Posts Tagged ‘prambanan’

Kedondong Madurejo

28 April 2011

Kedondongku — Tinggi pohonnya kurang dari 2 meter. Terus berbunga, terus berbuah, dan akan terus kupetik, kubanting dan kubrakoti… (kumakan) setiap kali aku dinas ke tokoku di Madurejo, Prambanan, DIY. Seperti tak kan habis dalam semusim…

Yogyakarta, 26 April 2011
Yusuf Iskandar

Awan Gelap Di Atas Madurejo

6 Maret 2011

Awan gelap bergelayut di angkasa Madurejo, Prambanan, Sleman, Jogja Istimewa. Seperti hari-hari belakangan, sore-malam adalah waktu terbaik bagi alam menumpahkan air dari langit, setumpah-tumpahnya…

Sementara pak tani ingin menyegerakan panen padinya sebelum keburu pada rusak oleh hujan yang berkepanjangan… Sementara tokoku berkurang pengunjungnya…

Yogyakarta, 26 Pebruari 2011
Yusuf Iskandar

Soto Sapi ‘Tarunojoyo’ Prambanan

14 Juni 2010

Siang hari mau beli tripleks, cat, paku, dll. di selatan pasar Prambanan, Jogja. Lha kok di dekat situ ada warung soto, ya jelas mampir nyoto dulu… Judul warungnya Soto Sapi ‘Tarunojoyo’ (bukan Trunojoyo). Kalau sudah urusan nyoto, coba dulu, enak nggak enak urusan nanti. Lagian, tahunya nggak enak itu setelah dicoba. Tapi lumayan kok, walau taste-nya standar. Sebab filosofinya ‘kan ‘urip iku mung sak dermo nunut nyoto…’

Yogyakarta, 2 Juni 2010
Yusuf Iskandar

Menikmati Bakso Di Kala Hujan Di Madurejo

13 Januari 2010

Hujan deras, sambil nunggu ‘boss’ nggak selesai-selesai (dengan urusannya), mampir makan bakso. Bukan soal enak atau nggak enak baksonya, melainkan karena warung bakso ini adalah tetangga toko kami…

(Di warung bakso ‘Pak Dul’ Madurejo, Prambanan, Sleman, Jogja)

Yogyakarta, 12 Januari 2010
Yusuf Iskandar

Agenda Workshop Entrepreneurship Ditunda

7 Mei 2009

Sepertinya agenda Workshop Entrepreneurship oleh TDA Joglo akan berubah waktu pelaksanaannya. Semula dijadwalkan tanggal 24 Mei 2009 di wartel (warung ritel) “Madurejo Swalayan”, Pambanan, Sleman. Namun belakangan nampaknya ada beberapa kendala yang sedang dihadapi dan perlu dirembug kembali jalan keluarnya.

Di bawah ini saya kutipkan email yang ditulis oleh mas Heksa Agus (salah seorang penggiatnya) dalam milis komunitas TDA Joglo (format tulisan sedikit diedit agar enak dibaca) :

Mohon tanggapan teman-teman semua
Posted by: “Heksa Agus S” hekinmajumapan@yahoo.com
Date: Sun May 3, 2009 10:55 am ((SGT))

Sehubungan dengan belum jelasnya status kepanitiaan Milad TDA Joglo untuk wilayah Yogyakarta, bersama ini saya selaku penanggung jawab masalah kepesertaan dari luar milis dalam acara workshop “yang muda yang berbisnis” mau meminta masukan dari semua anggota milis.

Sebelumnya ada beberapa hal yang perlu kita sama-sama ketahui :

  1. Tentang tempat, mas Yusuf Iskandar, selaku pemilik tempat, mengharapkan agar acara dimajukan tanggal 10 Mei atau diundur setelah 24 Mei, hal ini dikarenakan beliau harus menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat penting dan harus diprioritaskan.
  2. Tentang trainer, mas Memet, selaku trainer tidak bisa jika acara dimajukan tanggal 10 Mei dikarenakan ada sesuatu hal.

Dari kedua hal tersebut maka bisa disimpulkan bahwa jika acara itu akan dilaksanakan, harus setelah tanggal 24 Mei. Yang ingn saya mintakan masukan dari teman-teman semua adalah:

  1. Apakah acara itu mau diundur atau dibatalkan atau ada alternatif lain.
  2. Apakah kita perlu berkoordinasi lagi untuk membicarakan acara hal itu.

Saya selaku orang yang akan berhubungan dengan pihak luar merasa sangat perlu sekali mendapatkan kepastian akan hal ini.

Terima kasih.

Semoga saja teman-teman TDA Joglo dapat segera berembug tentang waktu, tempat, pengisi acara, dsb. untuk mewujudkan rencana ini mengingat agenda semacam ini tentu sangat bermanfaat bagi siapa saja yang interest dalam dunia kewirausahaan.  Lebih-lebih dalam rangka mangayubagyo keberadaan komunitas TDA Joglo melalui Milad ke-2 yang rencananya akan diselenggarakan di beberapa wilayah seperti Jogja, Solo, Semarang dan sekitarnya.

Salam sukses berwirausaha…!

Menuju Madurejo 2 : Menyusun Grondola

5 April 2009

Hari Minggu ini terpaksa saya tidak kemana-mana, sebab sudah dijadwal sama boss-nya “Madurejo Swalayan” (baca : istri saya) untuk membantu mengatur dan menyusun grondola atau rak-rak toko. Pekerjaan ini menjadi penting artinya karena toko yang dimaksud adalah toko baru sebagai cikal bin bakal dari serial persilatan bisnis wartel (warung ritel) Madurejo Swalayan jilid 2 atau sebut saja Madurejo 2, sebuah usaha minimarket atau toko swalayan yang berlokasi di kawasan Bintaran, kecamatan Mergangsan, Yogyakarta.

Padahal hari ini sebenarnya ada acara penting di Klaten, yaitu rapat persiapan Milad 2 (Ultah Ke-2) komunitas TDA Joglo (Tangan Di Atas untuk wilayah Jogja, Solo dan sekitarnya). Terpaksa saya absen tidak hadir di rapat TDA Joglo, ya karena ada “terpaksa” lainnya yaitu memenuhi jadwal yang sudah diatur boss saya itu tadi. Ngrumangsani (menyadari) bahwa beliau sudah saya tinggal kluyuran selama tiga minggu ke Tembagapura, Papua, maka saya merasa tidak enak untuk tidak memenuhi agenda yang sudah dijadwalkannya.

Bangunan sudah siap sekitar dua minggu yll. Sebagian grondola juga sudah disiapkan tapi belum diatur. Urusan atur-mengatur ini memang menjadi sebagian dari keahlian saya (maksudnya, saya lebih ahli dibanding istri saya), makanya istri saya menyerahkan urusan tur-attur ini kepada saya, selain karena terkait dengan urusan angkat wal-junjung.

Mengatur tata ruang toko dan menyusun posisi rak atau grondola kelihatannya perkara sederhana. Namun bisa jadi runyam karena harus mengepas-paskan ketersediaan grondola dengan ruang yang terbatas agar tampak rapi, teratur, enak dilihat dan nantinya jadi nyaman dikunjungi.

Akhirnya selesai juga, sementara. Sebab ternyata masih diperlukan grondola tambahan beserta asesorinya, lemari etalase dan beberapa perangkat toko lainnya. Dengan kata lain, masih diperlukan biaya tambahan untuk itu. Dan, tadi boss saya sudah memberi jadwal untuk hari Senin besok, antara lain ngedrop barang ke “Madurejo Swalayan” Prambanan atau sebut saja Madurejo 1, lalu membeli rak untuk kantor, mencari info untuk tambahan grondola dan perangkat komputernya. Ugh….., capek deh…..

Inti dari cerita ini sebenarnya adalah : “Mohon Doa Restu” untuk Madurejo 2. Hal yang sebenarnya klise dan kedengaran seperti basa-basi. Kenapa tidak berdoa sendiri saja? (Terkadang pikiran buruk saya muncul…… Boro-boro minta doa orang lain sedangkan orang lain itu untuk mendoakan dirinya sendiri saja belum tentu ingat apalagi sempat….. Mohon maaf bagi yang merasa jadi orang lain).

Kalaupun tidak ada yang mendoakan…., saya akan tetap ingin berbagi dongeng tentang serial Madurejo 2. God willing wal-insya Allah…..

Yogyakarta, 5 April 2009
Yusuf Iskandar

Ada Rampok Di Tokoku

6 Januari 2009

img_0939_r21Saat sedang tegang-tegangnya nonton film “The Day After Tomorrow” (kecuali setiap kali muncul iklan saya tinggal pergi) di Global TV tadi malam, sekitar jam 20:45 WIB ponsel istri saya berdering. Rupanya itu tilpun dari toko kami, “Madurejo Swalayan”. Tumben, malam-malam ada tilpun dari toko. Lalu terdengar suara istri saya meninggi dengan nada terkejut.

Piye, mbak….? Ono opo mbak….? Ora jelas suaramu……?” (Bagaimana, ada apa, suaranya tidak jelas….). Hanya terdengar suara tangisan seorang pegawai toko kami di seberang sana, di desa Madurejo yang berjarak sekitar 15 km dari rumah.

Kemudian seorang laki-laki mengambil alih gagang tilpun, lalu katanya : “Ibu segera ke toko, ada perampokan….”. Dan, sambungan tilpun pun lalu terputus. Begitu, laporan istri saya tergopoh-gopoh sambil masih mengacung-acungkan ponselnya, segera setelah menerima tilpun.

Mendengar ekspresi nada suara istri saat pertama kali menerima tilpun, saya sudah menduga bahwa sesuatu sedang terjadi di toko saya. Herannya, saya kok ya tetap asyik saja nonton TV sama anak laki-laki saya, sambil menunggu laporan istri itu. Sepertinya tayangan film TV malah lebih menegangkan.

Kata istri saya dengan nada suara tegang : “Mas, segera ke toko sekarang, ada rampok”.

