Posts Tagged ‘impulse buying’

(46) Jangan Menambah Jumlah Orang Bingung

13 Desember 2007

Pernah menjadi orang bingung di dalam toko? Malah terkadang jadi ling-lung tolah-toleh kesana kemari tapi tak juga kunjung ketemu jalan keluar? Tidak bakal ada yang mau mengaku kalau ditanya seperti ini. Tapi percayalah, setiap orang pernah (bahkan sering) mengalaminya. Entah itu ketika sedang milih-milih barang yang mau dibeli, milih merek, milih warna, bahkan memilih aroma, rasa, ukuran pun seringkali membuat bingung. Minta pertimbangan istri, suami, anak-anak, penjualnya, sampai ke pembeli lain di sampingnya pun masih bingung juga. Kecian deh, konsumen…..! Sudah siap membelanjakan uangnya, jadi korban konsumerisme, korban impulse buying, mau membelanjakannya pun masih dapat bonus bingung…… 

Bagaimana tidak? Niat ingsun dari rumah beli parfum dengan merek tertentu, ukuran botol tertentu, aroma tertentu. Begitu masuk toko lalu milih-milih barang yang hendak dibeli, ternyata bingung juga memutuskannya. Sudah diciumi satu-satu, sudah di test disemprotkan ke semua penjuru badan, dibaca labelnya dengan teliti. Akhirnya tanya kepada sang penjual, bagus yang mana ya? Sang penjual pun menjawab : “Wah, saya kurang tahu, Pak. Biasanya pria punya selera……”.  

Ada lagi, dari rumah sudah pasang niat mau beli pelembab kulit merek tertentu, ukuran tertentu, jenis tertentu. Begitu berdiri di depan rak toko, ternyata susah juga mau milih yang mana. Diperiksanya dengan cermat masing-masing produk, tolah-toleh barangkali ada yang bisa ditanya. Sampai akhirnya tanya kepada penjualnya, mana yang bagus ya? Lalu jawab sang penjual : “Wah, semua bagus Bu. Biasanya cocok-cocokan dengan jenis kulitnya”.   

Kebingungan semacam ini memang nampaknya sudah menjadi peristiwa yang biasa terjadi di dalam toko. Hanya karena banyak temannya sesama pembeli bingung, jadi nampak bukan lagi hal yang aneh. Bagi sang penjual pun maklum, asal sabar saja menunggui pembeli bingung. Toh akhirnya akan beli juga, tidak perduli merek apa atau jenis yang mana. Terkadang muncul inisiatif standar dari salah seorang pelayan toko : “Ada yang bisa kami bantu?”. Begitu jenis bantuan yang diminta adalah memilihkan jenis produk yang cocok, akhirnya sang pelayan pun menambah jumlah orang bingung di dalam toko.  

*** 

Pada suatu siang yang rada mendung, datang seorang ibu muda besepeda motor masuk toko (maksudnya, sepeda motornya parkir di luar dan orangnya yang masuk toko, bukan lagi shooting “Busyeeet”). Kebetulan saya sedang berada di counter bagian perlengkapan kecantikan, sambil mengamati pelayan toko sedang menyusun barang-barang yang baru masuk. Si ibu hendak membeli pupur (bedak) warna kuning merek tertentu. Lalu saya ambilkan barang yang dimaksud dari lemari etalase. Si ibu mau membeli lipstick juga, tapi cari yang bisa terlihat kelip-kelip. Karena saya khawatir nanti si ibu kurang merasa leluasa untuk tanya-tanya dan milih-milih, kemudian saya panggilkan salah seorang pelayan perempuan untuk melayani si ibu. Saya akhirnya hanya berdiri agak menyingkir.   Saya perhatikan sambil lalu saja, si ibu agak lama menimang-nimang beberapa produk. Agaknya ibu itu sedang bingung. Niat semula mencari bedak warna kuning, begitu yang dijumpai ternyata ada jenis kuning langsat, kuning pengantin dan kuning mutiara (kuning golkar tidak ada), nampak si ibu ragu untuk memutuskan hendak memilih bedak warna kuning yang mana. Padahal contoh warnanya sudah tertempel jelas di kemasan luarnya, tapi ternyata toh tidak mudah bagi si ibu itu untuk memilih satu di antara tiga macam warna kuning.      

Nampak si ibu berpikir keras, segenap energi dikerahkan untuk memilih satu di antara tiga. Sesekali tolah-toleh, memandang jauh, memperhatikan produk lainnya. Pasti dengan tujuan untuk membersihkan pikiran dan mengulur waktu agar sempat berpikir agak panjang. Tapi toh tidak juga ketemu jawabannya.  

Akhirnya si ibu tanya kepada pelayan : “Mana yang bagus untuk jenis kulit putih ya, mbak? Yang kuning langsat atau kuning pengantin?”. Lalu jawab sang pelayan dengan logat Jogja : “Itu cocok-cocokan eee …., terserah kesenengan setiap orang…..”. Lha, rak tenan (betul, kan?), saya sudah menduga pasti kira-kira seperti itu jawabannya. Si ibu pun bertambah bingung. Sampai akhirnya berkata : “Kalau gitu, saya ambil yang ini satu, yang ini satu…….”. Sebuah keputusan yang kedengarannya “fair” pada saat itu, tapi pertanyaan yang sesungguhnya masih terbawa pulang. 

Sekira satu jam kemudian, ketika saya lihat para pelayan “Madurejo Swalayan” sedang ngariung karena toko rada sepi, saya dekati mereka. Lalu saya katakan kepada mereka : “Kelihatannya kita perlu belajar menjadi penasehat yang baik….…….”. Tentu saja mereka tidak paham arah pembicaraan saya. “Maksudnya apa, pak?”, tanya salah seorang. Barulah saya melakukana reka-ulang peristiwa seorang ibu muda bersepeda motor masuk toko tadi. 

Kesimpulannya : kita harus bisa menjadi penasehat yang baik dan bijak. Dalam kasus memilih bedak warna kuning tadi, semestinya sang pelayan bertindak bijak. Berlaku sedikit sok tahu tapi bukan berbohong apalagi merugikan orang lain, adalah termasuk tindakan bijak. Seharusnya sang pelayan dapat membantu menentukan pilihan bagi pembeli yang kebingungan memilih. Gunakan pengalaman kalau kebetulan punya, namun jika tidak, maka gunakanlah feeling.  

Sama sekali bukan hal yang salah, seandainya sang pelayan mengambil inisiatif lalu mengatakan : “Menurut saya, warna kuning pengantin lebih cocok”. Apakah pelayan sedang berbohong? Sama sekali tidak. Kuncinya ada pada kata “menurut saya”. Perkara setiba di rumah kok sang pembeli merasa “menurutnya” seharusnya warna kuning langsat yang lebih cocok, itu urusan perasaannya.   

Yang dimaksudkan dengan tindakan bijak adalah membantu agar pembeli keluar dari kebingungannya. Caranya dengan memberi dukungan atas satu pilihan, meskipun terkadang pelayan harus rada-rada ngawur dalam memberi advis. Tapi tetap saja itu adalah pilihan terbaik menurut pelayan toko pada situasi dan kondisi saat itu. Toh, pada dasarnya sang pembeli itu akan tetap membeli, akan tetap melakukan transaksi. Hanya saja, dia perlu dukungan, perlu pengakuan orang lain, bahwa satu pilihan itu memang baik atau cocok buat dirinya.  

Dalam pergaulan politik masa kini (kayaknya jaman dulu enggak ada, deh…..), sang pembeli sebenarnya hanya melempar wacana tentang pilihan warna kuning. Yang sebenarnya di dalam hatinya dia sudah punya pilihan. Eh, syukur-syukur pilihannya sama dengan advis pelayannya. Seandainya tidak sama pun, so what gitu loh? Tidak menanggung resiko apapun bagi pembeli maupun pelayan. Toh, transaksi 99% pasti akan terjadi. Hanya soal basa-basi politik dalam toko saja.   

Oleh karena itu, adalah tindakan bijaksana bagi setiap pelayan untuk membantu menciptakan rasa plong bagi pelanggannya, membantu pelanggan keluar dari kebingungannya dan membantu memberi dukungan bahwa pilihannya adalah yang terbaik. Apa nilai tambahnya? Pelanggan akan merasa puas, pelanggan merasa bangga telah sukses membuat pilihan terbaik, pelanggan merasa bahwa pelayan “Madurejo Swalayan” sangat membantu, dan akhirnya…….., pelanggan merasa bahwa berbisnis dengan (pelayan) “Madurejo Swalayan” adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau sempat melakukan sekedar percakapan ringan tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pupur kuning, menciptakan suasana yang mempribadi. 

Bukan sebaliknya, jangan malah menambah jumlah orang-orang yang sudah bingung di dalam toko. Agar tidak menambah jumlah orang bingung yang sudah cukup banyak di luar sana…..  

Madurejo, Sleman – 18 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(42) “Pekerjaan Bodoh” Tiada Akhir

13 Desember 2007

Di hari-hari awal beroperasinya toko, urusan penyusunan barang di rak memang tidak sekali jadi. Acara geser-menggeser dan pindah-memindah barang dagangan terjadi berkali-kali. Sebabnya antara lain, sebagai toko baru tentu jenis barang dagangan tidak langsung komplit. Setiap hari ada saja jenis komoditas baru yang ditambahkan, semakin lama semakin banyak jenisnya sehingga susunan barang di rak juga perlu disesuaikan menurut kelompoknya. Jika tidak demikian, maka akan merepotkan dan membingungkan pembeli.  

Kalau hanya repot dan bingung saja, barangkali pembeli masih mau tanya kepada penjaga toko, dimana letaknya barang yang dicari. Tapi kalau sampai hal itu membuat pembeli jengkel, bisa-bisa malah membatalkan untuk membeli barang yang sebelumnya sudah direncanakan, dan malas untuk kembali lagi.  Sebelum “Madurejo Swalayan” mulai beroperasi, ada yang menyarankan agar saya mengamati toko-toko swalayan lain dan lalu membuat rancangan penyusunan atau penempatan barang-barang yang disesuaikan dengan layout rak-rak yang ada. Karena saya pikir ini hal yang baik, maka saya lakukan juga. Minimal saya akan punya pedoman awal dari mana harus memulai.    

Ketika tiba waktunya mengatur dan menyusun barang dagangan, mula-mula mudah dan enak saja. Ya, karena jumlah item barangnya belum banyak. Saya tinggal memberi instruksi kepada pegawai toko, barang ini ditaruh disitu, barang itu diletakkan disini dan disana. Beres….!      Ketika semakin hari jumlah item barang semakin banyak, sedangkan rak-rak yang tersedia jumlahnya terbatas, maka saya mulai kebingungan. Jangan sampai terjadi di deretan mi instant tahu-tahu ada pembalut wanita atau pembasmi serangga. Atau, karena rak minuman kaleng atau susu sudah penuh, selebihnya lalu dijejerkan dengan sampo anti ketombe.   Mulailah berpikir keras, bagaimana menempatkan sekelompok barang dalam satu lokasi agar tidak campur dengan kelompok lain yang berbeda jenisnya, di atas rak-rak yang jumlahnya terbatas. Saya sendiri heran, ini pekerjaan mudah, tapi kenapa sepertinya jadi rumit sekali. Karena setiap kali memindah sekelompok barang, artinya juga harus memindah atau menggeser barang lainnya yang jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan buah. Dan semua pekerjaan geser-menggeser barang ini sangat menyita waktu.  

