah toko buka lalu sepi pengunjung, tidak ada pembeli oleh sebab banyak hal. Njuk, semangat mengendor karena kurang sabar dan telaten.

Nah, periode bulan puasa hingga hari Lebaran adalah periode epidemi tahunan virus “ingin belanja” datang menyerang dan periode musimnya konsumen menomor-duakan faktor kualitas dan harga. Ada uang, ada barang, ada kebutuhan mendesak, maka transaksi akan terjadi. Bukan maksudnya meraih kesempatan di tengah kesempitan orang lain. Melainkan karena ada atau tidak ada “Madurejo Swalayan”, pagebluk konsumerisme itu akan tetap terjadi, dimana saja. Daripada masyarakat Madurejo dan sekitarnya mesti jauh-jauh ke kota Yogya untuk melampiaskan keinginan belanjanya, mbok ya tidak usah jauh-jauh, wong di dekatnya sudah ada “Madurejo Swalayan”, begitu kira-kira pikiran lugu saya bekerja waktu itu.

Maka kalau khayalan saya itu terjadi, paling tidak selama periode awal saya membuka toko, ada optimisme bahwa usaha saya berjalan dan toko saya dikunjungi orang. Selebihnya, sambil mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan awal yang terjadi. Optimisme semacam ini penting, terutama bagi orang-orang yang sulit mengendalikan kesabarannya. Bagaimanapun sejak awal kami tim manajemen  “Madurejo Swalayan” sudah memantapkan hati bahwa kami harus bersabar dan tekun mengumpulkan keuntungan cepek-nopek setiap hari. Bahwa kami tidak boleh cepat menyerah jika ternyata usaha ini terseok-seok jalannya. Bahwa kami harus telaten beranjak dari kekurangan yang satu ke kesalahan yang lain serta kudu cermat menapak selangkah demi selangkah.

Alhamdulillah, puji Tuhan….., hari-hari menjelang lebaran ternyata memang hari-hari panen raya. Jika di hari-hari awal sejak grand-opening, omset toko per harinya naik-turun pada tingkat yang tidak terlalu baik tidak terlalu buruk (sebaiknya tidak usah menyebut angka rupiah, nanti ndak diintip calon kompetitor). Maka di hari-hari menjelang lebaran, omset bisa naik menjadi dua, tiga bahkan lima kali lipatnya. Inilah optimisme awal yang sangat berharga, minimal saya menjadi lebih bersemangat berkata kepada tim manajemen “Madurejo Swalayan” bahwa ternyata : “Bersama kita bisa…….!”.  

Peningkatan omset yang luar biasa itu hanya terjadi di seputaran hari lebaran saja. Selewat lebaran ya kembali lagi ke level semula yang tidak seberapa rendah dan tidak seberapa tinggi. Minimal, telah terbangun semangat dan terbersit optimisme bahwa kami bisa mengelola usaha ini.

Dalam kaitannya dengan kinerja toko, harus diwaspadai bahwa kinerja di seputar lebaran itu bukanlah mencerminkan kinerja toko yang sebenarnya. Kalau saya tarik data omset harian selama beberapa bulan pertama ini, maka hari-hari di seputar lebaran harus saya perlakukan sebagai anomali (penyimpangan) data. Maka untuk memperoleh data yang representatif, hasil pencapaian di seputar hari lebaran harus saya buang dari kompilasi data untuk keperluan analisis atau evaluasi performance toko

Kini, setelah “Madurejo Swalayan” melangkah di bulan keempat, data omset harian mulai menampakkan kinerja yang sebenarnya. Secara keseluruhan belum dapat dikatakan bagus-bagus amat, tapi sudah mulai menunjukkan kecenderungan (trend) positif. Tiba saatnya untuk mulai mengerahkan kemampuan dalam menganalisis dan mengevaluasi, menthelengi (menatap dalam-dalam) data dan mengaitkannya dengan apa yang sedang terjadi di “lapangan“.

***

Agaknya semangat seperti yang dialami “Madurejo Swalayan” ini juga yang melandasi kenapa supermarket “Diamond” di lantai dasar Saphir Square Mall Yogya yang belum jadi itu, juga memaksakan diri untuk mulai beroperasi di bulan puasa tahun lalu kendati prasarananya masih seadanya. Ya itu tadi, memanfaatkan momentum pagebluk konsumerisme menjelang hari lebaran.  

Bagi mini-market atau toko ritel baru yang berlokasi di tengah komunitas yang mayoritas calon pelanggannya adalah masyarakat muslim, maka momentum bulan puasa atau hari lebaran kiranya dapat dijadikan tonggak untuk menentukan hari baik sebagai hari pertama buka toko. Bagi daerah lain, barangkali momentum Natal dan Tahun Baru bisa jadi lebih mengena. Atau, pada kondisi-kondisi tertentu, barangkali dapat diambil momentum hari perayaan 17-an, Hari Kartini, Hari Raya Kurban, Waisak, Imlek atau hari-hari besar tertentu lainnya. (Kalau suatu saat nanti “Madurejo Swalayan” akan membuka cabang di Bali, maka akan saya hindari Hari Raya Nyepi sebagai hari pertama buka toko……)

Setelah hari  “H” rencana grand-opening toko ditentukan, lalu tarik waktu mundur dan persiapkan sekitar empat sampai enam bulan waktu efektif untuk ancang-ancang. Kalau tokonya ternyata malah juga belum mulai dibangun, maka periode ancang-ancangnya perlu diperpanjang lagi. Perkecualian kalau : Pertama, Anda tergolong jenis mahluk yang bisa me-manage beban stress akibat pekerjaan yang tumpuk undung. Kedua, Anda akan menyerahkan pengelolaan toko kepada orang lain, termasuk kalau Anda berencana menjadi terwaralaba, maka lupakan semua gagasan tentang “timing” di atas (maksudnya, biar orang lain yang mikir, bukan Anda….).

