Archive for the ‘E – MEMBANGUN VISI’ Category

(39) “Ilmu Gaib”

13 Desember 2007

Memberi sumbangan, donasi, pensponsoran, bantuan, dsb. adalah bagian dari aktifitas bisnis, tak terkecuali bisnis ritel toko swalayan. Di perusahaan-perusahaan besar, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan label Community Development atau Pengembangan Masyarakat. Apapun labelnya, aktifitas ini tentu tidak dalam rangka hal-hal yang terkait dengan KKN, pungli atau tindakan-tindakan tidak terpuji lain sejenisnya. Sedangkan di perusahaan-perusahaan kecil atau usaha kelas bulu seperti halnya “Madurejo Swalayan”, aktifitas “memberi” ini dikemas dengan judul sumbangan sosial, bantuan atau kegiatan lain yang langsung bersentuhan dengan peran sosial pemiliknya dan juga usahanya.

Karena pentingnya aktifitas bisnis ini, maka perlu disiapkan pos anggaran tersendiri. Seperti pernah saya singgung sebelumnya, aktifitas sumbangan sosial ini tidak salah kalau mau dikaitkan dengan aktifitas pensponsoran (promosi). Aktifitas yang berbau sosial adalah aktifitas yang berbentuk “memberi” kepada masyarakat.

“Memberi”  tidak selalu berhubungan dengan uang, melainkan bisa juga berupa barang atau jasa atau sesuatu yang berbeda. Tergantung situasi dan kondisi yang sedang membutuhkan Terkadang uang lebih diperlukan, di saat yang lain barang atau jasa barangkali lebih mengena. Dan, selebaran infomezzo TIPS milik “Madurejo Swalayan” adalah juga “pemberian” kepada masyarakat yang membutuhkan.        

Hal yang paling penting dari penyebaran selebaran berisi tips-tips singkat itu adalah kita telah berbagi informasi yang sekiranya akan bermanfaat bagi pembacanya. Berarti kita telah “memberi” sesuatu yang bermanfaat kepada paling tidak satu rim pembaca selebaran atau berapapun jumlah kopiannya. Belum lagi kalau selebaran itu turut dibaca juga oleh anggota keluarga, tetangga atau teman, maka betapa banyaknya masyarakat yang turut memperoleh manfaat dari tips-tips yang kita berikan.  

Juga termasuk “pemberian” adalah mempersilakan orang lewat yang kehujanan untuk berhenti nunut ngeyup (numpang berteduh). Tentu saja ini bukan satu-satunya cara. Ada banyak ide dan gagasan. Setiap orang punya cara dan bentuk “pemberian”-nya masing-masing. Banyak atau sedikit, bukan intinya.  

***  

Kata orang-orang bijak, kalau ingin banyak menerima maka harus banyak memberi. Atau, dengan banyak memberi maka bolehlah berharap untuk banyak menerima. Agama yang saya peluk, memerintahkan yang kira-kira intinya adalah agar berbanyak-banyak beramal, maka Tuhan akan memberikan balasan yang jauh lebih banyak dari sumber-sumber yang tak terduga. Dalam agama apapun saya yakin ada pandangan keyakinan yang kurang lebihnya punya esensi yang sama. 

Untuk memahami hal gaib ini ijinkan saya memandangnya dari perspektif Islam, agama yang saya yakini, karena untuk meyakini hal yang satu ini tidak bisa didekati dengan ngelmu dunia.  Dalam terminologi Islam ada paket zakat, infak dan sedekah. Pemberian informasi (ilmu dan pengetahuan) yang bermanfaat adalah termasuk amal sedekah jariyah, yaitu amal sedekah yang akan terus tumbuh dan berkembang nilai kebaikannya bahkan ketika ditinggal mati oleh pelakunya. 

Bahkan Pak Robert Kiyosaki pun sangat meyakini bahwa banyak memberi adalah bagian dari sukses bisnis seseorang. Bahasan panjang pun dikupas abis oleh Pak Robert dalam salah satu serial sekian-logi bukunya, khusus tentang pentingnya berbuat amal dan berkontribusi sosial. Tak terkecuali Pak George Soros yang pernah dicaci-maki abis ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1997-an, juga sangat menganggap penting untuk mengkontribusikan sebagian dari kekayaan usahanya.  

Singkatnya, “memberi” itu wajib hukumnya bagi pelaku usaha manapun dan apapun. Jangan dibantah. Tidak pernah ada sejarahnya orang yang keleleran tidak bahagia hidupnya karena banyak memberi. Tapi kalau kemrungsung hidupnya karena pelit bin medhit, banyak sekali……. (Kalimat puitis-dramatis semacam ini memang perlu dipahami dengan perenungan, tidak dengan terjemahan kamus seperti ketika sekolah dulu).  

Celoteh di atas itu mirip-mirip cerita gaib dari “dunia lain”. Omongan yang sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, apalagi dengan persamaan matematika-ekonomi. Ketemu pirang perkoro (ketemu berapa perkara – ungkapan bahasa Jawa), wong banyak yang dikeluarkan kok pemasukannya malah tambah. Diminus-minus tapi hasilnya banyak plus. Awalnya hanya perlu diyakini kebenarannya, berikutnya akan semakin diyakini setelah mengalaminya sendiri atau melihat bukti empirisnya. Selebihnya, percaya syukur, enggak ya sebodo teuing…….  

Pak Isaac Newton pernah berkata bahwa setiap aksi akan menghasilkan reaksi dengan arah berlawanan. Barangkali hukum ini agak pas untuk menjelaskan. Aksi menabur pemberian keluar, menghasilkan reaksi menuai penerimaan ke dalam. Hanya ada sedikit penyimpangan, aksi pemberiannya kecil tapi kok reaksi penerimaannya bisa besar tak terhingga. Itulah “ilmu gaib”.  

Meski demikian, runtutan logis yang ada di pikiran saya kira-kira begini : Kalau usaha toko kita berjalan baik dan berhasil menghimpun keuntungan lebih, yang pastinya berasal dari pembelian pelanggan kita, rasanya wajar kalau kemudian kita pun membagikan sebagian keuntungan itu untuk kebaikan pelanggan kita juga. Bentuk dan jumlah “pemberian”-nya dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang pas.   

Tanpa perlu formulasi yang rumit-rumit, bangunan kerjasama antara pengelola toko dan masyarakat sekitarnya adalah bangunan kerjasama saling menguntungkan (simbiose mutualisme). Toko butuh pembeli, pembeli butuh toko. Toko mengambil keuntungan wajar, pembeli ikhlas membayarnya. Toko kebanyakan bathi (untung), pembeli menerima “kembalian” bentuk lain yang bermanfaat. Kok ya manis sekali teamwork-nya. Transaksi pun berlangsung penuh senyum dan ukhuwah (paseduluran), setiap hari, setiap waktu. 

Itu teorinya, Bung! Lha, prakteknya? Prakteknya ya seperti itu!. Cuma, ada yang bisa dan ada yang tidak. Lebih konkritnya, ada yang ikhlas dan ada yang tidak ikhlas. Tinggal pilih saja kok repot…….    

Memang benar, logis bagi saya belum tentu logis bagi orang lain. Tapi pasti benang merah kebenarannya sama. Kalau ternyata kisah tentang “ilmu gaib” ini kedengarannya seperti mengada-ada, lha ya monggo-monggo saja untuk mempercayainya atau tidak. Ora patheken……., enggak bakal kudisan….. (embuh apa istilah bahasa Indonesianya yang pas……).    

Madurejo, Sleman –15 Pebruari 2006 (Ultah Ibu CFO, ada bancakan nasi kuning, tanpa sayur asem)
Yusuf Iskandar

(38) Hujan Pun Membawa Berkah

13 Desember 2007

Di seputaran pergantian tahun Masehi dan tahun Imlek, musim durian dan rambutan, biasa ditandai dengan musim hujan berkepanjangan plus bonus banjir di mana-mana. Para pemilik warung, toko, resto, pada mengeluh : “Kalau hujan terus-terusan begini alamat rejeki berkurang…….”. Keluhan semacam ini sudah jadi bagian basa-basi percakapan keseharian para bakul dan pengusaha warung, toko atau resto. Maka ungkapan seperti : “Toko saya sepi akibat hujan terus-menerus” akan sering terdengar di saat-saat seperti ini.

Kalau bisa dituliskan dengan persamaan matematika, maka rumusnya para bakul itu seakan-akan menjadi JP = 1/H, dimana : JP = jumlah pembeli dan H = hujan. Banyaknya pembeli akan berbanding terbalik dengan banyaknya hujan. Semakin sering hujan turun ke bumi maka pengunjung toko semakin sedikit, yang berarti potensi keuntungan yang dapat diraih juga semakin sedikit. Gampangnya, semakin sering hujan, rejeki semakin seret.

Padahal dari sono-nya, Sang Maha Pembuat Hujan tidak pernah sekalipun merencanakan untuk mengurangi rejeki para pengusaha kecil, para bakul atau siapapun dengan cara menghujaninya, melainkan hanya mengaturnya dengan skenario berbeda. Kata Sang Maha Pembuat Hujan : “Lho, hujan itu juga rejeki bagi kalian semua baik yang bakul, pengusaha atau pengangguran sekalipun…..”. Tapi apa lacur, hujan sudah kadung identik menjadi tanda bagi berkurangnya pembeli yang belanja di warung, toko atau resto. Kalau demikian, pasti telah terjadi mis-understanding, salah paham antara maksud Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan dan para pengusaha yang kehujanan.  

***  

 

Kata para pelayan “Madurejo Swalayan”, kalau pas hujan deras mengguyur memang banyak juga orang-orang lewat yang kehujanan kemudian numpang berteduh. Saya jadi ingat saat-saat awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”, ada seorang pengunjung yang mengeluh tempat parkirnya panas. Keluhan itu saya terjemahkan sebagai usulan agar dipasang atap peneduh. Usul itupun kemudian saya penuhi. Dan sekarang ternyata ada manfaatnya, ya itu tadi, membantu menyediakan tempat berteduh kepada orang lewat yang kehujanan. 

Kehujanan lalu berteduh, adalah aktifitas yang tidak ada orang pernah merencanakannya. Oleh karena itu orang-orang seperti ini pada dasarnya cenderung sedang “kebingungan”. Tiba-tiba saja harus menghabiskan waktu dengan aktifitas yang membosankan, menunggu hujan reda. Ada ide? Sodorkan selebaran infomezzo TIPS, biar dibaca-baca sambil menunggu hujan berlalu. Kebanyakan orang yang sedang “kebingungan” seperti ini tidak akan merasa cukup untuk membaca hanya sekali, barangkali sampai diulang-ulang membacanya karena hujan tak berhenti juga. Apalagi kalau orang itu sendirian.    

Maka dua kebaikan sudah dilakukan dengan tanpa direncana sebelumnya, memberi peneduh dan memberi bacaan bermanfaat . Sederhana sekali. Tapi saya melihat kejadian ini dari bingkai yang berbeda. Ini adalah potret dengan bingkai yang bernama “opportunity”. Moga-moga saja kebaikan semacam ini juga termasuk kontribusi sosial yang bukan berupa uang, yang menurut “ngelmu gaib” bisa menjadi tabungan yang punya nilai berkah tak terduga. 

Suatu sore saya lihat ada dua orang berboncengan naik sepeda motor kehujanan. Lalu berbelok masuk ke halaman “Madurejo Swalayan” numpang ngeyup (berteduh). Hujan turun cukup deras dan agak lama, lalu tidak lama kemudian salah seorang masuk toko dan membeli rokok. Entah karena kedinginan, entah karena bengong kelamaan menunggu hujan tak kunjung reda, entah memang persediaan rokoknya habis, entah karena kehabisan bahan obrolan, atau barangkali buat pantes-pantes merasa tidak enak sudah nunut ngeyup. Apapun alasannya, saya senang kalau ternyata halaman toko saya bisa membantu orang lain berlindung dari terpaan hujan. Kalau akhirnya ada yang masuk toko dan belanja atau terserang virus impulse buying, sungguh itu di luar tanggung jawab saya.   

Suatu kali ada seorang sales sepedamotoran yang berkunjung ke “Madurejo Swalayan” dalam rangka  mencatat order mingguan. Biasanya sales ini akan buru-buru langsung pergi melanjutkan perjalanannya seusai mencatat pesanan barang. Tapi berhubung hujan turun cukup lebat, terpaksa dia menunggu dulu. Ini tentu menjadi aktifitas yang tidak pernah direncanakannya. Dengan kata lain dia pun sebenarnya sedang “kebingungan”. Membaca selebaran TIPS bisa jadi penghibur dan pengisi waktu. Kalau kemudian sales itu pun membeli rokok dan permen atau snack, sekali lagi itu benar-benar di luar tanggung jawab saya.   

Apa yang dapat saya petik dari kejadian ini? Memang benar apa kata Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan, bahwa peristiwa hujan itu tidak ada sangkutnya dan pautnya dengan banyak atau sedikitnya rejeki seseorang. Mestinya tidak perlu ada salah paham. Bukan maksud Sang Pembuat Hujan untuk membatasi rejeki seseorang dengan menghujaninya, karena hujan itu sendiri adalah rejeki.    

Saya seperti diingatkan, bahwa di balik setiap threats (ancaman) pasti ada opportunities (peluang). Kalau hujan itu dianggap sebagai ancaman atau penghalang, maka hendaknya jangan hujannya yang digrundeli (dikeluhkan) atau dipisuh-pisuhi (dimaki-maki), melainkan peluangnya yang mesti dicari dan didayagunakan. Dan, pemilik “Madurejo Swalayan” ini termasuk orang yang percaya bahwa peluang itu tidak akan pernah habis dicari dan tidak akan pernah selesai digarap.   

Bagaimana menyulap agar turunnya hujan dapat menjadi berkah bagi siapa saja, termasuk “Madurejo Swalayan”. Dalam bahasa vulgarnya, bagaimana mempengaruhi agar dalam hujan pun orang tetap mau berbelanja dan bagaimana agar orang-orang yang kehujanan itu mau masuk toko dan membeli sesuatu. Maka, (seharusnya) hujan pun membawa berkah…….    

Madurejo, Sleman –14 Pebruari 2006  (Hari Valentine, dimana coklat laku keras).
Yusuf Iskandar

(37) From Rumah Makan Padang With Tips

13 Desember 2007

Pada hari-hari awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”, datanglah pemilik perusahaan tempat saya membeli perlengkapan toko dan perangkat sistem komputernya, menyambangi sambil melihat barangkali saya ada kesulitan yang perlu dibantu. Dia berceritera banyak tentang bisnis ritel karena memang di bidang itulah perusahaannya banyak terlibat. Salah satu yang disampaikannya adalah tentang inspirasi yang diperoleh dari rumah makan Padang. Katanya ada salah satu toko swalayan yang memasang tulisan di dalam tokonya yang bunyinya seperti yang banyak dijumpai di rumah makan-rumah makan Padang. Anda pasti hafal bagaimana bunyinya. Intinya kira-kira begini : “Kalau Anda puas, beritahukan kepada teman Anda. Tapi kalau Anda kurang puas, sampaikan kepada kami”. 

Seorang teman di Jakarta yang kebetulan berdarah Padang dan sempat berkunjung ke jobsite “Madurejo Swalayan” menulis email kepada saya. Katanya, “Madurejo Swalayan” kelihatannya concern sekali dengan masalah pelayanan, lalu dia pun mengusulkan tidak ada salahnya meniru semboyan tentang pelayanan yang biasa ditulis di rumah makan-rumah makan Padang. Ya, semboyan atau pesan seperti yang saya sebutkan di atas itu.     

Saya sepenuhnya setuju dengan inti pesan yang disampaikan oleh kebanyakan pemilik rumah makan Padang itu. Saya kira itu memang ide kreatif yang sudah mentradisi. Hanya saya berpikir, bagaimana saya bisa meniru ide itu tapi dengan cara penyampaian yang berbeda. Kalau saya meniru begitu saja lalu memasang pesan itu di dalam toko, maka mudah ditebak oleh setiap pengunjung : “Kok seperti rumah makan Padang…….?”. Ya enggak apa-apa juga seh…. Cuma, kok gimana gitu loh……. 

Salah satu ide promosi yang sudah saya pikirkan sejak awal adalah membuat selebaran. Selebaran yang berisi informasi yang sekiranya akan berguna bagi orang lain. Tentang apa saja. Semacam terbitan berkala. Kemudian saya mulai berhitung berapa biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi saya masih gojag-gajeg (ragu-ragu) untuk segera merealisasikannya. Apakah memang hal itu perlu. Apakah tidak akan muspro (terbuang percuma). Apakah akan ada manfaatnya bagi masyarakat tetangga saya yang adalah juga pelanggan saya.   Hingga memasuki bulan keempat beroperasinya “Madurejo Swalayan”, akhirnya saya berkeputusan bahwa ide itu perlu dicobakan. Kalaupun akhirnya nanti ditimbang-timbang kok tidak banyak manfaatnya, ya hentikan saja. Sebaliknya, kalau ternyata disukai pengunjung dan pelanggan, maka perlu ditingkatkan kualitasnya karena akan menjadi media promosi yang ampuh. Tinggal menyiasati format tampilannya supaya menarik dan pilihan informasinya agar bermanfaat. Kalau pembaca kemudian menyukainya, mereka pasti akan mencari lagi informasi yang lainnya. Untuk mencarinya, ya tentu tidak ada tempat lain selain di “Madurejo Swalayan”. Artinya, kalaupun si pembaca datang ke toko hanya untuk mengambil selebaran itu dan bukan untuk membeli apapun, maka itu sudah menjadi ukuran keberhasilan.  Nah, di dalam selebaran itulah akhirnya saya terinspirasi untuk menyelipkan pesan-pesan sponsor yang sekiranya ingin disampaikan oleh manajemen “Madurejo Swalayan”. Salah satunya, ya pesan sponsor tentang pelayanan seperti yang diterapkan oleh rumah makan-rumah makan Padang itu. Seperti tumbu ketemu tutup. Meniru tapi dengan cara penampilan berbeda. 