Idealnya pekerjaan ini dilakukan di luar jam operasi toko agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung toko. Tapi “Madurejo Swalayan” adalah toko kecil (maksudnya, belum besar), sehingga belum mampu menggaji orang khusus untuk pekerjaan di luar jam reguler. Sementara frekuensi pekerjaan ini cukup sering dilakukan. 

Kalau sudah mulai memindah dan menggeser letak barang, maka segala macam rancangan susunan barang yang sebelumnya sudah dibuat dengan sangat rapi dan teliti, menjadi tidak berarti. Tidak ada lagi rancangan layout penempatan barang, yang ada adalah kreatifitas seni menyusun barang. Dan sialnya, kreatifitas seni seperti ini tidak ada bukunya dan tidak bisa dipelajari, melainkan “lakukan saja”. Lagian, ngapain repot-repot mempelajari cara menyusun barang….. . Inilah acara spontanitas yang tidak akan pernah berlaku sama di setiap toko. Dibutuhkan “sense of art”, sentuhan seni, feeling, kreatifitas dan segala macam hal-hal gaib sejenis itu.

Maap, bukannya mau menyalahkan pembuatan layout penempatan barang. Dan maap, bukannya layout semacam itu tidak ada gunanya. Namun percayalah……, layout seperti itu hanya bermanfaat pada saat awal mulai menyusun barang ketika jumlah item barang belum banyak, dan hanya untuk toko yang mempunyai ketersediaan raknya cukup banyak, sehingga mempunyai ruang bermain yang cukup leluasa. 

Maka ketika jumlah barang semakin banyak dan rak-raknya semakin penuh, lupakanlah layout yang pernah dibuat. Kalaupun layout penempatan barang itu masih dibutuhkan, maka paling-paling hanya untuk menunjukkan pemisahan kelompok besarnya saja, seperti misalnya antara kategori food dan non-food, atau antara barang kebutuhan sehari-hari dengan barang kebutuhan insidentil. Selebihnya, mulailah berimprovisasi dengan kreatifitas Anda. 

*** 

Selesai…..? Wow….. belum!. Acara geser-menggeser barang ini tidak akan selesai dalam hitungan jari tangan, masih ditambah jari kaki, bahkan jari kaki orang lain juga.…. Kecuali jika Anda menganggap bahwa pengaturan barang-barang ini tidak terlalu penting, maka berhentilah. Namun percayalah (yang kedua)….. , bahwa migrasi barang dagangan, dari satu rak ke rak yang lain dan dari satu posisi ke posisi yang berbeda, ini sangat penting dan kritikal yang perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Setidak-tidaknya begitulah penilaian saya. Bisa jadi penilaian ini salah, karena saya menyadari bahwa jam terbang dan pengalaman saya di dunia perswalayanan ini memang masih sak uprit…., sangat sedikit!. Tapi ya luweh (biarin)….., meskipun sak uprit toh pengalaman juga namanya. 

Kini “Madurejo Swalayan” sudah berjalan memasuki bulan ketiga. Tapi acara ser-gesser barang masih berlangsung terus, pindah sini-pindah sana, geser sana-geser sini. Pertama, karena masih terus ada penambahan item barang (seiring dengan perkembangan toko). Kedua, karena ada pergantian jenis barang (substitusi atas barang yang habis dari sono-nya). Ketiga, karena terus dan terus berimprovisasi menuju tampilan display yang lebih menarik dan tidak membosankan. Prinsipnya hanya satu, seperti apapun modifikasi penyusunan barang dilakukan, harus tetap demi memberi kemudahan bagi pelanggan. Dan jangan lupa,………. merangsang  “impuls buying”……… 

Padahal acara ser-gesser ini sangat-sangat menyita waktu, melelahkan lahir maupun batin dan membosankan bagi yang melakukannya. Yen tak pikir-pikir….., ya inilah “pekerjaan bodoh” yang tiada akhir. Hanya akan selesai ketika usaha toko bubar jalan………    

Madurejo, Sleman – 20 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(38) Hujan Pun Membawa Berkah

13 Desember 2007

Di seputaran pergantian tahun Masehi dan tahun Imlek, musim durian dan rambutan, biasa ditandai dengan musim hujan berkepanjangan plus bonus banjir di mana-mana. Para pemilik warung, toko, resto, pada mengeluh : “Kalau hujan terus-terusan begini alamat rejeki berkurang…….”. Keluhan semacam ini sudah jadi bagian basa-basi percakapan keseharian para bakul dan pengusaha warung, toko atau resto. Maka ungkapan seperti : “Toko saya sepi akibat hujan terus-menerus” akan sering terdengar di saat-saat seperti ini.

Kalau bisa dituliskan dengan persamaan matematika, maka rumusnya para bakul itu seakan-akan menjadi JP = 1/H, dimana : JP = jumlah pembeli dan H = hujan. Banyaknya pembeli akan berbanding terbalik dengan banyaknya hujan. Semakin sering hujan turun ke bumi maka pengunjung toko semakin sedikit, yang berarti potensi keuntungan yang dapat diraih juga semakin sedikit. Gampangnya, semakin sering hujan, rejeki semakin seret.

Padahal dari sono-nya, Sang Maha Pembuat Hujan tidak pernah sekalipun merencanakan untuk mengurangi rejeki para pengusaha kecil, para bakul atau siapapun dengan cara menghujaninya, melainkan hanya mengaturnya dengan skenario berbeda. Kata Sang Maha Pembuat Hujan : “Lho, hujan itu juga rejeki bagi kalian semua baik yang bakul, pengusaha atau pengangguran sekalipun…..”. Tapi apa lacur, hujan sudah kadung identik menjadi tanda bagi berkurangnya pembeli yang belanja di warung, toko atau resto. Kalau demikian, pasti telah terjadi mis-understanding, salah paham antara maksud Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan dan para pengusaha yang kehujanan.  