Kendati demikian, kalau toko Anda sudah siap mulai jualan hari ini, sementara bulan puasa akan tiba enam bulan lagi, ya janganlah kalau lalu keukeuh menunggu bulan puasa saja sebagai hari baik untuk mulai buka tokonya. Keburu modal kerja Anda bablasss…… Kelamaan mengelus-elus dan menghitung-hitung ulang simpanan modal, akhirnya Anda keduluan terserang virus konsumerisme. TV, kulkas, sepeda motor, mobil di rumah yang selama ini baik-baik saja, tiba-tiba ingin ditukar dengan yang lebih baru seperti yang ada di iklan televisi. Dinding, jendela dan teras rumah yang sebenarnya tidak bermasalah tiba-tiba ingin dibedah dan direnovasi. Rak yo kojur tenan……. (benar-benar celaka….).

Madurejo, Sleman – 29 Januari 2006 (Tahun Baru Imlek 2557).

Yusuf Iskandar

(18) Pasrah Bongkokan

13 Desember 2007

Ketika kami memutuskan hendak membuka toko ritel, maka yang pertama kali terlintas di pikiran adalah toko yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Sederhana sekali. Ah, mudah mencari barangnya dan mudah pula menjualnya, toh pasti dibutuhkan orang. Sampai di situ lalu semua persiapan diarahkan untuk berbisnis kebutuhan sehari-hari.

Ketika tiba waktunya kulakan untuk mengisi rak-rak toko, ternyata muncul pertanyaan lanjutan. Kebutuhan pokok sehari-hari seperti apa? Kebutuhan sehari-hari keluarga saya tentu berbeda dengan keluarga tetangga saya, dan pasti juga berbeda dengan keluarga masyarakat desa Madurejo yang adalah calon pelanggan saya. Masyarakat Madurejo yang mana? Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, buruh lepas harian, petani penggarap, bakul pasar, atau pedagang besar?

Kalau hendak memenuhi kebutuhan pokok semua lapisan masyarakat, lalu jenis yang mana saja yang sebaiknya disediakan? Apakah itu saja sudah cukup? Apakah tidak perlu juga menjual kebutuhan pelengkap agar lebih menarik minat calon pembeli untuk masuk toko?

Survey kecil-kecilan yang telah saya lakukan ternyata tidak cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Masih terlalu banyak hal yang belum dapat saya ketahui. Nah, ternyata sumber referensi paling akurat justru datang dari pemasok. Kepada merekalah akhirnya saya tanyakan produk-produk apa saja yang paling dibutuhkan masyarakat sekitar desa Madurejo. Saya percaya bahwa jawaban para pemasok itu umumnya sangat membantu. Tentu saja kita tetap harus jeli menyimak jawaban itu jujur atau dalam rangka merayu agar saya membelinya. Taruhlah saya tidak bisa membedakan, maka saya meyakini rasio kebenarannya cukup tinggi terhadap kekeliruannya. Meski prinsip ketelitian tetap diperlukan.

***

Awalnya memang kelihatan mudah. Namun ketika para distributor itu mulai berdatangan sambil menyodorkan daftar barang plus harganya yang jumlahnya mencapai ratusan item. Saya jadi kami-tenggengen…… (bengong tidak tahu harus bagaimana). Tidak mungkin dikulak semuanya. Kalau harus dipilih, yang mana saja? Berapa lama waktu saya butuhkan untuk pilih-pilih?. Berbekal semangat saling percaya, terpaksa ditempuh jalan pintas. Jalan pintas ini saya lakukan hanya kepada pemasok resmi yang jelas sudah saya ketahui nama badan hukumnya, identitas orangnya, nomor tilpun dan alamat kontaknya,  memiliki daftar harga resmi, dan pemasok yang direferensikan oleh teman lain yang sudah punya toko.

Ada dua jalan pintas saya lakukan. Pertama, untuk distributor yang jenis produknya sangat buanyak. Katakan kepada salesnya, syukur-syukur bisa langsung dengan supervisornya, agar dibuatkan usulan pembelian senilai kurang-lebih sekian juta rupiah, untuk melengkapi isi toko. Kedua, untuk distributor yang jenis produknya tidak terlalu banyak. Minta kepada salesnya untuk memilihkan jenis produk yang sebaiknya ada untuk tahap awal ini, berdasarkan tingkat lakunya barang di kawasan sekitar. Setelah daftar barang di-review dan disetujui, lalu dihitung nilai pembeliannya.

Untuk sales lepas yang biasanya tidak memiliki daftar harga (tapi tetap harus diminta identitas jelasnya), disini indra keenam diperlukan. Kami sendiri yang harus memilih barangnya, sedikit kira-kira, rada-rada sok tahu dan agak-agak ngawur tidak jadi masalah. Asal jangan membabi-buta.