***   

Edisi perdana disiapkan agar bisa terbit pertama kali tanggal 31 Januari 2006 bertepatan dengan Tahun Baru 1427 Hijriyah atau tanggal 1 bulan Suro menurut penanggalan Jawa. Ini hari spesial yang nuansa sakralnya masih sangat kental terutama di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Sayangnya pada hari libur itu cuaca agak muram dan hujan sehingga saya malas berkeliling mencari kios fotokopi yang rada murah (masih juga cari yang murah, padahal biaya fotokopi ya segitu-segitu juga). Terpaksa edisi perdana ditunda dua hari.  

Selebaran itu (sementara ini) saya namakan TIPS, dan saya format hanya satu halaman pada selembar kertas. Sesuai namanya dan sesuai formatnya, maka saya berniat untuk menyampaikan berbagai macam tips-tips singkat yang sekiranya mudah dipahami dan bermanfaat bagi keseharian masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Untuk tahap uji coba ini saya ambil cara mudah-murah-meriah, yaitu dengan memfotokopi hitam-putih sebanyak 500 lembar di atas kertas buram.   

Apa topik pertamanya? Topiknya harus yang umum tapi spesifik. Jangan dipikir lama-lama tentang kriteria ini, memang kedengarannya nggrambyang (tidak jelas), tapi maksudnya adalah masalah yang umum dihadapi tetapi caranya menghadapinya spesifik. Ketemulah tips kesehatan tentang terapi air. Untuk mencari tips-tips lainnya pun tidak terlalu susah, tinggal klik ke mesin pencari di internet, tips apa saja bisa ditemukan. 

Topik tentang terapi air ini pernah mewabah di internet dan permilisan beberapa tahun yang lalu. Makanya bagi mereka yang sudah biasa nginternet dan ngemail, tentu tidak asing lagi. Tapi tidak, bagi kebanyakan masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Boro-boro nginternet dan ngemail, baca koran saja tidak setiap orang melakukannya setiap hari. (Tapi jangan heran, kalau mereka fasih bercerita tentang Roy Marten nyabu, Inul memelas, atau bintang infotainment baru Jackson Parangin-angin…….).  

Maka bolehlah kalau pengelola “Madurejo Swalayan” berharap semoga media selebaran yang di bagian sudut kiri atasnya bertuliskan “Untuk Kalangan Sendiri” ini menjadi media komunikasi infomezzo (bentukan latah untuk informasi intermezzo) dan sekaligus sarana komunikasi dan sarana silaturahmi alternatif, serta sarana berbagi pengetahuan kepada masyarakat sekitar. Dari rumah makan Padang membawa ide yang lalu menjelma menjadi tips-tips yang bermanfaat bagi pelanggan atau masyarakat pada umumnya. Istilah keminggris-nya : From rumah makan Padang with tips.  

***   

Tidak terlalu banyak biaya yang dikeluarkan. Untuk fotokopi satu rim kertas buram diperlukan biaya sekitar Rp 30.000,- di Yogya (itupun sudah nawar Rp 5,- per lembarnya. Dasar bakul.…..!). Dengan uang itu, saya pikir saya bisa menyapa 500 orang pembeli, pelanggan atau pengunjung toko. Bukan hanya menyapa para pembacanya, tapi juga ngiras-ngirus (sekaligus sambil) berpromosi kepada para pembaca selebaran. Di musim hujan ini, info dalam selebaran bisa menjadi bacaan pengisi waktu bagi orang lewat atau sales sepedamotoran yang numpang berteduh karena hujan. 

Ini bagian dari upaya menggarap “opportunity”. Ibarat pepatah mengatakan : sekali mengayun gayung, dua tiga tanaman tersirami. Sekali menyebar selebaran TIPS, masyarakat menerima manfaat dari isi informasi tips-tips-nya, masyarakat mengetahui kalau ada “Madurejo Swalayan” yang siap melayani kebutuhan mereka, dan masyarakat menerima sapaan mesra perihal pelayanan, silaturahmi dan paseduluran.   

Apakah selebaran itu akan terbit seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali, lets see……., biarlah masyarakat yang memutuskan. Investasi Rp 30.000,- per edisi kiranya akan cucuk (sepadan) dengan hasil yang diharapkan pada tahap uji coba ini. Kalau masyarakat (baca : pembeli, pelanggan dan pengunjung) puas, pasti mereka akan dengan suka rela gethok tular menyampaikan kepuasannya kepada orang lain. Dan kalau mereka ada ganjalan, mereka pun feel free untuk menyampaikannya. “Lho, kok seperti rumah makan Padang…….?”. Iya juga sih. Tapi kan olahannya lebih unusual, gitu loh…….. Ada tips bermanfaat yang bisa dibaca di rumah, tidak sekedar menghafal teks pesan sponsor. Inspirasi boleh dari mana saja termasuk rumah makan Padang, tapi olahan tampilannya bisa berbeda. 

Dan yang lebih penting, tips-nya TIPS ini hanya sebuah awal. Masih terbuka ladang garapan bernama “opportunity” yang lebih luas yang dapat dikembangkan dari sebuah awal yang sederhana ini. Bentuk garapannya masih off the record (nanti ndak diduluin orang….., yang inspirasinya saya peroleh ketika blusukan di pedesaan Amerika dan Australia). Berangan-angan toh boleh saja…….

 

Madurejo, Sleman – 13 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(36) Kisah Tentang Sayur Asem

13 Desember 2007

Sekali waktu saya mengadakan briefing khusus bagi Pengawas dan CFO “Madurejo Swalayan”. Setelah usaha ritel ini berjalan beberapa bulan, saya menangkap sinyal agaknya kedua staf saya ini agak keteteran mengikuti irama kerja CEO-nya. Sehingga terkadang menjadi kurang fokus pada hal-hal yang semestinya diutamakan.

Saya tidak maido (menyalahkan). Barangkali langkah saya terlalu cepat atau terlalu jauh ke depan, sehingga kedua staf saya tertinggal, masih tertambat pada visi toko tradisional. Atau, jangan-jangan memang saya yang terlalu reseh dengan gagasan-gagasan “aneh” yang nampaknya seperti “kok repot amat, sih…….”. 

Bagaimana sinyalnya? Tampak dalam cara kerja penganut aliran “Just Do It” (pokoknya lakukan saja dulu), kurang mengandalkan pola kerja yang analitis-strategis, terlalu terfokus pada hal-hal yang tampak di depan layar saja. Bisnis itu ya cari untung, maka yang penting dagangan laku dan meraih keuntungan, demikian kira-kira prinsipnya. Dalam jangka pendek, tidak ada yang salah dengan hal ini. Tapi dalam jangka panjang, jika gagal melihat visi jauh ke depan, maka bisa keteteran ketika muncul pesaing yang lebih canggih dalam hal prasarana dan SDM-nya. 

Kalau hanya sekedar jualan saja, siapapun bisa melakukannya kalau mau. Apa sih susahnya kulakan, lalu ditambah sedikit keuntungan, lalu dijual kembali. Kalau tujuannya adalah asal meraih keuntungan cukup, maka asal sabar, telaten dan ulet, pasti keuntungan akan dapat diraih. Lain ceritanya kalau targetnya adalah meraih keuntungan banyak, cepat dan berkelanjutan terus meningkat, maka harus jangan pernah berhenti berpikir, harus tahan banting dan mampu survive di segala macam cuaca. 

*** 

Paling enak jadi orang Sunda, kasih sambal lalu lepas di kebun, sudah hidup dia. Itulah lelucon yang sempat ngetop bersama ngetopnya kelompok Warkop di penghujung tahun 70-an. Sampai sekarang pun guyonan itu masih suka kita dengar.  Yang disebut hidup dalam guyonan itu tentunya hidup seadanya, tanpa memperdulikan yang dimakan pakai sambal itu enak apa enggak, banyak atau sedikit, setelah dimakan pun tubuhnya jadi sehat ataukah sakit-sakitan. Berbeda halnya kalau yang dikatakan hidup itu adalah hidup harus dengan makan enak dan banyak, bergizi tinggi dan tubuh pun jadi sehat dan kuat, maka tentu tidak bisa untuk dilepas di sembarang kebun begitu saja. Harus ada kondisi tertentu yang dipenuhi. Bisa jadi kebunnya harus diurus yang benar dulu agar hasilnya layak untuk dimakan pakai sambal agar selalu sehat dan lezat.     Saya gunakan cerita di atas untuk memberi ilustrasi tentang angan-angan saya bagaimana seharusnya mengelola mracangan “Madurejo Swalayan” ini. Kalau hanya membeli barang kemudian ditambah sedikit keuntungan lalu barang dilepas di pasar, apa susahnya? Terserah pasar mau membelinya atau tidak, kalau membeli sedikit ya alhamdulillah, kalau membeli banyak ya puji Tuhan-walhamdulillah.  Biarkan pasar berperilaku sebagaimana adanya. Lalu bisnis pun berjalan mengikuti irama pasar, terkadang klasik, sekali waktu cadas, tiba-tiba ndang ndut, kali lain klenengan. Kalau ternyata pasar kurang berminat dengan jenis barang itu, ya lain kali jangan dikulak melainkan diganti dengan barang jenis lain. Kalau ternyata kurang laku atau pasar sedang lesu, ya sedikit bersabarlah asal tidak patah semangat. Kalau ternyata stok barang di toko habis dan persediaan stok di pasar menghilang, ya sudah, tunggu saja sampai ada pengiriman lagi. Pokoknya lakukan saja dengan sabar dan telaten seperti biasanya. Sungguh, tidak ada yang salah dengan semua ini.       

Persoalan mulai timbul, ketika CEO “Madurejo Swalayan” ini kelewat reseh. Jangan biarkan pasar mempengaruhi apalagi mengatur bisnis kita. Pasarlah yang seharusnya mengikuti irama bisnis kita. Kalau ternyata pasar kurang berminat dengan jenis barang yang kita jual, cari penyebabnya dan jalan keluarnya. Kalau ternyata barang dagangan kurang laku, cari terobosan apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Kalau ternyata pasar sedang lesu, cari peluang bagaimana agar bergairah kembali.  

Intinya, pasti ada sesuatu yang dapat dilakukan. Tidak selalu berarti melawan arus pasar atau menentang hukum pasar. Melainkan giringlah pasar agar mengikuti irama bisnis yang kita inginkan. Toh ini bukan bisnis komoditas vital atau strategis seperti minyak atau emas. Ini hanya bisnis komoditas urusan keseharian tentang sarapan pagi, minum teh di sore hari, mencuci piring dan pakaian, mandi dan gosok gigi, menyusui bayi atau balita, ngemil di malam hari, mengobati kepala nyut-nyutan atau menghibur anak-anak agar tidak nongas-nangis. Tidak terpengaruh oleh situasi politik internasional, ekonomi global, atau urusan lintas benua yang serba sulit dipahami. Sedang yang terakhir itupun masih ada pihak yang bisa mengobok-obok. Artinya, dalam bisnis ritel ini perilaku pasar bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. 

Kalau hanya sekedar bisa hidup, ya kasih barang dagangan lalu lepas di pasar, maka hiduplah bisnis kita. Tapi kalau ingin keuntungan lebih banyak, lebih cepat dan meningkat terus, ya pasarnya diurus dulu dengan baik. Agar pasar tidak mengatur keuntungan kita, tapi kitalah yang mengatur pasar agar memberi keuntungan yang kita maui.  

***   

Di rumah (ini sebenarnya rahasia keluarga, tapi biarlah saya bocorkan sedikit), saya pernah pethenthengan dengan istri. Gara-garanya sepele, hanya soal bikin sayur asem kegemaran saya. Istri saya ini (belakangan saya KKN dengan mengangkatnya menjadi Chief Financial Officer “Madurejo Swalayan”) selalu bertahan dengan visi tradisionalnya soal masak-memasak, kalau yang namanya sayur asem itu harus selalu ada godong so (daun melinjo), kacang tanah, kacang panjang, jipang (labu siam), asam dan bumbu-bumbu standar lainnya. Jadi kalau kemudian tidak punya daun melinjo, kacang panjang atau labu siam, ya tidak jadi bikin sayur asem. Rak yo asem tenan to kuwi……(sial benar jadinya). 

Saya sarankan agar diganti saja campurannya dengan cabe besar hijau, gori (nangka muda), jantung (bunga pisang), kluwih plus beton bijihnya, atau rebung (pucuk bambu), tetap saja ogah-ogahan. Sekali waktu saya minta dicoba memodifikasi bumbunya, cabe dan bawangnya dibanyakin misalnya. Ya, tetap saja keukeuh malas melakukannya. Saya yakinkan bahwa mencoba yang seperti itu sama sekali tidak mengandung resiko yang fatal. Resiko paling jelek yang harus ditanggung adalah rasanya jadi tidak enak dan diprotes anak-anak lalu tidak ada yang mau makan. Kalau pun itu yang terjadi, ya cukup sekali itu saja dan lain kali tidak usah diulangi. Mudah saja. Ini kan uji coba yang resikonya sangat minimal tapi potensi keberhasilannya maksimal.  

Tapi begitulah. Tidak pernah terpikir untuk mencoba yang berbeda, takut mengambil resiko. Semua sudah terprogram secara tradisi dalam kemasan kotak yang run-temurrun. Akibatnya jadi tidak pernah tahu bahwa di luar kotak masih ada menu yang jauh lebih huuuenak dan luuuezat. 

Moral kisahnya adalah : Jangan biarkan diri kita terkungkung dalam kotak, dalam stereotip perilaku business as usual. Masih banyak ruang gerak untuk jungkir-balik atau pecicilan di luar kotak. Cari dan temukan terobosan yang resikonya minimal tapi potensi hasilnya maksimal.  

Terus terang saja, saya sendiri belum tahu apakah saya bisa melakukannya. Saya juga tidak tahu apakah kami akan berhasil dengan hal-hal “aneh” semacam ini. Saya lebih tidak tahu lagi apakah ke-reseh-an saya kepada anggota tim di “Madurejo Swalayan” ini akan efektif dan efisien. Tapi saya tahu persis, bahwa hanya ada satu cara untuk menyongsong era penuh kompetisi ini dan bahwa perlu punya visi yang meloncat jauh ke depan, yaitu : “Go…! Go…! Out of the box……. !”. Ayo, kita keluar dari kotak!  

 

Madurejo, Sleman – 11 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(35) Untung Atau Buntung?

13 Desember 2007

Seperti biasanya, setiap kali tiba waktu gajian bagi pegawai “Madurejo Swalayan”, saya berusaha untuk menyempatkan memberikan presentasi tentang kinerja toko kepada segenap pegawai, disamping memberi refreshing tentang manajemen pelayanan. Saya menganggap mereka perlu tahu seperti apa hasil yang dicapai oleh kerja mereka setiap harinya. Tidak harus sampai membicarakan detil angka-angka nominalnya, tapi paling tidak mereka memperoleh gambaran umum pencapaian dan perkembangan usaha toko selama ini.

Barangkali kebiasaan saya ini tergolong tidak lazim. Mana ada pelayan toko kok diberitahu rahasia dapur juragannya. Dimana-mana juga umumnya hanya mereka yang berada di “level atas” saja yang tahu tentang hal-hal semacam ini. Tapi ya…., begitulah. Bagaimanapun juga, secara manajerial mereka adalah juga pemilik bisnis. Saya kesampingkan hubungan pelayan-juragan dalam konsep visi manajemen tradisional. Saya bawa mereka, yang adalah juga stakeholders, ke dalam konsep visi manajemen modern.   

(Yen tak pikir-pikir……, jangan-jangan bisnis utama “Madurejo Swalayan” ini sebenarnya bukan bisnis ritel melainkan bisnis membangun visi. And if by chance ……,  yen ndilalah, praktek bisnis visi ini ternyata menyublim menjadi bisnis ritel berjudul “Madurejo Swalayan”, maka manage-lah bersama-sama agar tujuan bisnis utamanya tercapai. Selama masih bernama bisnis, tentunya tetap saja profit-oriented).   

***   

Ketika saya baru menyelesaikan draft material presentasi untuk para pelayan toko atau pramuniaga, lalu dipamerkan kepada CFO saya, bahwa puji Tuhan kinerja toko di bulan keempat ini cukup bagus. Mendadak-sontak, CFO saya mbengok (teriak atau bicara dengan volume tinggi) : “Apanya yang bagus! Wong, uangnya habis untuk mbayar tagihan dan kulakan, malah hampir tidak cukup untuk mbayari pegawai!”. (Inilah untungnya kalau CFO-nya bekas pacar. Dibengoki yo nyengenges saja, tetap kedengaran mesra di telinga).  

Rupanya memang masih ada “internal constraint” yang perlu dibenahi. Bahasa ilmu management-nya, komunikasi bisnis antara sesama tim manajemen toko ternyata belum sama dan sebangun. Sejauh apapun visi ke depan dilemparkan oleh CEO-nya, tapi rupanya sang CFO masih nggondheli (menahan di belakang) dengan visi tradisionalnya. Tidak perlu pethenthengan atau beradu tarik urat leher. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa satu-satunya pengalaman kerja sang CFO ini adalah bertahun-tahun “kerja bakti” menjadi CFO rumah tangga dengan spesialisasi bidang ngecakke duwit blonjo (mengelola uang belanja).  

Sebagai CFO rumah tangga, target kerjanya pun tidak baen-baen (sembarangan). Berapapun uang belanjanya (raw material), harus bisa mencapai target mencukupi dan memenuhi kebutuhan segenap keluarga (end product), sampai ke hal-hal yang kelihatannya tidak mungkin pun tetap harus cukup… kup…kup… kup…dan dicukup-cukupkan. Sungguh expertise yang luar biasa. Belum lagi selama bertahun-tahun jam kerjanya tak terbatas. Tugas dinas “overtime at anytime and anywhere” pun tidak pernah complaint. Padahal tidak pernah ikut pelatihan, tidak pernah ada yang memberi piagam penghargaan, tidak ada yang membuatkan surat referensi “to whom it may concerned” (dan jangan sampai terjadi, biso ciloko tenan aku…….), apalagi bintang maha-ibu kesetiaan.