Saya pun menjawab santai : “Ya, suruh nunggu…..” (maksudnya pegawai toko yang saya suruh menunggu saya datang, bukan perampoknya….).

Saya mulai beraksi (menggantikan aksi film TV yang saya tinggal). Pengawas dan pegawai toko tidak berhasil saya hubungi ke HP-nya. Lalu buru-buru saya coba menghubungi tetangga toko saya, dengan maksud untuk minta tolong menengok apa yang terjadi di sana sementara saya dalam perjalanan 30 menit dari rumah menuju toko.

(Ya.., ya.., tetangga adalah mahluk yang sering kita kesampingkan pada saat dunia sedang aman dan damai, tapi tiba-tiba menjadi sangat penting peranannya ketika terjadi keadaan darurat. Kalau kemudian dunia kembali aman dan damai, ya lupa lagi sama tetangga. Ugh…! Kasihan deh, jadi tetangga. Untungnya, saya tidak tergolong sebagai mahluk yang abai terhadap tetangga).

Ee, lha kok ndilalah….., no HP yang saya hubungi nyasar ke seorang teman lama yang kebetulan namanya sama dengan nama tetangga toko yang mau saya hubungi. Maksud hati mau bicara to the point, apa daya pembicaraan dengan teman lama saya itu malah susah untuk diputus. Bagi teman saya itu : “Kebetulan sudah lama tidak ketemu mas Yusuf…”. Weleh…., malah jadi kangen-kangenan. Lha saya sedang buru-buru dan rada sentress, je…

Setelah pembicaraan kangen-kangenan dengan teman lama berhasil diselesaikan dengan baik, saya lalu berubah pikiran untuk menghubungi petugas keamanan desa Madurejo, yang juga tetangga toko saya. Langsung saja saya minta beliau untuk menuju TKP dan minta tolong melakukan apa-apa yang perlu dilakukan sebelum saya tiba di sana.

***

Sekitar jam 21:30 saya tiba di toko bersama istri dan kedua anak saya yang kepingin tahu apa yang terjadi di toko. Toko sudah ditutup, tapi di depan toko masih ramai orang, di antaranya beberapa petugas polisi dari Polsek Prambanan. Istri saya segera menemui pegawai-pegawai toko yang masih shock, sedangkan saya langsung menuju TKP ditemani oleh petugas kepolisian dan seorang tetangga saya. Kronologi peristiwa perampokan justru saya dengar dari kedua orang yang menemani saya itu, sambil saya menginspeksi situasi meja kasir dimana perampokan terjadi, sambil saya men-jeprat-jepret-kan kamera, sambil saya berdialog. Sementara seorang pegawai kasir dan seorang temannya masih shock belum bisa banyak memberi keterangan.

Menurut cerita sementara : Datanglah dua orang pemuda berboncengan naik sepeda motor, lalu masuk toko dan hendak membeli rokok. Seperti biasa, penjualan rokok dilayani kasir. Ketika sepertinya hendak membayar di kasir, tiba-tiba sepucuk pistol ditodongkan ke kasir sambil menggertak agar uang di laci segera diserahkan. Laci kasir lalu ditarik dan di-oglek-oglek ternyata tidak bisa dibuka (kebetulan sistem komputer belum dalam posisi melakukan transaksi, jadi ya tidak bisa dibuka….. Agak bodoh juga rupanya rampok ini…, agaknya mereka masih perlu sedikit belajar tentang perkasiran…..).

Karena tergesa-gesa sebelum diketahui orang lain, laci di bawah meja kasir dibuka, dan diraihlah sebundel uang cadangan yang ada di sana (tadi malam saya perkirakan jumlahnya sekitar satu koma tiga juta rupiah, tapi setelah tadi pagi dihitung ulang dari data komputer ternyata jumlanya “hanya” tujuh ratus tiga puluhan ribu rupiah). Barangkali merasa bahwa uang jarahannya tidak banyak, sang penyamun itu lalu meminta HP milik mbak kasir. Kemudian secepat kilat mereka kabur nggendring….. berboncengan sepeda motor menuju arah selatan, dan menghilang ditelan malam.

Puji Tuhan walhamdulillah, sang penyamun gagal menggasak hasil penjualan toko saya sehari kemarin (kita sering tidak ngeh, rupanya ada juga kegagalan yang haus di-alhamdulillah-i…). Tapi… siwalan bener, mereka berhasil membuat shock dan menjatuhkan mental pegawai saya.

Secara materi, kerugian yang ditimbulkan oleh aksi perampokan ini relatif tidak seberapa, kerusakan fasilitas toko tidak ada, korban juga tidak jatuh. Akan tetapi kerugian immaterial sungguh tidak kecil. Dua orang pegawai saya hampir pingsan, belum bisa diajak bicara hingga malam, hanya bisa menangis sesenggukan. Sekitar jam 10 malam, kedua pegawai saya itu saya antarkan pulang ke rumahnya di lereng perbukitan sebelah timur Madurejo. Saya serahkan kepada keluarganya yang sudah pada beristirahat malam dan terkejut mendapati anak perempuan mereka pulang dari kerja tidak seperti biasanya. Salah satunya harus berjalan dipapah sambil masih menangis gero-gero (meraung) dan seorang lagi malah harus dibopong (diangkat dengan kedua tangan) dan tidak bisa berucap apa-apa selain sesenggukan. Menjadi kewajiban saya untuk menjelaskan apa yang terjadi, meminta maaf dan berterima kasih kepada keluarganya.

Peristiwa perampokan tadi malam itu langsung ditangani oleh pihak kepolisian Sektor Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Meski untuk urusan pelaporan itu, tadi malam saya harus berada di kantor Polsek hingga jam 01:30 dini hari. Menemani pak polisi yang sedang bekerja agar baik jalannya….., mengisi beberapa lembar kertas berjudul Laporan Tuntas dan Laporan Polisi rangkap tiga berkarbon, menggunakan mesin ketik Brother yang sudah karatan dan tanpa kap atasnya. Diiringi bunyi cethak-cethok…pencetan jari tengah tangan kiri dan jari telunjuk tangan kanan, dan memerlukan waktu satu jam untuk menyelesaikannya.

Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan dengan menjawab 17 pertanyaan (jadi ingat berita tentang pemeriksaan tersangka korupsi yang oleh koran selalu disebut jumlah pertanyaannya). Hal yang terakhir ini diketik dengan komputer, tapi tetap saja berjalan lambat karena nampaknya pak polisi juga sangat hati-hati dalam menyelesaikannya (maklum, BAP adalah dokumen hukum yang setiap kalimatnya menjadi sangat berarti ketika misalnya kasus itu naik ke proses peradilan). Saya harus memakluminya, meski untuk itu saya, istri dan anak-anak harus pulang sampai rumah jam 02:00 dini hari.

***

Perihal kerugian dari kejadian perampokan ini rasanya langsung bisa saya ikhlaskan. Eee…, barangkali kedua penyamun itu sedang butuh biaya pengobatan keluarganya (meski hati saya berprasangka juga, jangan-jangan malah buat bok-mabbok dan ler-teller….). Kini tinggal tugas saya dan istri untuk memulihkan moral dan semangat kerja pegawai saya yang sempat shock dan jatuh mentalnya akibat mengalami peristiwa perampokan (menurut istilah kepolisian disebut curat alias pencurian dengan pemberatan) yang bagi pegawai saya bisa berakibat sangat traumatis.

Akhirnya, pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa saya harus bisa memetik pelajarannya. Lho? Embuh-lah….. Tapi yang saya yakini pasti adalah bahwa di dunia in tidak ada peristiwa yang kebetulan. Daun jatuh saja diurus dengan sangat cermat oleh Tuhan. Apalagi peristiwa perampokan yang melibatkan banyak pihak, pasti Tuhan punya “naskah” skenario yang sangat tebal. Mudah-mudahan saya mampu membaca dan memahaminya.

Madurejo – Sleman, 6 Januari 2009
Yusuf Iskandar

Selamat Datang Para Pemudik

27 September 2008

Hari-hari menjelang Idul Fitri seperti kali ini, tentu banyak warga perantau pada mudik ke kampung halamannya untuk merayakan lebaran. Tidak terkecuali para perantau asal desa Madurejo, Prambanan (dimana toko saya berada). Maka sepantasnya mereka disambut dengan sapaan : “Selamat Datang Para Pemudik”. Semoga banyak keberkahan yang Sampeyan semua bawa dari rantau, bagi kemaslahatan, kesejahteraan, kebaikan sanak keluarga di rumah. Syukur-syukur juga nyiprat ke para tetangga dan masyarakat dimana Sampeyan tinggal.

Sebagai bagian dari masyarakat desa Madurejo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta, saya dan toko saya “Madurejo Swalayan” turut berbunga-bunga menyambut kedatangan para warga dan tetangga yang pulang mudik. Semoga interaksi bermasyarakat melalui mu’amalah yang saling menguntungkan ini terus berjalan dalam kerangka besar sebagai bagian dari ibadah kita masing-masing.

Madurejo – Sleman, 27 September 2008 (27 Ramadhan 1429H)
Yusuf Iskandar

Bebeknya Bu Suwarni Prambanan, Enak Dibacem Dan Perlu

6 April 2008

Bu SuwarniSekali waktu berkunjunglah ke Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Sekitar satu kilometer sebelum mencapai Prambanan dari arah Solo atau kalau dari arah Jogja sekitar satu kilometer setelah candi Prambanan, membelok ke selatan menuju ke stasiun Prambanan. Di jalan depan stasiun ke arah barat, sebelum belok melintas persimpangan rel kereta api, di pojok kanan ada sebuah warung makan yang cukup terkenal. Namanya Rumah Makan Bu Suwarni.