Perlu juga kiranya memahami model-model penawaran, pembelian dan pembayaran yang berlaku tidak sama antara pemasok satu dengan lainnya. Masing-masing cara berimplikasi pada aliran uang tunai kita. Dari sisi ini, tidak perlu ragu atau sungkan untuk melakukan negosiasi ketat terhadap para pemasok dan salesnya, menggali semaksimal mungkin setiap potensi yang bisa menambah setiap rupiah bagi positive cashflow toko kita.

Cara penjualan yang dilakukan pemasok memang macam-macam. Ada yang salesnya datang lebih dahulu untuk melakukan penawaran dan pembuatan pesanan barang (taking order) biasanya disebut bagian TO. Setelah itu baru barangnya dikirim pada lain hari lengkap dengan faktur pembayaran, tergantung sistem pembayarannya tunai atau tempo.

Idealnya, ketika bagian TO ini datang, kita mestinya membuat PO (Purchasing Order), atau setidak-tidaknya orang TO ini memberikan salinan catatan pesanan barangnya. Dalam banyak peristiwa, terkadang kita meremehkan hal ini, sehingga cukup saling percaya saja. Daftar pesanan dibuat, kita tandatangani, lain hari barang dikirim. Situasi ini membuka peluang bagi oknum pemasok nakal untuk menambah daftar pesanan tanpa kita ketahui.

Ada juga sales yang datang langsung bersama barang dagangannya. Mereka biasanya menggunakan mobil boks bertuliskan atau bergambar merek produk yang dijualnya. Dalam komunikasi sehari-hari mereka biasa disebut sales kanvas (saya tidak tahu sejarah penggunaan kata salah kaprah ini). Mereka langsung melakukan penawaran, disusul pemesanan, lalu barang diserahkan, kemudian dibayar kalau memang sistem pembayarannya tunai. Ungkapan yang sering dikatakan oleh sales jenis ini adalah : “Langsung turun barang”.

Jenis yang lain lagi adalah sales lepas (freelance) atau istilah pasarnya sales kelilingan atau sales frilenan. Sales jenis ini biasanya bekerja perseorangan, tidak mewakili merek produk tertentu dan juga tidak atas nama perusahaan distributor tertentu. Terkadang mereka datang menggunakan mobil boks, tapi banyak juga yang berkeliling menggunakan sepeda motor sambil mengangkut barang dagangannya tumpuk undung.

Pemasok yang resmi pada tingkat tertentu umumnya juga menawarkan kemungkinan untuk dilakukannya pembayaran secara tempo (tidak tunai). Pemasok-pemasok kecil, kebanyakan produk makanan atau asessori hasil industri rumahan, ada juga yang memberlakukan sistem titip jual atau konsinyasi, hanya barang-barang yang laku saja yang nantinya dibayar. Tentu sangat menguntungkan, mengingat bisnis ritel adalah bisnis yang mengandalkan adanya aliran uang tunai dari kumulasi nominal uang recehan.

***

Ketika saya harus memilih barang yang akan dikulak, mulanya mudah saja, tinggal menunjuk barang-barang kebutuhan sehari-hari. Tetapi begitu disodorkan daftar barang yang jenis produknya ngudubilah buanyaknya, bahkan mencapai ratusan item, pikiran menjadi cunthel, buntu. Ada puluhan merek odol, sabun, pembalut wanita, pembersih muka, minyak goreng, mie instant, snack dan aneka ria kebutuhan sehari-hari, lengkap dengan sederet pilihan variannya, ya ukurannya, ya jenisnya, ya aromanya, ya rasanya.

Belum lagi ketika harus memilih komoditas pelengkap untuk mendampingi kebutuhan pokok sehari-hari. Alat tulis dan kantor, asesori perempuan, pakaian dan perlengkapan bayi, pakaian muslim, peralatan rumah tangga, mainan anak, perlengkapa olah raga, pulsa isi ulang? Apakah tempat yang tersedia memungkinkan untuk menampung semuanya? Apakah modal kerja yang tersedia mencukupi?

Yang paling saya jaga di tahap kulakan awal ini adalah perlunya agak mengendalikan diri. Jangan sangking bersemangatnya lalu segala macam jenis barang dikulak. Eee…., tahu-tahu anggaran sudah tandas habis sebelum toko mulai buka, padahal masih banyak jenis barang yang perlu disediakan. Situasi seperti ini tentu menjadi dilema sebelum toko resmi beroperasi, antara asal buka dulu atau menambah modal kerja. Iya, kalau masih punya dana cadangan. Lha, kalau tidak? Malah uring-uringan sendiri dan kudu nesu (ingin marah) saja jadinya……. 

Sebagai pengaman, saya menggunakan angka 80% dari total modal kerja yang dianggarkan untuk kulakan mengisi toko sebelum toko mulai beroperasi (itu angka yang saya petik dari langit, jadi jangan tanya kenapa 80%, yang penting telah terbukti bekerja untuk “Madurejo Swalayan”). Sisanya dibelanjakan seiring toko mulai buka, sambil mengamat-amati barang-barang yang sebaiknya ada tapi belum tersedia dan barang-barang seperti apa yang banyak dicari  pengunjung toko.

Idealnya, sejak awal sudah digariskan tentang jenis barang yang akan dijual disesuaikan dengan kapasitas ruangan toko dan modal yang disediakan, lalu cobalah untuk konsisten. Tidak seperti “Madurejo Swalayan”, ini pengalaman yang sebaiknya tidak ditiru. Sejak awal batasannya mengambang sehingga ketika harus memilih jenis barang yang akan dijual, jadi bingun-ngun…., lalu akhirnya cenderung berserah diri kepada pemasok untuk dipilihkan jenis barang apa saja yang laku di pasaran. Situasi ini memang rawan untuk dimanfaatkan oleh oknum sales nakal.