Maka, untuk kesekian kalinya kudu telaten membeberkan dan menjelaskan sudut pandang evaluasi bisnis terhadap lembar business plan, laporan laba-rugi dan laporan produksi actual vs budget/target. (Wisss….., pokoknya sambil bernostalgia ingat sewaktu masih petentang-petenteng jadi orang gajian. Bedanya, kalau dulu pakai bahasa Inggris njawani, sekarang pakai bahasa Jawa keminggris). Dan, merubah sudut pandang bisnis seperti ini sungguh tidak mudah. Pokoknya kudu nrimo di-eyel terus…….., harus menerima kalau dibantah terus. 

Di mata CFO saya itu, simpel saja, wong cetho welo-welo (jelas-jelas) uangnya habis kok dibilang bagus. Beliaunya lupa, bahwa uang habis tapi stok barang bertambah yang berarti modal kerja telah ditambahkan dan terus diputar. Tindakan ini sebenarnya kalau dilaporkan ke KPK bisa berarti tindak pidana korupsi karena telah menggunakan dana perusahaan secara menyalahi prosedur. Lha iya to, wong hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan agar setelah tiga setengah tahun bisa digunakan untuk ekspansi. Ee…, malah diputar tidak sesuai rencana usaha alias mendahului melakukan ekspansi usaha.   

Tapi ya itulah seninya bakulan ritel. Kasus ekspansi usaha secara otomatis seperti ini akan terus terjadi dan anehnya memang sebaiknya terjadi. Maka nominal hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan di bawah bantal bulan demi bulan, dapat secepatnya terus diputar, pada setiap kesempatan. Tanpa disadari dan dikomando, sesungguhnya inilah salah satu terobosan cemerlang menggarap peluang melakukan skenario “sangat optimistik”. Karena perputaran bisnis dilakukan lebih awal dan lebih cepat (tidak perlu menunggu selama tiga setengah tahun), sehingga berpeluang memberikan Net Present Value lebih tinggi.    

Semakin besar nilai uang yang dihabiskan pada akhir bulan dan semakin habis uang cash yang dikantongi, dapat berarti gerak perputaran modalnya sudah pakai gigi 4. Berarti semakin besar pula laba yang muncul dalam income statement dan akan berarti pula positive cashflow lebih cepat dari yang diproyeksikan. Hanya saja, seperti apapun menggebu-gebunya semangat memutar uang dalam bisnis ritel ini, tetap perlu kendali agar selalu terukur perubahan dan pergerakannya (hal yang mustahil dilakukan dalam sistem bisnis tradisional).     

***   

Jadi, mbengok-nya sang CFO ini sebenarnya bukan salah, melainkan mbok ya sebaiknya jangan terlalu keras, karena ada penjelasannya. Bahwa uang cash di dompetnya memang habis, tapi usahanya berstatus sedang untung, bukan sedang merugi. Yang harus diwaspadai adalah kalau uang tunai habis untuk kulakan, tapi stok barang di toko seperti tidak bertambah, pergerakannya lambat, pengeluaran membengkak, tingkat penjualannya membentuk garis datar-datar saja dan aura tokonya kurang menggairahkan….. Maka lampu kuning harus dinyalakan kedap-kedip alias segera digelar sidang kabinet paripurna. Usaha ini sedang bergerak menuju untung atau rugi? “Whats wrong?”. Masing-masing pasti ada penjelasannya.  

Kalau seandainya “Madurejo Swalayan” ini tidak punya lembar business plan dan data-data untuk analisa ekonomi lainnya, ya setiap bulan cuma bengok-bengokan saja…… Sebab jadi sulit untuk memvisualisasikan kinerjanya, sedang untung atau buntung?. Kecuali cuma mbengok kalau uangnya habis dan kalau dompetnya penuh dieeeeeemmm aja……  

Madurejo, Sleman – 9 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(34) Merencana Tata Ruang, “Gimana, Gitu Loh…….”

13 Desember 2007

Membuat rencana tata ruang toko adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Gampang karena tinggal mengikuti selera hati dimana rak-rak atau grondola, lemari etalase, meja kasir dan kawan-kawannya akan diletakkan. Menjadi susah jika peletakan itu kudu tampak rapi dan menarik, tapi mangkus (effisien) dari segi biaya yang mesti dikeluarkan untuk membelinya. Maka pekerjaan perencanaan tata letak (layout) segala macam perlengkapan yang ada dalam toko adalah pekerjaan yang memerlukan imajinasi sekaligus keseriusan jika tujuannya adalah untuk mencari berapa biaya minimal yang diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal. 

Huh…! Susah amat sih?….. Ya, karena “Madurejo Swalayan” memiliki luas toko yang terbatas, biaya modal awal yang terbatas, tapi ingin menyediakan tempat memajang barang dagangan sebuanyak-buanyaknya, seluas-luasnya dan seatraktif mungkin. Saya pernah membaca di sebuah buku, katanya ada pepatah di dunia peritelan mengatakan bahwa the real battle is in store (pertarungan yang sesungguhnya ada di dalam toko). Maka kalau saya ingin memenangkan pertarungan ini, saya tidak boleh menganggap remeh soal perencanaan tata ruang di dalam toko.

Perencanaan tata ruang toko harus sudah ada sebelum pembangunan toko rampung dan toko siap digunakan. Karena layout perlengkapan toko akan berpengaruh terhadap layout tata lampunya, kipas anginnya, pemasangan kabel untuk sistem komputernya, dsb. Pemilik “Madurejo Swalayan” memilih untuk mengerjakannya sendiri pekerjaan perencanaan ini. Hanya soal kepuasan batin, mengingat dari awal memang diniati untuk ditangani dan di-manage sendiri, walaupun usul, saran, masukan, dsb. bisa datang dari siapa saja.

Pengaturan tata ruang toko adalah hal remeh-temeh yang tidak perlu dipusingkan sebenarnya, kalau itu menyangkut rencana pembukaan toko tradisional. Pokoknya asal ada toko, ada lemari etalase dan rak-raknya, lalu tinggal atur-atur sesukanya. Akan tetapi kalau hal itu menyangkut rencana pembukaan toko berkonsep modern, maka saya merasa perlu meluangkan waktu khusus untuk merencanakannya.

***

Ukuran luas toko “Madurejo Swalayan” sekitar 90 m2, dengan lebar depan 7,5 m dan panjang ke belakang 12 m. Dengan ukuran itu, maka cukup untuk dipasang rak setinggi 2,1 m di kedua dinding memanjangnya dan tiga set rak setinggi 1,5 m di bagian tengahnya. Di sela-sela rak masih tersisa lorong-lorong selebar sekitar 85 cm, masih cukup enak bagi pembeli untuk memilih-milih barang dan berjalan bersimpangan. Jarak antar rak (lebar lorong) idealnya antara 80 – 100 cm. Jika suangat terpaksa, lebar 70 cm masih okelah, tapi kalau kurang dari itu akan menyiksa pembeli, terkadang sambil misuh-misuh……. (ngedumel jelek).

Letak rak-raknya dijejer memanjang ke belakang atau sejajar sisi memanjang toko. Kelebihan posisi seperti ini antara lain bisa memanipulasi pandangan orang karena akan memberi kesan luas dan panjang. Selain itu, lebih enak dipandang dari arah depan, lebih memudahkan dalam hal pengawasan dan pelayanan dan dari posisi kasir yang biasanya berada di ujung depan akan terlihat pandangan lepas ke arah belakang atau ke arah ujung memanjangnya. Barulah ruangan sisanya diisi dengan lemari etalase. Tapi bisa juga sebaliknya, tentukan dulu dimana akan diletakkan lemari etalase, setelah itu baru dirancang layout rak-rakannya. 

Setelah yakin dengan posisi rak-raknya, barulah ditentukan letak lampu-lampunya. Lampu penerangan dipasang tepat di atas setiap lorong antar rak. Lampu yang dipilih jenis lampu neon panjang karena cahayanya lebih berpendar terang. Posisi neon searah dengan posisi rak. Karena di “Madurejo Swalayan” ada empat lorong antar rak, maka ya dipasang empat baris lampu neon. Total jendral untuk toko seluas 90 m2 dipasang 16 lampu neon yang tiap-tiap lampunya berukuran panjang 1,25 m dan berkekuatan 40 watt.  

Terang amat? Ya…, namanya toko modern di pinggiran kota dan inginnya tampil beda. Meskipun demikian, kalau rak-rak sudah terisi penuh dengan barang dagangan, maka sebenarnya penerangan seperti itu menjadi tidak berlebihan. Jangan biarkan pembeli thunak-thunuk melototin produk yang dipajang gara-gara penerangannya minim. Peletakan lampu yang tepat di atas lorong akan membuat pembeli nyaman karena cahaya lampu akan mengarah bebas ke kedua sisi rak di sepanjang lorong. Jika lampu tidak tepat di tengah lorong, maka ada kemungkinan pandangan pembeli akan terganggu karena muncul bayangan kepala pembeli (badannya tidak ikut) di salah satu sisi raknya. Ya enggak apa-apa sih…., wong cuma bayangan saja. Tapi, kesannya kok seperti kurang “professional”, gitu loh…….. 

Dan (ini yang paling penting), kalau malam tampak terang-benderang, lebih moncer (kalau bisa menjadi yang paling terang) dibanding kawasan di sekitarnya. Apa untungnya? Kalau ada orang bingung di malam hari, pasti akan menuju ke tempat yang paling terang untuk menjernihkan pikirannya (kecuali kalau bingung karena kebelet pipis di bawah pohon…..). Eee… siapa tahu buat pantes-pantes, orang bingung itu lalu membeli es krim atau permen karet. Kalau ada orang mulutnya kecut di malam hari karena kehabisan rokok atau dikerubutin nyamuk karena persediaan obat nyamuknya habis atau kepalanya mau pecah tidak bisa tidur, sedang di sekitar itu ada sepuluh toko yang persis sama, maka pasti orang itu akan menuju ke toko yang paling terang. 

Karena itu, jangan terlalu pelit untuk berinvestasi dalam lampu dan tenaga listrik. Di sana ada potensi keuntungan yang intangible (tidak kasat mata, juga tidak dapat diukur), melainkan saya percaya adanya. Satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah…… nongkrong di depan toko sampai toko tutup di malam hari!   

*** 

Setelah selesai dengan perencanaan tata lampu, kemudian pemasangan kipas anginnya. Ini karena konsep tokonya adalah toko terbuka sehingga tidak memerlukan pemasangan AC. Di “Madurejo Swalayan” ada tiga buah kipas angin berukuran agak besar yang dipasang tepat di garis tengah toko, letaknya juga berbaris ke belakang sejajar lampu-lampunya. Lalu, empat buah lampu darurat (emergency lamp) di pasang di kedua dinding memanjangnya. Penempatan ini tentu terkait dengan dimana harus dipasang colokan listrik (stop contact).   

Meja kasir juga perlu sejak awal direncanakan penempatannya, jika tidak nanti kabel-kabel listrik dan jaringan komputer akan pating tlalang (lintang-pukang) menjadi tidak enak dilihat. Sekali lagi, ya enggak apa-apa sih…., wong cuma kabel saja. Tapi, kesannya kok seperti kurang “professional”, gitu loh…….. 

Belum lagi masih harus mempersiapkan dimana genset sebagai sumber tenaga listrik cadangan mesti disimpan dan diatur perkabelannya. Keberadaan genset menjadi kritikal karena kalau sudah berurusan dengan sistem komputer, maka pasokan tenaga listrik sama sekali tidak boleh terganggu. Daripada mesti memasang tulisan : “Maaf, kami tidak berjualan karena listrik PLN lagi ngaco….”. Meskipun bisa juga ditempuh cara darurat, yaitu melayani pembeli secara manual tradisional. Tapi, kesannya kok seperti kurang “professional”, gitu loh…….. 

Pendek cerita, kalau semua urusan tata ruang, tata lampu, perkabelan dan sebagainya itu tidak dipersiapkan sejak bangunan toko masih dalam tahap penyelesaian, melainkan ketika toko sudah telanjur jadi, maka berani taruhan, kenampakan toko akan tambal-sulam enggak karu-karuan. Kalau tidak, maka akan boros energi, waktu dan biaya karena mesti dua kali kerja bongkar pasang ini dan itu untuk merapikannya. 

Lagi-lagi, ini bukan soal benar atau salah, bukan soal sebaiknya atau tidak sebaiknya, melainkan hanya soal selera, kepuasan dan …… visi. Kalaupun tidak ingin rapi-rapi amat, atau sempurna-sempurna amat, ya enggak apa-apa. Hanya sialnya, pemilik “Madurejo Swalayan” ini merasa……. kok sepertinya gimana, gitu loh…….   

Madurejo, Sleman – 26 Januari 2006.

Yusuf Iskandar

(33) Hanya Soal Visi

13 Desember 2007

“Kok repot amat, sih…….?”. Barangkali itulah pertanyaan menggelitik yang mungkin muncul dalam hati, melihat saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Bukankah tinggal mbangun toko, setelah itu kulakan lalu dijual, dan begitu seterusnya?. Kenapa mesti repot-repot memikirkan tentang impuls buying, one stop shopping, gethok tular, ikut kegiatan kampung, mengelus-elus barang dagangan, memikirkan pelayanan, membuat logo, bahkan sampai ke rumusan Pareto dan analisis SWOT segala, masih ditambah lagi wawasan lain lagi tentang binatang Six Sigma?  

Jangankan Anda yang hanya membaca dongeng dari Madurejo, pegawai-pegawai saya saja memandang aneh (meskipun tidak berani mengatakannya) terhadap cara saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Saya memperlakukan pegawai saya sebagai aset. Bukan sebagai likuiditas, yang cuma perlu berangkat pagi atau pulang malam, dan setiap bulan terima gaji. Melainkan mereka saya sertakan dalam rembugan-rembugan (diskusi) tentang bagaimana seharusnya toko dikelola, tentang rencana-rencana ke depan. Mereka juga selalu saya update tentang seperti apa pencapaian dan kinerja toko setiap bulannya. Saya yakinkan bahwa mereka sesungguhnya juga “pemilik” toko dalam pengertian manajerial. Tidak perduli mereka pelayan, kasir, pengawas atau manager. 

Di penggal separuh jalan dari Prambanan menuju Piyungan, Yogayakarta, sepanjang kurang lebih delapan kilometer, “Madurejo Swalayan” adalah satu-satunya toko swalayan berkonsep modern yang saat ini berdiri di tengah-tengahnya. Dari sisi persaingan bisnis untuk saat ini relatif belum ada ancaman yang nyata. Jalur jalan di sisi timur Yogya itu memang relatif cukup padat di siang hari karena menjadi jalan tembus dari arah Solo menuju kota Wonosari. Akan tetapi tingkat kepadatan penduduknya masih rendah, belum sepadat belahan Yogya utara, barat atau selatan. Belum menjadi pilihan kawasan pemukiman. Keberadaan kompleks perumahan masih bisa dihitung dengan jari. Oleh karena itu target pasar untuk toko swalayan modern saat ini masih terbatas. Kalau memang demikian, kenapa mesti repot-repot membangun toko swalayan berkonsep modern?   

Inilah jawabannya : Sejak saya merencanakan “Madurejo Swalayan” akan buka pertama kali sebelum bulan puasa tiba (akhirnya baru benar-benar terlaksana tanggal 2 Oktober 2005), saya berhitung bahwa tahun 2006 akan datang tidak lama lagi. Lalu saya membayangkan, bagaimana seandainya tiba-tiba saya bangun tidur dan ternyata hari itu bukan tahun 2006, melainkan saya sudah berada di tahun 2011 atau 2016? Ya, lima atau sepuluh tahun lagi…..!   

Apa yang akan terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan? Saya tidak tahu. Tapi barangkali saya harus memperkenalkan bahwa di sebelah kiri saya “Makromini Cash & Carry”, di sebelah kanan saya “Indoapril” dan di depan saya “Betamart”. Kalau toko-toko swalayan modern baru yang saya sebut itu dimiliki oleh investor sekelas atau di bawah kelas “Madurejo Swalayan”, barangkali saya tidak perlu merasa khawatir. Tapi bagaimana jika ternyata mereka adalah pemodal kuat?   

Bagi investor bermodal kuat, tentu tidak sulit untuk melengkapi tokonya dengan prasarana yang lebih modern dan sophisticated, dan menggaji professional bisnis yang jauh lebih pakar di bidang marketing dan management ritel. Kalau situasi itu terjadi lima atau sepuluh tahun lagi, dan “Madurejo Swalayan” hanyalah toko swalayan yang biasa-biasa saja, maka “Madurejo Swalayan” akan megap-megap seperti mau tenggelam. Semakin ngos-ngosan sejak membuka toko di pagi hari hingga menutup toko di malam hari.

Mengejar ketertinggalan dengan merenovasi dan mengubah tokonya menjadi toko modern? Wow……, terlambat sudah….! Waktu yang dibutuhkan untuk mengkonversi konsep toko, untuk masa transisi, untuk merubah mental pegawainya, akan terbuang percuma dibandingkan jika dipergunakan untuk membuka toko baru di lokasi lain. Belum lagi toko-toko baru milik pemodal kuat itu sudah semakin memantapkan “bargaining position”-nya di depan masyarakat desa Madurejo yang sudah semakin maju.   

Ilustrasi itu kedengarannya seperti kelewat berlebihan. Bisa jadi demikian. Namun saya melihat fakta berbeda : Kawasan pinggiran Yogya yang beberapa tahun yang lalu masih sepi dan jauh dari hiruk-pikik bisnis, ternyata sekarang sudah semakin padat. Coba lihat kawasan Yogya utara yang dulunya gung liwang-liwung tempat jin buang anak, sekarang sudah gegap gempita dengan aktifitas bisnis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya (mungkin malah anak-anak jin yang dibuang dulu juga ikut-ikutan berbisnis…). Maka bukan hil yang mustahal, akan tiba saatnya desa Madurejo dan sekitarannya menjadi kawasan padat berikutnya yang barangkali juga menjadi incaran para investor kuat. 

