Pernah menjadi orang bingung di dalam toko? Malah terkadang jadi ling-lung tolah-toleh kesana kemari tapi tak juga kunjung ketemu jalan keluar? Tidak bakal ada yang mau mengaku kalau ditanya seperti ini. Tapi percayalah, setiap orang pernah (bahkan sering) mengalaminya. Entah itu ketika sedang milih-milih barang yang mau dibeli, milih merek, milih warna, bahkan memilih aroma, rasa, ukuran pun seringkali membuat bingung. Minta pertimbangan istri, suami, anak-anak, penjualnya, sampai ke pembeli lain di sampingnya pun masih bingung juga. Kecian deh, konsumen…..! Sudah siap membelanjakan uangnya, jadi korban konsumerisme, korban impulse buying, mau membelanjakannya pun masih dapat bonus bingung……
Bagaimana tidak? Niat ingsun dari rumah beli parfum dengan merek tertentu, ukuran botol tertentu, aroma tertentu. Begitu masuk toko lalu milih-milih barang yang hendak dibeli, ternyata bingung juga memutuskannya. Sudah diciumi satu-satu, sudah di test disemprotkan ke semua penjuru badan, dibaca labelnya dengan teliti. Akhirnya tanya kepada sang penjual, bagus yang mana ya? Sang penjual pun menjawab : “Wah, saya kurang tahu, Pak. Biasanya pria punya selera……”.
Ada lagi, dari rumah sudah pasang niat mau beli pelembab kulit merek tertentu, ukuran tertentu, jenis tertentu. Begitu berdiri di depan rak toko, ternyata susah juga mau milih yang mana. Diperiksanya dengan cermat masing-masing produk, tolah-toleh barangkali ada yang bisa ditanya. Sampai akhirnya tanya kepada penjualnya, mana yang bagus ya? Lalu jawab sang penjual : “Wah, semua bagus Bu. Biasanya cocok-cocokan dengan jenis kulitnya”.
Kebingungan semacam ini memang nampaknya sudah menjadi peristiwa yang biasa terjadi di dalam toko. Hanya karena banyak temannya sesama pembeli bingung, jadi nampak bukan lagi hal yang aneh. Bagi sang penjual pun maklum, asal sabar saja menunggui pembeli bingung. Toh akhirnya akan beli juga, tidak perduli merek apa atau jenis yang mana. Terkadang muncul inisiatif standar dari salah seorang pelayan toko : “Ada yang bisa kami bantu?”. Begitu jenis bantuan yang diminta adalah memilihkan jenis produk yang cocok, akhirnya sang pelayan pun menambah jumlah orang bingung di dalam toko.
***
Pada suatu siang yang rada mendung, datang seorang ibu muda besepeda motor masuk toko (maksudnya, sepeda motornya parkir di luar dan orangnya yang masuk toko, bukan lagi shooting “Busyeeet”). Kebetulan saya sedang berada di counter bagian perlengkapan kecantikan, sambil mengamati pelayan toko sedang menyusun barang-barang yang baru masuk. Si ibu hendak membeli pupur (bedak) warna kuning merek tertentu. Lalu saya ambilkan barang yang dimaksud dari lemari etalase. Si ibu mau membeli lipstick juga, tapi cari yang bisa terlihat kelip-kelip. Karena saya khawatir nanti si ibu kurang merasa leluasa untuk tanya-tanya dan milih-milih, kemudian saya panggilkan salah seorang pelayan perempuan untuk melayani si ibu. Saya akhirnya hanya berdiri agak menyingkir. Saya perhatikan sambil lalu saja, si ibu agak lama menimang-nimang beberapa produk. Agaknya ibu itu sedang bingung. Niat semula mencari bedak warna kuning, begitu yang dijumpai ternyata ada jenis kuning langsat, kuning pengantin dan kuning mutiara (kuning golkar tidak ada), nampak si ibu ragu untuk memutuskan hendak memilih bedak warna kuning yang mana. Padahal contoh warnanya sudah tertempel jelas di kemasan luarnya, tapi ternyata toh tidak mudah bagi si ibu itu untuk memilih satu di antara tiga macam warna kuning.
Nampak si ibu berpikir keras, segenap energi dikerahkan untuk memilih satu di antara tiga. Sesekali tolah-toleh, memandang jauh, memperhatikan produk lainnya. Pasti dengan tujuan untuk membersihkan pikiran dan mengulur waktu agar sempat berpikir agak panjang. Tapi toh tidak juga ketemu jawabannya.