Kalau akhirnya meminta tolong pemasok untuk memilihkan jenis barang, jangan berhenti sampai di situ. Evaluasi harus dilakukan seiring berjalannya waktu. Tujuannya untuk melakukan seleksi, jenis barang atau merek produk apa saja yang perlu ditingkatkan stoknya dan yang perlu direm bahkan disudahi saja. Demikian pula, pemasok mana saja yang bisa diteruskan dan yang terpaksa distop. Pada gilirannya nanti akan terjadi seleksi alam berdasarkan pada kelakuan (maksudnya tingkat lakunya) barang dan tingkat kebutuhan masyarakat yang adalah pelanggan kita. Pastinya, hal ini tidak akan berlaku sama antara satu kawasan dengan kawasan yang lain.

Sepanjang kita yakin bahwa sang pemasok dan salesnya adalah pihak yang dapat dipercaya, maka pasrah bongkokan kepada sales untuk memilihkan jenis barang, bisa jadi pilihan yang dapat ditempuh dengan segala resikonya…… Resiko pada kondisi saat itu, pada saat order pertama dilakukan, pada saat kita sedang memulai bisnis, pada saat pengelola toko bingung hendak kulakan barang apa saja…….

Madurejo, Sleman – 20 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(17) Pemasok, Antara Kawan dan Lawan

13 Desember 2007

Menjelang hari “H”, hari pertama buka toko yang direncanakan, para pemasok (suppliers) berduyun-duyun berdatangan menawarkan produk-produknya. Mereka berdatangan, baik karena diberitahu oleh toko lain yang sebelumnya saya titipi kartu nama, diberitahu oleh sesama pemasok, sengaja kami hubungi untuk memberikan penawaran barang, ataupun secara kebetulan melihat papan nama toko baru saat mereka lewat di Jl. Prambanan – Piyungan, Yogyakarta.

Pemasok, dalam menunaikan tugasnya di lapangan biasanya diujungtombaki oleh orang-orang yang disebut salesman. Dalam komunikasi salah kaprah sehari-hari suka disebut dengan sales saja. Para pemasok ini bisa puluhan jumlahnya, baik yang resmi berbadan hukum yang mewakili perusahaan distributor produk tertentu maupun sales lepas (freelance) atau disebut juga sebagai grosir keliling.

Jangan heran dan terpesona kalau kemudian bertaburan kalimat-kalimat rayuan (seduction) dan bujukan meyakinkan (persuasion) dari para sales ini agar kita tertarik melakukan transaksi pembelian. Mulai dari menawarkan keunggulan produknya yang sudah dikenal masyarakat, yang katanya sudah ada iklannya di televisi. Sampai perlu menyebut referensi, misalnya di toko “Anu” (disebutnya nama toko yang berlokasi di kawasan yang sama dengan toko kita) seminggu bisa laku sekian biji. Tidak lupa mereka pun akan menunjukkan salinan order pembelian dari toko itu guna meyakinkan kita.

Dalam upayanya mendesak kita dalam soal “timing”, mereka akan mengatakan bahwa mereka akan kembali melewati lokasi toko kita setiap dua atau tiga minggu, terkadang sebulan sekali. Ketika dekat-dekat Lebaran, maka mereka akan berbaik hati mengingatkan bahwa jenis barang tertentu biasanya permintaan pasar meningkat sementara persediaan terbatas, sedang mereka akan libur selama beberapa waktu. Situasi seperti ini tentu akan membingungkan hitungan matematis di kepala kita, padahal keputusan harus dibuat saat itu juga, sedangkan sebagai pemain baru kita belum punya pengalaman.

Belum lagi soal iming-iming. Jika membeli sejumlah sekian akan menerima diskon sekian persen, jika membeli produk ini sekian akan ada bonus itu, jika pembayarannya tunai akan ada tambahan diskon sekian persen, untuk “grand-opening” toko baru ada tambahan diskon sekian persen lagi, dan banyak macam iming-iming lainnya yang seringkali membuat kita terlena.

“Retour policy” juga menjadi senjata sales. Mereka akan mengatakan nanti kalau barangnya tidak laku atau rusak bisa ditukar dengan produk lain. Jadi tidak perlu khawatir. Kita sering lupa, bagaimanapun juga hal itu tetap berarti mengalir-keluarnya uang tunai dari kas kita. Masih ada lagi sales lepas yang mengatasnamakan lembaga sosial tertentu, sehingga kalau kita membeli barang mereka berarti kita turut berbuat amal. Hati siapa yang tidak tersentuh mendengarnya.

Kalau sudah mentok karena terus kita tolak misalnya, akhirnya mereka akan mengatakan bahwa produknya perlu ada agar toko lebih lengkap, jangan sampai nanti ada pembeli yang membutuhkan ternyata barangnya tidak tersedia. Pembeli bisa kecewa. Sampai di titik ini kita sering terpengaruh. “Iya, ya…, benar juga. Sayang kalau sampai ada pembeli yang kecewa karena barang yang dicari tidak ada”, demikian biasanya setan gundul entah datang dari mana akan berbisik di telinga kita. Sebagai toko yang baru memulai usahanya, wajar kalau diam-diam muncul ketakutan, jangan-jangan kita dijauhi calon pelanggan setelah tahu tokonya tidak lengkap.