Menu utama warungnya Bu Suwarni ini adalah menu bebek-bebekan, terutama bebek goreng dan soto bebek. Bagi penggemar rasa khas daging bebek, warung ini layak dipertimbangakan untuk menjadi pilihan. Bebek gorengnya yang dibumbu bacem, terasa benar bacemannya. Baceman khas Jogja dengan rasa manis yang agak kuat. Bumbu bacemnya merasuk hingga menyentuh bagian paling dalam dari daging bebek yang tekstur seratnya lebih kentara dibanding daging ayam.

Kalau kurang suka dengan bebek goreng bumbu bacem khas Jogja, masih ada pilihan soto bebek. Soto bebeknya Bu Suwarni memang beda. Kalau umumnya daging bebek digoreng, dibakar, atau dipanggang, maka soto bebeknya miraos tenan…. Dari sruputan kuahnya sudah terasa kaldu daging bebeknya. Sotonya sendiri tidak jauh beda dengan ramuan soto ayam. Ada campuran tauge kecil (untuk membedakan dengan umumnya tauge yang ukurannya besar), irisan kol dan loncang (daun bawang), ditambah irisan ampela bebek, lalu diguyur kuah soto berkaldu bebek. Khas sekali rasanya.

Warung makan Bu Suwarni ini memang tipikal bisnis keluarga. Sejak berdiri lebih 25 tahun yang lalu, manajemen warung ini tidak jauh-jauh dari sentuhan keluarga besarnya. Bahkan semua pelayannya adalah juga masih ada hubungan kekeluargaan. Hingga kini warung bebek-bebekan ini sepertinya tak goyah oleh aneka badai ekonomi. Tetap beroperasi dan bahkan semakin berkibar.

Dulu-dulunya, warung Bu Suwarni hanya menempati petak kecil di pinggiran jalan raya Prambanan. Sejak tahun 1987, bu Suwarni yang berasal dari dukuh Pereng, Prambanan, pindah ke dalam. Ya, di jalan stasiun barat itu hingga sekarang. Tahun 2006 sewaktu terjadi gempa Yogya, dimana sebagian Prambanan termasuk wilayah yang cukup parah terkena gempa, Rumah Makan Bu Suwarni pun roboh. Kini bangunan warungnya nampak jauh lebih representatif, seiring dengan perkembangan usahanya.

Melihat keberhasilan warungnya bu Suwarni berbisnis menu bebek pada saat ini hingga rata-rata menghabiskan 50 ekor bebek per harinya, terbayang bagaimana gigihnya sosok bu Suwarni muda ketika memulai membuka warung makan bebek goreng. Tentu dengan kondisi yang sangat sederhana pada masa itu. Kalau kini usia bu Suwarni sekitar 47 tahunan, berarti bu Suwarni masih berusia sekitar 21 tahun ketika memulai bisnis ini pada tahun 1982.

Kita sering “terjebak” hanya melihat ujung dari perjalanan hidup seseorang ketika kesuksesan sudah diraih. Tapi kita sering alpa melihat dan mempelajari bagaimana jatuh-bangunnya sesorang dalam merintis, mengembangkan, mempertahankan dan akhirnya menjaga prestasi usahanya. Bu Suwarni layak menjadi sebuah cermin bagi semangat enterpreneurship di jaman kini. Istilah kewirausahaan yang pada masa itu belum dikenal orang, kecuali sekedar bagaimana bertahan hidup dengan cara yang halal dan barokah. Tipikal cara berpikir orang-orang desa yang lugu dan tidak neko-neko. Kalau akhirnya semangat bertahan hidup itu mampu memberikan hasil yang lebih dari cukup, maka itu adalah berkah dari kerja kerasnya selama meniti masa-masa sulit sekian tahun yang lalu.

***

Sebelum meninggalkan warungnya bu Suwarni, saya sempatkan untuk melongok dapurnya dan memesan seekor bebek utuh tanpa kepala untuk di bawa pulang. Saya baru tahu kalau beli bebek utuh rupanya tidak termasuk kepalanya seperti halnya kalau beli seekor ayam utuh. Tapi, apalah artinya sepenggal kepala bebek (sedang kepala-kepala yang lain saja kita sering tidak perduli) jika dibandingkan dengan kepuasan menyantap sepotong bebek goreng dan semangkuk soto bebek yang rasanya khas dan miraos (enak) dengan ganti harga yang wajar.

Bebeknya bu Suwarni, memang enak dibacem dan perlu (perlu dicoba maksudnya).

Yogyakarta, 6 April 2008
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (12)

18 Desember 2007

Pak Rohani tidak dapat menyembunyikan butir air matanya ketika ia bercerita bagaimana ia dan istrinya lolos dari maut saat terjadi gempa dahsyat 27 Mei yang lalu. Pak Rohani dan istrinya saling berpelukan merunduk di belakang pintu rumahnya yang keburu roboh dan menimbun tubuh keduanya, ketika mereka berdua sedang berjuang lari keluar dari rumah pada detik-detik mematikan ketika bumi bergoncang hebat.

Itulah detik-detik dimana Pak Rohani dan istrinya berpacu dalam “injury time” (istilah ini saya gunakan kebetulan ada pesta Piala Dunia di Jerman). Saya hanya ingin sedikit mengulang cerita saya sebelumnya, bahwa kalau memang rumah yang kita tempati itu “layak” roboh akibat gempa, maka tidak ada satu hal pun yang dapat menundanya. Tidak juga Pak Rohani yang menyeret istrinya untuk segera keluar dari rumahnya.

Detik-detik “injury time” berlangsung dengan sangat cepat, dan kecepatan lari Pak Rohani dan istrinya ternyata tidak mampu mendahuluinya. Maka tertimbunlah mereka. Puji Syukur, mereka selamat dan akhirnya dapat keluar dari sela-sela reruntuhan rumahnya ketika gempa mereda. Tidak lama kemudian Pak Rohani tahu bahwa beberapa orang tetangganya bernasib sama, yaitu kerobohan rumahnya saat gempa terjadi. Namun nasib setelahnya tidak sama, beberapa orang tetangganya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kata-kata apa lagi yang dapat diucapkan oleh Pak Rohani dan istrinya, demi mengingat peristwa itu?

Pak Rohani adalah kepala dusun Kenaran, desa Sumberharjo, kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman. Delapan orang warganya meninggal dan 115 rumah warganya roboh akibat gempa. Kini pak Kadus (kepala dusun) yang kebetulan juga seorang aktifis NU ini ditunjuk menjadi koordinator posko pengelola bantuan gempa di kampungnya. Semua warganya, kalau malam tiba kini masih tidur di tenda panjang yang dibangun di tengah jalan kampungnya.

Kalau kita sering mendengar atau membaca berita tentang para korban gempa yang masih tinggal di tenda-tenda darurat, jangan dibayangkan itu adalah tenda seperti tenda pramuka, pecinta alam, atau tenda tentara. Sebagian kecil di antaranya yang kebetulan sudah memperoleh bantuan tenda “beneran”, memang benar demikian. Namun lebih banyak lainnya adalah “tenda-tendaan” yang berupa bedeng-bedeng atau sekedar atap penutup yang terbuat dari plastik atau terpal dengan dinding seng bekas, tripleks atau penghalang apa saja yang dapat digunakan.

Hari-hari malam seperti sekarang ini, malam-malam purnama, udara cukup dingin. Jadi jangan tanyakan bagaimana mereka tidur mlungker bin ngeringkel berdesak-desakan. Bagaimana anak-anak dan bayi-bayi mereka tidur. Bagaimana mereka mengatasi hembusan angin dingin. Tapi juga jangan heran, kalau di bawah “tenda-tendaan” itu mereka yang pecandu bola masih bisa berjama’ah begadang menyaksikan siaran Piala Dunia, jam 20:00, jam 23:00 lalu jam 01:00 dini hari. Setidaknya mereka jadi tidak tidur kedinginan, melainkan kedinginn saja karena tidak tidur.

Dusun Kenaran, Sumberharjo, lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari jalan raya Prambanan – Piyungan, kira-kira masuk sejauh 4 km ke arah timur. Namun tidak terlihat dari jalan raya karena untuk mencapainya harus melalui jalan aspal kecil yang membelah kawasan persawahan. Dusun itulah yang menjadi tujuan pertama saya pada hari Sabtu siang kemarin untuk membagikan bantuan bahan makanan titipan dari seorang teman yang telah mentransfer uangnya kepada saya. Kebetulan saya menuju lokasi itu bersamaan dengan tim dari radio Gema Panca Marga Pacitan yang membagi-bagikan pakaian kaos ratusan lembar jumlahnya.

Dari desa Sumberharjo, saya yang disertai oleh anggota tim yang terdiri dari istri, anak pertama saya yang sedang menunggu hasil ujian nasional SMP-nya dan keponakan kecil yang masih berusia 2,5 tahun, berpindah menuju ke arah yang lebih selatan. Masih bersama tim dari Pacitan, kami menuju dusun Wanujoyo Lor dan Wanujoyo Kidul, desa Srimartani, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul. Lokasinya sekitar 2 km ke arah timur dari jalan raya Piyungan – Prambanan melalui jalan yang membelah kawasan persawahan. Bantuan ke dusun ini saya salurkan melalui posko yang ada di depan jalan masuk dan ada juga yang saya sampaikan langsung melalui seorang sesepuh kampung sambil saya berkendaraan mengelilingi dusun.

Dari jalan raya, desa ini tampak baik-baik saja. Namun kita baru tahu apa yang terjadi setelah benar-benar memasuki wilayah pedukuhannya. Sungguh membuat kita menahan nafas. Bisa dikatakan hampir semua rumah yang ada telah roboh, rusak berat dan tidak layak huni. Sebagian besar di antaranya benar-benar rata dengan tanah. Dari lebih 1400 jiwa penduduknya, sebanyak 37 orang meninggal dunia dan ratusan orang cedera yang sebagiannya kini masih dirawat di rumah sakit. Namun ada juga bayi-bayi yang lahir beberapa hari setelah gempa.