***  

 

Kata para pelayan “Madurejo Swalayan”, kalau pas hujan deras mengguyur memang banyak juga orang-orang lewat yang kehujanan kemudian numpang berteduh. Saya jadi ingat saat-saat awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”, ada seorang pengunjung yang mengeluh tempat parkirnya panas. Keluhan itu saya terjemahkan sebagai usulan agar dipasang atap peneduh. Usul itupun kemudian saya penuhi. Dan sekarang ternyata ada manfaatnya, ya itu tadi, membantu menyediakan tempat berteduh kepada orang lewat yang kehujanan. 

Kehujanan lalu berteduh, adalah aktifitas yang tidak ada orang pernah merencanakannya. Oleh karena itu orang-orang seperti ini pada dasarnya cenderung sedang “kebingungan”. Tiba-tiba saja harus menghabiskan waktu dengan aktifitas yang membosankan, menunggu hujan reda. Ada ide? Sodorkan selebaran infomezzo TIPS, biar dibaca-baca sambil menunggu hujan berlalu. Kebanyakan orang yang sedang “kebingungan” seperti ini tidak akan merasa cukup untuk membaca hanya sekali, barangkali sampai diulang-ulang membacanya karena hujan tak berhenti juga. Apalagi kalau orang itu sendirian.    

Maka dua kebaikan sudah dilakukan dengan tanpa direncana sebelumnya, memberi peneduh dan memberi bacaan bermanfaat . Sederhana sekali. Tapi saya melihat kejadian ini dari bingkai yang berbeda. Ini adalah potret dengan bingkai yang bernama “opportunity”. Moga-moga saja kebaikan semacam ini juga termasuk kontribusi sosial yang bukan berupa uang, yang menurut “ngelmu gaib” bisa menjadi tabungan yang punya nilai berkah tak terduga. 

Suatu sore saya lihat ada dua orang berboncengan naik sepeda motor kehujanan. Lalu berbelok masuk ke halaman “Madurejo Swalayan” numpang ngeyup (berteduh). Hujan turun cukup deras dan agak lama, lalu tidak lama kemudian salah seorang masuk toko dan membeli rokok. Entah karena kedinginan, entah karena bengong kelamaan menunggu hujan tak kunjung reda, entah memang persediaan rokoknya habis, entah karena kehabisan bahan obrolan, atau barangkali buat pantes-pantes merasa tidak enak sudah nunut ngeyup. Apapun alasannya, saya senang kalau ternyata halaman toko saya bisa membantu orang lain berlindung dari terpaan hujan. Kalau akhirnya ada yang masuk toko dan belanja atau terserang virus impulse buying, sungguh itu di luar tanggung jawab saya.   

Suatu kali ada seorang sales sepedamotoran yang berkunjung ke “Madurejo Swalayan” dalam rangka  mencatat order mingguan. Biasanya sales ini akan buru-buru langsung pergi melanjutkan perjalanannya seusai mencatat pesanan barang. Tapi berhubung hujan turun cukup lebat, terpaksa dia menunggu dulu. Ini tentu menjadi aktifitas yang tidak pernah direncanakannya. Dengan kata lain dia pun sebenarnya sedang “kebingungan”. Membaca selebaran TIPS bisa jadi penghibur dan pengisi waktu. Kalau kemudian sales itu pun membeli rokok dan permen atau snack, sekali lagi itu benar-benar di luar tanggung jawab saya.   

Apa yang dapat saya petik dari kejadian ini? Memang benar apa kata Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan, bahwa peristiwa hujan itu tidak ada sangkutnya dan pautnya dengan banyak atau sedikitnya rejeki seseorang. Mestinya tidak perlu ada salah paham. Bukan maksud Sang Pembuat Hujan untuk membatasi rejeki seseorang dengan menghujaninya, karena hujan itu sendiri adalah rejeki.    

Saya seperti diingatkan, bahwa di balik setiap threats (ancaman) pasti ada opportunities (peluang). Kalau hujan itu dianggap sebagai ancaman atau penghalang, maka hendaknya jangan hujannya yang digrundeli (dikeluhkan) atau dipisuh-pisuhi (dimaki-maki), melainkan peluangnya yang mesti dicari dan didayagunakan. Dan, pemilik “Madurejo Swalayan” ini termasuk orang yang percaya bahwa peluang itu tidak akan pernah habis dicari dan tidak akan pernah selesai digarap.   

Bagaimana menyulap agar turunnya hujan dapat menjadi berkah bagi siapa saja, termasuk “Madurejo Swalayan”. Dalam bahasa vulgarnya, bagaimana mempengaruhi agar dalam hujan pun orang tetap mau berbelanja dan bagaimana agar orang-orang yang kehujanan itu mau masuk toko dan membeli sesuatu. Maka, (seharusnya) hujan pun membawa berkah…….    

Madurejo, Sleman –14 Pebruari 2006  (Hari Valentine, dimana coklat laku keras).
Yusuf Iskandar

(33) Hanya Soal Visi

13 Desember 2007

“Kok repot amat, sih…….?”. Barangkali itulah pertanyaan menggelitik yang mungkin muncul dalam hati, melihat saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Bukankah tinggal mbangun toko, setelah itu kulakan lalu dijual, dan begitu seterusnya?. Kenapa mesti repot-repot memikirkan tentang impuls buying, one stop shopping, gethok tular, ikut kegiatan kampung, mengelus-elus barang dagangan, memikirkan pelayanan, membuat logo, bahkan sampai ke rumusan Pareto dan analisis SWOT segala, masih ditambah lagi wawasan lain lagi tentang binatang Six Sigma?  

Jangankan Anda yang hanya membaca dongeng dari Madurejo, pegawai-pegawai saya saja memandang aneh (meskipun tidak berani mengatakannya) terhadap cara saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Saya memperlakukan pegawai saya sebagai aset. Bukan sebagai likuiditas, yang cuma perlu berangkat pagi atau pulang malam, dan setiap bulan terima gaji. Melainkan mereka saya sertakan dalam rembugan-rembugan (diskusi) tentang bagaimana seharusnya toko dikelola, tentang rencana-rencana ke depan. Mereka juga selalu saya update tentang seperti apa pencapaian dan kinerja toko setiap bulannya. Saya yakinkan bahwa mereka sesungguhnya juga “pemilik” toko dalam pengertian manajerial. Tidak perduli mereka pelayan, kasir, pengawas atau manager. 