***

Tidak dapat dipungkiri, pemasok (supplier) adalah salah satu bagian penting dalam mata rantai bisnis ritel. Keberadaannya sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran usaha toko. Daripada repot-repot pergi kulakan, mencari barang, membelinya, lalu mengangkutnya sendiri, lebih menghemat banyak waktu apabila kita membelinya dari pemasok yang datang sendiri ke toko, harganya pun bersaing. Pendeknya, hubungan antara pengelola toko dan pemasok adalah hubungan kerjasama bisnis yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Simbiose mutualisme. Pengelola toko butuh kulakan dengan cepat dan harga bersaing, sedangkan pemasok butuh barang dagangannya dibeli oleh pengelola toko. 

Meskipun demikian, tidak semua sales layak untuk diajak bekerjasama. Ada juga oknum sales yang nakal, mau untung sendiri, ingin meraup untung besar sesaat, tidak berniat membina hubungan kerjasama yang langgeng. Oknum sales jenis ini terkadang hanya mementingkan asal dagangannya dibeli, tidak perduli bakal cepat laku atau tidak. Biasanya oknum sales ini minta pembayaran tunai. Jika barang dagangannya sudah banyak dibeli, sementara kita tidak tahu itu jenis barang yang cepat laku (fast moving) atau bukan, kita juga tidak tahu harga yang ditawarkan wajar atau terlalu tinggi, maka oknum sales nakal ini biasanya hanya sekali mampir lalu tidak kembali lagi.

Disinilah susahnya bagi pengelola toko yang belum berpengalaman, yang baru pertama kali berurusan dengan sales, yaitu bagaimana mengenali oknum sales-sales nakal. Pengalaman menjengkelkan itu juga yang terpaksa dialami oleh pengelola “Madurejo Swalayan”.

Harus disadari bahwa hal menjengkelkan itu sebenarnya adalah bagian dari resiko bisnis. Resiko yang mestinya harus sudah diperhitungkan sebelum mulai membuka toko. Bagaimanapun juga, sales adalah juga penjual yang ingin barang dagangannya laris manis. Sales juga membekali diri dengan pengetahuan, ketrampilan dan belajar bagaimana teknik menjual yang sukses. Bagaimana mempengaruhi calon pembeli agar jadi bertransaksi. Bagaimana meyakinkan calon pembeli bahwa produknya layak dibeli, dalam jumlah banyak kalau bisa. Dan, calon pembeli itu adalah kita, orang yang baru belajar bisnis ritel, orang yang suka bingung dan sulit mengambil keputusan ketika rayuan maut para sales menyerang tiba-tiba.

***

Lha, kalau sudah tahu tentang berbagai perilaku sales seperti itu, mestinya bisa dong menghindari oknum sales nakal….? Well……., mestinya iya. Tapi menurut “ngelmu” psikologi penjualan yang “dipelajari” oleh para sales itu mengajarkan bahwa selalu ada celah untuk meninabobokkan pemain baru seperti saya sehingga terpengaruh untuk membeli produk mereka.

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat rayuan, bujukan ataupun iming-iming yang ditawarkan para sales itu, tidak juga selamanya bertujuan negatif atau menyesatkan. Sebaliknya adakalanya justru menjadi nilai positif. Hanya saja, kita perlu berpikir jernih dan logis sebelum saat itu memutuskan untuk melakukan pembelian, atau menunda atau menolak.

Susahnya, sebagai pemain baru seringkali kita tidak punya cukup bekal referensi dan pengalaman, “feeling” pun belum terasah. Maka seringkali hanya mengandalkan iktikad baik dan percaya kepada pemasok semata sebagai landasan membuat keputusan. Situasi atau posisi lemah semacam ini jelas sangat dipahami oleh para pemasok beserta sales-salesnya. Maka muncullah oknum sales nakal, meskipun jumlah mereka tidak banyak.

Begitulah….. ! Pemasok adalah kawan kita. Pemasok professional sangat memahami bahwa hubungan simbiose mutualisme ini perlu dilanggengkan. Namun bagi sebagian kecil oknum pemasok lainnya, mereka adalah lawan kita. Mereka hanya mau untung sendiri tanpa mau memikirkan kelanggengan kerjasama yang saling menguntungkan. Masalahnya adalah, kita baru tahu mana kawan dan mana lawan justru setelah usaha kita berjalan sekian waktu, bukan sebelum memulainya.

Madurejo, Sleman – 19 Januari 2006.

Yusuf Iskandar

(16) “Memulainya Ituuu……..”

13 Desember 2007

Pertanyaan yang paling sering dilontarkan oleh teman-teman yang sesungguhnya juga berniat membuka usaha ritel atau toko swalayan modern adalah : “Bagaimana memulainya?”. Sungguh ini pertanyaan yang susah dijawab. Maksudnya, kalau saya ditanya seperti itu maka saya akan perlu memikirkan kalimat panjang untuk menggamblangkan jawabannya sehingga meyakinkan. Sebab saya sendiri juga herman, kok sepertinya ketika saya bangun tidur tahu-tahu “Madurejo Swalayan” sudah berdiri……

Kalau pertanyaan itu diajukan kepada mereka yang sudah banyak nggado asam dan garam, pasti inilah jawabannya : “Just Do It!”, Pokoknya, lakukan saja….! Rak yo uedan to kuwi…… (kan gila namanya)…….. Investasi jutaan rupiah jeee…, main pokoknya-pokoknya. Tidak! Tidak! Saya tidak setuju main “just-just-an!”. Saya merasa sudah cukup banyak belajar dari kebodohan saya sebelumnya, gara-gara main “just-just-an” dalam menempatkan portofolio.