*** 

Lima tahun kedepan, bahkan sepuluh tahun ke depan, harusnya sudah dikelola sejak dari sekarang. Itu bukan waktu yang panjang. Jangan-jangan nanti kita terkejut tahu-tahu bangun tidur sudah tanggal 1 Januari 2011 atau malah 2016.  

Itulah latar belakangnya, kenapa mesti repot-repot melakukan komputerisasi sistem bisnis, thethek-bengek peritelan, rumusan Pareto, analisis SWOT, dan masih banyak hal-hal lain yang dimata pegawai “Madurejo Swalayan” saat ini dipandang aneh. “Small business as unusual…..”. Sedangkan semua kerepotan itu juga belum tentu berhasil seperti yang diimpikan. Namun aksi usaha harus tetap dilakukan semaksimal mungkin agar reaksi hasilnya juga maksimal. Namanya juga usaha…..     

Apabila semua usaha itu berjalan lancar, lalu ilustrasi saya di atas benar-benar terjadi, maka “Madurejo Swalayan” sudah siap bertempur di kancah persaingan bisnis ritel. Setidak-tidaknya sudah siap menerima ancaman (threats) untuk menggenjot kekuatan (strengths). Modal pertahanan sudah punya, yaitu umur jelas lebih tua, pengalaman lebih banyak, orientasi medan lebih baik, sistem manajemen lebih siap meskipun skalanya berbeda, sudah menang selangkah jika harus melakukan adaptasi terhadap tuntutan modernitas, dan yang paling penting menjadi “top of the mind” (yang pertama ada di pikiran) bagi masyarakat sekitar ketika hendak berbelanja. 

Barangkali akan berbeda ceritanya kalau “Madurejo Swalayan” dibangun sebagai kegiatan pengisi waktu, daripada nganggur di rumah, asal ada usaha kecil-kecilan……. Akan tetapi, karena niat ingsun pemilik dan pengelolanya sedari mula memang ingin menjadikan “Madurejo Swalayan” sebagai sebuah korporasi yang syukur-syukur bisa menjadi sumber penghasilan pasif bagi pemiliknya, maka segala kemungkinan bahkan yang terburuk harus diantisipasi. 

Jika kemudian ada yang berkata : “Mau buka toko saja, kok repot amat, sih…….?”. Itu karena memang pemiliknya termasuk penganut pepatah : Berangkot-angkot ke hulu berbecak-becak ke tepian, berepot-repot dahulu berenak-enak kemudian. Tinggal bagaimana menggenjot angkot dan becaknya agar setoran lancar……. Istilah gaulnya, ini memang hanya soal visi ke depan…… 

Madurejo, Sleman – 15 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(32) Menggarap “Opportunity”

13 Desember 2007

Jaman kini, analisis SWOT (Strengths – Weaknesses – Opportunities – Threats) seperti sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan strategis perusahaan-perusahaan besar oleh para praktisi bisnis professional. Konsep dasar analisis SWOT, menurut buku yang pernah saya baca, merujuk pada pemikiran seorang ahli strategi perang bernama Sun Tzu. Salah satu inti pemikirannya kira-kira berbunyi demikian : Apabila kita dapat mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, maka berarti kita sudah memenangkan pertempuran.

Pendekatan SWOT layaknya membuat perencanaan strategi di medan pertempuran itulah yang kini banyak digunakan sebagai pendekatan dalam membuat perencanaan bisnis, termasuk bisnis ritel, termasuk toko swalayan, termasuk “Madurejo Swalayan” di desa Madurejo. 

Cukuplah kalau bisa melakukan analisis SWOT sederhana saja, di antara sekian banyak model kuantitatif perumusan strategi bisnis yang sebenarnya dapat dipilih. Memilih model analisis SWOT sederhana, sekedar untuk menyadari dan memahami kelemahannya (weaknesses) lalu menggali dan mendayagunakan peluang yang dapat dibangun (opportunities); meminimalkan ancaman yang mungkin menghambat perkembangan usaha (threats) untuk kemudian memaksimalkan kekuatan yang dimilikinya (strengths).  

***

Dalam jangka pendek, hal yang dianggap paling perlu dipikirkan dari pendekatan SWOT “Madurejo Swalayan” adalah kelemahannya dalam hal pemilihan lokasi (sebenarnya ini bukan pilihan, wong pada waktu membeli lahan ya hanya tanah itu yang dijual dengan harga terjangkau). Saya sebut dalam jangka pendek, karena dalam jangka panjang unsur kelemahan ini berpotensi untuk berubah menjadi unsur kekuatan.

Seperti saya singgung sebelumnya, lokasi “Madurejo Swalayan” masih dikelilingi areal persawahan, berjarak agak jauh dari kawasan perkampungan, tidak persis berada di jalur berangkat dan pulang kerja para komuter masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Opportunities dan Strengths seperti apakah yang digarap oleh “Madurejo Swalayan” pada tahap awal ini, dalam upayanya untuk menggali peluang-peluang (opportunities) dan mendayagunakan kekuatan-kekuatan (strengths) yang dimiliki yang sekiranya akan dapat menutupi kelemahannya?.                                                                         

Pertama : Menggarap tampilan dan prasarana toko dan menjadikannya sebagai sebuah “singkapan”. Awalnya ini adalah peluang, tapi kini sudah menjadi sebuah kekuatan. Berbekal semangat berani tampil beda, maka desain arsitektur luar dibuat agak tidak umum untuk ukuran desa Madurejo, dengan memberi sentuhan desain minimalis dengan warna yang khas, tanpa kesan nge-jreng.

Tampilan depan sengaja dirancang untuk memberi kesan tinggi dan gagah, dibandingkan umumnya toko di sepanjang Jalan Prambanan – Piyungan. Halaman depan toko disisakan agak luas sehingga memberi areal parkir yang lebih leluasa bagi pengunjung toko, termasuk menyediakan ruang bagi kendaraan lewat yang numpang atret atau berputar haluan (asal bukan untuk garasi gratis saja…).

Penerangan dan tata lampu toko dirancang agar effektif untuk penerangan dalam toko tapi juga tampak moncer kalau malam hari. Laron dan serangga sawah saja senang berkunjung ke toko, apalagi pejalan malam yang kehausan, kehabisan rokok atau kepalanya nyut-nyutan sebelum pergi tidur…. 

Konsep tata ruangnya bukan mengikuti konsep toko tertutup. Bukan karena mau menghemat agar tidak perlu memasang AC, melainkan menghindari kesan eksklusif yang bisa membuat masyarakat desa sekitarnya malah takut mau masuk toko. Dengan konsep terbuka, memberi kesan lebih bersahabat, seolah-olah berkata : “Monggo mampir…….”. 

Kedua : Memberi porsi lebih pada pelayanan yang efektif. Setelah orang lewat tertarik dengan kenampakan “singkapan” sehingga mau mampir masuk toko, maka segera dipasang perangkap yang bernama : Pelayanan, Pelayanan dan Pelayanan. Peluang ini harus ditangkap dan dikelola lebih efektif. Sasaran untuk membuat pengunjung yang sudah kadung terperangkap masuk toko menjadi merasa senang, dihargai dan nyaman, merupakan opportunity yang akan terus dikembangkan dan diinovasi. Bangunan keramahtamahan dan jurus komunikasi yang mempribadi mulai dikerahkan, sifatnya kondisional dan selektif menghindari kesan berlebihan dan mengada-ada. Para pelayan toko di “Madurejo Swalayan” semakin hari semakin belajar memainkan peran ini. 

Mempertimbangkan luasan toko yang terbatas, maka diterapkan strategi “one stop shopping“ secara selektif untuk jenis-jenis barang kebutuhan hajat hidup tertentu saja, setidaknya memberi pilihan kepada pengunjung. Manajemen toko agak luwes dalam menerapkan “return policy“ secara terbatas, dalam pengertian barang yang di-return memang belum digunakan atau tidak rusak oleh kesalahan pembeli. Setidak-tidaknya, manajemen “Madurejo Swalayan” tidak menulis besar-besar : “Maaf, barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan“.  

Ketiga : Memanfaatkan kultur guyub-rukun dan paseduluran ala kampung. Iklan di koran, radio, apalagi TV, nampak terlalu luas cakupannya dan tidak efektif dari segi biaya. Spanduk dan selebaran, bisa jadi lebih cocok. Namun pengelola “Madurejo Swalayan” menempuh cara yang lebih tradisional, karena di sana ada peluang sekaligus kekuatan. Peluang yang tidak akan hilang bersamaan dengan dibuangnya selebaran untuk bungkus blanggreng (ketela goreng) atau digunakannya bekas spanduk untuk penambal dinding jumbleng (sumur atau peturasan di luar rumah) atau warung tenda.  

Forum seperti selamatan, rapat kampung, kegiatan masjid, silaturrahmi, adalah interaksi sosial yang membuka peluang untuk publisitas murah tapi mengena. Pendekatan kekeluargaan atau paseduluran adalah peluang yang memang sudah ada dalam kultur masyarakat di pedesaan. Peluang ini sangat mungkin untuk digarap menjadi kekuatan. Kesempatan untuk memperkenalkan diri selalu terbuka di setiap kesempatan berinteraksi dengan masyarakat tanpa memberi kesan sedang berpromosi.  

Membangun rantai gethok tular (word of mouth), cerita dari mulut ke mulut, benar-benar menjadi senjata utama. Jika sistem ini bisa diupayakan berjalan, maka peluang-peluang yang telah digarap itu akan berubah menjadi kekuatan yang luar biasa.  

*** 

Kelemahan (weakness) memang terkadang susah dieliminasi, tapi pasti bisa dimanipulasi. Dan masih banyak peluang (opportunity) lain yang dapat digali untuk memanipulasi kelemahan yang ada, juga untuk menciptakan kekuatan (strength) baru. Atau, menurut istilah Matriks SWOT, pasti ada Strategi WO (Weaknesses – Opportunities) ataupun SO (Strengths – Opportunities) yang dapat disiasati. 

Untuk kesekian kalinya, kalau saya ditanya apakah akan berhasil? Saya belum tahu, masih terlalu singkat waktunya untuk melakukan evaluasi. Hanya karena saya berprinsip bahwa sesuatu harus dilakukan, maka saya lakukan saja, karena dasar pemikirannya masuk akal.

Sejujurnya kukatakan…… Saya terkadang tertawa sendiri, membayangkan saya sedang ditertawakan orang .….., ngurus warung kecil di desa saja kok neko-neko…….. Tapi seperti pernah saya katakan sebelumnya bahwa saya lebih suka berdiri di emperan toko, tolah-toleh kesana-kemari, lalu mengeker (meneropong) jauh General Electric, Motorola, Kodak, Sony dan kawan-kawannya yang sukses menerapkan cara “Six Sigma”, lebih dari sekedar menggarap “opportunity”. Organisasi (toko) akan memperoleh hasil jauh lebih cepat jika bersedia mengakui kelemahan-kelemahannya, belajar dari kelemahan tersebut, dan mulai menentukan prioritas untuk mengkoreksinya. Jujurlah dengan kekuatan dan kelemahan bisnis kita. Itulah landasan melangkah menuju “the Six Sigma Way”.

Binatang macam apalagi ini…….? Biarlah saya khayalkan dulu jenis binatang itu sambil tidur, sambil bermimpi…., yang penting sekarang saya tahu dulu bahwa binatang itu ada.

Madurejo, Sleman – 12 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(31) Ketika Seorang Geolog Menemukan Lokasi Singkapan

13 Desember 2007

Tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy melakukan piknik petualangan ke tanah Papua bersama teman-temannya. Sampailah Dozy dan teman-temannya di suatu tempat yang sangat tinggi, terjal dan dingin, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Dari penemuan lokasi singkapan itu kemudian mengantarkannya pada ditemukannya “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda pada tahun 1939.

Laporan itu mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua untuk mempelajari lebih jauh tentang hasil temuan Dozy. Forbes pun terpesona dan meyakini bahwa cadangan mineral Ertsberg akan menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Singkat cerita, Freeport Minerals Company yang kini bernama PT Freeport Indonesia, pada bulan April 1967 menerima Kontrak Karya pertama yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia. Maka pada bulan Desember 1967, Freeport memulai kegiatan eksplorasi untuk mendefinisikan lebih detil tentang potensi yang dikandung di balik singkapan yang telah diketemukan di Ertsberg. Konstruksi besar-besaran segera dimulai pada tahun 1970, dan ekspor produksi perdana konsentrat tembaga dilakukan pada akhir 1972. Tidak berhenti di situ, singkapan-singkapan baru pun diketemukan oleh para geolog di kompleks sekitar Ertsberg, termasuk hingga diketemukannya cadangan kelas dunia Grasberg pada tahun 1988. Maka kini PT Freeport Indonesia mengoperasikan salah satu proyek tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.

Kisah di atas hanyalah sekedar ilustrasi, ketika seorang geolog bekerja mencari singkapan batuan yang kemudian menjadi awal bagi aktiftas industri yang bernilai jutaan dollar. Jangankan cuma tempatnya yang sulit, kalau perlu sampai ke atap duniapun mereka lincah mencari dan menemukan lokasi singkapan batuan (outcrops) yang mengandung mineral berharga, lalu diuthek-uthek (diselidiki lebih mendalam) untuk memastikan adanya potensi cadangan yang ekonomis untuk ditambang.

***

Beberapa waktu yang lalu saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di sela jeda acara seminar. (Meski sudah repot ngurusi warung, tapi masih sempat hadir di acara seminar pertambangan, mbayar lagi….. Sekilas tidak ada hubungannya. Saya akan ditertawakan orang kalau saya katakan bahwa saya sedang menggali opportunity. Kepada seorang dosen Tambang saya katakan, sesial-sialnya, “Madurejo Swalayan” masih bisa berbisnis tambang plastik atau rafia…..). Seorang teman berkata kepada saya, katanya dia punya sebidang tanah di tepi jalan dan kepingin memanfaatkannya untuk usaha toko. Tapi menurutnya lokasinya kurang strategis untuk membuka usaha toko swalayan. “Enaknya gimana, ya…?”, katanya.

Sebelum saya sempat berkomentar, teman saya ini malah sudah lebih dahulu mengemukakan pendapatnya, bahwa katanya dalam dunia bisnis ritel itu dikenal ada ungkapan mengatakan : “Yang penting dalam bisnis ritel adalah pertama, lokasi; kedua, lokasi; ketiga, lokasi”. Oleh karena itu dia agak gusar, punya lokasi untuk toko kok ya kurang strategis.

Sebagai “anak bawang” yang masih hijau dalam dunia persilatan bisnis ritel, saya kok kurang sreg dengan pendapat tentang “lokasi pangkat tiga” itu. Diarani keminter, yo ben…….. (dibilang sok tahu, ya biarin…..). Rasa-rasanya ungkapan itu bisa menyesatkan kalau ditelan begitu saja tanpa ada penjelasannya. Ungkapan itu hanya cocok bagi : Pertama, kondisi yang sangat ideal; Kedua, masih dalam tahapan niat membuka toko ritel; Ketiga, punya modal lebih. Artinya, kalau Anda bercita-cita membuka toko swalayan, Anda belum memiliki lokasi, dan Anda punya cukup uang untuk membeli lokasi, maka ikutilah paham “lokasi pangkat tiga” itu.

Lha, tapi kalau Anda sudah memiliki sebidang tanah meski lokasinya kurang strategis, lalu punya niat menggebu-gebu membuka toko swalayan, sedangkan modal yang tersedia pas-pasan; apa iya harus mencari pinjaman ke Koperasi untuk membeli tanah di lokasi baru? Atau, tanahnya dijual dulu baru kemudian membeli lokasi lain yang lebih strategis, yang pasti akan lebih mahal dari harga jual tanahnya? Atau, tidak jadi buka toko saja daripada nanti tidak laku? Sebaiknya bersabar dulu…… ., jangan sampai fanatisme terhadap paham “lokasi pangkat tiga” menghalangi niat untuk membuka usaha toko ritel.

Maka sebaiknya teman saya itu tidak bertanya kepada pakar manajemen ritel. Tapi bertanyalah kepada seorang geolog, atau setidak-tidaknya bertanya kepada seseorang yang pernah ikut kuliah Geologi Dasar, dan lulus. Maka jawabnya……, segera bangun dan bukalah toko swalayan di sana dan perlakukan toko itu layaknya sebuah lokasi dimana ditemukan singkapan geologi (outcrops).

Lokasi memang sangat penting. Tapi kalau demi lokasi yang ideal, lalu teman saya yang sudah punya sebidang tanah itu mesti beli tanah lagi di lokasi lain sementara modal yang dimilikinya pas-pasan, atau malahan batal buka toko, rasanya menjadi tidak masuk akal. Prinsip yang kemudian harus dijadikan pegangan adalah, kalau tidak mampu memperoleh kondisi ideal 100%, ambillah yang kurang ideal itu. Kemudian tangani kekurangannya. Enteng sekali kedengarannya….

Dari sudut pandang lokasi, “Madurejo Swalayan” sebenarnya kurang strategis. Wong letaknya dikelilingi areal persawahan meskipun di pinggir jalan raya, agak jauh dari kawasan perkampungan. Lha, tapi memang punya tanahnya di situ……. Jadi ya resikonya mesti kerja lebih keras, bagaimana menambal kekurangidealan lokasi dan menutupnya dengan opportunity atau peluang lain.

Secara “geologis”, bagaimana memperlakukan “Madurejo Swalayan” sebagai sebuah singkapan batuan (outcrops) yang mengandung mineral berharga, sehingga membangkitkan rasa penasaran para “geolog” untuk menggali lebih dalam untuk mengetahui potensi yang sebenarnya. Menurut bahasa kesusastraan, bagaimana menanam bunga nan cantik nan menawan agar kumbang berdatangan untuk menghisap madunya. Secara ilmu manajemen, melakukan analisis SWOT (Strengths – Weaknesses – Opportunities – Threats), untuk memahami kelemahannya (weaknesses), lalu menggali dan mendayagunakan peluang yang dimilikinya (opportunities).

Tapi ya nyuwun sewu….., mungkin ada yang akan berpikir sama seperti teman saya yang lain : “Ngurusi warung cilik ning ndeso wae kok koyo mikir negoro…….” (Mengurus warung kecil di desa saja kok seperti memikir negara). Teman saya itu tentu sedang guyon, dan barangkali guyonannya benar. Tapi yen tak pikir-pikir….., itu jauh lebih baik daripada ngurus negara seperti ngurus warung.

Di balik guyonan itu, gagasan yang tumbuh di pikiran saya sebenarnya konservatif saja : Kalau warung itu saya perlakukan sebagai sebuah warung kecil, maka dikapakno-kapak (biar diapa-apakan juga) ya benar-benar akan tetap menjadi sebuah warung kecil. Tapi kalau warung itu saya perlakukan sebagai sebuah korporasi besar, maka Insya Allah …. Gusti Kang Murbaing Dumadi bakal ngijabahi (Tuhan Yang Maha Kuasa akan merestuinya).

Untuk hal yang terakhir itu rasanya lebih masuk akal, dari sudut pandang sains juga. Kalau ada aksi usaha, pasti akan muncul reaksi hasil. Kalau usahanya positif, maka hasilnya juga positif, kecuali ada “intervensi” aksi negatif yang lebih besar. Perencanaan strategis melalui pendekatan SWOT sederhana, akan sangat membantu guna memprediksi dan melakukan langkah antisipatif jika hal yang terakhir itu terjadi.

Madurejo, Sleman – 6 Januari 2006
Yusuf Iskandar

(30) Pareto

13 Desember 2007

Bagi sebagian orang, kata “Pareto” mungkin bukan kata yang asing di telinga. Tapi bagi sebagian orang awam lainnya, saya ingin meyakinkan bahwa “Pareto” itu bukan nama burung, bukan nama sejenis gethuk dari Italia, bukan pula nama alat musik dari Spanyol, tapi pasti ini nama orang.

Kata Pareto berasal dari nama seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto lengkapnya, lahir di Paris tahun 1848. Di usia senjanya, Pak Pareto gusar melihat kepincangan penyebaran tingkat kekayaan masyarakat di negerinya. Maka pada tahun 1906, diciptakanlah sebuah formula matematis untuk menggambarkan penyebaran kekayaan di negerinya yang tidak merata. Dikemukakan bahwa ternyata 20% orang Italia telah menguasai 80% kekayaan di negerinya.

Dalam perkembangannya, rumusan Pak Pareto ini ternyata diamini oleh beberapa ahli lainnya, sehingga kini rumusan itu dikenal dengan sebutan prinsip Pareto atau aturan 80/20. Aturan ini ternyata cocok untuk diterapkan hampir di setiap bidang kegiatan manusia. Secara mudahnya dapat dirumuskan bahwa 20% sesuatu akan berakibat dalam 80% sesuatu lainnya.

Contoh di bidang lain mengindikasikan bahwa 20% kesalahan atau penyimpangan akan menyebabkan 80% problem yang timbul. Para manajer proyek akan mengatakan bahwa 20% pekerjaan akan menyita 80% waktu dan sumber daya. Para pengusaha akan mengatakan bahwa 20% stok barang akan memakan 80% tempat penyimpanan, atau 80% stok barang berasal dari 20% pemasok. Para peritel mengatakan bahwa 20% pelanggan akan menghasilkan 80% penjualan.

Singkat cerita, CEO “Madurejo Swalayan” berasumsi bahwa 20% pelanggannya yang sekarang akan berkontribusi terhadap 80% omset toko, atau 20% calon pelanggan yang dapat diidentifikasi pada saat ini akan berpotensi menjadi pelanggan setia yang memberikan 80% keuntungan toko. Oleh karena itu, konsentrasi perhatian dan energi diberikan untuk menangani secara khusus pada porsi yang 20% itu (meskipun demikian, jangan lalu diterjemahkan : yang 80% lainnya dibiarin aja……).

Jika kita berhasil me-manage porsi yang 20% dengan baik, maka setidak-tidaknya sudah diperoleh hasil 80% dari sasaran yang diharapkan. Memang perlu disadari sepenuhnya bahwa kejadiannya tentu tidak akan persis seperti itu. Namun aturan 80/20 atau prinsip Pareto ini kiranya akan banyak membantu dalam mempersiapkan strategi pengembangan usaha. Usaha apa saja, tidak hanya dalam urusan bisnis retail. Paling tidak kita sudah melangkah dari “hard work” ke “smart work”. Meskipun kata John Reh, itu saja belum cukup, prinsip Pareto akan membawa kita ke “smart work on the right things”. Ya, memfokuskan 80% waktu dan tenaga pada 20% pekerjaan yang benar-benar penting dan strategis

***

Berangkat dari pemikiran itu, maka pengelola “Madurejo Swalayan” selalu mewanti-wanti kepada segenap pegawai agar mengamat-amati siapa-siapa saja pelanggan setia atau calon pelanggan setia yang harus diberikan perhatian khusus. Seperti saya ceritakan sebelumnya, karena kami menempuh cara tradisional “amati dan ingat”, maka ini memang bukan pekerjaan mudah, melainkan dipermudah, dengan pertimbangan salah-salah sedikit tidak apa-apa.

Targetnya adalah kalau bisa memegang ekornya para pelanggan setia itu dan berusaha merengkuh sebanyak 20% dari jumlah pelanggan yang sering berbelanja. Jumlah yang 20% ini harus benar-benar bisa di-manage dengan baik, di-eman (disayang-sayang), dan dipertahankan kesetiaannya.

Semua cerita di atas adalah teori yang memang sudah diyakini banyak kalangan. Bagaimana penerapannya? Lha, di sinilah susahnya……

Pertama, mengidentifikasi pelanggan atau calon pelanggan setia dengan cara “amati dan ingat” adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tapi ya harus tetap dilakukan, wong itu satu-satunya cara yang paling praktis dan murah. Penerapan Kartu Anggota untuk saat ini masih dipandang belum pas bagi kultur masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Seorang rekan menyarankan untuk mengambil foto pelanggan pada saat mereka berbelanja. Ini juga masih dianggap kurang pas (bisa-bisa para pelanggan malah tidak mau kembali berbelanja karena takut gambarnya masuk koran…..).

Kedua, kalau sudah berhasil melakukan identifikasi, lalu mau diapakan mereka? Yang bisa dilakukan sekarang ini adalah memberikan mereka keramahtamahan yang agak khusus tapi tidak mencolok (ini juga hal gaib yang susah didefinisikan). Ya, pokoknya begitulah, memberikan mereka suasana mempribadi. Membangun komunikasi yang nyemanak (berlaku layaknya seperti saudara). Memberitahu mereka tentang keunggulan produk-produk tertentu. Memberitahu mereka kalau misalnya mulai minggu depan harga akan naik. Bagi pekerja pelayan toko pemula yang belum berpengalaman melakukan interaksi pelayan-pembeli, ini jelas suatu pekerjaan yang rada membingungkan mereka. Tapi tidak jadi soal, kata pepatah : Bingung pangkal pandai……. (Kalau tidak kebablasan…!).   

Ketiga, ketika kemudian mereka lama tidak muncul berbelanja, apa yang bisa dilakukan? Ya, tidak ada, selain menunggu dengan sabar sampai mereka muncul kembali. Mau ditilpun, kemana? Mau disurati, nanti malah dikira undangan selametan…… Pendeknya, memang kudu sabar dan telaten me-manage pelanggan dan calon pelanggan di kampung Madurejo ini.

Ketika akhirnya semua kendala itu bisa dilalui dengan baik, belum tentu juga akan berhasil. Belum lagi kalau porsinya harus mencapai 20% dari total pelanggan. Tapi toh, upaya semacam itu tetap harus dilakukan. Paling tidak untuk menunjukkan bahwa sesuatu sudah dilakukan dengan langkah yang benar. Kalau kita sudah “do something” maka kita pun pantas untuk optimis dan berharap hasilnya, daripada “do nothing” babar blasss….   

***  

Sebagaian orang mengatakan bahwa prinsip Pareto atau aturan 80/20 ini bukan sekedar formula matematis. Melainkan sebuah seni, sebuah kreatifitas. Seni untuk mengkutak-katik porsi yang 20% sebab, dan mengkutak-katik porsi yang 80% hasil. Seni untuk mereka-reka kira-kira yang mana sih calon pelanggan setia dan kenapa demikian. Seni untuk mengakali hal-hal semacam apa sih yang sekiranya bisa menggenapkan jumlah pelanggan hingga 20%. Seni untuk menganalisis bagaimana mencapai hasil yang 80% bahkan lebih.

  

Oleh karena itu, jangan meremehkan profesi seorang peritel atau pekerja bakulan yang professional, karena sesungguhnya mereka itu juga seorang seniman……. 

Madurejo, Sleman – 3 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(29) Rayuan Pulau Kelapa

13 Desember 2007

Suatu sore istri saya ditelpon oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya dari Makro Cash & Carry yang belum setahun ini buka dasar di Yogya. Seseorang di seberang sana memberitahukan bahwa di Makro sedang ada program promosi untuk beberapa produk, lalu disebutlah beberapa merek dan jenis produk yang sedang dipromosikan dijual dengan harga termurah. Ujung-ujungnya : “Kapan ibu mau belanja?”.

Sungguh baik hati benar Makro ini, mau memberitahu kalau sedang ada harga promosi. Bagi penilpun di seberang sana, itu adalah pemberitahuan tentang kesempatan kulakan murah yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Tapi bagi saya, kedengarannya seperti sebuah nyanyian rayuan pulau kelapa : “Ayo dong, belanjakan lagi uang Sampeyan di Makro…..”. 

Sejak menjadi member pelanggan Makro, istri saya (terkadang sebagai CFO, terkadang sebagai janitor di “Madurejo Swalayan”) memang jadi agak sering mampir ke sana. Awalnya memang hanya mampir, akhirnya ya belanja juga kalau ketemu komoditas yang harga belinya cocok. Tapi sejak kunjungan terakhirnya dua setengah minggu sebelumnya, istri saya belum lagi kesana, hingga saat ditilpun dan dinyanyikan lagu rayuan pulau kelapa sore itu.

Yang sebenarnya sedang terjadi adalah Makro sedang melakukan salah satu kiat bagaimana me-manage pelanggannya. Dan, hal itu memang sangat penting bagi sebuah usaha ritel. Ya, pelanggan adalah salah satu aset penting, maka pelanggan harus di-manage sedemikian rupa sehingga tetap menjadi sumber pemasukan toko.

Sebagai sebuah raksasa ritel, maka Makro memiliki sistem yang canggih untuk mengelola pelanggannya. Adanya Kartu Anggota atau Kartu Belanja tentu sangat memudahkan untuk mendata dan memantau aktifitas dan perilaku pelanggannya. Bagaimana frekuensi belanjanya, berapa nilai rupiahnya setiap kali belanja, berapa kuantitas dari setiap item yang dibelinya, barang jenis apa saja yang biasanya dibeli dalam jumlah banyak, kapan biasanya belanja dalam jumlah besar terjadi.

Maka kalau kemudian sampai lebih dua minggu kok tidak ada kabarnya (maksudnya, tidak belanja-belanja lagi), maka lalu muncul pertanyaan : Sedang sakitkah, atau sedang tertimpa musibah? Wow….., bukan! Bukan itu pertanyaannya! Melainkan : Jangan-jangan sekarang beralih belanja di tempat lain? Apakah ada tempat lain yang lebih miring harganya? Apakah belum tahu kalau sedang ada harga promosi di Makro? 

Itulah salah satu cara untuk me-manage pelanggan. Dan kiat semodel itu perlu untuk ditiru setidak-tidaknya menjadi inspirasi oleh “Madurejo Swalayan” atau toko mana saja kalau memang perduli dengan prinsip pelanggan adalah aset. Tinggal bagaimana caranya, agar sebuah toko kecil dan ndeso juga bisa melakukan upaya pengelolaan pelanggannya secara lebih sederhana dan murah tapi sasaran tercapai.

Penggunaan Kartu Anggota atau Kartu Belanja sebagaimana diterapkan oleh toko-toko ritel besar nampaknya belum bisa menjadi pilihan bagi “Madurejo Swalayan”. Bagi sebagian masyarakat desa, penggunaan Kartu Anggota barangkali hanya akan menambah kerepotan saja. Maka perlu dicarikan cara yang lebih praktis, dan mungkin malah cara tradisional saja. Karakter masyarakat pedesaan yang lebih bernuansa guyub-rukun dan paseduluran adalah salah satu pendekatan yang dapat dilakukan.

***

Sekarang ini yang penting toko tetap beroperasi dan berusaha meningkatkan pencapaian omset hari demi hari. Sambil jalan, saya senantiasa berpesan kepada segenap pegawai agar mulai mengamati siapa-siapa pelanggan setia “Madurejo Swalayan”. Kategori pelanggan setia adalah mereka yang sering berbelanja kebutuhan sehari-hari di “Madurejo Swalayan”. Pelayan toko sebagai ujung tombak bisnis toko swalayan tentunya sudah mulai bisa mengidentifikasi para pelanggan setia itu. Toh jumlah mereka tidak banyak.

Tidak ada pedoman khusus, misalnya yang disebut sering itu seperti apa? Berapa kali berbelanja dalam seminggu atau berapa banyak nilai belanjanya. Memang tidak gampang mengidentifikasi mereka. Pokoknya “amati dan ingat” sajalah, biar mudah. Salah-salah sedikit, atau bahkan kalau salahnya banyak, kiranya tidak akan signifikan impaknya.

Nah, kepada para pelanggan setia itu perlu diberikan perlakuan agak khusus setiap kali mereka berbelanja. Cukup kalau para pelayan toko dapat menciptakan suasana paseduluran (persaudaraan) terhadap mereka melalui media pelayanan dan komunikasi yang menyenangkan. Suatu saat nanti apresiasi yang diberikan mestinya bisa lebih kongkrit dalam bentuk fisik seperti voucher atau gift apalah, gitu…..

Memang jadi tidak bisa lebih proaktif kalau misalnya ada pelanggan yang lama tidak kelihatan datang berbelanja. Tidak bisa dikirimi surat atau ditilpun. Melainkan 100% mengandalkan pada effektifnya komunikasi paseduluran yang dibangun sedikit demi sedikit melalui seringnya berinteraksi di toko pada saat mereka berbelanja. Pada saatnya nanti, pendekatan melalui komunikasi yang mempribadi ini akan membuka jalan untuk pengelolaan yang lebih proaktif, tanpa menggunakan Kartu Anggota.

Seperti pernah saya singgung sebelumnya, suatu saat nanti pelanggan akan datang ke toko bukan karena harganya, kualitasnya, kelengkapannya, tokonya, pelayannya atau kedekatan jaraknya, melainkan karena mereka butuh membina tali silaturahmi. Bahkan seandainya mereka datang tidak untuk berbelanja, melainkan hanya untuk sekedar jalan-jalan, mampir untuk say hello, atau membeli sesuatu yang tidak direncanakan. (Mungkin suatu ketika kita pernah mengalami ingin jalan-jalan ke suatu toko, tetapi keputusan untuk membeli sesuatu atau tidak justru sengaja dilakukan pada saat sudah berada di toko itu. Aneh tapi nyata…!)

Begitulah….. Nyanyian rayuan pulau kelapa akan bersenandung setiap hari, setiap saat, semakin merdu didengar para pelanggan, seirama dengan berjalannya interaksi pembeli-pelayan di dalam toko. Tapi, sumprit…., ini tidak mudah!. Dan, “Madurejo Swalayan” sedang berusaha melakukan yang tidak mudah itu.

Madurejo, Sleman – Tahun Baru 1 Januari 2006

Yusuf Iskandar

(27) Pelayanan, Pelayanan, dan Pelayanan

13 Desember 2007

Sekali waktu saya sempatkan untuk ngobrol-ngobrol dengan pegawai dalam forum semacam “safety talk”. Sebagai orang yang pernah digaji dalam lingkaran per-safety-an yang sangat ketat, yaitu industri pertambangan, tentu ada pengalaman yang sedikit atau banyak perlu ditanamkan dalam lingkaran yang lebih kecil. Bisnis pertokoan memang bisnis yang resiko keselamatan kerjanya relatif tidak ada apa-apanya dibandingkan bisnis pertambangan. Meski begitu toh saya sama sekali tidak menginginkan terjadi sesuatu yang dapat mencelakai atau mencederai pegawai, aset saya.

Saya ingin agar mereka selamat-sehat-walafiat sejak berangkat dari rumahnya hingga kembali lagi ke rumahnya. Biasanya mereka berangkat ke toko naik sepeda (kebanyakan tinggal di dusun yang agak jauh dari jalan raya). Artinya resiko terhadap keselamatan lalu lintas, kehujanan, kegelapan kalau malam, adalah hal rutin yang mereka hadapi. 

Saya jelaskan kepada mereka tentang hal-hal penting dalam usaha toko swalayan. Selama ini saya selalu menekankan bahwa tugas pokok mereka adalah pelayanan dan pengawasan. Apapun yang mereka kerjakan yang berkaitan dengan toko, maka selalu orientasinya adalah memberi pelayanan terbaik dan pengawasan yang bijaksana.

Entoch begitu…, mereka sempat tersenyum bengong (ini ekspresi mimik yang susah digambarkan ……, bayangkan saja sendiri….!) ketika saya tegaskan bahwa ada tiga hal terpenting yang wajib dipahami dan dikerjakan dalam keseharian mereka, yaitu: Pertama, pelayanan…..; Kedua, pelayanan…..; dan Ketiga, pelayanan…… Lha, pengawasannya manna…?

***

Bicara masalah pelayanan seringkali membosankan. Sudah terlalu sering dibicarakan, ditulis dan diseminarkan di mana-mana, mbayar lagi…. Gampang ditebak kemana arahnya. Semua pihak mengklaim dan menjanjikan pelayanan terbaik, meski faktanya seringkali jadi pelayanan terbalik. Bukan melayani melainkan dilayani. Jadi menjengkelkan. Mau marah, sama siapa? Kalau kejengkelan akan pelayanan sudah mentok di ubun-ubun, paling-paling berbunyi-bunyi di koran. Solusinya muncul juga di koran, katanya permasalahan sudah diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak.

“Madurejo Swalayan” memang hanyalah toko ritel kecil di pinggiran kota. Namun bukan berarti lantas soal pelayanan dapat dinomorduakan. Pelayanan dapat diterjemahkan ke dalam pemahaman yang mudah, yaitu bagaimana agar pelanggan kerasan berbelanja di sana dan ingin kembali berbelanja lagi.

Lalu sebaik apakah pelayanan mesti diberikan? Saya membedakannya menjadi tiga tingkatan (pengkategorian yang saya karang-karang sendiri, sesuka-suka saya saja…..) : Pertama, pelayanan yang sebaik-baiknya; Kedua, pelayanan yang lebih baik; dan Ketiga, pelayanan yang terbaik. Menurut saya tidak ada tawar-menawar, pelayanan harus diberikan pada tingkat paling tinggi yaitu pelayanan yang terbaik. Inilah tingkatan pelayanan yang layak diberikan kepada pelanggan saya masyarakat desa Madurejo. Oleh karena itu segenap daya upaya harus dikerahkan untuk menuju ke pelayanan terbaik.

Jangan puas hanya cukup memberikan pelayanan saja. Karena pelayanan saja, adalah jenis pelayanan pada tingkat yang paling rendah, lebih rendah dari pelayanan jenis pertama. Memberikan pelayanan thok…., sama artinya dengan membuka toko lalu setelah itu….., laku syukur enggak laku ya sudah. Orang Jogja bilang ora ngoyo (tidak memaksakan diri untuk bekerja keras). Bahasa evaluasi proyeknya : Alternatif “do nothing”. Wong namanya alternatif, jadi ya bolah-boleh saja untuk dipilih.

Ini memang bukan soal salah atau benar. Karena memang misi tokonya berbeda. Yang satu ingin menuju puncak seperti ikut Akademi Fantasi, yang satunya menuju pincuk (daun pisang yang dilipat dan dibentuk sedemikian rupa mirip corongan untuk sekedar wadah makanan), ketimbang nganggur……  

***

 

Bagi pengelola “Madurejo Swalayan”, pelayanan bukan soal bolah atau boleh, melainkan satu-satunya pilihan adalah memberikan pelayanan yang terbaik. Sebab kalau pelayanan terbaik itu berjalan efektif dan efisien, berhasilguna dan berdayaguna, maka soal pengawasan (tugas pokok kedua setelah pelayanan) dengan sendirinya sudah termasuk di dalamnya.

 

Semudah itukah? Tentu, tidak…! Tapi setidak-tidaknya itulah yang saya temukan selama hampir tiga bulan mengelola “Madurejo Swalayan”. Saya sendiri tidak tahu apakah khayalan saya itu akan berhasil. Sialnya, satu-satunya yang saya tahu adalah saya meyakininya………..

 

Madurejo, Sleman – Hari Natal 25 Desember 2005.

Yusuf Iskandar

(26) Jika Bapak Berbelanja

13 Desember 2007

Suatu ketika kasir dan pelayan toko “Madurejo Swalayan” tertawa terkikik-kikik. Ada gerangan apakah? Usut punya usut, ternyata mereka baru saja mengalami kejadian lucu. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan seorang putrinya datang berbelanja. Setelah berkeliling toko dan selesai mengumpulkan belanjaannya, mereka siap meninggalkan toko. Si ibu dan anaknya sudah bertransaksi dengan kasir, namun si bapak masih tertinggal karena asyik mencermati produk susu UHT.

Si ibu memanggil-manggil bapaknya mengajak segera pulang. Si bapak tetap bergeming seperti tidak mendengar ajakan istrinya. Beberapa saat si bapak tetap belum selesai juga. Si ibu yang sudah menunggu di depan kasir mulai gelisah dan tidak sabar. Mulailah si ibu berkreatifitas (ini yang ditunggu-tunggu pengelola toko swalayan…), tangannya menggapai dua buah permen sejenis lolipop yang berbentuk seperti stick drum tapi pendek. Satu untuk dirinya sendiri, satu lagi diberikan kepada anaknya. Permen itu bukannya di-emut (dikulum) melainkan digigit dan dikremus…. Tentu saja cepat habis. Tapi sayang cepat habisnya permen tidak diiringi dengan cepat selesainya si bapak.

Rupanya si anak tidak suka dengan permen itu. Seperti tidak sabar, diraih dan dikremus pula permen anaknya oleh si ibu. Lho? Habislah dua batang permen di-kremuskremus…, dan si bapak masih belum juga selesai. Dengan mimik muka kesal, diambilnya makanan kecil yang tadi dibeli lalu dimakannya di depan kasir sambil mucu-mucu….. (mulutnya seperti dimonyong-monyongkan tanpa disengaja). Kasir dan pelayan toko terbengong-bengong menyaksikan adegan drama satu babak itu sambil menahan tawa.

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi dengan si ibu…….., “impulse buying”. Tapi bagaimana halnya yang sedang terjadi dengan si bapak? 

***

Pernah berada di suatu toko lalu tertarik mencermati deretan sampo atau sabun mandi? Anda sedang menghadap rak di suatu toko swalayan. Sejauh mata melirik ke kiri dan ke kanan, disana bersusun rapi aneka merek produk sampo dan sabun mandi komplit dengan varian-variannya. Sedemikian menariknya sehingga Anda terpancing untuk mengambil salah satunya lalu membaca lebih cermat segala macam tulisan yang ada pada botol atau bungkusnya.

Ada sampo yang untuk menghitamkan, menghaluskan, melembutkan, melembabkan, menyehatkan, melicinkan, membersihkan rambut. Pokoknya semua yang indah-indah tentang rambut. Ada yang mengandung vitamin A, B, C, D, E, sampai Z, plus diperkaya dengan aneka kandungan ini-itu. Pokoknya semua yang sehat-sehat tentang rambut   

Belum puas dengan satu merek, beralih ke merek lain, botol di sebelahnya, lalu sebelahnya, lalu sebelahnya lagi. Padahal kalau dihitung-hitung ada buanyak merek sampo dengan puluhan variannya. Setelah cukup lama meng-assess setiap jenis sampo, akhirnya terpilihlah satu jenis sampo yang Anda simpulkan paling cocok untuk rambut Anda. Aha…! Anda pun merasa lega, puas, dan bangga pada diri sendiri berhasil me-review, menganalisis dan membuat kesimpulan.

Itulah aksi yang banyak dilakukan kaum bapak ketika masuk toko swalayan. Repotnya kalau kaum bapak ikut-ikutan belanja kebutuhan sehari-hari, banyak sekali pertimbangannya saat hendak memilih satu jenis produk yang dibutuhkan. Segenap kemampuan dan energi akan dikerahkan untuk melakukan penilaian hingga diperolehnya kesimpulan produk mana yang paling pas.

Lain bapak lain pula ibunya. Jarang kaum ibu yang mau repot-repot membuang waktu untuk melakukan aksi “teliti sebelum membeli” seperti itu. Kalau si ibu sudah suka dengan produk atau merek tertentu, biasanya jadi pelanggan fanatik, ya pokoknya produk itulah yang akan langsung dipilih. Sampai nanti ada faktor eksternal yang menggoyahkan imannya, antara lain iklan televisi…….

Namun anehnya, semua yang dilakukan oleh kaum bapak itu hanya akan terjadi ketika masih berada di dalam toko. Sementara ketika sudah berada di dalam kamar mandi, boro-boro ingat segala macam keunggulan dan manfaat yang ditawarkan sampo. Mereknya pun belum tentu ingat. Langsung saja kepala di-usek-usek pakai sampo yang ada di kamar mandi. Tak perduli masih tumbuh rambut di kepala atau sudah tidak. Entah itu sampo cap Macan atau cap Gajah,…. Sebodo amat…..!

Kejadian yang hampir sama berulang kembali di toko swalayan ketika kaum bapak tiba-tiba ingin membeli sabun, odol, susu, suplemen, dan lain-lain. Lalu apa yang mendorong terjadinya perilaku semacam itu? Pertama, karena “impulse buying”, pembelian yang sebelumnya tidak direncanakan. Kedua, karena pesona dari display barang-barang di toko.

Itu sebabnya kenapa saya yakin sekali bahwa penyusunan barang-barang di rak merupakan salah satu elemen kritikal dalam pengelolaan toko swalayan, karena dapat menjadi pemicu bagi “impulse buying”. Menjaga tampilan atau display barang-barang agar tetap terlihat rapi, bersih, menarik dan tidak membosankan, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

***

Itu juga yang sedang terjadi pada diri si bapak bersama istri dan putrinya di “Madurejo Swalayan”. Sedemikian asyiknya si bapak menilai dan menimbang susu mana yang paling pas buat putrinya. Padahal sejak dari rumah tidak berencana membeli susu, tapi tiba-tiba merasa perlu memilihkan dengan cermat susu yang terbaik bagi putrinya. Seandainya tadi si bapak menyerahkan saja kepada si ibu untuk membeli susu bagi putrinya, barangkali akan beres dalam beberapa detik saja. Lha wong namanya susu UHT, dimana-mana dan apapun mereknya, ya seperti itulah komposisi dan manfaatnya.

Karena itu, jangan pernah mengajak bapak untuk turut memilihkan barang kebutuhan sehari-hari di toko swalayan. Dijamin akan membuat kesal ibu. Tapi juga jangan ngikutin ibu untuk masuk toko swalayan jika bapak tidak sabar menunggu…… Bukan lama memilih barang, melainkan karena biasanya ibu rentan terhadap godaan “impuls buying”. Inginnya semua barang mau dimasukkan ke dalam keranjang belanja, kalau perlu setoko-tokonya sekalian.……

Kendatipun demikian, mari coba tanyakan kepada pengelola toko swalayan : Apa yang paling disukai? Jawabnya : Kalau ada rombongan satu keluarga lengkap masuk ke dalam tokonya. Semakin banyak peserta kecilnya, semakin lebar senyuman penyambutannya………. Monggo…, ada yang bisa kami bantu…….?.

Madurejo, Sleman – 18 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(25) Kesan Terakhir

13 Desember 2007

Ketika toko sedang tidak terlalu ramai, saya sempatkan ngobrol-ngobrol santai dengan kasir di sela-sela kesibukannya. Berikut ini ringkasan obrolan kami, kalimat-kalimat yang diucapkan tidak sama persis melainkan sengaja saya sederhanakan agar mudah dipahami ketika dirubah menjadi bahasa tertulis.

Saya ajukan pertanyaan iseng di sela obrolan kepada kasir saya :  “Ketika Anda sedang berada dalam acara perpisahan, kesan seperti apa yang ingin Anda berikan kepada seseorang atau teman-teman yang akan berpisah? ” Jawabnya tegas : “Ya, kesan yang baik, Pak”. Saya hanya manggut-manggut tanda setuju.

“Kenapa mesti dengan kesan yang baik? ”, tanya saya lagi. Jawabnya : “Kesan yang baik biasanya akan terus diingat atau dikenang”, jawabnya. Sambung saya selanjutnya : “Memang kenapa kalau terus dikenang?”. Kasir saya agak kebingungan menjawabnya, atau lebih tepatnya kesulitan mengekspresikan jawabannya.

Kemudian saya pancing dengan alternatif komentar : “Kalau seseorang terus dikenang, mungkin suatu saat timbul keinginan untuk melihat-lihat lagi foto album kenangan, ingin menilpun, kirim SMS atau kirim surat, atau malah ingin bisa ketemu kembali untuk bernostalgia”. Kasir saya setuju dengan komentar saya. Dia lalu berkata : “Mungkin kepingin untuk kumpul-kumpul lagi….”.

Maka sambil tersenyum saya sampaikan kesimpulan pendek kepada kasir saya : “Itulah salah satu tugas kasir”. Kasir saya tampak masih kebingungan menangkap maksud saya. “Ya, salah satu tugas kasir adalah memberikan kesan yang baik bagi pembeli, agar pembeli kepingin kembali lagi….”

***

Di negara-negara barat, sebutlah Amerika dan Australia, ketika kita bertransaksi dengan kasir, hampir pasti hal pertama yang akan diucapkan kasir adalah menanyakan kabar kita, sekalipun kita tidak saling mengenal secara pribadi. Kesannya memang seperti basa-basi. Tapi yang basa-basi itu bisa segera berubah menjadi percakapan hangat tentang topik-topik ringan, misalnya cuaca, pilihan barang yang sedang kita beli, atau berita-berita ringan lainnya. Hingga kemudian diakhiri dengan ucapan terima kasih. Maka tanpa kita sadari, begitu meninggalkan toko, serasa seperti baru saja ketemu dengan teman baru yang menyenangkan.

Itu budaya keseharian di negara barat. Bagaimana dengan budaya di sekitar kita? Boro-boro tanya kabar. Aneh kedengarannya. Kalau bisa, transaksi segera selesai tanpa sepatah katapun terucap. Jangan sembarangan kasir mengajak bicara pembeli. Bisa-bisa malah kasirnya dibilang cerewet, sok akrab, sok ramah, banyak omong, dsb. Dengan tanpa bermaksud membanding-bandingkan mana lebih baik, nampaknya ada hal positif yang dapat dipetik dari budaya nun jauh di sana : Berikan kesan hangat dan bersahabat kepada pembeli!.

Barangkali ilustrasi saya di atas kurang tepat atau berlebihan, tapi kalimat terakhir itulah intinya.

Di “Madurejo Swalayan”, mengucapkan kata  “terima kasih” atau “matur nuwun” setiap kali kasir menyelesaikan sebuah transaksi, hukumnya adalah wajib, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Syukur-syukur bisa disertai dengan senyum manis atau sapaan-sapaan paseduluran (persaudaraan).

Memang tidak sampai seperti di sebuah stasiun pompa bensin di daerah Tegal yang kabarnya kalau pelayannya tidak mengucapkan “terima kasih” seusai bertransaki, ganti rugi Rp 10.000,- akan diberikan. Namun setidak-tidaknya,  kasir-kasir “Madurejo Swalayan” menyadari dan merasakan bahwa hal itu benar dan perlu. Alasannya sederhana saja. Ketika kita hendak berpisah dengan seseorang, berilah kesan yang baik dan positif. Maka kesan itulah yang akan terus melekat di hati orang yang kita pisahin, dan lalu memunculkan dorongan di hati kecilnya untuk kepingin suatu saat bertemu lagi.

***

Kesan pertama begitu menggoda…, selebihnya terserah pembeli….. 

Kesan pertama, diperlukan untuk memberikan kesan lahir atau tampilan luar toko yang menarik setiap orang yang lewat, sehingga mereka tergoda untuk singgah masuk toko. Begitu mereka masuk toko, maka terserah mereka mau belanja atau sekedar lihat-lihat. Biarkan proses “impuls buying” mengalir secara alami. Tinggal pengelola toko yang kudu pintar-pintar mengkondisikan bagaimana agar keberadaan tokonya mampu memenuhi selera atau keinginan dan akhirnya dibutuhkan oleh orang-orang yang lewat dan tergoda itu tadi. Maka bangunan kerjasama mutualistis tercipta secara alamiah pula.

Saya selalu wanti-wanti kepada segenap penjaga toko, hendaknya pandai-pandailah ngemong (bukan ngomong) pengunjung toko (bahasa bisnisnya mengelola pembeli). Para pelayan mulai bisa mengidentifikasi siapa-siapa pembeli yang sudah sering kembali ke toko untuk berbelanja, mereka itulah pelanggan-pelanggan potensial yang harus di-manage dengan baik. Harus dapat mempribadikan suasana jika mereka berbelanja. Sapaan-sapaan hangat perlu dikembangkan, obrolan kecil perlu dilakukan adakalanya.

Tapi ingat, jangan asal menyapa dan ngomong, bisa-bisa dianggap sok ramah dan banyak omong. Harus pilih-pilih, tidak terhadap semua orang. Karena rupanya banyak pula pembeli yang malah lebih suka kalau dibiarkan saja dengan kesendiriannya. Kita memang terkadang aneh, suka menikmati kebingungannya sendiri..

Ini bukan fragmen lakon interaksi sosial jual-beli di kota. Ini di desa Madurejo, karakter individualistis belum muncul, sebaliknya adalah karakter paseduluran (persaudaraan) lebih kental terasa. Sehingga kalau mereka kembali untuk berbelanja, itu bukan semata-mata karena harganya, kualitasnya, kelengkapannya, tokonya, pelayannya atau kedekatan jaraknya, melainkan karena mereka membutuhkan kelanggengan silaturahmi. Bahkan seandainya mereka datang bukan untuk berbelanja sekalipun.

Kesan terakhir begitu mengesankan…, selebihnya (mudah-mudahan) pembeli akan kembali lagi ..….. 

Di “Madurejo Swalayan”, kasir adalah orang terakhir yang dijumpai pembeli sebelum meninggalkan toko. Maka jika kasir mampu menciptakan kesan terakhir yang baik, manis dan indah bagi pembeli, bolehlah berharap di lain waktu pembeli itu akan suka untuk kembali berbelanja. (Lain halnya kalau toko swalayan besar, di mall misalnya, maka orang terakhir yang dijumpai pembeli bisa jadi malah Satpam, berkumis tebal lagi. Boro-boro disuruh bermanis-manis…).

Kesan terakhir……., memang selalu meninggalkan kenangan yang tak terlupakan.