***

Perjalanan pendistribusian bantuan bahan makanan Sabtu sore kemarin kami lanjutkan ke arah lebih ke selatan lagi. Tepatnya ke jalan yang menuju kota Wonosari. Setelah melewati jalan berkelok-kelok menaiki bukit, kira-kira di Km 19, di kecamatan Patuk, saya berbelok ke arah barat daya memasuki jalan kecil yang menuju kecamatan Dlingo. Setelah menempuh jarak sekitar 6,5 km menyusuri pinggiran bukit Patuk, lalu masuk ke kiri melalui jalan kecil pas selebar kendaraan kira-kira sejauh 2 km. Dua pedukuhan yang lokasinya bersebelahan menjadi tujuan kami, yaitu Pencitrejo dan Ngenep, di kecamatan Terong.

Meskipun secara administratif kedua dusun ini termasuk wilayah kabupaten Bantul, tapi lokasinya cukup jauh dari kota Bantul yang gambar dan fotonya sering muncul di televisi atau di koran, karena lokasi kedua pedukuhan ini berbatasan dengan kabupaten Gunung Kidul. Saya yakin orang tidak akan tahu kalau di lokasi terpencil di balik perbukitan ini kondisinya juga sangat parah, kalau tidak mengunjunginya sendiri. Namanya juga di desa dan di perbukitan, rumah-rumah penduduknya tentu tidak berjejer-jejer seperti di kota, melainkan menyebar di mana-mana di balik-balik semak pepohonan.

Tampak di pinggiran jalan kampung adalah beberapa tenda yang didirikan di sela reruntuhan rumah. Di situlah kini mereka tinggal. Menurut Pak Mujimin, kepala dusun Ngenep, seluruh rumah warganya roboh, 40 rumah di antaranya ambruk-bruk seketika saat gempa terjadi. Beruntung hanya seorang yang meninggal, meski banyak yang cedera. Menyaksikan apa yang terjadi, terlalu sulit rasanya menerka-nerka perasaan seperti apa yang sedang dirasakan oleh mereka yang menjadi korban gempa. Kami yang menyaksikan seperti terlarut dalam kesedihan yang mereka sedang rasakan. Terlebih kaum ibu, hanya bisa istighfar (memohon ampun kepada Allah). Ya, kalau bukan karena ampunan-Nya, rasa kasih dan sayang dari siapa lagi yang bisa diharapkan…..

Pak Mujimin kini merasa masygul menatap rumahnya yang hampir rampung dibangun dengan susah payah itu ikut tumbang juga. Pasalnya, hari Jum’at sore sebelum gempa terjadi, ia baru menyelesaikan bagian terakhir teras rumahnya. Besoknya adalah hari pertama rumah barunya jadi, tentu saja rumah baru menurut ukuran kampungnya. Namun sayang, Yang Maha Kuasa kelihatannya tidak mengijinkan Pak Mujimin menyaksikan rumah barunya, begitu Pak Mujimin membahasakan pengalaman pedihnya. Belum tinggi matahari terbit, matanya masih dikucek-kucek, belum sempat kedua matanya menyaksikan dengan jelas rumahnya yang baru rampung dibangun, keburu ada gempa merobohkannya.

Sabtu sore kemarin itu sebenarnya saya juga ada rencana untuk mendistribusikan bantuan ke lembah yang lebih terpencil lagi, masih di desa Terong. Rencananya bahan makanan akan dilangsir dengan sepeda motor karena tidak ada jalan yang dapat dilalui mobil. Selama ini memang sudah ada bantuan yang diterjunkan dari helikopter, tapi tentu belum mencukupi. Namun mengingat hari sudah menjelang gelap, akhirnya saya batalkan rencana untuk langsung menuju lokasi.

Pendistribusian bantuan bahan makanan sore kemarin terpaksa saya cukupkan dulu, untuk dilanjutkan hari berikutnya. Tidak ada kata terlambat. Tidak akan pernah ada istilah terlambat untuk membantu mereka yang membutuhkan, lebih-lebih mereka yang tinggal di lokasi-lokasi yang sedikit dicapai orang.

***

Sampai di rumah saya baru ingat, hari Minggu ini ada acara kerja bakti di lingkungan tempat tinggal saya untuk membersihkan sisa-sisa reruntuhan yang masih teronggok di ujung jalan. Kampung juga perlu dibersihkan. Ya sudah, bersih-bersih kampung dulu. Insya Allah hari Senin pendistribusian bantuan akan dilanjutkan.

Umbulharjo,Yogyakarta – 11 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (15)

18 Desember 2007

Ada saweran di Jakarta. Persisnya dimana saya tidak tahu. Tapi tahu-tahu seseorang yang setia mengikuti “dongengan” saya tentang gempa Jogja ini kemudian memberitahukan bahwa uang hasil saweran bersama teman-temannya itu telah ditransfer ke rekening saya di Jogja.

Dari pengamatan saya selama mendistribusikan bantuan, nampaknya bantuan berupa logistik sudah hampir menjangkau semua lokasi, meskipun di beberapa lokasi awalnya nampak seret. Beberapa warga di lokasi yang sempat saya kunjungi memberitahukan bahwa mereka sangat butuh peralatan pertukangan. Karena pada minggu ketiga pasca gempa ini kebanyakan para korban gempa mulai melakukan gerakan gotong-royong membersihkan kampung dan rumahnya dari reruntuhan. Mereka telah mulai melakukannya dengan peralatan seadanya. Hanya sedikit lokasi yang saya baca informasinya di media masih memerlukan bantuan logistik, tenda dan selimut.

Mempertimbangkan hal itu, maka uang kiriman dari Jakarta itu akhirnya sebagian saya belikan beras dan sebagian besar lainnya saya belikan peralatan pertukangan, seperti sekop, cangkul, cethok, ember, linggis, tomblok (keranjang anyaman bambu) dan slenggrong (serok tangan).

***

Hari-hari ini jalan-jalan di Jogja dan sekitarnya penuh dengan timbunan reruntuhan bangunan. Hampir di setiap ujung gang, teronggok timbunan reruntuhan bangunan yang memang sengaja dikumpulkan di tepi jalan besar. Selanjutnya petugas dari pemerintah dibantu dengan personil TNI mengambil dan mengangkut material reruntuhan dengan truk-truk untuk ditimbun di tempat-tempat pembuangan yang telah ditentukan. Maka bagi mereka yang membutuhkan tanah urug, sekaranglah saat yang tepat untuk memperolehnya secara gratis, daripada beli tanah urug. Asal saja mau mengurus sendiri pengangkutannya.

Bagi para korban gempa di kawasan kota Jogja, pekerjaan pembersihan reruntuhan relatif lebih mudah, karena rumah yang runtuh jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan yang masih berdiri tegak. Sehingga sarana pertukangan tidak terlalu sulit untuk memperolehnya. Mau beli, banyak toko bangunan menyediakannya. Pinjam tetangga pun masih bisa. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di lokasi yang jauh dari kota yang hampir seluruh rumahnya rata dengan tanah. Peralatan pertukangan yang mereka miliki barangkali ikut tertimbun reruntuhan rumahnya. Bagi mereka itu, adanya pemberian bantuan peralatan pertukangan sangat mereka harapkan. Mereka pun sangat gembira ketika bantuan itu akhirnya datang juga.

Siang tadi saya mengunjungi empat pedukuhan yang kesemuanya berada di desa Sumberharjo, kecamatan Prambanan, Sleman. Masih terbilang tetangga desa dengan “Madurejo Swalayan”, meski jaraknya terpisah rada jauh. Peralatan pertukangan yang saya bawa pun saya bagi menjadi empat agar mudah mendistribusikannya. Saya ditemani oleh tetangga saya di Madurejo yang membawa mobil bak terbukanya, mengingat Kijang saya tentu tidak muat untuk mengangkut peralatan pertukangan yang saya beli.

Kawasan timur Jogja memang menjadi prioritas saya. Ini adalah kawasan terkena bencana yang berita keparahannya kalah “rating” dengan kawasan Bantul selatan. Padahal kawasan timur Jogja ini juga masih termasuk wilayah kabupaten Bantul yang berbatasan dengan kabupaten Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Karena juga berada di jalur sesar Opak yang aktif, maka tingkat kerusakannya tidak kalah dengan wilayah Bantul selatan dan tenggara, yang relatif lebih banyak didatangi tim bala bantuan.

Lokasi pertama yang saya datangi adalah dusun Gunung Gebang. Lokasinya tidak jauh dari jalan raya. Namun kondisi pedukuhan ini tidak terlihat dari jalan raya karena terbatasi oleh hamparan sawah dan pepohonan. Ketika saya memasukinya, sekitar dua kilometer ke arah timur dari jalan raya Prambanan – Piyungan, barulah saya tahu bahwa semua rumah warganya ambruk dan rusak berat karena gempa. Sekitar 950 jiwa warganya masih tinggal di tenda-tenda dan dilayani oleh dapur umum. Sebagian warganya sedang bergotong-royong menangani rumah-rumah yang roboh. Tentu mereka sangat senang menerima bantuan peralatan pertukangan yang sedang mereka butuhkan.

Dari Gunung Gebang saya menuju ke arah utara lalu ke timur lagi, lebih jauh ke dalam dari jalan raya Prambanan – Piyungan. Dusun Polangan namanya. Di wilayah ini pun semua rumahnya roboh dan rusak berat. Sekitar 450 warganya juga masih tinggal di tenda-tenda. Sebuah Sekolah Dasar tampak rusak berat, sehingga para murid pun belajar dan baru saja menyelesaikan ujian SD di tenda-tenda yang khusus dibangun menggantikan ruang kelas yang tidak aman lagi ditempati untuk kegiatan belajar-mengajar. Dusun ini tampak sepi, rupanya mereka sedang bergotong-royong membersihkan reruntuhan, sebagian lagi ada yang sudah mulai sibuk mengurus sawahnya yang saat ini sedang musim panen padi.