Tapi baiklah, saya mencoba menetralisir (biar tidak dikatakan keminter, sok pinter), jawaban “Just Do It!” dari para pakar atau mereka yang sudah berpengalaman dalam dunia persilatan bisnis ritel itu muncul karena mereka juga susah untuk mendeskripsikan jawaban yang jelas. Makanya jawaban singkat itu adalah jawaban pengayem-ayem (penghibur) dan panyebar semangat agar yang tanya tidak kecewa…….., termasuk kalau Anda yang bertanya……

Kalau ada kata-kata yang diawali dengan kata “pokoknya”, selalu memiliki konotasi : nekat, mengandung resiko yang tidak diperhitungkan, salah tidak apa-apa, tabrak dulu urusan belakangan, kerjakan dulu selebihnya dipikir sambil jalan kalau perlu sambil tidur.…… Karena itu perlu kehati-hatian tinggi, jika kata “pokoknya” disangkutkan dengan investasi. Punteun pisan, ini bukan menggurui, melainkan karena saya pernah kejeblos karena main “pokoknya” sehingga mengesampingkan kalau ada mahluk lain yang bernama Risk Analysis.

Meskipun demikian, karena kita adalah professional di bidang masing-masing, maka alangkah baiknya kalau sebelum “Do”, kita lakukan dulu “Plan”. Anggaplah rencana buka toko ini sebagai sebuah proyek besar. Tapi cilakaknya, untuk membuat perencanaan pun muncul lagi pertanyaan yang sama : “Bagaimana memulainya?”. Jawabannya, ya “Just Plan It!”. Gitu aja kok repot……

***

Sekitar tiga bulan sebelum “Madurejo Swalayan” buka dasar, waktu itu pembangunan toko sudah telanjur dimulai dan sudah setengah jadi, barulah kami memutuskan untuk membuka toko swalayan modern. Jelas ini pengalaman keliru yang tidak boleh dicontoh. Maka segera saja segala sesuatunya yang berkenaan dengan bangunan toko dikonversi untuk keperluan toko swalayan modern. Maka disusunlah “Planning” sederhana. Mulai dengan membuat Time Schedule, penjadwalan kerja, dengan target hari “H” tanggal buka toko sebagai “Mile Stone”.

Tiga bulan adalah waktu yang sebenarnya suangat-suangat ketat, nanti akan terbukti ketatnya waktu persiapan ini membawa beban stress yang cukup tinggi. Resiko ini diambil demi mengejar buka toko sebelum bulan puasa tiba. Saya pikir idealnya perlu waktu paling tidak empat sampai enam bulan efektif untuk ancang-ancang. Jangan lupa, hal ini karena visi dasarnya adalah membangun toko swalayan dengan konsep modern dengan menyadari sepenuhnya akan kelemahan yang dimiliki.

Ada tiga bekal yang kami miliki pada saat itu : Bekal pertama adalah nol-puthul pengalaman di dunia persilatan bisnis ritel (kata ahli filsafat, nol-puthul adalah sebuah eksistensi, ada dalam ketiadaan). Bekal kedua adalah pengalaman enam belas tahun menjadi orang gajian di perusahaan asing berteknologi tinggi. Bekal ketiga adalah pengalaman keluyuran dan blusukan di negeri orang. Tiga bekal pengalaman yang kelihatannya tidak ada hubungannya dengan bisnis peritelan. Tapi, ndak nyambung ya ndak apa-apa…… Kami harus pede bahwa kami punya pengalaman, apapun itu, dan oleh karena itu kami bisa menjalankan bisnis ini. Kalaupun mau dibilang nekat, maka nekat yang terukur prosesnya.

Untuk melengkapi kekurangan yang kami miliki, maka segera kami bergerilya menggali pengalaman orang lain. Teman, saudara, kenalan, orang lewat, yang kebetulan punya pengalaman dalam bisnis peritelan, tidak segan-segan kami cecar dengan berbagai macam model pertanyaan yang sekiranya akan membantu menuntun kami. Tidak cukup sekali atau dua kali bertanya, jika perlu kami datang lagi atau menilpunnya untuk kembali bertanya dan bertanya kepada siapa saja. Sampai kami yakin bahwa kami dapat mengontrol eksekusi dari Time Schedule yang telah kami susun.

Hari “H” minus tiga bulan : Beberapa hal yang kami lakukan antara lain adalah berunding dengan pelaksana pembangun toko agar toko sudah siap ditempati dua bulan lagi dengan melakukan beberapa penyesuaian prasarana toko. Berikutnya membuat layout tata ruang dan mencari pemasok perlengkapan toko termasuk untuk komputerisasi system-nya. Mulai mereka-reka dan mencari inspirasi tentang nama toko dan logonya. Mulai melakukan survey kecil-kecilan tentang harga barang dan mengidentifikasi jenis barang kebutuhan yang banyak dibeli orang, dengan cara berbelanja ke toko-toko yang berlokasi di radius tiga kilometer dari lokasi yang direncanakan, kalau bisa sampai radius lima kilometer akan lebih baik.

Hari “H” minus dua bulan : Mulai memesan perlengkapan toko, termasuk rak-rak barang, perlengkapan kasir dan kantor, lemari etalase, hardware dan software serta penjadwalan instalasi dan pelatihannya. Pemasangan tilpun, tata lampu, kipas angin dan asesori toko lainnya. Mempersiapkan urusan administrasi dan paperworks yang berkaitan dengan organisasi dan manajemen toko. Pada periode ini seharusnya sudah mulai melakukan pembelian barang dagangan agar penyusunan database dapat dicicil, namun sayang sekali bangunan toko belum siap diisi, sehingga jadwal pembelian barang terpaksa dimundurkan.

  

Hari “H” minus satu bulan : Hal paling mendesak pada periode ini adalah memastikan agar bangunan toko segera siap ditempati karena jadwalnya sudah agak molor. Pemasangan rak atau grondola, meja kasir dan instalasi komputer ternyata juga agak meleset dari jadwal yang direncanakan. Agar tidak membuang waktu, software POS (Point of Sales) saya minta dipasang di komputer rumah sehingga dapat dipelajari lebih dahulu. Beberapa barang dagangan juga terpaksa ditimbun di rumah, agar pekerjaan pembuatan database dapat dicicil. Ketika toko siap digunakan, kemudian semuanya diboyong ke toko.

  

Pemesanan dan pemasangan papan nama toko (billboard), pemesanan kartu nama dan stempel adalah prioritas lain pada periode ini. Kartu nama kemudian saya titipkan kepada teman atau saudara yang mempunyai toko swalayan di lokasi lain dengan tujuan agar diperkenalkan kepada pemasok mereka untuk berkunjung ke “Madurejo Swalayan” guna memberikan penawaran. Saya harus percaya kepada teman atau saudara yang sudah punya toko swalayan itu sebagai referensi. Adanya papan nama yang sudah terpasang di depan toko akan memudahkan para pemasok untuk mencari lokasi “Madurejo Swalayan”. Juga mulai ancang-ancang untuk membuka lowongan kerja (recruiting) dengan prioritas warga masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya.

   

Hari “H” minus satu minggu : Hal yang paling membuat stress pada periode mengejar tenggat hari “H” tanggal buka toko ini adalah menyelesaikan input ribuan barang dagangan ke dalam database. Hal berikutnya adalah menentukan harga jual dan ini yang paling crusial dalam mengawali usaha toko. Sebagian item memang sudah di-survey dan diancar-ancar, namun masih ada ribuan item lain yang terpaksa dilakukan “trial and error”, sambil jalan nanti dikoreksi jika terlalu rendah atau terlalu tinggi. Sebagai pedoman umum, untuk toko swalayan sejenis ini biasanya menempatkan margin keuntungan rata-rata berkisar 7% – 10%.  

Selesai di-input, para pegawai yang masih baru dan berbekal hanya sedikit pengarahan karena waktunya semakin mendesak, mulai menyusun barang di rak sekaligus menulis dan memasang label harga secara manual. Resikonya, tampilan tulisan label harga menjadi bervariasi, mangsudnya ada yang tulisannya bagus dan ada juga yang enggak seberapa jelek, yang penting jelas terbaca. Pada saat yang sama para pemasok terus berdatangan menawarkan produk-produknya. Adanya beberapa keterlambatan yang sambung-menyambung menjadi satu, jadilah akumulasi pekerjaan pada periode yang mepet, akhirnya kami memutuskan hari “H” tanggal buka toko ditunda seminggu.

***

Penjadwalan kerja di atas memang bukan yang terbaik, dan saya yakin tidak ada yang terbaik bagi setiap toko di setiap kondisi. Lakukanlah penyesuaian menurut tingkat kemampuan mengendalikan stress yang bisa ditolerir, dan itu hanya Anda sendiri yang dapat mengukurnya. Yang pasti penjadwalan kerja di atas terbukti bekerja untuk “Madurejo Swalayan”. Ini karena pemilik dan pengelola “Madurejo Swalayan” ini adalah jenis mahluk yang bisa menikmati stress……. Enjoy aja…..! (meskipun stress).

Lega rasanya ketika toko “Madurejo Swalayan” akhirnya buka pertama kali, hari Minggu, 2 Oktober 2005, jam 14:00 siang. Ya, jam buka toko yang tidak umum. Ada yang menyebut hari itu sebagai soft-opening, ada juga yang menyebut grand-opening. Bagi saya tidak ada bedanya, sama-sama berarti mulai jualan.

Hari-hari selanjutnya akan mengalir begitu saja, tinggal mengikuti irama jual-beli yang berlangsung setiap hari. Sambil terus mencermati dimana ada hal-hal yang perlu dikoreksi, dan biasanya banyak sekali. Melihat “Madurejo Swalayan” sudah jalan tiga bulan, lalu muncul komentar : “Ngurus tokonya tak seberapa, memulainya ittuuu……” (diucapkan dengan logat Sumatera Utara).

Madurejo, Sleman – 17 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(15) “One Stop Shopping”

13 Desember 2007

Salah satu hal yang menyenangkan dalam berbisnis dengan orang desa adalah mereka dengan polos tanpa beban, suka menyampaikan usulan-usulan atau ide-ide yang menarik. Wong namanya mini-market, mereka beranggapan bahwa toko itu mestinya menyediakan segala macam kebutuhan. Maunya “one stop shopping”, istilah sononya. Sekali nyangking keranjang belanja, duapuluh-tigapuluh barang kebutuhan terpenuhi.

