Posts Tagged ‘business plan’

(45) Tuyul dan Mbak Pelayan

13 Desember 2007

Pada suatu ketika kasir dan pengawas “Madurejo Swalayan” terheran-heran, beberapa malam setiap laporan akhir setelah toko tutup diketahui uang di laci kasir yang disetorkan ternyata jumlahnya kurang dibanding dengan catatan yang ada di print-print-an kasir. Adakalanya jumlah tekornya sampai dua puluh ribuan, lain waktu empat puluh ribuan. Akhirnya management sistem pelaporannya dibenahi agar memudahkan untuk kontrol. Terlanjur ada pelayan yang jadi takut untuk disuruh belajar jadi kasir. Ada juga kasir yang pasrah ikhlas kalau misalnya upah bulanannya dipotong untuk mengganti. Tentu bukan itu solusinya. 

Pada ketika yang lain saya membantu ibu CFO mempersiapkan uang untuk upah bulanan pegawai. Sejumlah uang sudah disiapkan dan dihitung ulang sebelum dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Sejam kemudian amplop pun dibagikan masing-masing. Salah seorang diantaranya tidak langsung membuka amplopnya, melainkan langsung dikantongi. Sorenya dia pergi ke toko lain untuk membeli sesuatu. Ketika hendak membayar, amplop pun langsung dibuka di depan penjualnya. Begitu dihitung ……., lho  kok jumlahnya kurang seratus ribu rupiah? 

Sekitar seminggu menjelang lebaran haji yang lalu, masih di rumah saya meminta uang kepada ibu bendahara untuk membayar hewan korban. Rupanya ibu bendahara sudah menyiapkannya malam sebelumnya. Setelah saya terima dan saya hitung, kok jumlahnya kurang seratus ribu? Ibu bendahara pun heran, katanya semalam sudah benar menghitungnya. Ya sudah, digenapi saja lagi. Uangpun saya lipat lalu saya masukkan ke saku kiri depan celana blue jeans biru mangkrak Levis 501. Haqqun-yakil saku celana yang saya pakai tidak bolong sehingga uang di saku pasti aman tidak akan mbrojol 

Setiba di depan bapak panitia korban, uang pun langsung saya tarik dari saku dan saya serahkan begitu saja tanpa saya hitung lagi sebab saya ingat bahwa saku celana kiri depan tidak saya uthik-uthik sejak dari rumah. Eh, lha kok si bapak panitia korban nyeletuk : “Nyuwun sewu nggih pak, meniko artanipun kirang setunggal atus….” (maaf ya pak, ini uangnya kurang seratus). Sial tenan aku. Terpaksa merogoh dompet untuk menutupi kekurangannya. Jadi, sehari ini saja sudah terjadi pengeluaran tak terduga sejumlah dua ratus ribu rupiah. 

Apa yang sebenarnya terjadi sih? Kok punya uang sedikit saja salah-salah terus hitungannya. Menurut teori, semakin sedikit kuantitasnya seharusnya lebih mudah ngurusnya. Lain halnya kalau uangnya banyak, wajar kalau menghitungnya jadi susah enggak selesai-selesai. Ah, barangkali kasir, pengawas, pelayan, ibu bendahara dan saya sendiri kurang teliti sehingga melakukan salah hitung. Atau, barangkali ini teguran dari “Atasan” saya bahwa pemberian yang kami keluarkan selama ini terlalu sedikit. Ya sudah. Kisah uang hilang pun segera menghilang. 

Kali lain, ada rumor dari kasir dan pelayan. Katanya, ada orang yang menurut kabar angin memiliki tuyul terkadang belanja di “Madurejo Swalayan”. Dalam hati saya berkata “alhamdulillah”, berarti ada peluang untuk duplikasi pelanggan baru, bukan hanya pemilik tuyulnya tapi juga tuyulnya sekalian. Rupanya bukan itu yang jadi pokok soal kasir dan pelayan. Melainkan setiap kali orang yang ditengarai memelihara tuyul berbelanja, maka biasanya uang pembayarannya dipisahkan. Lho? 

Menurut shohibul-hikayat, kata kasir, kalau uang itu disimpan bersama uang yang lain bisa memancing sang tuyul untuk ngutil uang yang dikumpulinya itu. Wah, kalau cerita yang beginian saya baru tahu. Itulah sebabnya maka kasir pun mengambil inisiatif untuk memisahkan uang pembayaran dari orang yang digosipkan memiliki tuyul. Uang itu nantinya akan digunakan untuk pembayaran keluar, keperluan yang lain. Terserah sajalah, yang penting tidak dengan niat : biar uang orang lain saja yang uangnya dicuri tuyul…… 

Saya sendiri herman bin hueran, bagaimana kasir dan pelayan bisa tahu bahwa orang itu memiliki tuyul atau tidak. Rupanya, ada orang-orang tertentu yang sudah dikenali oleh masyarakat sekitar, memiliki peliharaan mahluk kecil gundul tidak kelihatan dan suka mencuri uang. Itulah bayangan saya tentang mahluk yang satu ini seperti visualisasi yang saya lihat di serial acara “bodoh” di televisi (ngerti ngono yo ditonton……., tahu begitu ya dilihat juga…..).     

***   

Apakah beberapa peristiwa kehilangan uang itu ada hubungannya dengan keberadaan mahluk yang disebut tuyul ini? Saya tidak tahu, dan saya juga tidak perlu menghubung-hubungkannya. Nanti ndak jadi vietnam….. Bukankah vietnam itu lebih kejam dari pembunuhan? Fitnah seperti ini memang paling enak untuk dijadikan bahan infotainment lokalan. 

Cilakanya, saya sendiri juga mendengar cerita yang kurang lebih sama dari warga Madurejo lainnya, termasuk dari sesepuh-sesepuhnya. Jadi, percaya-enggak-percaya, cerita seperti itu sudah menyebar di masyarakat rupanya. Sudah banyak juga toko dan warung yang ada di Madurejo dan seputarannya mengeluh telah mengalami peristiwa misteri kehilangan uang yang terjadinya seperti tidak masuk akal. Kebetulan ini ada toko baru, pasti pengelolanya belum berpengalaman ihwal yul-tuyyul, begitu barangkali strategi bisnis si empunya tuyul dan tuyulnya.  