Akhirnya si ibu tanya kepada pelayan : “Mana yang bagus untuk jenis kulit putih ya, mbak? Yang kuning langsat atau kuning pengantin?”. Lalu jawab sang pelayan dengan logat Jogja : “Itu cocok-cocokan eee …., terserah kesenengan setiap orang…..”. Lha, rak tenan (betul, kan?), saya sudah menduga pasti kira-kira seperti itu jawabannya. Si ibu pun bertambah bingung. Sampai akhirnya berkata : “Kalau gitu, saya ambil yang ini satu, yang ini satu…….”. Sebuah keputusan yang kedengarannya “fair” pada saat itu, tapi pertanyaan yang sesungguhnya masih terbawa pulang.
Sekira satu jam kemudian, ketika saya lihat para pelayan “Madurejo Swalayan” sedang ngariung karena toko rada sepi, saya dekati mereka. Lalu saya katakan kepada mereka : “Kelihatannya kita perlu belajar menjadi penasehat yang baik….…….”. Tentu saja mereka tidak paham arah pembicaraan saya. “Maksudnya apa, pak?”, tanya salah seorang. Barulah saya melakukana reka-ulang peristiwa seorang ibu muda bersepeda motor masuk toko tadi.
Kesimpulannya : kita harus bisa menjadi penasehat yang baik dan bijak. Dalam kasus memilih bedak warna kuning tadi, semestinya sang pelayan bertindak bijak. Berlaku sedikit sok tahu tapi bukan berbohong apalagi merugikan orang lain, adalah termasuk tindakan bijak. Seharusnya sang pelayan dapat membantu menentukan pilihan bagi pembeli yang kebingungan memilih. Gunakan pengalaman kalau kebetulan punya, namun jika tidak, maka gunakanlah feeling.
Sama sekali bukan hal yang salah, seandainya sang pelayan mengambil inisiatif lalu mengatakan : “Menurut saya, warna kuning pengantin lebih cocok”. Apakah pelayan sedang berbohong? Sama sekali tidak. Kuncinya ada pada kata “menurut saya”. Perkara setiba di rumah kok sang pembeli merasa “menurutnya” seharusnya warna kuning langsat yang lebih cocok, itu urusan perasaannya.
Yang dimaksudkan dengan tindakan bijak adalah membantu agar pembeli keluar dari kebingungannya. Caranya dengan memberi dukungan atas satu pilihan, meskipun terkadang pelayan harus rada-rada ngawur dalam memberi advis. Tapi tetap saja itu adalah pilihan terbaik menurut pelayan toko pada situasi dan kondisi saat itu. Toh, pada dasarnya sang pembeli itu akan tetap membeli, akan tetap melakukan transaksi. Hanya saja, dia perlu dukungan, perlu pengakuan orang lain, bahwa satu pilihan itu memang baik atau cocok buat dirinya.
Dalam pergaulan politik masa kini (kayaknya jaman dulu enggak ada, deh…..), sang pembeli sebenarnya hanya melempar wacana tentang pilihan warna kuning. Yang sebenarnya di dalam hatinya dia sudah punya pilihan. Eh, syukur-syukur pilihannya sama dengan advis pelayannya. Seandainya tidak sama pun, so what gitu loh? Tidak menanggung resiko apapun bagi pembeli maupun pelayan. Toh, transaksi 99% pasti akan terjadi. Hanya soal basa-basi politik dalam toko saja.
Oleh karena itu, adalah tindakan bijaksana bagi setiap pelayan untuk membantu menciptakan rasa plong bagi pelanggannya, membantu pelanggan keluar dari kebingungannya dan membantu memberi dukungan bahwa pilihannya adalah yang terbaik. Apa nilai tambahnya? Pelanggan akan merasa puas, pelanggan merasa bangga telah sukses membuat pilihan terbaik, pelanggan merasa bahwa pelayan “Madurejo Swalayan” sangat membantu, dan akhirnya…….., pelanggan merasa bahwa berbisnis dengan (pelayan) “Madurejo Swalayan” adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau sempat melakukan sekedar percakapan ringan tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pupur kuning, menciptakan suasana yang mempribadi.
Bukan sebaliknya, jangan malah menambah jumlah orang-orang yang sudah bingung di dalam toko. Agar tidak menambah jumlah orang bingung yang sudah cukup banyak di luar sana…..
Madurejo, Sleman – 18 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar