Memberi sumbangan, donasi, pensponsoran, bantuan, dsb. adalah bagian dari aktifitas bisnis, tak terkecuali bisnis ritel toko swalayan. Di perusahaan-perusahaan besar, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan label Community Development atau Pengembangan Masyarakat. Apapun labelnya, aktifitas ini tentu tidak dalam rangka hal-hal yang terkait dengan KKN, pungli atau tindakan-tindakan tidak terpuji lain sejenisnya. Sedangkan di perusahaan-perusahaan kecil atau usaha kelas bulu seperti halnya “Madurejo Swalayan”, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan judul sumbangan sosial, bantuan atau kegiatan lain yang langsung bersentuhan dengan peran sosial pemiliknya dan juga usahanya.
Karena pentingnya aktifitas bisnis ini, maka perlu disiapkan pos anggaran tersendiri. Seperti pernah saya singgung sebelumnya, aktifitas sumbangan sosial ini tidak salah kalau mau dikaitkan dengan aktifitas pensponsoran (promosi). Aktifitas yang berbau sosial adalah aktifitas yang berbentuk “memberi” kepada masyarakat.
“Memberi” tidak selalu berhubungan dengan uang, melainkan bisa juga berupa barang atau jasa atau sesuatu yang berbeda. Tergantung situasi dan kondisi yang sedang membutuhkan Terkadang uang lebih diperlukan, di saat yang lain barang atau jasa barangkali lebih mengena. Dan, selebaran infomezzo TIPS milik “Madurejo Swalayan” adalah juga “pemberian” kepada masyarakat yang membutuhkan.
Hal yang paling penting dari penyebaran selebaran berisi tips-tips singkat itu adalah kita telah berbagi informasi yang sekiranya akan bermanfaat bagi pembacanya. Berarti kita telah “memberi” sesuatu yang bermanfaat kepada paling tidak satu rim pembaca selebaran atau berapapun jumlah kopiannya. Belum lagi kalau selebaran itu turut dibaca juga oleh anggota keluarga, tetangga atau teman, maka betapa banyaknya masyarakat yang turut memperoleh manfaat dari tips-tips yang kita berikan.
Juga termasuk “pemberian” adalah mempersilakan orang lewat yang kehujanan untuk berhenti nunut ngeyup (numpang berteduh). Tentu saja ini bukan satu-satunya cara. Ada banyak ide dan gagasan. Setiap orang punya cara dan bentuk “pemberian”-nya masing-masing. Banyak atau sedikit, bukan intinya.
***
Kata orang-orang bijak, kalau ingin banyak menerima maka harus banyak memberi. Atau, dengan banyak memberi maka bolehlah berharap untuk banyak menerima. Agama yang saya peluk, memerintahkan yang kira-kira intinya adalah agar berbanyak-banyak beramal, maka Tuhan akan memberikan balasan yang jauh lebih banyak dari sumber-sumber yang tak terduga. Dalam agama apapun saya yakin ada pandangan keyakinan yang kurang lebihnya punya esensi yang sama.
Untuk memahami hal gaib ini ijinkan saya memandangnya dari perspektif Islam, agama yang saya yakini, karena untuk meyakini hal yang satu ini tidak bisa didekati dengan ngelmu dunia. Dalam terminologi Islam ada paket zakat, infak dan sedekah. Pemberian informasi (ilmu dan pengetahuan) yang bermanfaat adalah termasuk amal sedekah jariyah, yaitu amal sedekah yang akan terus tumbuh dan berkembang nilai kebaikannya bahkan ketika ditinggal mati oleh pelakunya.
Bahkan Pak Robert Kiyosaki pun sangat meyakini bahwa banyak memberi adalah bagian dari sukses bisnis seseorang. Bahasan panjang pun dikupas abis oleh Pak Robert dalam salah satu serial sekian-logi bukunya, khusus tentang pentingnya berbuat amal dan berkontribusi sosial. Tak terkecuali Pak George Soros yang pernah dicaci-maki abis ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1997-an, juga sangat menganggap penting untuk mengkontribusikan sebagian dari kekayaan usahanya.
Singkatnya, “memberi” itu wajib hukumnya bagi pelaku usaha manapun dan apapun. Jangan dibantah. Tidak pernah ada sejarahnya orang yang keleleran tidak bahagia hidupnya karena banyak memberi. Tapi kalau kemrungsung hidupnya karena pelit bin medhit, banyak sekali……. (Kalimat puitis-dramatis semacam ini memang perlu dipahami dengan perenungan, tidak dengan terjemahan kamus seperti ketika sekolah dulu).
Celoteh di atas itu mirip-mirip cerita gaib dari “dunia lain”. Omongan yang sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, apalagi dengan persamaan matematika-ekonomi. Ketemu pirang perkoro (ketemu berapa perkara – ungkapan bahasa Jawa), wong banyak yang dikeluarkan kok pemasukannya malah tambah. Diminus-minus tapi hasilnya banyak plus. Awalnya hanya perlu diyakini kebenarannya, berikutnya akan semakin diyakini setelah mengalaminya sendiri atau melihat bukti empirisnya. Selebihnya, percaya syukur, enggak ya sebodo teuing…….
Pak Isaac Newton pernah berkata bahwa setiap aksi akan menghasilkan reaksi dengan arah berlawanan. Barangkali hukum ini agak pas untuk menjelaskan. Aksi menabur pemberian keluar, menghasilkan reaksi menuai penerimaan ke dalam. Hanya ada sedikit penyimpangan, aksi pemberiannya kecil tapi kok reaksi penerimaannya bisa besar tak terhingga. Itulah “ilmu gaib”.
Meski demikian, runtutan logis yang ada di pikiran saya kira-kira begini : Kalau usaha toko kita berjalan baik dan berhasil menghimpun keuntungan lebih, yang pastinya berasal dari pembelian pelanggan kita, rasanya wajar kalau kemudian kita pun membagikan sebagian keuntungan itu untuk kebaikan pelanggan kita juga. Bentuk dan jumlah “pemberian”-nya dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang pas.
Tanpa perlu formulasi yang rumit-rumit, bangunan kerjasama antara pengelola toko dan masyarakat sekitarnya adalah bangunan kerjasama saling menguntungkan (simbiose mutualisme). Toko butuh pembeli, pembeli butuh toko. Toko mengambil keuntungan wajar, pembeli ikhlas membayarnya. Toko kebanyakan bathi (untung), pembeli menerima “kembalian” bentuk lain yang bermanfaat. Kok ya manis sekali teamwork-nya. Transaksi pun berlangsung penuh senyum dan ukhuwah (paseduluran), setiap hari, setiap waktu.
Itu teorinya, Bung! Lha, prakteknya? Prakteknya ya seperti itu!. Cuma, ada yang bisa dan ada yang tidak. Lebih konkritnya, ada yang ikhlas dan ada yang tidak ikhlas. Tinggal pilih saja kok repot…….
Memang benar, logis bagi saya belum tentu logis bagi orang lain. Tapi pasti benang merah kebenarannya sama. Kalau ternyata kisah tentang “ilmu gaib” ini kedengarannya seperti mengada-ada, lha ya monggo-monggo saja untuk mempercayainya atau tidak. Ora patheken……., enggak bakal kudisan….. (embuh apa istilah bahasa Indonesianya yang pas……).
Madurejo, Sleman –15 Pebruari 2006 (Ultah Ibu CFO, ada bancakan nasi kuning, tanpa sayur asem)
Yusuf Iskandar