Dari Polangan saya bergerak semakin ke arah timur laut, semakin menjauh dari jalan raya, ke dusun Klero. Kondisi dusun ini pun tidak jauh berbeda. Meski jumlah rumah yang roboh tidak sebanyak pedukuhan lainnya, tapi umumnya kondisi rumah-rumah mereka tidak layak dan tidak aman untuk ditempati. Justru karena itu maka peralatan pertukangan akan sangat membantu mereka untuk sekalian saja meruntuhkan rumah yang nyaris roboh, sebelum nantinya malah merobohi penghuninya. Bantuan logistik nampaknya sudah mencukupi untuk waktu ini, namun peralatan pertukangan belum ada yang mengirimnya.

Menyusuri jalan-jalan desa sore tadi terasa menyenangkan. Dimana-mana hamparan sawah dengan padinya yang sudah mulai menguning. Di mana-mana pula ada kegiatan potong padi rame-rame. Tampak para petani sedang bersemangat memanen padinya. Sebagian padi hasil panenaannya ditimbun begitu saja di tepi jalan desa, sebagian orang ada yang mengangkutnya dengan sepeda motor. Tidak lagi dengan gerobak atau sepeda atau dipikul atau digendong. Damai hati ini rasanya menyaksikan pemandangan langka semacam itu.

Akhirnya sampailah saya di dusun paling timur, di lereng perbukitan, namanya dusun Sengir. Seminggu sebelumnya saya sudah mencapai desa ini untuk nge-drop bantuan sembako, karena kebetulan ada seorang pegawai “Madurejo Swalayan” yang rumahnya nyaris roboh tinggal di sini. Tapi sore tadi tujuan saya lebih jauh lagi, yaitu ke dusun Nglepen.

Jarak dari dusun Sengir ke dusun Nglepen sebenarnya hanya sekitar satu kilometer. Tapi untuk mencapainya mesti menempuh jalan terjal berupa tanah bebatuan, naik ke lereng atas kawasan perbukitan. Seekor Kijang warna hitam metalik yang terkadang digunakan untuk jalan-jalan bersama keluarga ke mal dan terkadang digunakan untuk kulakan ke toko grosir, sore tadi terseok-seok mendaki jalan terjal berbatu-batu. Muatannya penuh berisi beras dan peralatan pertukangan munjung, ditambah dengan enam orang penumpangnya termasuk sopir, Ini gara-gara mobil bak terbuka yang tadi membantu mengangkut alat pertukangan tidak berani ikut mendaki perbukitan.

***

Beberapa hari sebelumnya, dusun Nglepen ini hanya bisa dicapai dengan sepeda motor karena jalan utamanya terhalang longsoran. Bahkan sebelum itu dusun ini nyaris terisolir beberapa hari sejak gempa terjadi karena lokasinya memang tidak mudah dicapai. Kini para pejabat pemerintah setempat berduyun-duyun mengunjungi dusun ini silih berganti setiap hari. Apa gerangan yang menarik dari dusun ini?

Dusun yang hanya dihuni oleh sekitar 60 jiwa ini semua rumahnya roboh dan rusak berat. Tapi tunggu dulu, sepertinya ada beberapa rumah yang hilang ditelan bumi….. Ini peristiwa yang sulit dipercaya kalau bukan karena melihatnya sendiri. Ada sebentang tanahnya yang merekah sepanjang lebih 100 meter, dan mengakibatkan areal seluas sekitar 3 hektar bergeser ke arah barat sejauh 15 – 20 meter. Pergeseran sejauh itu tentu menyebabkan adanya rekahan yang sangat lebar sehingga seolah-olah apa saja yang tepat berada di atasnya seperti ambles bumi, ditarik Sang Ontorejo dari perut bumi…..

Masih tampak jelas garis-garis rekahan di seluruh kawasan yang bergeser ini. Warga yang tinggal di situ pun semula tidak percaya. Omah sak lemah-lemahe (rumah setanah-tanahnya) telah pindah dari lokasinya semula. Tapi faktanya, ada sebuah rumah yang kini bergeser ke barat sejauh 20 meter meninggalkan dapurnya yang masih berada di sisi timur rekahan. Demikian pula sebuah kandang sapi ditinggal rumah induknya yang bergeser ke barat. Pohon-pohon pisang dan kelapa menjadi seolah-olah tumbuh di dasar cerukan karena tanahnya amblas ke dalam rekahan sedalam sepuluh meteran. Beberapa rumah yang tepat berada di rekahan pun hancur berkeping-keping terbawa dasar tanahnya yang amblas. Sungguh beruntung peristiwa ini tidak memakan korban jiwa. Hanya longsornya beberapa bagian jalan desa sempat menyebabkan dusun ini terisolir dari bantuan hingga beberapa hari pasca gempa.

Barangkali kawasan ini tepat berada di salah satu bidang percabangan sesar Opak yang aktif. Hampir semua kawasan di sisi barat jalur rekahan ini rusak berat. Sementara kawasan yang berada di lokasi lebih tinggi di sisi timur rekahan nyaris tidak mengalami kerusakan berarti. Begitulah fenomena alam gempa dan peristiwa geologis, kalau harus memilih “korban”-nya. Peristiwa alam yang tidak dapat diduga dan tidak dapat diramalkan, tapi pasti ada yang bisa “dibaca”.

Warga dusun Nglepen merasa senang ketika ada yang mengirim peralatan pertukangan guna membantu pekerjaan mereka membenahi sisa-sisa reruntuhan rumahnya yang barangkali masih ada benda-benda yang dapat dimanfaatkan. Sebagian warganya kini minta direlokasi ke tempat lain.

Mestinya mereka yang paham ilmu geologi yang berduyun-duyun ke sana, mumpung rekahannya masih perawan dan bau tanah, dan belum tergerus erosi air hujan. Jangan-jangan ada bencana lain sedang menanti, ketika hujan deras mengguyur. Bukan para punggawa pemerintah yang hanya piya-piye terkagum-kagum lalu foto-foto, setelah itu pulang tidak tahu apa yang mesti dilakukan selain menulis laporan standar dan bercerita kepada tetangga-tetangganya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 17 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (17 – Wis, Ah!)

18 Desember 2007

Beberapa hari setelah gempa memurungkan Jogja, ada seorang korban gempa kehausan di jalan Prambanan – Piyungan. Kebetulan “Madurejo Swalayan” sudah buka setengah pintu, maka orang itu lalu masuk toko dan membeli air mineral. Saya sebut korban gempa karena menurut cerita tetangga saya di Madurejo, rumah orang itu yang di Prambanan rusak berat.

Hanya saja orang itu adalah korban gempa yang tidak membutuhkan bantuan, malah tergolong korban gempa yang sewajarnya kalau ikut membantu korban gempa lainnya. Meskipun punya rumah di Prambanan, tapi orang itu tinggal di Jakarta. Bantuan jatah uang lauk pauk yang Rp 90.000,- per jiwa per bulan atau tujangan pakaian dan alat rumah tangga yang Rp 100.000,- nilainya, barangkali tidak berarti apa-apa. Malah masih bisa keliling Jogja naik mobil. Boro-boro tidur di tenda, meski rumahnya tidak bisa ditinggali, tidur di hotel pun bukan masalah.

Rupanya kasir “Madurejo Swalayan” mengenali wajah orang itu. Cuma tidak berani ngajak omong. Takut, katanya. Orang itu bernama Hidayat Nurwachid.

***

Beberapa hari yang lalu datang seorang nenek tua (soalnya ada juga nenek yang muda) ke rumah saya di Umbulharjo. Nenek itu minta agar saya membeli sisa dua kilo emping melinjo dari lima kilo yang sejak pagi harinya dibawanya berkeliling kampung. Dua kilo emping melinjo itu diwadahi dalam dua tas kresek kumal warna putih dan hitam. Nenek tua yang katanya tinggal di sebelah utara pasar Pleret itu bercerita bahwa rumahnya roboh, suaminya kakinya patah dan kini masih dirawat di rumah sakit, dan seorang anaknya meninggal tertimpa reruntuhan.

Dari sorot matanya saya menangkap ketulusan ceritanya (entahlah kalau tangkapan saya salah, tapi saya menghindar untuk tidak berprasangka buruk…..). Ketika saya tanya darimana emping melinjonya itu, dia menjawab emping itu hasil bikinannya sendiri sebelum ada gempa. Daerah Plered dan sekitarnya memang banyak tanaman melinjo dan sebagian masyarakatnya ada yang menekuni kerajinan membuat emping melinjo. Katanya, itulah sisa hartanya yang masih bisa diselamatkan. Entah bagaimana emping nenek itu bisa menyelamatkan diri, saya merasa tidak perlu terlalu jauh menanyakannya.

Uang yang diperoleh dari hasil menjual melinjo itu akan digunakan untuk tambahan membeli gedeg (dinding anyaman bambu) agar dia bisa membangun tempat tinggal sementara seadanya, di lokasi bekas reruntuhan rumahnya. Nenek itu juga meminta kalau-kalau di rumah saya punya seprei bekas yang boleh diminta.

Itulah salah satu potret korban gempa yang akan banyak dijumpai di kawasan Jogja dan sekitarnya saat sekarang ini. Potret tentang orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain. Hanya sebuah potret, dari ribuan potret yang mungkin ada. Sebanyak apapun kita membantunya, rasanya tidak akan mampu membantu mereka keluar dari keterpurukannya. Tapi sebaliknya, sesedikit apapun kita ikhlas membantunya, rasanya akan sangat berarti untuk sedikit saja meringankan beban derita mereka. Kalaupun tidak mampu membantu banyak untuk banyak orang, membantu sedikit untuk satu orang kiranya sudah cukup menjadikannya sebagai sebuah kemuliaan.

***

Hingga menjelang sebulan pasca gempa yang terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2006, jam 05:54 WIB dan telah memporak-porandakan wilayah Jogja dan sekitarnya, kini gaungnya memang telah mulai memudar. Masyarakat korban gempa pun mulai sibuk dengan persoalannya masing-masing. Namun kehidupan terus berlanjut. Dengan atau tanpa bantuan relawan. Dengan atau tanpa kepedulian masyarakat lain. Tapi mestinya tetap dengan pendampingan pihak pemerintah dan timnya untuk menyertai mereka yang kini terpuruk, mereka yang nyaris kehilangan masa depan, mereka yang tidak tahu mau apa dan bagaimana setelah ini.