Di penggal separuh jalan dari Prambanan menuju Piyungan, Yogayakarta, sepanjang kurang lebih delapan kilometer, “Madurejo Swalayan” adalah satu-satunya toko swalayan berkonsep modern yang saat ini berdiri di tengah-tengahnya. Dari sisi persaingan bisnis untuk saat ini relatif belum ada ancaman yang nyata. Jalur jalan di sisi timur Yogya itu memang relatif cukup padat di siang hari karena menjadi jalan tembus dari arah Solo menuju kota Wonosari. Akan tetapi tingkat kepadatan penduduknya masih rendah, belum sepadat belahan Yogya utara, barat atau selatan. Belum menjadi pilihan kawasan pemukiman. Keberadaan kompleks perumahan masih bisa dihitung dengan jari. Oleh karena itu target pasar untuk toko swalayan modern saat ini masih terbatas. Kalau memang demikian, kenapa mesti repot-repot membangun toko swalayan berkonsep modern?   

Inilah jawabannya : Sejak saya merencanakan “Madurejo Swalayan” akan buka pertama kali sebelum bulan puasa tiba (akhirnya baru benar-benar terlaksana tanggal 2 Oktober 2005), saya berhitung bahwa tahun 2006 akan datang tidak lama lagi. Lalu saya membayangkan, bagaimana seandainya tiba-tiba saya bangun tidur dan ternyata hari itu bukan tahun 2006, melainkan saya sudah berada di tahun 2011 atau 2016? Ya, lima atau sepuluh tahun lagi…..!   

Apa yang akan terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan? Saya tidak tahu. Tapi barangkali saya harus memperkenalkan bahwa di sebelah kiri saya “Makromini Cash & Carry”, di sebelah kanan saya “Indoapril” dan di depan saya “Betamart”. Kalau toko-toko swalayan modern baru yang saya sebut itu dimiliki oleh investor sekelas atau di bawah kelas “Madurejo Swalayan”, barangkali saya tidak perlu merasa khawatir. Tapi bagaimana jika ternyata mereka adalah pemodal kuat?   

Bagi investor bermodal kuat, tentu tidak sulit untuk melengkapi tokonya dengan prasarana yang lebih modern dan sophisticated, dan menggaji professional bisnis yang jauh lebih pakar di bidang marketing dan management ritel. Kalau situasi itu terjadi lima atau sepuluh tahun lagi, dan “Madurejo Swalayan” hanyalah toko swalayan yang biasa-biasa saja, maka “Madurejo Swalayan” akan megap-megap seperti mau tenggelam. Semakin ngos-ngosan sejak membuka toko di pagi hari hingga menutup toko di malam hari.

Mengejar ketertinggalan dengan merenovasi dan mengubah tokonya menjadi toko modern? Wow……, terlambat sudah….! Waktu yang dibutuhkan untuk mengkonversi konsep toko, untuk masa transisi, untuk merubah mental pegawainya, akan terbuang percuma dibandingkan jika dipergunakan untuk membuka toko baru di lokasi lain. Belum lagi toko-toko baru milik pemodal kuat itu sudah semakin memantapkan “bargaining position”-nya di depan masyarakat desa Madurejo yang sudah semakin maju.   

Ilustrasi itu kedengarannya seperti kelewat berlebihan. Bisa jadi demikian. Namun saya melihat fakta berbeda : Kawasan pinggiran Yogya yang beberapa tahun yang lalu masih sepi dan jauh dari hiruk-pikik bisnis, ternyata sekarang sudah semakin padat. Coba lihat kawasan Yogya utara yang dulunya gung liwang-liwung tempat jin buang anak, sekarang sudah gegap gempita dengan aktifitas bisnis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya (mungkin malah anak-anak jin yang dibuang dulu juga ikut-ikutan berbisnis…). Maka bukan hil yang mustahal, akan tiba saatnya desa Madurejo dan sekitarannya menjadi kawasan padat berikutnya yang barangkali juga menjadi incaran para investor kuat. 

*** 

Lima tahun kedepan, bahkan sepuluh tahun ke depan, harusnya sudah dikelola sejak dari sekarang. Itu bukan waktu yang panjang. Jangan-jangan nanti kita terkejut tahu-tahu bangun tidur sudah tanggal 1 Januari 2011 atau malah 2016.  

Itulah latar belakangnya, kenapa mesti repot-repot melakukan komputerisasi sistem bisnis, thethek-bengek peritelan, rumusan Pareto, analisis SWOT, dan masih banyak hal-hal lain yang dimata pegawai “Madurejo Swalayan” saat ini dipandang aneh. “Small business as unusual…..”. Sedangkan semua kerepotan itu juga belum tentu berhasil seperti yang diimpikan. Namun aksi usaha harus tetap dilakukan semaksimal mungkin agar reaksi hasilnya juga maksimal. Namanya juga usaha…..     

Apabila semua usaha itu berjalan lancar, lalu ilustrasi saya di atas benar-benar terjadi, maka “Madurejo Swalayan” sudah siap bertempur di kancah persaingan bisnis ritel. Setidak-tidaknya sudah siap menerima ancaman (threats) untuk menggenjot kekuatan (strengths). Modal pertahanan sudah punya, yaitu umur jelas lebih tua, pengalaman lebih banyak, orientasi medan lebih baik, sistem manajemen lebih siap meskipun skalanya berbeda, sudah menang selangkah jika harus melakukan adaptasi terhadap tuntutan modernitas, dan yang paling penting menjadi “top of the mind” (yang pertama ada di pikiran) bagi masyarakat sekitar ketika hendak berbelanja. 

Barangkali akan berbeda ceritanya kalau “Madurejo Swalayan” dibangun sebagai kegiatan pengisi waktu, daripada nganggur di rumah, asal ada usaha kecil-kecilan……. Akan tetapi, karena niat ingsun pemilik dan pengelolanya sedari mula memang ingin menjadikan “Madurejo Swalayan” sebagai sebuah korporasi yang syukur-syukur bisa menjadi sumber penghasilan pasif bagi pemiliknya, maka segala kemungkinan bahkan yang terburuk harus diantisipasi. 

Jika kemudian ada yang berkata : “Mau buka toko saja, kok repot amat, sih…….?”. Itu karena memang pemiliknya termasuk penganut pepatah : Berangkot-angkot ke hulu berbecak-becak ke tepian, berepot-repot dahulu berenak-enak kemudian. Tinggal bagaimana menggenjot angkot dan becaknya agar setoran lancar……. Istilah gaulnya, ini memang hanya soal visi ke depan…… 

Madurejo, Sleman – 15 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(26) Jika Bapak Berbelanja

13 Desember 2007

Suatu ketika kasir dan pelayan toko “Madurejo Swalayan” tertawa terkikik-kikik. Ada gerangan apakah? Usut punya usut, ternyata mereka baru saja mengalami kejadian lucu. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan seorang putrinya datang berbelanja. Setelah berkeliling toko dan selesai mengumpulkan belanjaannya, mereka siap meninggalkan toko. Si ibu dan anaknya sudah bertransaksi dengan kasir, namun si bapak masih tertinggal karena asyik mencermati produk susu UHT.

Si ibu memanggil-manggil bapaknya mengajak segera pulang. Si bapak tetap bergeming seperti tidak mendengar ajakan istrinya. Beberapa saat si bapak tetap belum selesai juga. Si ibu yang sudah menunggu di depan kasir mulai gelisah dan tidak sabar. Mulailah si ibu berkreatifitas (ini yang ditunggu-tunggu pengelola toko swalayan…), tangannya menggapai dua buah permen sejenis lolipop yang berbentuk seperti stick drum tapi pendek. Satu untuk dirinya sendiri, satu lagi diberikan kepada anaknya. Permen itu bukannya di-emut (dikulum) melainkan digigit dan dikremus…. Tentu saja cepat habis. Tapi sayang cepat habisnya permen tidak diiringi dengan cepat selesainya si bapak.

Rupanya si anak tidak suka dengan permen itu. Seperti tidak sabar, diraih dan dikremus pula permen anaknya oleh si ibu. Lho? Habislah dua batang permen di-kremuskremus…, dan si bapak masih belum juga selesai. Dengan mimik muka kesal, diambilnya makanan kecil yang tadi dibeli lalu dimakannya di depan kasir sambil mucu-mucu….. (mulutnya seperti dimonyong-monyongkan tanpa disengaja). Kasir dan pelayan toko terbengong-bengong menyaksikan adegan drama satu babak itu sambil menahan tawa.

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi dengan si ibu…….., “impulse buying”. Tapi bagaimana halnya yang sedang terjadi dengan si bapak? 

***

Pernah berada di suatu toko lalu tertarik mencermati deretan sampo atau sabun mandi? Anda sedang menghadap rak di suatu toko swalayan. Sejauh mata melirik ke kiri dan ke kanan, disana bersusun rapi aneka merek produk sampo dan sabun mandi komplit dengan varian-variannya. Sedemikian menariknya sehingga Anda terpancing untuk mengambil salah satunya lalu membaca lebih cermat segala macam tulisan yang ada pada botol atau bungkusnya.

Ada sampo yang untuk menghitamkan, menghaluskan, melembutkan, melembabkan, menyehatkan, melicinkan, membersihkan rambut. Pokoknya semua yang indah-indah tentang rambut. Ada yang mengandung vitamin A, B, C, D, E, sampai Z, plus diperkaya dengan aneka kandungan ini-itu. Pokoknya semua yang sehat-sehat tentang rambut   

Belum puas dengan satu merek, beralih ke merek lain, botol di sebelahnya, lalu sebelahnya, lalu sebelahnya lagi. Padahal kalau dihitung-hitung ada buanyak merek sampo dengan puluhan variannya. Setelah cukup lama meng-assess setiap jenis sampo, akhirnya terpilihlah satu jenis sampo yang Anda simpulkan paling cocok untuk rambut Anda. Aha…! Anda pun merasa lega, puas, dan bangga pada diri sendiri berhasil me-review, menganalisis dan membuat kesimpulan.

Itulah aksi yang banyak dilakukan kaum bapak ketika masuk toko swalayan. Repotnya kalau kaum bapak ikut-ikutan belanja kebutuhan sehari-hari, banyak sekali pertimbangannya saat hendak memilih satu jenis produk yang dibutuhkan. Segenap kemampuan dan energi akan dikerahkan untuk melakukan penilaian hingga diperolehnya kesimpulan produk mana yang paling pas.

Lain bapak lain pula ibunya. Jarang kaum ibu yang mau repot-repot membuang waktu untuk melakukan aksi “teliti sebelum membeli” seperti itu. Kalau si ibu sudah suka dengan produk atau merek tertentu, biasanya jadi pelanggan fanatik, ya pokoknya produk itulah yang akan langsung dipilih. Sampai nanti ada faktor eksternal yang menggoyahkan imannya, antara lain iklan televisi…….

Namun anehnya, semua yang dilakukan oleh kaum bapak itu hanya akan terjadi ketika masih berada di dalam toko. Sementara ketika sudah berada di dalam kamar mandi, boro-boro ingat segala macam keunggulan dan manfaat yang ditawarkan sampo. Mereknya pun belum tentu ingat. Langsung saja kepala di-usek-usek pakai sampo yang ada di kamar mandi. Tak perduli masih tumbuh rambut di kepala atau sudah tidak. Entah itu sampo cap Macan atau cap Gajah,…. Sebodo amat…..!

Kejadian yang hampir sama berulang kembali di toko swalayan ketika kaum bapak tiba-tiba ingin membeli sabun, odol, susu, suplemen, dan lain-lain. Lalu apa yang mendorong terjadinya perilaku semacam itu? Pertama, karena “impulse buying”, pembelian yang sebelumnya tidak direncanakan. Kedua, karena pesona dari display barang-barang di toko.

Itu sebabnya kenapa saya yakin sekali bahwa penyusunan barang-barang di rak merupakan salah satu elemen kritikal dalam pengelolaan toko swalayan, karena dapat menjadi pemicu bagi “impulse buying”. Menjaga tampilan atau display barang-barang agar tetap terlihat rapi, bersih, menarik dan tidak membosankan, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

***

Itu juga yang sedang terjadi pada diri si bapak bersama istri dan putrinya di “Madurejo Swalayan”. Sedemikian asyiknya si bapak menilai dan menimbang susu mana yang paling pas buat putrinya. Padahal sejak dari rumah tidak berencana membeli susu, tapi tiba-tiba merasa perlu memilihkan dengan cermat susu yang terbaik bagi putrinya. Seandainya tadi si bapak menyerahkan saja kepada si ibu untuk membeli susu bagi putrinya, barangkali akan beres dalam beberapa detik saja. Lha wong namanya susu UHT, dimana-mana dan apapun mereknya, ya seperti itulah komposisi dan manfaatnya.

Karena itu, jangan pernah mengajak bapak untuk turut memilihkan barang kebutuhan sehari-hari di toko swalayan. Dijamin akan membuat kesal ibu. Tapi juga jangan ngikutin ibu untuk masuk toko swalayan jika bapak tidak sabar menunggu…… Bukan lama memilih barang, melainkan karena biasanya ibu rentan terhadap godaan “impuls buying”. Inginnya semua barang mau dimasukkan ke dalam keranjang belanja, kalau perlu setoko-tokonya sekalian.……

Kendatipun demikian, mari coba tanyakan kepada pengelola toko swalayan : Apa yang paling disukai? Jawabnya : Kalau ada rombongan satu keluarga lengkap masuk ke dalam tokonya. Semakin banyak peserta kecilnya, semakin lebar senyuman penyambutannya………. Monggo…, ada yang bisa kami bantu…….?.

Madurejo, Sleman – 18 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(20) “Impulse Buying”

13 Desember 2007

Rekreasi? Jalan-jalan ke mall? Membeli kebutuhan keluarga ke supermarket? “Lets go….., ayo anak-anak berangkat….”, sang Bapak memberi komando tanda siap berangkat.

Lalu, niat ingsun dari rumah hendak membeli sabun mandi, sabun cuci, odol, sampo, gula, teh, kopi, susu dan pembalut wanita. Total jendral menurut rencana ada sembilan item yang hendak dibeli. Berangkatlah satu keluarga, bapak, ibu dan anak-anak, pergi rombongan keluar rumah, sembari jalan-jalan, rekreasi, membeli kebutuhan keluarga ke toko swalayan terdekat.  

Begitu masuk toko swalayan……. jreng….., berhamburanlah bapak-ibu kemana, anak-anak entah kemana…… Beberapa puluh menit kemudian (terkadang jam), satu keluarga ketemu di antrian menuju kasir. Anak yang satu bilang : “Saya ambil ini, ya Pak?”. Anak yang satunya lagi bilang : “Saya ambil ini sama ini, ya Bu?”. Sang Bapak dan Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum : “Iya”.

Setelah barang belanjaan di-scan sama mbak kasir, ngak-ngik…ngak-ngik…., lalu dibayar. Meninggalkan toko dengan senyum kemenangan. Lalu iseng-iseng dilihat struk belanjaan. Betapa kagetnya, ternyata jumlah belanjaan hari itu bukan sembilan item seperti yang direncanakan semula, melainkan jadi sembilan belas item, bahkan dua puluh sembilan item. Begitu sampai rumah, belanjaan dibongkar, eh… ternyata odolnya atau gulanya malah belum terbeli. Kok bisa? Dari mana datangnya barang belanjaan sebanyak itu? Ya, dari matanya bapak-ibu-anak-anak turun ke keranjang belanja……   

Haqqun-yakil…, siapa saja yang membaca tulisan ini pasti pernah mengalami hal yang serupa cerita di atas, termasuk yang menulis cerita. Itulah hebatnya apa yang disebut “impulse buying”, yang maksudnya pembelian seketika atau pembelian yang tak direncanakan. Dan peristiwa semacam ini hanya mungkin terjadi di toko ritel swalayan, tidak di toko tradisional. 

***

Tahukah Anda kenapa di atas rak-rak dekat kasir selalu tersedia aneka permen, snack dan barang-barang kecil yang sepertinya disusun sedemikian menariknya? Tidak lain, tidak bukan, agar sambil Anda ngantri menuju kasir, maka tangan-tangan lentik putra-putri Anda yang lucu-lucu akan dengan gesit dan cekatan menyabet aneka permen dan makanan kecil di sekitar rak tersebut.

Bukan hanya anaknya, Bapaknya pun bisa tiba-tiba ingin membeli rokok, padahal rokok di saku masih ada. Atau, tiba-tiba ingin membeli permen pelega tenggorokan, padahal tenggorokannya sehat-sehat saja. Atau, tiba-tiba merasa perlu beli batu batere, padahal belum tahu mau dipakai apa. Buat cadangan, katanya. Belum lagi ibunya, entah kenapa melihat sesuatu benda ditimbang-timbang kok harganya lebih murah dari biasanya atau di tempat lain. Maka, diambil dan digabungkanlah semua hasil sabetan tiba-tiba itu ke dalam keranjang belanja yang sudah mau mbludak…..    

“Sssttttt…., ini rahasia antar teman saja………, jangan bilang-bilang……”. Semua itu memang disengaja oleh si empunya toko. Disengaja agar para pengunjung tokonya terdorong untuk melakukan “impulse buying”. Tapi berani taruhan, meskipun Anda sudah tahu rahasia ini, tetap saja lain waktu masuk toko swalayan, entah kapan dan dimana, kejadian serupa akan terulang dan terulang dan terulang lagi…….. 

Itulah ruarrr biasanya virus penyakit yang namanya “impulse buying”. Sekalipun kita tahu bahayanya, tetap saja dengan sukarela membiarkannya terjadi dan terjadi lagi. Bagi para penentang perilaku konsumtif, penyakit ini dikategorikan sebagai musuh utama para konsumen. Tapi jika para penentang itu berada dalam situasi seperti di atas, dia pun tidak mampu menghindarinya. Aneh tapi nyata…..

Sebaliknya bagi para peritel atau pengusaha toko swalayan, penyakit itu justru mutlak wajib ‘ain hukumnya untuk dipelihara, dikembang-biakkan dan jika perlu diriset agar lebih berdayaguna dan berhasilguna. Jangan pernah menyalahkan siapapun, itulah dunia persilatan jual-beli di toko swalayan. Menghindari masuk toko swalayan? Silakan berantem dulu dengan putra-putri Panjenengan yang manis-manis dan lucu-lucu di rumah…….

***

Saya paling senang kalau lagi berada di toko, lalu melihat satu keluarga masuk toko untuk berbelanja. Hampir pasti peristiwa “impulse buying” akan terjadi. Dan itu berarti barang dagangan saya akan banyak laku. Meskipun mungkin barang-barang yang digaet anak-anak tidak seberapa nilainya. Paling-paling permen atau gula-gula yang harganya sekitar Rp 500,- sampai Rp 1.000,-. Tapi jangan lupa, justru benda-benda remeh-temeh seperti itu mampu memberikan keuntungan Rp 100,- sampai Rp 200,-, yang artinya 20% margin keuntungan. Sebuah nilai yang cukup tinggi untuk standar mini market atau toko retail. Sebagai ilustrasi, kalau kejadian seperti itu berulang dalam hitungan dua item kali 25 kejadian, maka berarti keuntungan paling tidak senilai Rp 5.000,- sampai Rp 10.000,-. Kenyataannya, adegan seperti itu seringkali melibatkan lebih banyak item barang dalam puluhan kali kejadian.

Kecil? Tepat sekali. Itu sebabnya maka umumnya tidak dianggap signifikan oleh orang kebanyakan. Tapi tidak bagi pengusaha toko swalayan. Itu adalah nilai yang sangat signifikan. Karena pengusaha toko tidak melihatnya dalam kerangka satu atau sedikit kejadian, melainkan dalam sekian kali lipat kejadian. Bahasa bisnisnya disebut omset. Istilah yang sangat umum, tapi sangking umumnya jadi sering tidak berarti apa-apa bagi orang umum. 

Namun di balik semua kisah itu, terkadang hati ini dibuat trenyuh….

Pada suatu sore, seorang bapak dan anak perempuannya dengan berboncengan sepeda datang ke toko. Berpakaian rada lusuh, agaknya sang bapak baru pulang kerja. Melihat tampilan fisiknya, jelas ini orang desa warga sekitar. Bukan orang yang biasa belanja di toko swalayan di kota. Mereka lalu masuk toko, memutari rak-rak makanan bersama anak perempuannya, lalu mengambil beberapa yang diperlukan dengan tanpa menggunakan keranjang belanjaan.

Ketika sang bapak hendak membayar ke kasir, ndilalah anak perempuannya rada rewel. Tangan bapaknya ditarik-tarik, minta dibelikan makanan kecil atau snack-snackan sejenis Taro, Chiki, Chitos, dan pokoknya yang semacam itulah. Sang Bapak menolak, tapi sang anak terus saja merengek sambil menunjuk-nunjuk dan menarik-narik tangan bapaknya.

Melihat peristiwa itu, pikiran saya cepat menganalisa. Ada dua kemungkinan yang mendorong peristiwa itu terjadi : sang bapak tidak suka dengan jenis makanan seperti itu (yang konon kaya akan kandungan MSG), atau sang bapak uangnya tidak cukup. Menurut feeling saya, kemungkinan kedua lebih masuk akal yang menjadi penyebabnya. Inilah jenis “impulse buying” yang tidak seharusnya saya biarkan meng-“impulse”. Kita harus bijaksana, terpaksa turun tangan turut membantu sang bapak ngerih-rih (menenangkan) sang anak agar mereda rengekannya dan mau nurut sama bapaknya. Minimal, sang bapak tidak merasa dipermalukan oleh tingkah polah sang anak yang tentunya tidak bisa dipersalahkan. Lha wong namanya anak…… Benar-benar perjuangan yang tidak mudah, menaklukkan keinginan seorang anak.

Kemudian ……., terbayang di ingatan saya, ketika beberapa tahun yang lalu anak kedua saya minta dibelikan mainan yang harganya puluhan dollar dan tidak saya penuhi. Lalu anak saya gero-gero, nangis coro Jowo, ndeprok di depan sebuah toko di New Orleans. Untungnya masih ada sisa uang di saku. Lha kalau tidak?. Maka, saya bayangkan bapak di toko saya itu barangkali baru menerima upah hariannya yang jumlahnya benar-benar pas-pasan, sehingga mati-matian beliau tidak mau memenuhi permintaan sang anak, meski barangkali “hanya” menyangkut uang senilai Rp 850,- sampai Rp 1000,-

Subhanallah……., ternyata tidak cukup hanya berbekal ilmu Manajemen Ritel yang mesti saya pahami, melainkan juga Manajemen Hati…….

Madurejo, Sleman – 1 Desember 2005.
Yusuf Iskandar