Pendeknya, cerita tentang tuyul sering mewarnai romantika usaha mencari rejeki. Apalagi di tempat-tempat tertentu yang memang masih sangat kuat budaya dan tradisi gaibnya. Boleh juga kalau mau dianggap sebagai threats (ancaman). Cuma ya jangan dimasukkan dalam anggaran belanja bulanan toko, nanti ndak malah dimasukkan dalam business plan-nya tuyul.…… Terkadang cerita tentang tuyul mereda, terkadang muncul lagi. Begitu siklusnya. Mungkin saja sang tuyul juga punya zona-zona operasi tersendiri pada waktu-waktu tertentu. Ah, embuh-lah…….! 

Jadi? Wong namanya juga saya masih manusia biasa (bukan tuyul), kalau sudah ngomong-ngomong soal mahluk culas yang tidak kelihatan itu, saya sendiri terkadang suka gregetan bin mangkel dalam hati. Sampai suatu ketika saya nggrundel sendiri di kantor : “Kalau bisa saya tangkap itu tuyul, arep tak obong (maaf) silite (saya bakar duburnya) sekalian punya pemiliknya kalau perlu……”. Grundelan ini saya ucapkan dengan penjiwaan penuh seolah-olah menyugesti diri sendiri sedang berbicara di depan forum para tuyul itu. Mudah-mudahan kalau memang mahluk tuyul itu ada, mereka mendengar grundelan saya lalu lapor sama juragannya, lalu mereka berdua lari terbirit-birit. Itu, khayalan saya….. 

Yang jelas, sejak itu hingga saat ini saya tidak lagi mengalami atau mendengar cerita-cerita misteri tentang uang hilang. Barangkali administrasi kami memang sudah lebih baik dan kami pun sudah semakin cermat dalam menghitung uang, sehingga tidak lagi perlu terjadi kehilangan-kehilangan yang tidak perlu.     

Atau, kalau mahluk tuyul itu memang ada dan suka main-main ke “Madurejo Swalayan”, kini sudah sohiban sama mbak-mbak pelayan toko…….., malah bisa disuruh menjaga toko sekalian. Daripada tak obong tenan………!.

  

Madurejo, Sleman – 16 Pebruari 2006

Yusuf Iskandar

(35) Untung Atau Buntung?

13 Desember 2007

Seperti biasanya, setiap kali tiba waktu gajian bagi pegawai “Madurejo Swalayan”, saya berusaha untuk menyempatkan memberikan presentasi tentang kinerja toko kepada segenap pegawai, disamping memberi refreshing tentang manajemen pelayanan. Saya menganggap mereka perlu tahu seperti apa hasil yang dicapai oleh kerja mereka setiap harinya. Tidak harus sampai membicarakan detil angka-angka nominalnya, tapi paling tidak mereka memperoleh gambaran umum pencapaian dan perkembangan usaha toko selama ini.

Barangkali kebiasaan saya ini tergolong tidak lazim. Mana ada pelayan toko kok diberitahu rahasia dapur juragannya. Dimana-mana juga umumnya hanya mereka yang berada di “level atas” saja yang tahu tentang hal-hal semacam ini. Tapi ya…., begitulah. Bagaimanapun juga, secara manajerial mereka adalah juga pemilik bisnis. Saya kesampingkan hubungan pelayan-juragan dalam konsep visi manajemen tradisional. Saya bawa mereka, yang adalah juga stakeholders, ke dalam konsep visi manajemen modern.   

(Yen tak pikir-pikir……, jangan-jangan bisnis utama “Madurejo Swalayan” ini sebenarnya bukan bisnis ritel melainkan bisnis membangun visi. And if by chance ……,  yen ndilalah, praktek bisnis visi ini ternyata menyublim menjadi bisnis ritel berjudul “Madurejo Swalayan”, maka manage-lah bersama-sama agar tujuan bisnis utamanya tercapai. Selama masih bernama bisnis, tentunya tetap saja profit-oriented).   

***   

Ketika saya baru menyelesaikan draft material presentasi untuk para pelayan toko atau pramuniaga, lalu dipamerkan kepada CFO saya, bahwa puji Tuhan kinerja toko di bulan keempat ini cukup bagus. Mendadak-sontak, CFO saya mbengok (teriak atau bicara dengan volume tinggi) : “Apanya yang bagus! Wong, uangnya habis untuk mbayar tagihan dan kulakan, malah hampir tidak cukup untuk mbayari pegawai!”. (Inilah untungnya kalau CFO-nya bekas pacar. Dibengoki yo nyengenges saja, tetap kedengaran mesra di telinga).  

Rupanya memang masih ada “internal constraint” yang perlu dibenahi. Bahasa ilmu management-nya, komunikasi bisnis antara sesama tim manajemen toko ternyata belum sama dan sebangun. Sejauh apapun visi ke depan dilemparkan oleh CEO-nya, tapi rupanya sang CFO masih nggondheli (menahan di belakang) dengan visi tradisionalnya. Tidak perlu pethenthengan atau beradu tarik urat leher. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa satu-satunya pengalaman kerja sang CFO ini adalah bertahun-tahun “kerja bakti” menjadi CFO rumah tangga dengan spesialisasi bidang ngecakke duwit blonjo (mengelola uang belanja).  

Sebagai CFO rumah tangga, target kerjanya pun tidak baen-baen (sembarangan). Berapapun uang belanjanya (raw material), harus bisa mencapai target mencukupi dan memenuhi kebutuhan segenap keluarga (end product), sampai ke hal-hal yang kelihatannya tidak mungkin pun tetap harus cukup… kup…kup… kup…dan dicukup-cukupkan. Sungguh expertise yang luar biasa. Belum lagi selama bertahun-tahun jam kerjanya tak terbatas. Tugas dinas “overtime at anytime and anywhere” pun tidak pernah complaint. Padahal tidak pernah ikut pelatihan, tidak pernah ada yang memberi piagam penghargaan, tidak ada yang membuatkan surat referensi “to whom it may concerned” (dan jangan sampai terjadi, biso ciloko tenan aku…….), apalagi bintang maha-ibu kesetiaan.