Gempa susulan masih sesekali terjadi, kadang siang atau malam. Sesekali dengan intensitas cukup besar, sehingga mengagetkan semua orang. Hanya trauma kepanikan sudah lebih terkondisikan, sehingga tidak serta-merta orang-orang berhamburan lari. Namun tetap saja deg-degan saat gempa susulan terjadi. Retak-retak pada bangunan rumah saya sepertinya semakin membesar. Akibat gempa yang lalu saja terbentuk retak-retak seukuran rambut menghiasi bangunan rumah saya, kini retak-retak itu sepertinya sudah seukuran tujuh rambut.

Kehidupan masyarakat telah berangsur normal. Maksudnya, yang selamat ya tetap hidup dengan keselamatannya, yang menderita ya tetap hidup dengan penderitaannya. Hanya ahlak dan pekerti manusia akan mengisi celah di antara keduanya. Peluang untuk beramal baik atau tidak baik terbuka lebar menghubungkan di antara keduanya.

Tidak perlu ada kambing hitam, karena sudah jelas tidak ada yang memprovokasi terjadinya gempa. Tidak juga ada pihak yang dapat disalahkan. Berbeda halnya dengan bencana banjir atau tanah longsor, dimana antara pihak pemerintah, LSM, pengusaha dan masyarakat biasanya akan cenderung saling ding-tudding…..

Gempa bumi adalah “hak prerogatif” Sang Empunya Bumi, untuk menyusun jadwal lempeng tektonik mana yang mau ditumbukkan dengan keras, lempeng mana yang mau diogrok-ogrok duluan. Juga untuk memilih lokasi, memilih waktu dan menyusun daftar korbannya. Juga memilih siapa yang sedang dihukum dan siapa yang sedang diuji. Tinggal manusia sendiri yang kudu jeli introspeksi dalam membaca ayat-ayat-Nya. Ya, diri kita sendiri. Bukan ustadz atau pendeta, bukan penceramah agama, bukan atasan, bukan beking atau centeng, bukan juga rojo brono (harta karun) yang menggunung. Terserah kita mau “belajar” pethenthengan atau ditinggal tidur saja, gempa tetap terjadi sesuai “agenda”-Nya.

***

Setelah semua mata tertuju ke selatan Jogja, terutama ke wilayah kabupaten mBantul dan sekitarnya, kini semua mata beralih pandang ke utara Jogja. Disana ada gunung Merapi yang sedang batuk-batuk enggak enak badan. Wedhus gembel sudah mengembik panjang, lava pijar sudah tumpah dleweran, korban pun sudah jatuh. Ancaman banjir lahar bak sedang mengincar mangsanya.

Mudah-mudahan tidak lagi ada ujian lebih berat harus ditanggung oleh masyarakat Jogja. En toch, Sang Maha Pemilik Merapi berniat menambah ujian bagi masyarakat Jogja, agar naik kelas menjadi lebih “cerdas” memahami ayat-ayat-Nya, kita semua berusaha dan berdoa agar semuanya masih “manageable” untuk tidak menimbulkan korban jiwa.

Kini sebaiknya segenap elemen masyarakat bahu-membahu mengantisipasi “aba-aba” Yang Maha Kuasa. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator yang baik. Orang-orang pinter itu di koran dan televisi suka bercerita tentang kearifan lokal. Tapi sungguh saya sendiri sulit untuk memahami mangsudnya. Bagi saya yang penting masyarakat perlu diberi pemahaman lebih intensif tentang potensi bencana dan bagaimana menghindarinya. Masyarakat awam perlu diajari ilmu tentang tingkah laku atau budi pekerti yang mudah dipahami, ya tingkah laku bumi, ya tingkah laku penghuninya. Bukan menunggu wangsit yang akan dituturkan mBah Marijan. Bukan mempersiapkan ubo rampe (pernik-pernik) yang tidak berujung-pangkal. Bukan juga menyiapkan data-data untuk mencari kambing hitam. Seperti saya pun tidak pernah menginginkan untuk membuat dongeng tentang “Di Kotaku Ada Gunung mBledos”.

***

Gemuruh gempa di kotaku Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei yang lalu memang hanya “terselenggara” selama 57 detik. Pemenang dari “injury time” seketika dapat diketahui hasilnya. Namun gemuruh masalah yang menyertainya bisa tak berbilang batasnya. Hanya waktulah kelak yang akan menentukan siapa pemenangnya. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi akan memakan waktu sangat panjang. Masih diperlukan banyak dukungan dan kepedulian dari siapa saja dan dari bidang keilmuan apa saja.

Berbagai spanduk kini banyak menghiasi di setiap penjuru kota (ada sponsornya, tentu saja). Berisi kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri, menyejukkan hati dan memompa semangat. Pak Sultan Ngarso Dalem bersama segenap punggawa dan masyarakat pun telah berikrar bersama di desa Wonokromo, Pleret, Bantul : “Bangkitlah Jogjaku!”.

Bolah-boleh saja kalau mau alon-alon waton kelakon (pelan tapi terselesaikan). Juga boleh kalau mau milih mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan asal kumpul), atau kumpul ora kumpul mangan (kumpul atau tidak kumpul asal makan). Sumonggo kerso….., silakan saja….. Semua itu ternyata tidak ada bedanya kalau sudah terpojok oleh ujian yang maha dahsyat. Terbukti bahwa semua tak berkutik melawan kehendak-Nya saat terjadi gempa.

Maka ketika bantuan terlambat, semua orang toh akhirnya meminta sumbangan di sepanjang jalan, atau menghadang truk pembawa bantuan, dan ada juga yang nekat menjarah. Tak jelas lagi siapa yang ora mangan (tidak makan) dan siapa yang ora kumpul (tidak kumpul). Akhirnya semua lupa dan berubah menjadi sing penting mangan (yang penting makan). Tidak perlu dicari siapa yang salah, karena memang begitulah sistem kosmologi yang berlaku bagi mahluk jenis apapun yang sedang terpuruk dan terpojok. Dan itu bisa terjadi menimpa siapa saja. Tidak hanya manusia, melainkan juga kucing, kambing, macan, dhemit, tuyul and his gang…..

Mari, jangan terus terpuruk meratapi nasib. Siapapun harus bisa belajar dari tragedi ini. Belajar rame-rame menurut ngelmu dan kompetensinya. Belajar menjadi korban bencana yang baik, belajar menjadi korban selamat yang baik, belajar menjadi pemberi bantuan yang baik, belajar menjadi pengelola bantuan yang baik, belajar menjadi pemerintah (tukang memberi perintah) yang baik, belajar menjadi pengamat yang baik, dan banyak pelajaran lainnya…..  Tuhan tidak akan pernah membebani mahluk ciptaan-Nya melainkan sebatas kemampuan mahluk itu untuk mengatasinya. Wong Tuhan yang bikin, pasti Beliau juga tahu seberapa kekuatan benda bikinan-Nya.<

“Ayo bangkit, bangkitlah Jogjaku…..!”. Maksudnya, bangkit dari keterpurukan akibat gempa dan bangkit siap-siap menyalami Merapi…..

(Wis, ah!. Arep bal-balan karo sembur-semburan lumpur. Nuwun…..).

Umbulharjo, Yogyakarta – 23 Juni 2006
Yusuf Iskandar

(40) Masuk Toko Sandal Dilepas

13 Desember 2007

Buka usaha mini-market swalayan di kota, tentu sudah biasa. Tapi, buka toko swalayan-modern di pinggir kota, baru belum biasa. Di balik yang belum biasa inilah tersedia tantangan dan peluang (plus sedikit nekat….).  Sebenarnya lokasi toko “Madurejo Swalayan” tidak ndeso-ndeso amat, wong lokasinya ada di pinggir jalan, kira-kira pertengahan jalan Prambanan – Piyungan yang cukup ramai. Ya, jalannya yang ramai, karena merupakan jalan sudetan ke Wonosari dari arah Solo. Hanya saja sebagian masyarakat di sekitar desa Madurejo memang belum terbiasa dengan model belanja melayani sendiri. Sebagian masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian dan pedagang kecil. Entah buruh tani, entah pemilik lahan. Maka selama ini kebutuhan sehari-harinya masih cukup dilayani oleh warung, toko atau pasar tradisional.  

Oleh karena itu sangat disadari bahwa pangsa pasar toko “Madurejo Swalayan” memang bukan mereka itu, melainkan sebagian lainnya yang selama ini sudah berinteraksi dengan masyarakat kota. Entah sebagai pekerja lepas harian, pegawai kantoran, pengusaha, pelajar atau mahasiswa, dan kalangan menengah ke atas lainnya. Selama ini mereka suka belanja ke Yogya, atau paling tidak ke Prambanan atau Piyungan, kota kecamatan terdekat. Mereka itulah sebagian masyarakat yang menjadi target pasar “Madurejo Swalayan”. Bahasa kampungnya, toko ini akan nyegati mereka agar tidak perlu belanja jauh-jauh ke Yogya.  