Dilihatnya tidak ada tempat cucian plastik, mereka usul agar jual tempat cucian plastik. Ada pembeli yang punya panci alumunium di rumah tapi pegangan tutupnya rusak, maka mengajukan usul agar menjual pegangan tutup panci. Ada yang mengusulkan agar jual buah-buahan, jual ikan segar, jual barang plastik-plastikan (maksudnya barang-barang yang terbuat dari plastik). Atau, bilang kalau minyak goreng, roti atau obat-obatannya kurang lengkap. Ada yang mengeluh tempat parkirnya panas, dengan kata lain sebenarnya usul mbok diberi peneduh.  Pendeknya, baru beberapa hari toko buka sudah banyak usulan ini-itu. Semua usulan, termasuk yang paling aneh sekalipun mesti diapresiasi. Baik usulan yang layak maupun kelewat mengada-ada, perlu kearifan untuk menyikapinya. Sebab semua itu datang dari calon pelanggan setia. Mudah-mudahan tidak ada yang usul jual ayam atau kambing untuk kurban …… 

Mengasyikkan, tapi juga merepotkan kalau semua usulan mesti dipenuhi. Selain berarti mesti menambah modal kerja, juga tempat atau kapasitas ruangan toko yang membatasi. Tapi setidak-tidaknya, semua masukan atau ide dari konsumen itu menjadi data lapangan yang sangat berharga. Yang pada suatu saat nanti akan diperlukan untuk menjadi bahan feasibility study (kayak yak-yak-o.…) jika ingin mengembangkan usaha.

Bukankah kata orang-orang pinter (selain paranormal), bahwa peluang emas justru sering berawal dari ide-ide gila atau usulan-usulan enggak masuk akal yang pada mulanya dianggap impossible….?

***

Pada akhirnya memang konsumenlah yang men-drive pengelola toko. Baru ketahuan ada yang kurang lengkap justru ketika ada pembeli tidak menemukan barang yang mau dibeli. Terpaksa harus diberi jawaban diplomatis : “Barangnya belum datang, mudah-mudahan besok sudah ada”. Tidak menipu, tapi juga tidak menjanjikan. Apa boleh buat, hari itu juga pengelola toko harus berusaha keras mencari barang yang belum ada itu. Jangan sampai sang pembeli kecewa kalau besok datang lagi dan barangnya belum juga ada. Kekecewaan seperti ini bisa berakibat kurang menguntungkan kalau sampai pembeli itu berkesimpulan bahwa tokonya tidak lengkap, lalu dia cerita ke saudara-saudaranya atau tetangganya se-RT.

Peristiwa seperti ini sering terjadi di minggu-minggu pertama sejak toko buka. Kepalang basah, pengelola toko mesti pontang-panting segera mencari barang-barang yang belum lengkap yang ditanyakan calon pembeli, karena mereka adalah calon pelanggan potensial, kalau bisa mengelolanya. Sepanjang barang itu adalah jenis barang yang memang selayaknya ada, maka perlu dipertimbangkan untuk dipenuhi. Apalagi kalau bisa memberikan harga yang kompetitif. Kalau mereka puas, maka bisa diharapkan akan jadi ujung tombak promosi gratis gethok-tular. “Word of mouth”, kata pakar pemasaran.

Rada terpaksa, hampir setiap hari pengelola toko pergi belanja mencari barang yang belum ada, sekalian kulakan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang cepat laku (fast moving). Maklum, belum bisa menimbun stok karena keterbatasan modal kerja dan belum siapnya gudang penyimpanan.

Mobil keluarga kijang hitam metalik LGX 2000 cc kini telah beralih fungsi untuk ngangkut minyak, gula, sabun, mie instan, snack, permen, rokok, pembalut, tisu, dsb. BBM-nya yang boros plus harga BBM yang naik dua kali lipat, dilupakan dulu. Me-manage konsumen (calon pelanggan potensial) menjadi prioritas utama untuk saat ini. Jangan salah, bukan berarti lantas main tabrak-kromo. Semua akan muncul hitung-hitungannya dalam financial report.  

(Enaknya jualan kebutuhan sehari-hari, kalau tidak laku bisa dibeli sendiri. Paling tidak, keuntungannya tidak lari ke orang lain. Kalau jual rokok kurang laku, ya di-udut sendiri….., susah amat…!)

Terkadang barang yang ditanyakan konsumen harganya tidak seberapa, masih lebih mahal sebungkus Marlboro yang dibeli sopir kijang itu. Tapi masalahnya bukan sekedar mengharap keuntungan dari hanya satu jenis barang yang dicari konsumen, melainkan kalau konsumen bisa menemukan barang yang dicari, maka boleh berharap konsumen itu juga akan membeli kebutuhan lain sekaligus, mumpung berada di toko itu. “One stop shopping”, lebih baik berada di satu toko tapi terpenuhi semua kebutuhannya dari pada mesti berpindah-pindah toko. Maka margin yang kecil bisa menjadi berlipat, uang cepek-nopek bisa berubah menjadi cemban-nomban, karena omset penjualan bertambah. 

Demi mengejar keuntungan yang nilai rupiahnya tidak seberapa, pengelola toko merangkap sopir setiap saat kudu siap pontang-panting kulakan guna memenuhi kepuasan calon pelanggan. Setidaknya untuk bulan-bulan awal ini. ……………….Huhhh….!!!

Madurejo, Sleman – 26 Nopember 2005.
Yusuf Iskandar