Maka, untuk kesekian kalinya kudu telaten membeberkan dan menjelaskan sudut pandang evaluasi bisnis terhadap lembar business plan, laporan laba-rugi dan laporan produksi actual vs budget/target. (Wisss….., pokoknya sambil bernostalgia ingat sewaktu masih petentang-petenteng jadi orang gajian. Bedanya, kalau dulu pakai bahasa Inggris njawani, sekarang pakai bahasa Jawa keminggris). Dan, merubah sudut pandang bisnis seperti ini sungguh tidak mudah. Pokoknya kudu nrimo di-eyel terus…….., harus menerima kalau dibantah terus. 

Di mata CFO saya itu, simpel saja, wong cetho welo-welo (jelas-jelas) uangnya habis kok dibilang bagus. Beliaunya lupa, bahwa uang habis tapi stok barang bertambah yang berarti modal kerja telah ditambahkan dan terus diputar. Tindakan ini sebenarnya kalau dilaporkan ke KPK bisa berarti tindak pidana korupsi karena telah menggunakan dana perusahaan secara menyalahi prosedur. Lha iya to, wong hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan agar setelah tiga setengah tahun bisa digunakan untuk ekspansi. Ee…, malah diputar tidak sesuai rencana usaha alias mendahului melakukan ekspansi usaha.   

Tapi ya itulah seninya bakulan ritel. Kasus ekspansi usaha secara otomatis seperti ini akan terus terjadi dan anehnya memang sebaiknya terjadi. Maka nominal hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan di bawah bantal bulan demi bulan, dapat secepatnya terus diputar, pada setiap kesempatan. Tanpa disadari dan dikomando, sesungguhnya inilah salah satu terobosan cemerlang menggarap peluang melakukan skenario “sangat optimistik”. Karena perputaran bisnis dilakukan lebih awal dan lebih cepat (tidak perlu menunggu selama tiga setengah tahun), sehingga berpeluang memberikan Net Present Value lebih tinggi.    

Semakin besar nilai uang yang dihabiskan pada akhir bulan dan semakin habis uang cash yang dikantongi, dapat berarti gerak perputaran modalnya sudah pakai gigi 4. Berarti semakin besar pula laba yang muncul dalam income statement dan akan berarti pula positive cashflow lebih cepat dari yang diproyeksikan. Hanya saja, seperti apapun menggebu-gebunya semangat memutar uang dalam bisnis ritel ini, tetap perlu kendali agar selalu terukur perubahan dan pergerakannya (hal yang mustahil dilakukan dalam sistem bisnis tradisional).     

***   

Jadi, mbengok-nya sang CFO ini sebenarnya bukan salah, melainkan mbok ya sebaiknya jangan terlalu keras, karena ada penjelasannya. Bahwa uang cash di dompetnya memang habis, tapi usahanya berstatus sedang untung, bukan sedang merugi. Yang harus diwaspadai adalah kalau uang tunai habis untuk kulakan, tapi stok barang di toko seperti tidak bertambah, pergerakannya lambat, pengeluaran membengkak, tingkat penjualannya membentuk garis datar-datar saja dan aura tokonya kurang menggairahkan….. Maka lampu kuning harus dinyalakan kedap-kedip alias segera digelar sidang kabinet paripurna. Usaha ini sedang bergerak menuju untung atau rugi? “Whats wrong?”. Masing-masing pasti ada penjelasannya.  

Kalau seandainya “Madurejo Swalayan” ini tidak punya lembar business plan dan data-data untuk analisa ekonomi lainnya, ya setiap bulan cuma bengok-bengokan saja…… Sebab jadi sulit untuk memvisualisasikan kinerjanya, sedang untung atau buntung?. Kecuali cuma mbengok kalau uangnya habis dan kalau dompetnya penuh dieeeeeemmm aja……  

Madurejo, Sleman – 9 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(13) Skenario “Sangat Optimistik”

13 Desember 2007

Kendatipun sabar menanti itu perlu, saya nrimo dan tidak saya ingkari. Akan tetapi saya berusaha untuk tidak terpaku pada deretan angka-angka yang telah terhimpun dan diolah dalam rencana usaha (business plan) awal. Saya percaya bahwa selalu ada strengths (kekuatan) di balik setiap weaknesses (kelemahan), dan selalu ada opportunities di balik setiap threats (ancaman). Hal-hal gaib itu ada berpasang-pasangan. 

Bukankah hidup ini selalu berpasang-pasangan? Berarti pasangan itu pasti ada, tinggal bagaimana menemukannya sebelum kemudian mendayagunakannya. Kelemahan selalu dimiliki, tapi pasti ada sumber kekuatan yang dapat digunakan untuk menutupi kelemahan itu. Ancaman selalu menghadang, tapi pasti ada potensi peluang yang dapat digarap untuk menetralkan ancaman yang datang. Saya mencoba mencermati dan mempelajari lagi apa makna sesungguhnya di balik informasi business plan yang sudah dikutak-katik itu, selain angka-angka. Dari perenungan itulah yang akhirnya memantapkan hati saya bahwa membuka usaha ritel atau mracangan yang kemudian berjudul “Madurejo Swalayan” ini layak untuk dikerjakan. 

Pertama, saya temukan bahwa ini adalah “the real business”. Tidak ada the hidden value (nilai yang tersembunyi) di baliknya. Pernyataan ini bolah-boleh saja dibantah, tapi saya mempercayai di sana tidak ada istilah teman tapi mesra, untung tapi rugi. Teman ya teman, mesra ya mesra, kalau untung ya untung, kalau rugi ya rugi.

Kedua, terbuka lebar-lebar peluang (meski sulit, tapi harus terus dicari dan digarap) untuk menggenjot pertumbuhan omset penjualan dengan menambah satu lagi skenario tingkat penjualan, yaitu skenario “sangat optimistik” untuk mempercepat tingkat pengembalian modal. Indra ketujuh saya menangkap gelagat, bahwa naga-naganya ada banyak opportunities yang dapat digarap layaknya “business as unusual”. Buktinya, setiap hari bermunculan toko-toko baru, toko-toko yang lama pun banyak yang sukses dan berkembang. Tidak ada sebab lain yang paling berperan selain karena pertumbuhan omset penjualan yang luar biasa. Tinggal mempelajari bagaimana caranya….. (meskipun ada juga yang gagal ding, yang kalau dilacak katanya karena mis-management).