Madurejo, Sleman – 15 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(24) Melayani Raja

13 Desember 2007

Suatu kali saya lihat kasir saya eyel-eyelan (adu argumentasi) dengan seorang pembeli yang sedang melakukan transaksi pembayaran. Ini tentu situasi yang tidak menguntungkan. Setelah saya dekati ternyata ibu yang sedang melakukan pembayaran tersebut complaint, kok harga di kasir lebih mahal dari label harga yang tertempel di rak. Ibu itu wajar saja protes. Tapi rupanya kasir saya merasa dirinya sedang dipersalahkan, diapun membela diri bahwa harga di komputer yang benar. 

 

Peristiwa yang hampir sama, bisa juga terjadi karena salah penempatan label di rak. Mungkin karena salah menuliskan angka harga, atau karena salah menempatkan label akibat display barang dagangan bergeser tapi labelnya lupa ikut digeser. Sementara ini penulisan label di “Madurejo Swalayan” masih secara manual. Ini memang jalan pintas yang masih bisa dimaklumi mengingat untuk nge-print label sejumlah ribuan item barang, tentu sangat menyita waktu.

 

Kejadian salah penempatan label sebenarnya umum dialami oleh toko swalayan modern kelas lokalan yang baru buka. Selalu saja ada hal-hal yang terlewat untuk dipersiapkan dengan sempurna. Sebenarnya hal seperti ini sudah diprediksi bakal terjadi, hanya saja saya terlewat memberi pengarahan kepada para pegawai. Ditambah lagi, semua pegawai “Madurejo Swalayan” adalah orang-orang muda yang baru lulus SLTA, belum punya pengalaman kerja, masih belum punya banyak jam terbang dalam bermasyarakat, dan yang paling penting adalah masih belum terampil dalam berkomunikasi. Hal yang terakhir ini memang tidak ada sekolahnya. Kalau ilmu komunikasi sangat banyak guru dan bukunya, tapi keterampilan dalam sesrawungan (berinteraksi sosial) adalah lain hal. 

Ihwal eyel-eyelan kasir dengan ibu yang complaint tadi, segera saja saya menengahi. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta maaf kepada ibu itu dengan sedikit tambahan penjelasan bahwa ada kesalahan dalam pemasangan label harga. Mudah-mudahan permintaan maaf saya dapat menetralisir kekecewaannya, meskipun saya yakin tidak sepenuhnya demikian. Hikmah dari peristiwa itu, justru seharusnya kami berterima kasih kepada ibu itu karena telah memberitahukan bahwa ada kesalahan dalam pelabelan harga barang. Namun sayang, penyelesaian yang diberikan oleh kasir agak kurang manis. Apa hendak dikata, ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi.

***

Segera setelah kejadian itu, briefing saya berikan kepada segenap pegawai toko. Kalau ada yang salah, maka itu bukan salah kasir atau penjaga toko melainkan salah manajemen toko dalam mempersiapkan SDM-nya. Inilah akibatnya kalau buka toko tapi mesti kejar tayang, hingga hal-hal non-teknis menjadi terlewat untuk memperoleh perhatian yang semestinya.

Prinsip kami dalam melayani pengunjung toko berpedoman pada semboyan “pembeli adalah raja”. Semboyan ini senantiasa dipahamkan dan berulangkali diingatkan kepada para pegawai. Entah pengunjung itu membeli sesuatu ataupun tidak, maka tetap dia harus dilayani bak seorang raja (atau ratu, kalau perempuan).

Sesungguhnya, selama ini saya sendiri tidak pernah percaya dengan semboyan itu. Atau lebih tepat kalau disebut skeptis. Bagaimana tidak, seumur hidup saya telah berpengalaman jadi pembeli tapi rasanya belum pernah diperlakukan seperti raja. Sering-sering malah cenderung “diakalin” saja sama penjualnya. Tapi ya nurut saja, tidak bisa berbuat apa-apa, paling-paling nggrundel di belakang…..

Baru sekarang ketika saya sedang belajar untuk menjadi penjual yang professional, saya paham betapa pentingnya arti semboyan bahwa pembeli adalah raja. Lha wong namanya raja, ya ndak mau disalahkan. Kalaupun bisa, ya tetap ndak mau….. Pokoknya, “raja” adalah oknum yang harus selalu dianggap benar, betapapun nyebelin-nya…… Pelayanan terbaik harus tetap diberikan. Maka melayani pembeli adalah seperti melayani seorang raja.

(Terakhir sempat saya baca di koran, hanya Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand yang dengan arif mematahkan pepatah bahwa menganggap raja tidak pernah berbuat salah adalah penghinaan. Sayangnya Raja Bhumibol bukan pelanggan “Madurejo Swalayan”……).

Filosofi itulah yang saya coba tanamkan dalam diri para pegawai “Madurejo Swalayan”. Oleh karena itu, setiap kali terjadi perselisihan, atau complaint dari pengunjung toko, maka asumsi pertama yang harus digunakan adalah bahwa pembelilah yang benar dan manajemen tokolah yang salah. Tentu saja kekecualian diberlakukan kalau perselisihan itu disengaja atau jelas-jelas perilaku tidak wajar dari pembeli, maka itu bukan insiden, melainkan niat buruk yang perlu ditangani berbeda..

Maka kalimat wajib yang harus disampaikan ketika berada dalam situasi seperti itu adalah diawali dengan kata “maaf” dan diakhiri dengan ucapan “terima kasih”. Asal mengucapkan kata “maaf”-nya jangan pakai “p” dan jangan terlalu boros, nanti dikira sedang shooting film “Bajaj Bajuri“…….

Penggunaan kata “maaf” dalam tradisi pergaulan masyarakat di Indonesia memang agak berbeda nuansa batin dan sense-nya dibanding dengan kata “Im sorry” dalam tradisi pergaulan barat . Oleh karena itu mengumbar pengucapan kata “maaf” perlu dikelola dengan pas, meskipun baik, jangan-jangan malah nanti diterjemahkan oleh pelanggan bahwa kita memang sering berbuat salah dalam mengelola toko. Jadi memang perlu teknik penyampaian yang “strategis”. Caranya bagaimana? Ya, enggak tahu….., tidak ada rumus yang sama bagi setiap orang dan setiap kondisi. Siasati aja sendiri ……

Madurejo, Sleman – 11 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(23) Iklan TV, Waspadalah…! Waspadalah…!

13 Desember 2007

Kira-kira pertengahan bulan puasa yang lalu, saya melihat ada bangunan bakal mall baru di Jl. Solo, Yogyakarta, kok sudah mulai ramai. Padahal mall-nya belum jadi. Karena penasaran, saya dan istri mencoba masuk ke mall yang belum jadi itu. Rupanya di lantai dasar mall sudah beroperasi supermarket baru, “Diamond” namanya. Meskipun tampilan bangunannya masih berantakan, pasar super ini rupanya juga tidak mau melewatkan momentum lebaran, sehingga sudah mencuri start di dasar mall Saphir Square yang belum jadi.  

 

Hal yang saya sukai adalah bahwa supermarket ini ternyata juga melayani grosiran (kalau kerja bakulan yang dicari ya sumber-sumber kulakan yang seperti ini). Hal yang kemudian menarik perhatian saya adalah ketika saya lihat beberapa orang pada mborong Mie Sedaap Sambal Goreng. Bahkan sampai berkarton-karton. Mudah ditebak pasti bukan untuk dikonsumsi sendiri. Untuk pesta juga tidak mungkin. Maka untuk apa lagi kalau bukan untuk dijual kembali, dan pemborong itu pasti seprofesi dengan saya…

Tapi kenapa Mie Sedaap Sambal Goreng, padahal banyak Mie Sedaap yang lain, atau Indo Mie, Super Mi, Sarimi, dsb. Pada saat itu saya benar-benar tidak tahu sebabnya. Hanya karena tidak ingin ketinggalan dan kehilangan momentum, maka saya pun latah ikut-ikutan mborong beberapa karton Mie Sedaap Sambal Goreng. Perilaku bodoh sebenarnya, tapi karena menurut analisa “quick count” plus sedikit feeling tidak bakal rugi, maka dilakukan juga. Sesial-sialnya, kalau saya jual di “Madurejo Swalayan” ditambah keuntungan Rp 50,- sampai Rp 100,- pasti laku, pikir saya.

Esoknya mi instan tersebut sudah terpajang di toko. Reaksi pasar ternyata di luar dugaan. Mi tersebut termasuk jenis mi instan yang cepat laku dan dipilih konsumen di antara mi-mi yang ada. Ketika stok mulai menipis, saya pun kembali ke “Diamond” supermarket karena saya yakin harganya masih rada miring. Sialnya di sana stok kartonan sedang kosong, sudah habis dibongkar dan dipajang di rak. Terpaksa harus agak repot, mengumpulkan bungkus demi bungkus mi yang sudah dipajang, kemudian dikartonin sendiri menggunakan karton seadanya, hingga terkumpul beberapa karton.

Dalam hati saya masih bertanya-tanya, kenapa Mie Sedaap Sambal Goreng ini laris manis. Apa memang rasanya lebih yahud? Saya sendiri belum pernah mencobanya, sebab saya pikir tidak ada bedanya dengan mi-mi lain sejenisnya. Sampai akhirnya seorang pelayan toko saya berkata bahwa barangkali orang-orang tertarik dengan iklannya di televisi. Tertarik dengan iklan TV? 

(Beberapa bulan terakhir ini saya memang jarang sekali nonton TV, boro-boro memperhatikan iklannya. Cukup baca koran seperlunya dan dengerin kilasan-kilasan berita di radio sambil nyopir. Yang saya tangkap dari headline-headline berita radio maupun surat kabar, konon negeri Indonesia sudah banting setir jadi “Indonesia Swalayan”, karena para abdi atau pelayannya, punggowo dan bolo kurowo-nya, sibuk melayani kebutuhan dirinya sendiri dan mengisi keranjang belanjaannya masing-masing. Kecuali para wakil bolo-kurowo yang keranjangnya sudah ada yang mengisikan sepuluh juta per bulan, itupun masih ada yang diam-diam pinjam keranjang belanja orang lain….. Bedanya dengan “Madurejo Swalayan” hanya soal omset. Yang satu ngurusi cepek-nopek, yang lain ngurusi cepek jut-nopek-jut. Kalau pada suatu saat CEO-nya berotasi tukar kursi ya tidak jadi soal, wong punya pengalaman yang sama…….)

Ketika akhirnya saya sempat melihat iklan Mie Sedaap Sambal Goreng di TV, saya baru benar-benar ngeh. Woooow…., pantesan mie sambal goreng ini laris manis tanjung kimpul….. Rupanya konsumen terpesona persis seperti orang-orang di iklan TV-nya yang sampai terlenakan, terbengongkan dan seakan terhipnotis gara-gara sajian Mie Sedaap Sambal Goreng yang jelas terasa sedaapnya……. Seperti tertulis dalam bungkusnya : “Kriuk…!!! Kriuk.. !!!”, begitulah bunyinya.

***

Pada suatu hari ada seorang ibu yang berbelanja dan bertanya apakah ada agar-agar Titik Puspa. Saya hanya tersenyum, saya pikir ibu ini bercanda. Agar komunikasi tetap berjalan dua arah, saya coba bertanya agar-agar yang seperti apa ya? Si ibu menjelaskan : “Itu lho, yang di TV ada Titik Puspa-nya…”.

Wah…, wah…, wah…, kali ini saya benar-benar telmi (telat mkir). Saya coba mengingat-ingat, rupanya yang dimaksud ibu itu adalah agar-agar Satelit cap Burung Sriti, So Well ! (tanda serunya gede banget). Tentu saja saya tidak boleh mentertawakan kejadian ini. Kalaupun mau mentertawakan, pastinya mentertawakan diri sendiri akibat ketelmian saya. Salah sendiri… jarang nonton TV.

Akibat jarang nonton TV juga saya sempat tertawa…, sampai kal-pingngkal…, ketika seorang pelayan perempuan di toko saya melaporkan bahwa ada beberapa pengunjung toko yang menanyakan susu bantal. Lho…, susu atau bantal?. Itu dua benda yang saya sukai. “Bentuknya seperti apa?”, tanya saya penasaran mengingat di toko sudah tersedia segala macam bentuk susu, dan bantal bayi juga ada. “Ya, susu segar biasa tapi bungkusnya seperti bantal……”, jawab pelayan toko. Sungguh saya belum bisa membayangkan, karena memang belum pernah melihatnya, mendengar namanya pun baru kali itu. “Seperti yang diiklankan di TV itu lho, Pak….”, tambah pelayan toko saya.

Akhirnya saya temukan juga produk itu. Gene….., hanya sejenis susu segar UHT yang dikemas berbentuk segi empat seperti bantal tapi berukuran kecil. Warna kemasannya ada yang hijau dan ada yang biru. Kalau dipegang terasa empuk kenyal-kenyal. 

Lagi-lagi, kata kuncinya ternyata adalah iklan di televisi. Nampaknya, kini sesekali saya mulai perlu mencermati dan mewaspadai iklan televisi. Betapapun iklan televisi sering menjengkelkan saya, ternyata beberapa kata kunci produk yang umumnya dijual di mini-market, ada di sana. Produk apa yang sedang gencar nyisip di acara TV, bisa diramalkan produk itu pula yang akan dicari dan ditanya konsumen, meskipun awalnya mungkin konsumen hanya sekedar ingin tahu dan coba-coba. Betapa dahsyatnya pengaruh iklan di televisi. Pantesan para produsen rela membayar milyaran rupiah untuk memperkenalkan produknya di layar kaca. Memang terbukti hasilnya.

Hal ini terutama terjadi di komunitas masyarakat pinggiran. Arus informasi cenderung datang searah, oleh karena itu berebut menjejali. Kalau bagi masyarakat perkotaan barangkali lain, karena tanpa nonton TV pun setiap detik setiap langkah sudah dikepung dengan iklan. Segala macam informasi berdatangan tanpa dicari, tapi punya banyak pilihan.

***

  

Bagi pelaku usaha ritel, sekali-sekali menthelengi (menatap tajam) siaran televisi barangkali ada manfaatnya. Agaknya memang sesekali perlu waspada terhadap iklan di televisi, siapa tahu ada iming-iming baru. Waspada, agar tidak ketinggalan momentum meraih untung secepatnya atas produk yang sedang gencar dipromosikan. Waspada, agar tidak kelihatan bodoh di depan pelanggan. Dan, tidak perlu bingun (sengaja tidak diakhiri “g”) ketika ada produk susu segar bermerek dagang Real Good, dikemas seperti bantal, empuk kenyal-kenyal, dihargai sedikit lebih mahal, ….. dan ternyata laku dijual….

Pintar-pintarnya ……., mengemas suatu produk yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi tampil beda dan berani memberinya julukan rada nyleneh agar mudah diingat (pasti lebih mudah mengingat sebutan susu bantal dari pada Real Good). Kalau soal produk susu segar yang dikemas menjadi kotak atau botol, macamnya sudah buuuanyak sekali di pasar, tapi yang kemasannya empuk kenyal-kenyal seperti bantal, ya baru susu bantal Real Good buatan Malang itulah….

Runyamnya kalau sudah begini, biasanya nanti muncul susu bantal-susu bantal baru, cap Kasur, cap Guling, cap Lampit.………… Kessihan deh, para “inovator” di negeri ini…….

Madurejo, Sleman – 7 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(22) Memasang Spanduk, Siapa Takut?

13 Desember 2007

Salah satu resiko bagi orang yang membuka usaha adalah didatangi orang yang minta sumbangan. Macam-macam alasan dan tujuannya. Menghadapi hal yang demikian, saya menetapkan policy, bahwa prioritas diberikan kalau permintaan sumbangan itu datang dari kalangan desa setempat. Di luar itu, sumbangan ala kadarnya saja. Bagaimanapun juga, masyarakat setempat adalah stakeholder yang perlu diberi perhatian lebih. Belakangan terpikir, bagaimana agar tidak sekedar memberi sumbangan, melainkan bisa saling take and give.    

 

Terakhir datang permintaan sumbangan dari panitia “mujahadah” desa Madurejo. Panitia ini akan menggelar acara mujahadah umum di Balai Desa yang akan melibatkan segenap warga masyarakat muslim desa Madurejo khususnya dan kecamatan Prambanan umumnya. Acara akan dipimpin oleh seorang Kyai yang cukup disegani di sana.

 

 

Mujahadah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya berdoa dengan kesungguhan. Istilah majelis mujahadah dalam bahasa populer dapat disamakan dengan istilah majelis istighosah, dzikir bersama, doa bersama, dan yang semacam itu yang sempat “nge-trend” dimana-mana. Sebutan istilah mujahadah ini sangat lekat di kalangan masyarakat muslim di daerah seputaran Yogyakarta, khususnya yang berbasis di pesantren tradisional. 

 

Melihat latar belakang yang demikian, maka tidak ada salahnya forum ini dimanfaatkan sebagai ajang woro-woro (pemberitahuan). Sumbangan uang diberikan sebagai wujud tanggungjawab sosial toko “Madurejo Swalayan”, sekaligus sebagai ibadah bagi pemiliknya. Akan tetapi juga terselip sisi “muamalah”-nya bahwa sebagai pihak yang turut menjadi sponsor bagi acara tersebut, maka selembar spanduk bertuliskan logo, nama dan alamat toko akan dipasang di arena mujahadah.

 

Jadi, kalau memang diperlukan harus memasang spanduk, siapa takut? Meskipun “Madurejo Swalayan” belumlah ada apa-apanya dibandingkan dengan mini-market atau toko swalayan sejenis yang ada di Yogya bahkan di pinggirannya, namun siapa lagi yang akan nguri-uri (menghidup-hidupkan), kalau bukan dirinya sendiri. Dan, dirinya “Madurejo Swalayan” telah siap melakukan berbagai jurus untuk membesarkan dirinya.