Lebih-lebih dengan naiknya harga BBM, praktis ongkos transport ke kota juga ikut membengkak. Alhamdulillah, toko ini buka pada saat harga BBM naik (Alhamdulillah untuk tokonya, bukan untuk naiknya harga BBM). Maka secara teoritis, warung, toko atau pasar tradisional tidak akan tersaingi oleh toko ini. Sudah punya segmen pasar sendiri-sendiri. Istilahnya Aa Gym, Tuhan pasti tidak akan salah mendistribusikan bagian rejeki bagi setiap orang. Tuhan Yang Maha Distributor – Maha Pemurah – Maha Adil.  Tapi ya setiap perubahan selalu ada dampaknya. Meskipun sudah diproyeksikan untuk menjaring konsumen kalangan menengah ke atas, tentu tidak mungkin untuk dipasang tulisan “Orang ndeso dilarang belanja”. Akhirnya hukum pasar berlaku, dimana ada barang lebih murah, kesana pula pembeli akan menuju. Maka tidak heran, kalau selisih harga Rp 50,- pun akan dikejar pembeli. Namun itu sisi belakang mata uang. Sedang sisi depannya adalah, orang desa pun tentu ingin tahu toko swalayan-modern itu seperti apa, barang apa saja yang dijual, harganya berapa, dsb.  Lha wong namanya toko swalayan-modern, kelebihan pertama tentu tampilan toko akan berbeda dengan toko tradisional, sebagai salah satu bentuk layanan dan untuk menarik perhatian calon pembeli. Singkat kata, konsumen atau pengunjung toko, entah beli entah tidak, harus dilayani sebaik-baiknya dan dimanjakan. Tampilan mesti keren, kerapian perlu dijaga, kebersihan apa lagi, pelayanan harus diutamakan. Semua itu menjadi sangat penting agar konsumen senang masuk toko, yang akhirnya kembali lagi esoknya dan belanja lagi lain waktu.   ***   

Suatu ketika datang ibu-ibu tua hendak membeli sesuatu. Begitu masuk toko tampak rada canggung, tolah-toleh kok enggak ada pelayan yang nyamperin. Di toko yang biasanya ibu itu berbelanja, selalu ada penjaga yang tanya mau beli apa lalu mengambilkan barangnya dan dibayar, sesekali terjadi tawar-menawar harga. Tapi di sini kok dibiarkan saja, hingga agak lama ibu itu berdiri saja menunggu dilayani. Penjaga toko swalayan memang perlu jeli mengambil inisiatif untuk meng-guide jika menemui pengunjung yang seperti ini. 

Kali lain ada bapak-bapak yang masuk berbelanja. Nampaknya beliau sudah tahu kalau mesti melayani sendiri. Tanpa canggung mencari barang yang hendak dibeli dan akhirnya ketemu. Giliran mau membayar, dikeluarkannya uang dari sakunya, lalu mencari penjaga toko dan menyerahkan uangnya. Ooo.., rupanya bapak itu belum tahu kalau semua transaksi pembayaran dilayani oleh kasir.  

Ada lagi yang masuk toko terus mengambil keranjang belanja warna biru muda, lalu dipilang-piling. Namanya toko baru, ya keranjang belanjanya masih baru. Enggak lama keranjang dibawa ke kasir. Kok keranjang kosong dibawa ke kasir? Rupanya keranjang itu yang mau dibayar, dikiranya termasuk barang yang dijual, padahal sudah dipasang tulisan petunjuk bahwa itu adalah keranjang belanja. 

Suatu hari datang seorang ibu dengan anak perempuannya. Melihat lantai toko yang putih bersih, rupanya mereka tidak tega untuk mengotori lantai dengan sandalnya. Maka, ibu dan anaknya pun kompak melepas sandal di luar teras, seperti mau melewati batas suci atau batas sandal/sepatu di masjid, lalu nyeker masuk toko……  

Biasanya pelayan toko akan  segera menyusuli dan meminta agar sandalnya dipakai saja. Namun sungguh mulia niat baik ibu ini, benar-benar tidak mau memakai sandalnya. Sayang kalau lantai toko yang putih bersih nanti jadi kotor, katanya. Bukan sekali-dua peristiwa seperti ini terjadi. Terkadang pelayan toko yang ngalahi mengambilkan sandalnya dan memberikan kepada sang empunya kaki agar sandalnya dipakai saja.  

Hikmah yang bisa dipetik : Pertama, perlu telaten dan sabar memasyarakatkan konsep toko swalayan di kawasan pinggir kota. Kedua, kebelumtahuan masyarakat akan konsep swalayan modern adalah “aset” potensial, kalau bisa mengelolanya.   

Madurejo, Sleman – 23 Nopember 2005.

Yusuf Iskandar

(22) Memasang Spanduk, Siapa Takut?

13 Desember 2007

Salah satu resiko bagi orang yang membuka usaha adalah didatangi orang yang minta sumbangan. Macam-macam alasan dan tujuannya. Menghadapi hal yang demikian, saya menetapkan policy, bahwa prioritas diberikan kalau permintaan sumbangan itu datang dari kalangan desa setempat. Di luar itu, sumbangan ala kadarnya saja. Bagaimanapun juga, masyarakat setempat adalah stakeholder yang perlu diberi perhatian lebih. Belakangan terpikir, bagaimana agar tidak sekedar memberi sumbangan, melainkan bisa saling take and give.    

 

Terakhir datang permintaan sumbangan dari panitia “mujahadah” desa Madurejo. Panitia ini akan menggelar acara mujahadah umum di Balai Desa yang akan melibatkan segenap warga masyarakat muslim desa Madurejo khususnya dan kecamatan Prambanan umumnya. Acara akan dipimpin oleh seorang Kyai yang cukup disegani di sana.

 

 

Mujahadah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya berdoa dengan kesungguhan. Istilah majelis mujahadah dalam bahasa populer dapat disamakan dengan istilah majelis istighosah, dzikir bersama, doa bersama, dan yang semacam itu yang sempat “nge-trend” dimana-mana. Sebutan istilah mujahadah ini sangat lekat di kalangan masyarakat muslim di daerah seputaran Yogyakarta, khususnya yang berbasis di pesantren tradisional. 

 

Melihat latar belakang yang demikian, maka tidak ada salahnya forum ini dimanfaatkan sebagai ajang woro-woro (pemberitahuan). Sumbangan uang diberikan sebagai wujud tanggungjawab sosial toko “Madurejo Swalayan”, sekaligus sebagai ibadah bagi pemiliknya. Akan tetapi juga terselip sisi “muamalah”-nya bahwa sebagai pihak yang turut menjadi sponsor bagi acara tersebut, maka selembar spanduk bertuliskan logo, nama dan alamat toko akan dipasang di arena mujahadah.

 

Jadi, kalau memang diperlukan harus memasang spanduk, siapa takut? Meskipun “Madurejo Swalayan” belumlah ada apa-apanya dibandingkan dengan mini-market atau toko swalayan sejenis yang ada di Yogya bahkan di pinggirannya, namun siapa lagi yang akan nguri-uri (menghidup-hidupkan), kalau bukan dirinya sendiri. Dan, dirinya “Madurejo Swalayan” telah siap melakukan berbagai jurus untuk membesarkan dirinya.

 

***

 

Tiba waktunya pagelaran majelis mujahadah, acara berlangsung malam hari mulai sekitar jam 21:00 WIB hingga selesai tengah malam. Dari kejauhan saya lihat spanduk “Madurejo Swalayan” sudah terpasang disana. Dalam hati saya berkata, ratusan orang-orang saleh yang datang dari berbagai penjuru kecamatan Prambanan dan sekitarnya, tentu akan melihat dan membaca spanduk itu, saat mereka memasuki arena majelis mujahadah. Mereka pasti orang-orang saleh, paling tidak pada malam itu. Sebab kalau malam itu tidak saleh tidak mungkin mau menyempatkan hadir, bahkan berombongan dan berdesak-desakan naik truk atau angkutan bak terbuka, berbaju koko-bersarung-berpeci dan berkain kerudung. Semoga terkirim doa tulus bagi segenap warga masyarakat Madurejo dan sekitarnya, dan “Madurejo Swalayan” terselip di dalamnya. 

 

Tidak perlu berharap yang muluk-muluk. Cukup kalau ada lima sampai sepuluh orang saja dari ratusan yang hadir malam itu, terangsang ingin tahu lalu menyempatkan untuk mampir ke “Madurejo Swalayan” di lain hari. Tidak usah belanja, cukup kalau mau mampir saja. Sebab, multiplier effect dari yang sepuluh orang itu saja sudah luar biasa dampaknya bagi publisitas atau upaya pengenalan atas sebuah tempat usaha baru yang lokasinya ada di sekitar tempat tinggal mereka.

 

Terbukti beberapa hari sesudahnya, ada seorang ibu pegawai negeri siang-siang mampir ke toko (entah pulang dari kantor, entah mbolos dari kantornya), yang dengan jujur bercerita bahwa beliau baru tahu ada toko “Madurejo Swalayan” setelah membaca spanduk di acara mujahadah. Bingo….! Semoga masih ada sembilan orang lagi yang bernasib sama seperti ibu itu, meskipun tidak cerita. Itulah salah satu yang diharapkan dari jurus woro-woro, iklan atau promosi. Tentu bukan satu-satunya cara, masih banyak cara lain yang dapat ditempuh. Gagasan-gagasan dan terobosan-terobosan baru terus digali dan dipikirkan (seringkali sambil tidur…..).

 

Jika harus memasang spanduk untuk melakukan promosi, tidak selamanya berarti bagaimana mengajak orang untuk datang ke “Madurejo Swalayan”, melainkan juga bagaimana agar keberadaan “Madurejo Swalayan” dapat diterima dan dirasakan sebagai bagian dari komunitas di sana. Sesuai dengan visi dan misi toko ini : mengajak masyarakat desa Madurejo untuk beribadah bersama-sama di bidangnya masing-masing. Sederhana saja….. 

 

Madurejo, Sleman – 5 Desember 2005.

Yusuf Iskandar

(1) Bekerja Adalah Menjadi Orang Gajian

13 Desember 2007

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bagaimana kalau harus meninggalkan pekerjaan tetap sebagai orang gajian yang kemudian banting setir menjadi pekerja serabutan dengan penghasilan yang juga tidak tentu. Keputusan sudah telanjur dibuat. Kemapanan ditinggalkan, tidak ada lagi gaji tetap. Tidak ada rencana kapan mau travelling karena tidak ada lagi berapa sisa gaji yang dapat dihitung di depan. Status sosial dikesampingkan dulu. Pendeknya, menurut bahasa pemerintah disebut penganggur terselubung.