Ketiga, karena pada tahun keempat modal kerja saya sudah kembali (menurut opsi kedua) maka itu berarti pada tahun itu saya sudah bisa melakukan ekspansi. Entah meningkatkan modal kerja barang, entah memperluas toko yang sudah ada, entah membuka toko baru. Dalam prakteknya, meningkatkan modal kerja barang (isi toko) biasanya terjadi secara otomatis seiring dengan kemajuan toko. Kata mereka yang sudah berpengalaman, rugi sekali kalau sudah terbukti bisa meraih untung di toko kok hanya dipinjamkan ke bank (maksudnya ditabung saja). Lebih baik langsung diinvestasikan kembali, wong sudah jelas akan menghasilkan keuntungan. Bahasa pasarnya, uangnya diputar dan diputar kembali. 

Meskipun secara hitung-hitungan, dalam empat tahun belum semua modal awal akan kembali, tapi membuka toko baru dapat dilakukan dengan skala kecil dulu misalnya. Boleh juga pinjam uang (ke bank, koperasi, teman atau saudara) untuk beli lahan baru dan membangun tokonya sekalian. Tidak kalah penting, memanfaatkan lahan tidur atau properti tidak produktif miliknya mertua juga ide yang brillian. Kalau enggak mau capek me-manage toko sendiri, bergabung dengan perusahaan waralaba juga bisa jadi alternatif. Semua pilihan itu sungguh realistis, asal jelas dan dipahami hitung-hitungan ekonomis rencana bisnisnya, termasuk resikonya.

Namun bagi penganut aliran “Just Do It” atau yang masih berkutat dengan visi bisnis tradisional, sebaiknya menghindari bergabung dengan bisnis waralaba. Kecuali jika Anda (atau orang yang Anda percaya) sudah paham betul dengan sistem bisnis atau business plan yang ditawarkan. Semata-mata agar Anda tidak berbunyi-bunyi (grundelan atau memaki-maki) pada diri sendiri di tengah jalan, karena Anda menemukan hal yang tidak Anda ketahui atau pahami sebelumnya.

***

Melewati bulan keempat sejak “Madurejo Swalayan” beroperasi, saya memperoleh fakta baru yang di luar perkiraan semula. Skenario optimistik tingkat penjualan yang saya proyeksikan sebelumnya, berhasil dilampaui. Dalam istilah industri disebut over produksi. Alhamdulillah……., usaha bisnis ritel yang sedang mulai kami tekuni ini memang layak diteruskan dan dikembangkan.

Segera saya melakukan revisi (tepatnya, updated) terhadap business plan berdasarkan data-data aktual yang terkumpul hingga akhir bulan keempat. Revisi dilakukan dengan tetap menggunakan asumsi-asumsi yang sama seperti pada versi aslinya. Hasilnya, menurut Opsi pertama seluruh modal awal saya (aset dan modal kerja) akan kembali dalam waktu 6,7 tahun, dan menurut Opsi kedua (modal awal selain properti) akan kembali dalam 3,4 tahun.

Artinya, dalam tiga setengah tahun, Insya Allah, modal kerja saya akan kembali ditambah saya masih punya aset berupa properti lahan dan bangunan di pinggir jalan yang pasti nilai riilnya sudah meningkat. Kalaupun nantinya kena gusur untuk pelebaran jalan, moga-moga nilai ganti ruginya tinggi. Lumayan…., waktu yang diperlukan untuk pulang pokok agak lebih cepat dibandingkan dengan skenario optimistik awal yang saya perkirakan.  

Sementara di luar sana……., saya melihat bergentayangan sejuta kenampakan opportunities dari dunia lain yang dapat digarap lebih intensif lagi, guna mempercepat waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal saya di “Madurejo Swalayan”. Maka kiranya bukanlah hil yang mustahal untuk mewujudkan skenario tingkat penjualan yang “sangat optimistik”. Siapa tahu rencana ekspansi (kalau ada) dapat dilakukan dengan lebih cepat. God Willing………

Madurejo, Sleman – 7 Pebruari 2006
Yusuf Iskandar

(12) Sabar Menanti

13 Desember 2007

Kalau benar bahwa usaha toko swalayan atau bisnis ritel atau mini-market atau mracangan, itu menguntungkan : “Berapa lama waktu diperlukan untuk balik modal?. Atau : “Kapan balik modalnya?”. Itulah pertanyaan yang pernah ditanyakan oleh beberapa rekan, dan memang seharusnya ditanyakan. Sehingga sebelum kita benar-benar terjun ke kancah dunia persilatan peritelan, kita sudah punya gambaran yang meyakinkan bahwa bisnis ini layak atau tidak layak untuk ditekuni..

Kalau jenis pertanyaan itu yang menggangu pikiran kita sebagai calon pemain baru di bisnis ritel, maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan. Bertanya kepada penganut aliran “Just Do It”, atau kepada penganut aliran  “Just Plan It”. Jawaban dari kelompok yang pertama akan mengatakan : “Sudahlah……, pokoknya mulai lakukan saja, keburu para pesaing mendahuluinya……!”. Maka, kita pun lalu panik bin gedandapan (bergerak tergesa-gesa). “Iya, ya. Kalau keduluan orang lain bisa tewas kita…..”, demikian hati kecil kita akan terprovokasi.

Sedangkan kalau pertanyaan itu ditujukan kepada kelompok yang kedua, ijinkanlah pengelola “Madurejo Swalayan” yang mewakilinya (meskipun “Madurejo Swalayan” juga pemain baru, tapi setidak-tidaknya sudah mendahului start . …..). Jangan kemana-mana, ikuti yang berikut ini…….   

(Mohon maaf seribu kali maaf, saya merasa perlu untuk berulang-ulang mengatakan bahwa pilihan ini bukan soal salah atau benar, baik atau buruk, melainkan hanya soal selera. Sama seperti Anda lebih suka naik sepeda onthel atau sepeda jengki, makan nasi goreng atau nasi rebus, masing-masing ada konsekuensinya, ada plus-minusnya).

***

Mari kita tengok lagi lembar business plan “Madurejo Swalayan”. Data-data awal sudah diketahui : Modal tetap untuk beli tanah dan mbangun toko sebesar Rp 220 juta,- (kecil-besarnya angka ini tentu tergantung pada harga beli lahannya dan ongkos pembangunannya). Modal untuk menyediakan prasarana toko Rp 50 juta,-. Modal kerja untuk kulakan isi toko Rp 108 juta,-. Modal kerja operasional yang harus disediakan selama periode belum meraih keuntungan (saya cadangkan selama 5 bulan dengan rata-rata per bulan memerlukan sekitar Rp 4 juta,-), sehingga totalnya menjadi Rp 20 juta,-.  

Maka total modal yang diperlukan adalah Rp 398 juta,- (Rp 378 juta,- dana yang pasti dikeluarkan di tahap awal dan Rp 20 juta,- dana cadangan yang pengeluarannya di-icrit-icrit setiap bulan). Saya anggap rencana pembiayaan modal ini sebagai opsi pertama. Untuk keperluan hitung-hitungan ekonomi, saya mempertimbangkan perlunya ada opsi kedua sebagai pembanding.  

Opsi kedua adalah dengan tidak memasukkan modal tetap properti (lahan dan bangunan) dalam menghitung jumlah modal awal, sehingga total modal awalnya menjadi hanya Rp 158 juta,-. Alasan yang mendasari adanya opsi kedua adalah karena ada atau tidak ada “Madurejo Swalayan”, lahan dan bangunan tetap akan ada dan dibangun di sana sampai waktu yang tidak saya ketahui, mungkin 15 tahun, 25 tahun atau bahkan selamanya. Nilainya pun akan semakin naik, seakan-akan menjadi investasi tersendiri sebagai properti. Opsi kedua ini tidak akan saya ambil seandainya lahan yang ditempati “Madurejo Swalayan” merupakan lokasi sewaan, dimana umurnya terbatas sepanjang umur toko yang diproyeksikan dalam business plan.   

Setelah sejenak semlengeren (diam termangu-mangu) melihat angka Rp 378 juta,- duit kabeh……., kemudian kembali ke pertanyaan semula. Kalau semua uang itu saya investasikan untuk mbukak toko swalayan modern di pinggiran kota, apakah kira-kira uang itu akan kembali, dan kapan? Untuk melihat hal itu saya membuat dua versi skenario usaha berdasarkan perkiraan tingkat kemajuan penjualannya, yaitu : skenario pesimistik (kemungkinan terjelek) dan skenario optimistik (kemungkinan terbaik) tingkat kemajuan omset penjualan yang diperkirakan akan terjadi. 

Perkiraan tingkat penjualan rata-rata per hari yang saya patok pada bulan pertama (Oktober 2005) adalah Rp 750.000,- Angka ini saya jadikan target awal untuk kedua skenario pesimistik maupun optimistik. Dari mana angka itu saya peroleh? Awalnya ya cari di sawah, kemudian saya banding-bandingkan dengan pengalaman toko sejenis milik seorang saudara dan teman yang berlokasi di kawasan lain. Kemudian dipertimbangkan dengan potensi pasar di sekitar desa Madurejo dan peluang-peluang promosi yang dapat digarap di tahap awal ini. Maka ketemulah angka itu.   

Pada skenario pesimistik, saya perkirakan sejak bulan pertama hingga selama 15 bulan pertama (sampai akhir tahun 2006) akan mencapai rata-rata kenaikan 8%, diikuti dengan asumsi peningkatan sebesar 10% per tahun mulai tahun ketiga hingga tahun ke-15. Pada skenario optimistik, penjualan selama 15 bulan pertamanya akan mencapai rata-rata peningkatan 10%, dengan asumsi peningkatan tahunannya juga sama 10%. Angka pertumbuhan yang 10% ini (untuk sementara ini) saya anggap sebagai cukup realistis, seiring dengan asumsi tingkat inflasi dan ekskalasi.

Pada skenario optimistik ini saya melihat potensi dan peluang yang sekiranya akan mampu mendongkrak omset, antara lain menggarap secara lebih baik adanya peluang-peluang khusus seperti bulan puasa, lebaran, musim awal sekolah, bulan haji, dsb. (Untuk diketahui bulan haji atau bulan Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah adalah bulan dimana masyarakat Jawa sering punya gawe …, hajatan perkawinan).

Dari proyeksi hasil penjualan harian dan peningkatannya, maka akan dapat dihitung proyeksi keuntungan kotor yang dapat dikumpulkan per bulan dan per tahun dengan asumsi persentase margin keuntungan rata-ratanya 10%. Setelah dikurangi dengan biaya operasi bulanan, maka diperolehlah keuntungan bersihnya. Biaya operasi bulanan akan merangkak dari Rp 3,5 juta,- hingga Rp 5 juta,- pada tahun pertama, selanjutnya akan ada peningkatan (asumsikan saja) 10% per tahun.  

Dari angka-angka itu, maka saya dapat membuat prediksi laporan laba-rugi (income statement) per bulan. Pada skenario pesimistik, keuntungan (profit) akan mulai dapat dicapai pada bulan keenam. Sedangkan pada skenario optimistik, keuntungan (profit) dicapai lebih cepat yaitu mulai bulan ketiga. Timbunan angka-angka itu beserta rencana pengalokasian modal tetap (asset) dan modal kerja (working capital), kesemuanya menumpuk dalam business plan “Madurejo Swalayan”.

Dengan hitung-hitungan sederhana menggunakan “pipo londo”, akan dapat dibuat proyeksi aliran uang tunai (cashflow) tahunannya. Tampaklah kini, kapan modal saya akan kembali (break-even). Merujuk pada skenario optimistik, modal saya akan kembali seluruhnya dalam tujuh setengah tahun menurut opsi pertama dan dalam empat tahun menurut opsi kedua. Wah, kok suwe yo… (lama juga ya). Apakah saya cukup sabar? Nampaknya memang saya mesti sabar menanti kembalinya sang modal……..  

(Saya coba melamun ngangen-angen….., membayang-bayangkan, tujuh setengah tahun kelihatannya kok bukan waktu yang lama. Rasanya baru kemarin saya tiba di Tembagapura jadi orang gajian ketika anak kedua saya masih rambatan. Ee…., tiba-tiba saya sudah berhasil jadi penganggur terselubung di Yogya dan anak kedua saya yang kini kelas 6 SD itu sudah pecicilan minta diajari naik sepeda motor.