 

***

 

Tiba waktunya pagelaran majelis mujahadah, acara berlangsung malam hari mulai sekitar jam 21:00 WIB hingga selesai tengah malam. Dari kejauhan saya lihat spanduk “Madurejo Swalayan” sudah terpasang disana. Dalam hati saya berkata, ratusan orang-orang saleh yang datang dari berbagai penjuru kecamatan Prambanan dan sekitarnya, tentu akan melihat dan membaca spanduk itu, saat mereka memasuki arena majelis mujahadah. Mereka pasti orang-orang saleh, paling tidak pada malam itu. Sebab kalau malam itu tidak saleh tidak mungkin mau menyempatkan hadir, bahkan berombongan dan berdesak-desakan naik truk atau angkutan bak terbuka, berbaju koko-bersarung-berpeci dan berkain kerudung. Semoga terkirim doa tulus bagi segenap warga masyarakat Madurejo dan sekitarnya, dan “Madurejo Swalayan” terselip di dalamnya. 

 

Tidak perlu berharap yang muluk-muluk. Cukup kalau ada lima sampai sepuluh orang saja dari ratusan yang hadir malam itu, terangsang ingin tahu lalu menyempatkan untuk mampir ke “Madurejo Swalayan” di lain hari. Tidak usah belanja, cukup kalau mau mampir saja. Sebab, multiplier effect dari yang sepuluh orang itu saja sudah luar biasa dampaknya bagi publisitas atau upaya pengenalan atas sebuah tempat usaha baru yang lokasinya ada di sekitar tempat tinggal mereka.

 

Terbukti beberapa hari sesudahnya, ada seorang ibu pegawai negeri siang-siang mampir ke toko (entah pulang dari kantor, entah mbolos dari kantornya), yang dengan jujur bercerita bahwa beliau baru tahu ada toko “Madurejo Swalayan” setelah membaca spanduk di acara mujahadah. Bingo….! Semoga masih ada sembilan orang lagi yang bernasib sama seperti ibu itu, meskipun tidak cerita. Itulah salah satu yang diharapkan dari jurus woro-woro, iklan atau promosi. Tentu bukan satu-satunya cara, masih banyak cara lain yang dapat ditempuh. Gagasan-gagasan dan terobosan-terobosan baru terus digali dan dipikirkan (seringkali sambil tidur…..).

 

Jika harus memasang spanduk untuk melakukan promosi, tidak selamanya berarti bagaimana mengajak orang untuk datang ke “Madurejo Swalayan”, melainkan juga bagaimana agar keberadaan “Madurejo Swalayan” dapat diterima dan dirasakan sebagai bagian dari komunitas di sana. Sesuai dengan visi dan misi toko ini : mengajak masyarakat desa Madurejo untuk beribadah bersama-sama di bidangnya masing-masing. Sederhana saja….. 

 

Madurejo, Sleman – 5 Desember 2005.

Yusuf Iskandar

(21) Gethok Tular

13 Desember 2007

Idealnya sebelum toko buka, atau menjelang “soft or grand opening”, terlebih dahulu perlu dilakukan woro-woro (pemberitahuan) kepada khalayak. Paling tidak agar masyarakat desa sekitar, yang adalah bakal calon pelanggan, tahu bahwa akan dibuka toko baru yang siap melayani kebutuhan mereka. Semula memang sudah digagas akan membuat semacam selebaran untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun karena dikejar jam tayang harus buka sebelum bulan puasa, maka segenap energi terkonsentrasi penuh pada masalah tokonya sendiri. Sedangkan soal thethek bengek promosi, iklan, dsb, agak terabaikan. Maklum, karena memang tidak ada bagian khusus yang menangani hal itu.

Hal pertama yang terpikir menjelang beroperasinya toko adalah mengadakan selamatan syukuran. Selamatan atau syukuran adalah tradisi yang saya pikir sangat baik untuk dilestarikan. Esensinya adalah berbagi nikmat rejeki. Bentuknya adalah membagi-bagikan sekotak nasi komplit cukup untuk makan malam satu keluarga dan doa bersama.

Sebagai warga baru, saya perlu melakukan kulo nuwun akan numpang mencari nafkah di desa itu. Sebagai warga beragama, saya perlu berbagi kenikmatan kepada tetangga-tetangga baru saya dengan mengajak mereka untuk berdoa bersama sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Namun yang tidak kalah penting, dalam forum itu saya punya kesempatan untuk melakukan perkenalan tentang “Madurejo Swalayan”.

Maka terkumpullah warga dan tetangga baru se-RW yang jumlahnya lebih seratus orang. Termasuk dalam list undangan ada para punggawa desa, Pak Lurah, Pak Dukuh dan Pak RW. Acara ini terselenggara atas kerjasama yang baik dengan seorang sesepuh yang kebetulan masih ada “pernah-pernahan” hubungan saudara.

Tidak semata-mata saya berpromosi agar : “Mari berbelanja di Madurejo Swalayan”, cukup kalau masyarakat sekitar lego-lilo-legowo menerima kami sebagai bagian dari warganya yang sedang membuka usaha baru toko swalayan. Jika hal itu terjadi, maka terbangunlah sistem komunikasi gethok tular, cerita dari mulut ke mulut, yang cepat atau lambat berfungsi sebagai media promosi secara tidak langsung. Kali ini saya tempuh metode gethok tular terselubung.

Hasilnya, setelah itu kami jadi punya kenalan-kenalan dan tetangga-tetangga baru yang bisa diajak bertegur sapa. Ada acara buka bersama di kampung, alhamdulillah, kami juga diundang. Ada kegiatan keagamaan di masjid, kami juga diundang. Maka, menguasai sedikit saja “bahasa” agama, sangat membantu dalam memperlancar komunikasi dan silaturrahmi di tengah komunitas yang mayoritas warga muslim tradisional.

Di forum selamatan itulah, sambil duduk lesehan dan bersila, saya mesti menyampaikan kata sambutan dalam bahasa Jawa halus. Sekali-sekalinya seumur hidup saya. Ternyata kok ya tidak gampang….

Padahal seingat saya, sejak lahir cenger saya ditimang-timang dan diajari berbahasa Jawa. Nenek moyangku juga wong Jowo. Di sekolah pernah diajari bahasa Jawa gagrag anyar. Setiap hari juga banyak ngomong coro Jowo. Kalaupun berkomunikasi bahasa Indonesia dan Inggris pun tetap dengan logat Jawa. Kelakuan juga nJawani. Eee… giliran harus menyampaikan sepatah-dua patah kata, dan menurut kebiasaan disampaikan dalam bahasa Jawa kromo hinggil, tiba-tiba rada gelagapan. Butiran keringat sak jagung-jagung menetes karena energi terkuras seketika untuk mencari pilihan kata-kata yang pas. Hanya sedikit rasa pede saja yang akhirnya membuat everything is under control…… 

Lega sudah, satu momen penting terselesaikan malam itu, dua hari menjelang toko buka.

 

***

Cara lain yang saya lakukan untuk berpromosi adalah masih dengan menggunakan metode “word of mouth”, gethok-tular tapi secara terbuka, langsung kepada sasaran. Karyawan-karyawan toko yang semuanya warga masyarakat sekitar, saya bebani misi untuk bercerita kepada segenap saudara-saudaranya, tetangga-tetangganya dan teman-temannya bahwa akan dibuka toko baru yang namanya “Madurejo Swalayan”. Para tukang yang masih bekerja menyelesaikan bagian belakang toko juga saya minta melakukan hal yang sama. 

Rupanya cara ini cukup efektif. Terbukti pada hari “H”, tanggal 2 Oktober 2005, hari pertama yang direncanakan untuk mulai beroperasinya toko, banyak orang-orang desa yang mampir. Seorang ibu yang biasa buka warung di Pasar Gendeng (diucapkan seperti membaca kata “klenteng”), warung dimana saya biasa beli nasi bungkus untuk makan siang selama sebulan mempersiapkan “grand-opening” toko, juga sempat berkunjung dan memperkenalkan diri. Bagi saya ini bukan komunikasi perkenalan biasa, melainkan perkenalan ekonomis.

Tidak ada pengguntingan pita, tidak ada pelepasan balon, tidak ada halo-halo. Pokoknya : “Bismillah… niat ingsun mencari rejeki yang halal…..”, lalu ….. regedeeeek…….. dibukalah pintu toko. Saya sebagai CEO “Madurejo Swalayan” (seprono-seprene nyambut gawe ketemu orang stress karena pangkat ndak naik-naik, sekarang saya bisa mendapukkan diri jadi CEO), siap menyambut dan melayani pengunjung toko.

Tidak banyak yang saya harapkan di hari-hari awal beroperasinya toko. Harga BBM baru naik kemarinnya, jadi wajar saja kalau saat itu adalah saatnya orang banyak berhitung (kadang-kadang berhutang) sebelum membelanjakan uangnya. Teriring doa, meskipun jumlah uangnya tidak banyak, mudah-mudahan lumintu lan mberkahi (langgeng dan menjadi berkah)…

Madurejo, Sleman – 4 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(20) “Impulse Buying”

13 Desember 2007

Rekreasi? Jalan-jalan ke mall? Membeli kebutuhan keluarga ke supermarket? “Lets go….., ayo anak-anak berangkat….”, sang Bapak memberi komando tanda siap berangkat.

Lalu, niat ingsun dari rumah hendak membeli sabun mandi, sabun cuci, odol, sampo, gula, teh, kopi, susu dan pembalut wanita. Total jendral menurut rencana ada sembilan item yang hendak dibeli. Berangkatlah satu keluarga, bapak, ibu dan anak-anak, pergi rombongan keluar rumah, sembari jalan-jalan, rekreasi, membeli kebutuhan keluarga ke toko swalayan terdekat.  

Begitu masuk toko swalayan……. jreng….., berhamburanlah bapak-ibu kemana, anak-anak entah kemana…… Beberapa puluh menit kemudian (terkadang jam), satu keluarga ketemu di antrian menuju kasir. Anak yang satu bilang : “Saya ambil ini, ya Pak?”. Anak yang satunya lagi bilang : “Saya ambil ini sama ini, ya Bu?”. Sang Bapak dan Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum : “Iya”.

Setelah barang belanjaan di-scan sama mbak kasir, ngak-ngik…ngak-ngik…., lalu dibayar. Meninggalkan toko dengan senyum kemenangan. Lalu iseng-iseng dilihat struk belanjaan. Betapa kagetnya, ternyata jumlah belanjaan hari itu bukan sembilan item seperti yang direncanakan semula, melainkan jadi sembilan belas item, bahkan dua puluh sembilan item. Begitu sampai rumah, belanjaan dibongkar, eh… ternyata odolnya atau gulanya malah belum terbeli. Kok bisa? Dari mana datangnya barang belanjaan sebanyak itu? Ya, dari matanya bapak-ibu-anak-anak turun ke keranjang belanja……   

Haqqun-yakil…, siapa saja yang membaca tulisan ini pasti pernah mengalami hal yang serupa cerita di atas, termasuk yang menulis cerita. Itulah hebatnya apa yang disebut “impulse buying”, yang maksudnya pembelian seketika atau pembelian yang tak direncanakan. Dan peristiwa semacam ini hanya mungkin terjadi di toko ritel swalayan, tidak di toko tradisional. 

***

Tahukah Anda kenapa di atas rak-rak dekat kasir selalu tersedia aneka permen, snack dan barang-barang kecil yang sepertinya disusun sedemikian menariknya? Tidak lain, tidak bukan, agar sambil Anda ngantri menuju kasir, maka tangan-tangan lentik putra-putri Anda yang lucu-lucu akan dengan gesit dan cekatan menyabet aneka permen dan makanan kecil di sekitar rak tersebut.

Bukan hanya anaknya, Bapaknya pun bisa tiba-tiba ingin membeli rokok, padahal rokok di saku masih ada. Atau, tiba-tiba ingin membeli permen pelega tenggorokan, padahal tenggorokannya sehat-sehat saja. Atau, tiba-tiba merasa perlu beli batu batere, padahal belum tahu mau dipakai apa. Buat cadangan, katanya. Belum lagi ibunya, entah kenapa melihat sesuatu benda ditimbang-timbang kok harganya lebih murah dari biasanya atau di tempat lain. Maka, diambil dan digabungkanlah semua hasil sabetan tiba-tiba itu ke dalam keranjang belanja yang sudah mau mbludak…..    

“Sssttttt…., ini rahasia antar teman saja………, jangan bilang-bilang……”. Semua itu memang disengaja oleh si empunya toko. Disengaja agar para pengunjung tokonya terdorong untuk melakukan “impulse buying”. Tapi berani taruhan, meskipun Anda sudah tahu rahasia ini, tetap saja lain waktu masuk toko swalayan, entah kapan dan dimana, kejadian serupa akan terulang dan terulang dan terulang lagi…….. 

Itulah ruarrr biasanya virus penyakit yang namanya “impulse buying”. Sekalipun kita tahu bahayanya, tetap saja dengan sukarela membiarkannya terjadi dan terjadi lagi. Bagi para penentang perilaku konsumtif, penyakit ini dikategorikan sebagai musuh utama para konsumen. Tapi jika para penentang itu berada dalam situasi seperti di atas, dia pun tidak mampu menghindarinya. Aneh tapi nyata…..

Sebaliknya bagi para peritel atau pengusaha toko swalayan, penyakit itu justru mutlak wajib ‘ain hukumnya untuk dipelihara, dikembang-biakkan dan jika perlu diriset agar lebih berdayaguna dan berhasilguna. Jangan pernah menyalahkan siapapun, itulah dunia persilatan jual-beli di toko swalayan. Menghindari masuk toko swalayan? Silakan berantem dulu dengan putra-putri Panjenengan yang manis-manis dan lucu-lucu di rumah…….

***

Saya paling senang kalau lagi berada di toko, lalu melihat satu keluarga masuk toko untuk berbelanja. Hampir pasti peristiwa “impulse buying” akan terjadi. Dan itu berarti barang dagangan saya akan banyak laku. Meskipun mungkin barang-barang yang digaet anak-anak tidak seberapa nilainya. Paling-paling permen atau gula-gula yang harganya sekitar Rp 500,- sampai Rp 1.000,-. Tapi jangan lupa, justru benda-benda remeh-temeh seperti itu mampu memberikan keuntungan Rp 100,- sampai Rp 200,-, yang artinya 20% margin keuntungan. Sebuah nilai yang cukup tinggi untuk standar mini market atau toko retail. Sebagai ilustrasi, kalau kejadian seperti itu berulang dalam hitungan dua item kali 25 kejadian, maka berarti keuntungan paling tidak senilai Rp 5.000,- sampai Rp 10.000,-. Kenyataannya, adegan seperti itu seringkali melibatkan lebih banyak item barang dalam puluhan kali kejadian.

Kecil? Tepat sekali. Itu sebabnya maka umumnya tidak dianggap signifikan oleh orang kebanyakan. Tapi tidak bagi pengusaha toko swalayan. Itu adalah nilai yang sangat signifikan. Karena pengusaha toko tidak melihatnya dalam kerangka satu atau sedikit kejadian, melainkan dalam sekian kali lipat kejadian. Bahasa bisnisnya disebut omset. Istilah yang sangat umum, tapi sangking umumnya jadi sering tidak berarti apa-apa bagi orang umum. 

Namun di balik semua kisah itu, terkadang hati ini dibuat trenyuh….

Pada suatu sore, seorang bapak dan anak perempuannya dengan berboncengan sepeda datang ke toko. Berpakaian rada lusuh, agaknya sang bapak baru pulang kerja. Melihat tampilan fisiknya, jelas ini orang desa warga sekitar. Bukan orang yang biasa belanja di toko swalayan di kota. Mereka lalu masuk toko, memutari rak-rak makanan bersama anak perempuannya, lalu mengambil beberapa yang diperlukan dengan tanpa menggunakan keranjang belanjaan.

Ketika sang bapak hendak membayar ke kasir, ndilalah anak perempuannya rada rewel. Tangan bapaknya ditarik-tarik, minta dibelikan makanan kecil atau snack-snackan sejenis Taro, Chiki, Chitos, dan pokoknya yang semacam itulah. Sang Bapak menolak, tapi sang anak terus saja merengek sambil menunjuk-nunjuk dan menarik-narik tangan bapaknya.

Melihat peristiwa itu, pikiran saya cepat menganalisa. Ada dua kemungkinan yang mendorong peristiwa itu terjadi : sang bapak tidak suka dengan jenis makanan seperti itu (yang konon kaya akan kandungan MSG), atau sang bapak uangnya tidak cukup. Menurut feeling saya, kemungkinan kedua lebih masuk akal yang menjadi penyebabnya. Inilah jenis “impulse buying” yang tidak seharusnya saya biarkan meng-“impulse”. Kita harus bijaksana, terpaksa turun tangan turut membantu sang bapak ngerih-rih (menenangkan) sang anak agar mereda rengekannya dan mau nurut sama bapaknya. Minimal, sang bapak tidak merasa dipermalukan oleh tingkah polah sang anak yang tentunya tidak bisa dipersalahkan. Lha wong namanya anak…… Benar-benar perjuangan yang tidak mudah, menaklukkan keinginan seorang anak.

Kemudian ……., terbayang di ingatan saya, ketika beberapa tahun yang lalu anak kedua saya minta dibelikan mainan yang harganya puluhan dollar dan tidak saya penuhi. Lalu anak saya gero-gero, nangis coro Jowo, ndeprok di depan sebuah toko di New Orleans. Untungnya masih ada sisa uang di saku. Lha kalau tidak?. Maka, saya bayangkan bapak di toko saya itu barangkali baru menerima upah hariannya yang jumlahnya benar-benar pas-pasan, sehingga mati-matian beliau tidak mau memenuhi permintaan sang anak, meski barangkali “hanya” menyangkut uang senilai Rp 850,- sampai Rp 1000,-

Subhanallah……., ternyata tidak cukup hanya berbekal ilmu Manajemen Ritel yang mesti saya pahami, melainkan juga Manajemen Hati…….

Madurejo, Sleman – 1 Desember 2005.
Yusuf Iskandar