Panca indra kudu jeli dan waspada. Proaktif mencari dan mencipta peluang, untuk ditangkap, di-assess, dievaluasi, dihitung-hitung, didiskusikan, apakah  feasible untuk ditindaklanjuti sebagai usaha yang prospektif dan profitable (meskipun nganggur, toh boleh saja menggunakan istilah yang keminggris).

(Itu teorinya, Bung!. Prakteknya, ngudubilah……..!!! Bangun pagi bermalas-malasan, ternyata kok ya enak, pada mulanya. Lalu baca koran, minum kopi, ngudut, bersih-bersih halaman, sarapan gudeg atau gudangan, lalu mandi……).

Secara moril dan materiil, rasanya saya sudah sangat siap. Tanpa sedikitpun keraguan untuk banting setir dari tukang insinyur. Termasuk kalau harus kerja keras berwirausaha atau berwiraswasta dari nol-puthul. Mengharapkan penghasilan yang bisa buuuanyak, bisa sedikiiiit. Inilah “the real world”. Dunia baru bagi saya. Dunia tanpa batas, tanpa SOP, tanpa dimensi kayak lelembut, yang ada hanya berjuang untuk survive. Etika dan nurani yang menjadi kendali. Mau apa saja ada dan bisa, kalau mau. Banyak atau sedikit, baik atau buruk, gampang atau sulit, enak atau enggak enak, tinggal ngelakoni.

Namun ada satu hal yang rupanya luput dari pencermatan saya sebelum memutuskan untuk banting setir. Ternyata anak-anak saya belum siap mengimbangi manuver banting setir sang “driver”. Mungkin akan berbeda halnya seandainya ayah mereka sudah bekerja sebagai wirausahawan sejak mereka belum lahir. Tapi masalahnya sejak mereka lahir jebrol sudah melihat bahwa ayahnya bekerja sebagai orang gajian. Di perusahaan pertambangan asing, lagi….

***

Belum lama meninggalkan tempat kerja dan kembali ke Yogyakarta, anak saya yang sulung sudah grundelan, bilang sama ibunya : “Bu, bapak ini ngapain sih….., sudah enak-enak kerja di Freeport kok keluar segala……”.

Ketika beberapa bulan bapaknya masih saja lao-lao (bahasa Papua yang maksudnya malas-malasan) di rumah, bilang lagi sama ibunya : “Bu, bapak itu mbok disuruh kerja lagi, biar dapat gaji…….”. 

Di mata anak-anak saya, yang namanya bekerja adalah menerima gaji tetap setiap bulan. Kalaupun bapaknya dapat uang dari sana-sini (jelas bukan hasil korupsi, wong tidak punya jabatan…), maka itu bukan hasil bekerja. Pemahaman sudah telanjur tertanam, bahwa bekerja adalah menjadi orang gajian….!

Masih tentang anak perempuan sulung saya yang sekolahnya sudah pindah dari SMP di Tembagapura ke SMP swasta di Yogya. Kali lain dia ngomong lagi sama ibunya  : “Bu, bapak itu mbok disuruh kerja….”. Ibunya balik tanya : “Lha, memangnya kenapa?”. Jawab anak saya : “Saya bingung kalau teman-teman atau guru saya tanya, pekerjaan bapaknya apa?”.

Bingung…? Ya, itulah faktanya, anak saya kebingungan untuk menjawab pertanyaan mudah. Harap maklum, karena sejak lahir hingga kini ABG tahunya sang bapak kerja di lingkungan perusahaan tambang. Saya baru mulai benar-benar ngeh, rupanya memang sedemikian kuatnya pemahaman bahwa bekerja adalah menjadi orang gajian, di kantor atau perusahaan. Bahkan untuk menjawab bahwa pekerjaan bapaknya swasta atau wiraswasta atau bakulan atau jualan di toko pun tidak terlintas di pikiran anak saya.

Padahal ketika itu saya sudah mulai sibuk mempersiapkan untuk membuka usaha toko. Saking sibuknya, seringkali saya mesti berangkat pagi pulang malam mempersiapkan toko yang lokasinya agak jauh dari rumah yang kami tinggali. Kesibukan sehari-hari yang nyaris sama seperti ketika saya masih bekerja di Freeport. Bedanya kalau dulu sebagai tukang insinyur ngitung-itung komoditas sebangsa tembaga, emas dan perak milik orang lain, dengan uang jut-jutan di tangan setiap bulan. Kini, sebagai tukang bakulan ngangkutin sendiri gula, sirup, susu, minyak, rokok, mie instan, sampai ke urusan pembalut perempuan yang muacam-muacam model dan variannya, tapi milik sendiri, dan kudu telaten ngopeni uang cepek-nopek setiap harinya. Maklum, di tahap-tahap awal ini belum bisa sepenuhnya mengandalkan kunjungan pemasok, seringkali masih harus kulakan sendiri mencari harga beli terbaik.

***

Kini toko swalayan kami sudah mulai buka, sejak menjelang bulan Ramadhan yang lalu. Perlu kerja keras sejak beberapa bulan sebelumnya agar bisa memanfaatkan timing bulan puasa dan lebaran untuk mengejar omset lebih, yang berarti meraup untung lebih. Kalau hanya sekedar buka toko tradisional saja barangkali tidak terlalu repot. Namun karena toko ini dirancang sebagai toko modern di pinggiran kota, maka persiapan teknis dan non-teknis termasuk membuat database untuk sekian ribu item barang ternyata sangat menyita waktu dan melelahkan.

Hal lainnya yang menambah pekerjaan adalah karena kami ingin memulai dan mengelola sendiri toko ini. Akan berbeda ceritanya kalau misalnya bergabung dengan perusahaan pewaralaba yang sudah ada. Namun kami memang sudah bertekad tidak waralaba-waralabaan, dan belum tentu pihak pewaralaba mau digabungi wong lokasinya masih ndeso di pinggir kota.

Akhirnya, ya dibangun sendiri, dirancang sendiri, dipersiapkan sendiri, dikelola sendiri, syukur-syukur kalau dapat menangguk untung banyak ya dinikmati sendiri. Konsekuensinya, bekerja mengelola toko seperti seolah-olah bekerja di perusahaan toko itu. Berangkat pagi, pulang malam, karena toko buka jam 7 pagi dan tutup jam 9 malam. Sambil perlahan-lahan sebagian tanggungjawab pekerjaan akan saya limpahkan kepada orang lain yang kini sedang saya latih sebagai kandidat manajer, hingga Insya Allah, pada saatnya nanti toko itu menjadi sumber passive income bagi keluarga.

Lokasi tokonya ada di Jalan Prambanan – Piyungan Km. 5, arah timur kota Yogyakarta, nama desanya Madurejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Makanya biar gampang toko itu saya juduli “Madurejo Swalayan”. Di balik nama itu ada terselip obsesi untuk menjadi ikon bagi desa Madurejo yang sebagian masyarakatnya (calon pelanggan saya) masih ndeso dan asing dengan model toko swalayan modern. Sejenis mini-market, gitu loh…. Jauhnya sekitar 16 km dari rumah di Yogya, yang kalau lalulintas lagi lancar perlu waktu sekitar setengah jam perjalanan santai dari rumah menuju toko.

Namun cilakanya……, di mata anak-anak saya kesibukan seperti itu ternyata masih belum bisa diterima sebagai kesibukan bekerja. Sesekali anak kedua saya masih suka nggrundel : “Bapak ini kok enggak kerja-kerja sih….. Cuma sibuk ngurusin toko…..”.

 

Lhadhalah……! Ngurusin toko ternyata bukan pekerjaan. Di mata anak-anak saya, saya masih dianggap sebagai “pengangguran”. Meskipun di bagian belakang toko saya buat ruang kantor lengkap dengan meja kerja, filing cabinet dan komputer, agar nampak image bahwa kalau saya bekerja di ruangan itu berarti saya bekerja di kantor, ternyata itu saja belum cukup. Padahal di toko itu jabatan saya luar biasa, sering-sering jadi Manager, tapi terkadang merangkap sebagai CEO, sekaligus terkadang jadi pelayan toko merangkap janitor.

Masih tidak mudah untuk menjelaskan bahwa meskipun jadi “pengangguran” dan hanya ngurusi toko, tapi toh bisa membuka lapangan kerja. Setidaknya ada seorang sarjana dan enam orang lulusan SMA dan STM warga sekitar yang kini bekerja di “Madurejo Swalayan”. Sepenggal kecil kebanggaan yang bagi orang lain barangkali biasa-biasa saja, tapi tidak bagi saya yang lebih 16 tahun menjadi orang gajian lengkap dengan berbagai privilege-nya.

 

Sekali waktu karena ada urusan lain, saya tidak ke toko seharian. Siangnya saya sempatkan untuk tidur siang sejenak di rumah. Ndilalah anak laki-laki saya yang kelas 6 SD pulang dari sekolah. Demi melihat mobil kijang hitam ada di rumah, serta-merta dia tanya ibunya : “Bapak mana, Bu?”. Ibunya menjawab : “Lha itu, tidur”. Mendengar jawaban ibunya dia lalu melongok ke kamar, sambil ngeloyor  pergi, sambil cengengesan, lalu ngrasani bapaknya : “Bapak ini enggak kerja malah tidur terus……”. 

Weee…, tobat tenan. Kalau sudah begini, saya tidak bisa lagi ngguyoni anak saya dengan bilang so what gitu loh….. Ini sudah urusan serius. Nampaknya bukan sekedar sukses berwirausaha yang harus saya perjuangkan, melainkan juga perlu mencari cara meyakinkan anak-anak saya yang sudah telanjur fanatik dengan paham orang-gajianisme. Bahwa bekerja adalah menjadi orang gajian. Bekerja adalah menerima gaji tetap dari kantor atau perusahaan.

Atau……., jangan-jangan memang sebaiknya saya kembali terjun ke dunia persilatan tambang?

Madurejo, Sleman – 19 Nopember 2005.
Yusuf Iskandar