Barangkali waktu tujuh setengah tahun ke depan cukup bagi saya untuk mempersiapkan anak-anak saya menjadi calon CEO “Madurejo Swalayan”, kalau mereka mau. Kalau ternyata kelak memilih untuk  ngurusi bisnis nyambi jualan faktur pajak dan menjadi pengekspor fiktif, atau memilih untuk mencalonkan diri jadi presiden, itu sepenuhnya akan jadi pilihannya. Tugas saya adalah mempersiapkan mereka menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsanya, saleh secara individu dan saleh secara sosial. Insya Allah…….).

Madurejo, Sleman – 6 Pebruari 2006

Yusuf Iskandar

(10) Belum Untung Kok Sudah Mbayar Ini-Itu

13 Desember 2007

Tahun pertama atau lebih spesifik lagi dalam bulan-bulan awal sejak toko mulai beroperasi, bisa menjadi hari-hari panjang penuh kekhawatiran dan ketidaksabaran. Khawatir kalau-kalau usaha toko tidak jalan, tidak didatangi calon pelanggan, tidak ada pemasukan yang diharapkan. Tidak sabar ketika usahanya tersendat-sendat, tak kunjung ramai pembeli, bertanya-tanya dalam hati kapan keuntungan mulai datang. Pendeknya, menjadi hari-hari penuh keprihatinan.Sementara hasil usaha toko belum banyak memberikan keuntungan, tetapi biaya-biaya rutin bulanan tetap harus dikeluarkan.

 

Biaya awal untuk menutup operasional toko itulah yang saya maksud dengan modal kerja operasional yang harus saya sediakan dulu, sampai pada gilirannya nanti keuntungan toko mampu mengambilalih menutupnya. Jangan sampai terjadi, baru membuka toko sudah uring-uringan, nggrundel, wong belum ada untung kok sudah mbayar ini-itu. Jadi, harus benar-benar dipahami bahwa ada atau tidak ada keuntungan, maka biaya modal kerja operasional tetap harus dikeluarkan. Agar tidak terus terus-terusan mengeluarkan biaya awal ini, maka satu-satunya cara hanyalah berusaha agar tokonya segera menggapai keuntungan.

 

Biar tidak terlampau kaget, maka pada saat menyusun business plan hendaknya semua biaya operasi sudah diidentifikasi. Biaya-biaya apa sajakah gerangan yang perlu dibayar setiap bulan? Konkritnya, konsentrasikan saja pada biaya-biaya yang nyata. Menilik pada saat awal berdirinya “Madurejo Swalayan” hanyalah toko kecil yang belum terlampau memerlukan analisa keuangan yang rumit bin njlimet, maka saya menyederhanakan biaya overhead dan mengabaikan depresiasi serta nilai sisa (salvage value), dan cukup semuanya saya bungkus ke dalam kelompok biaya lain-lain saja. Gampang-gampangan wae……, tapi tidak berarti menggampangkan. Kalau kepingin yang rumit, di toko ada bukunya, bisa dipelajari sendiri……..

 

***  

Pertama : Biaya upah. Biaya dalam kelompok ini mencakup upah bulanan tenaga kerja untuk enam orang pelayan toko (pramuniaga) termasuk kasirnya, seorang Pengawas (Supervisor) dan Manager (terpaksa KKN dengan mengangkat istri sendiri sebagai Manager merangkap CFO). Untuk tahap awal ini, CEO (merangkap konsultan, sopir, terkadang juga janitor) harus rela “kerja bakti”. Tidak dibayar dulu, juga tidak dijanjikan nge-rapel upah. Kebijaksanaan ini disepakati agar tidak terlalu “memberatkan” beban cashflow toko yang baru muntup-muntup memulai usaha. Nanti ndak kehilangan gairah…… Kalau kelak usaha semakin maju, (Insya Allah) CEO dipertimbangkan untuk diberi upah, seikhlasnya. Pokoknya diniati amal saleh sajalah. 

Kedua : Biaya operasional. Dalam kelompok ini tercakup semua biaya rutin yang harus dikeluarkan guna menunjang operasi toko. Antara lain : membayar tagihan tilpun dan listrik (jantung berdegup-degup ketika mendengar tarif dasar listrik dan tilpun bakal naik). Kemudian ada biaya bensin (entah jenis BBM-nya apa, pokoknya sebut saja bengsin…..), yaitu biaya untuk membeli BBM-nya gen-set dan transportasi dari rumah ke toko pergi-pulang. Inilah salah satu kerugiannya kalau lokasi toko jauh dari rumah, ongkos transport jadi tinggi. Sedangkan kendaraan kijang 2000 cc yang digunakan Manager dan CEO-nya selama ini lumayan boros (kayaknya mesti ditukar dengan yang lebih irit, deh…….!). Sesekali kalau cuaca cerah naik honda bebek juga oke (cap apapun sepeda motornya, pokoknya sebut saja honda…..).   

Dalam kelompok ini masih ada biaya minum untuk semua pegawai, paling tidak harus selalu tersedia air akua (cap apapun air mineralnya dan darimanapun sumbernya asal bukan dari akuarium, pokoknya sebut saja akua…..). Di tempat lain, barangkali kelompok biaya ini masih perlu ditambah dengan biaya sampah, keamanan, preman, iuran RT dan aneka-ria iuran maupun pungutan lainnya. Untungnya “Madurejo Swalayan” masih berada di pinggir kota dan agak ndeso, sehingga masalah sampah masih relatif mudah diatasi. Demikian pula biaya keamanan masih bisa dicakup melalui forum siskamling dengan sistim jimpitan setiap malam (botol plastik bekas yang dipotong setengah lalu di-canthel-kan di pagar dan setiap malam diisi uang seikhlasnya, tidak lagi beras).

 

Ketiga : Biaya promosi. Biaya ini saya kaitkan dengan biaya sumbangan sosial. Bukan berarti kalau kita nyumbang lalu dibebani promosi, melainkan kalau kita berpromosi bisa melalui pemberian sumbangan. Ada bedanya, lho…..! Kalaupun tidak dikait-kaitkan juga tidak jadi masalah. Anggaran biaya untuk promosi saya asumsikan sekitar 0,5% dari total pemasukan kotor atau omset penjualan. Mempertimbangkan bahwa “Madurejo Swalayan” masih tergolong kelas teri dalam bisnis peritelan, maka 0,5% adalah angka yang cukup moderat untuk usaha yang masih muntup-muntup ini. Seiring perkembangan usaha angka ini dapat ditingkatkan. Pada tahap permulaan, jumlah yang lebih besar dapat dialokasikan tersendiri sebagai modal awal promosi untuk grand-opening.. Melakukan studi kelayakan kecil-kecilan dan sederhana untuk program pengiklanan juga akan membantu sampai setinggi apa persentase biaya promosi perlu dipatok atau dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu.

 

Keempat : Biaya kehilangan. Kelompok biaya ini adalah biaya yang perlu diperhitungkan untuk menutup perkiraan penyusutan atau kehilangan barang. Kehilangan barang dagangan antara lain dapat disebabkan oleh karena dicuri pengutil baik eksternal maupun internal, rusak dan tidak dapat ditukar (terkait dengan pemasok), ketlingsut (terselip entah secara fisik atau administratif), atau ….. diambil anak saya tapi pelayan toko tidak melaporkannya. Intinya, kehilangan barang harus tetap diantisipasi dan dianggarkan biaya penutupannya. Saya menggunakan asumsi angka rata-rata 1% dari total perkiraan hasil penjualan. Saya cukup comfortable dan optimis mampu mengendalikan angka ini. Untuk toko-toko yang kelasnya lebih besar, angka ini bisa mencapai rata-rata 2% sampai 4%.

 

Idealnya memang perlu dilakukan inventarisasi stok (stock take atau stock opname) secara periodik. Namun hal ini sangat jarang dilakukan oleh toko-toko kecil dan cenderung diabaikan saja. Pekerjaan ini memang cukup merepotkan karena pasti akan memakan waktu, tenaga dan tentunya ongkos. Hingga memasuki bulan keempat ini “Madurejo Swalayan” belum pernah melakukannya. Meskipun demikian, perlu dipikirkan dan dicarikan cara untuk melakukan inventarisasi stok dengan metode sampling. Tidak riil tapi mudah-mudahan representatif. 

 

Kelima : Biaya lain-lain. Ini adalah biaya yang dicadangkan untuk mengatasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak direncanakan sebelumnya. Lazim disebut sebagai biaya tak terduga, atau sebenarnya sudah diduga tapi tidak tahu besarannya. Untuk tahap awal ini saya mengalokasikan angka 5% dari total biaya operasional, sampai nanti saya memperoleh angka yang lebih representatif. .

 

***

 

Gabungan dari kelima komponen biaya itu akan menghasilkan total biaya operasi dalam hitung-hitungan laporan rugi-laba (income statement). Pada bulan-bulan awal di tahun pertama dimana keuntungan usaha belum memungkinkan, maka biaya-biaya tersebut harus dimasukkan sebagai modal kerja. Sampai kapan? Tidak bisa dijawab pasti. “Madurejo Swalayan” (Alhamdulillah) memasuki operasi bulan kedua sudah tidak memerlukan modal kerja operasional lagi karena keuntungan toko sudah mampu menutup biaya operasinya, meskipun total keuntungannya sendiri belum ada apa-apanya. Sedang di toko lain di lokasi lain barangkali perlu waktu satu tahun untuk melepasnya. Tidak ada yang salah dan benar, sepanjang memang sudah diperhitungkan dalam business plan yang disusun sebelumnya.

Seiring dengan berjalannya usaha, tahun demi tahun, tentunya angka-angka dalam biaya operasi akan meningkat. Bisa karena kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan tarif tilpun dan listrik, penyesuaian harga BBM, dsb., termasuk juga dampak tidak langsung dari inflasi dan ekskalasi. Karena itu kenaikan-kenaikan itu juga mesti tercermin dalam business plan. “Madurejo Swalayan” menggunakan angka kenaikan rata-rata 10% per tahun. 

Meskipun hitung-hitungan soal biaya operasi itu sepertinya merepotkan, namun intinya sebenarnya hanya satu hal saja. Yaitu : jangan nggrundel (mengeluh) kalau usaha belum untung kok sudah harus mbayar ini-itu…… Grundelan seperti ini hanya cenderung akan menggiring kita untuk melakukan cara tambal-sulam (dapat uang sedikit bayar yang ini dulu, ada pemasukan lagi bayar yang itu, mendadak harus bayar ini diambilkan dari situ, harus mbayar lagi ambilkan dulu dari sana, dst., hingga pada setiap akhir bulan sang CFO klepek-klepek……., muncul bintang-bintang berputar di atas kepalanya…….).

Madurejo, Sleman – 2 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(9) Menghitung Modal

13 Desember 2007

Beberapa rekan mengirim email kepada saya menanyakan tentang “Berapa modal yang diperlukan?”. Pertanyaan itu kedengaran seperti merujuk pada pembangunan toko secara umum, maka jawaban paling diplomatis adalah : “Tergantung…….”. Tergantung pada seberapa besar toko yang hendak dibangun. Tergantung juga pada kebutuhan modal yang mana, modal keseluruhan termasuk lahan dan bangunan, atau hanya modal kerja toko saja. Namun jika pertanyaan itu merujuk pada “Madurejo Swalayan”, maka lebih baik akan saya beberkan saja pengalaman berikut ini.

 

“Madurejo Swalayan” berdiri di atas lahan agak memanjang ke belakang yang semula berupa sawah di pinggir jalan. Bagian depan dipakai untuk bangunan toko, bagian tengah untuk bangunan tempat kamar istirahat dan gudang, dan bagian belakang dibiarkan kosong untuk klangenan. Untuk keperluan hitung-hitungan ekonomi, saya akan mencuplik sebagian lahan saja yang memang benar-benar digunakan untuk bangunan tokonya sendiri termasuk kantor, kamar kecil dan mushola. Desain tata ruang yang ada sekarang ini sebenarnya tidak pas untuk toko ritel. Sebab, seperti pernah saya singgung sebelumnya, keputusan untuk membuka toko swalayan ini baru diikrarkan ketika bangunan sudah telanjur dimulai, artinya tidak direncana sejak sebelum membangun toko. Ini langkah yang tidak seharusnya ditiru.

 

*** 

 

Meskipun luas tokonya sendiri hanya sekitar 90 m2, tetapi total luas lahan yang saya alokasikan untuk keperluan toko adalah sekitar 200 m2. Ini karena area parkir yang disediakan cukup luas, juga bangunan kantor, kamar kecil serta mushola di belakang toko. Belum termasuk gudangnya. Sejujurnya, pengalokasian yang ada sekarang ini sebenarnya kurang efektif. Dengan kata lain, terlalu boros dalam penyediaan lahan. Jika pengaturan tata pemanfaatan lahan dapat lebih terencana sejak semula, mestinya tidak perlu seboros itu. Tapi baiklah, ini kisah ketelanjuran yang tidak patut dicontoh.

 

Saya perkirakan nilai lahan yang saya cuplik dari total lahan yang ada adalah sekitar Rp 40 juta,- . Luas total bangunannya sekitar 120 m2, saya anggap senilai Rp 180 juta,- termasuk prasarana bangunan toko. Maka, angka total Rp 220 juta,- saya gunakan sebagai pedoman bagi perhitungan total modal properti lahan dan bangunan untuk “Madurejo Swalayan”. 

 

Untuk rencana toko di lokasi berbeda, dengan ukuran berbeda dan desain berbeda, tentu akan berbeda pula modal properti yang harus disediakan. Seorang teman saya malah berani menyewa ruangan seluas hanya 25 m2 untuk membuka toko swalayan mini. Seorang saudara saya lainnya membeli dan membangun toko sejenis seluas lebih dua kali luas “Madurejo Swalayan”. Jadi, sebaiknya tidak terpukau dengan luas toko, melainkan seberapa tingkat kemampuan dan keberanian kita untuk membobok celengan. 

 

Saya pikir, apakah akan menyewa atau membeli lahan, bukanlah hal yang kritikal. Masih ada banyak faktor lainnya yang lebih kritikal untuk dipertimbangkan, antara lain tentang potensi pasar dan peluang pengembangannya. Inilah salah satu manfaat dari pembuatan bussiness plan sebelum memulai usaha, sehingga setiap alternatif bisa terlebih dahulu dikaji dengan cermat untung-ruginya, sebelum dieksekusi. Dalam kasus “Madurejo Swalayan”, ya karena memang sebelumnya sudah telanjur punya lokasi di situ.

Selanjutnya dihitung berapa modal tetap untuk prasarana toko yang antara lain meliputi rak-rak, perlengkapan kantor, sistem komputer dan sebagainya. Salah satu keuntungan melakukan perencanaan tata ruang adalah untuk mengoptimalkan biaya prasarana toko, tidak sekedar “gimana gitu, loh”. 

Untuk keperluan komputerisasi dan kelengkapan piranti keras dan piranti lunak, sebenarnya biayanya tidak terlalu tinggi, wajar saja. Tetapi yang cukup “berbunyi” nilai uangnya adalah untuk keperluan rak-rak toko. “Madurejo Swalayan” memilih untuk menggunakan rak-rak seken (bekas) yang sudah direkondisi (kata lain untuk dicat-ulang). Harganya bisa setengahnya dibandingkan rak-rak baru untuk kualitas barang yang tergolong bagus. Itupun “bunyinya” sudah lebih Rp 33 juta,- untuk tahap awal sebelum beroperasi. Saya katakan tahap awal, karena biasanya seiring pergerakan usaha di tahun pertama akan memerlukan penambahan prasarana. Tentu saja mesti disesuaikan dengan kemampuan kita untuk menyediakan tambahan modal. Pendek kata, untuk kebutuhan modal prasarana toko setelah saya hitung-hitung telah mengalokasikan biaya sekitar Rp 50 juta,- lebih sedikit.

 

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menekan biaya modal prasarana toko adalah dengan membuat sendiri rak-raknya. Ini mudah dilakukan karena banyak toko yang menjual bahan-bahan komponennya, tinggal merangkai sendiri. Cara ini banyak dilakukan oleh toko-toko tradisional dan toko-toko besi atau bangunan. Jika alternatif ini yang diambil, maka konsekuensinya soal tampilan menjadi nomor dua. Ada juga yang membuat rak-raknya dari bahan kayu. Pokoknya, banyak pilihan deh….! Tinggal mengikuti selera masing-masing saja. Kalau saya membuat keputusan dengan pilihan seperti saya ceritakan di atas, itu karena pertimbangan masalah tampilan, harga jual kembali dan kekuatan rak dalam menahan beban. Selebihnya, terserah Anda……

 

Setelah modal tetap (properti dan prasarana) toko selesai dihitung, maka kemudian menghitung berapa modal kerjanya (untuk barang dan operasional). Yang saya maksudkan dengan modal kerja barang adalah modal awal yang diperlukan untuk kulakan barang dagangan untuk mengisi toko. Saya berpedoman pada pengalaman orang lain dalam ini, yaitu menggunakan pendekatan hitungan dengan angka rasio Rp 1 juta,- sampai Rp 1,5 juta,- per m2 luas toko. Untuk “Madurejo Swalayan” saya mengambil agak menengah, yaitu Rp 1,2 juta,- per m2. Maka untuk luas toko sekitar 90 m2, anggaran modal kerja yang disediakan sekitar Rp 108 juta,-. Jumlah uang inilah yang akan terus diputar dan harus dijaga agar jangan sampai berkurang. Syukur-syukur kalau usaha terus berkembang, justru perlu ditambah.

 

Kemudian, modal kerja operasional, yaitu modal awal yang harus disediakan untuk menutup biaya operasi bulanan toko sebelum toko mampu memberikan keuntungan. Besarnya tergantung dari rencana dan proyeksi yang sudah disusun dalam business plan, sehingga diketahui sampai kapan modal kerja operasional harus terus disediakan setiap bulan. Untuk “Madurejo Swalayan” saya menghitung diperlukan dana sekitar Rp 3,5 juta pada bulan pertama hingga Rp 5 juta-an di akhir tahun pertama. Dari mana angka itu? Dari hitung-hitungan awal perkiraan biaya operasi toko.

 

***

 

Nah, kini semua komponen modal toko sudah diketahui, yaitu : Modal tetap (properti dan prasarana toko) Rp 270 juta,- dan modal kerja (barang dagangan) Rp 108 juta,-  plus modal kerja operasional setiap bulannya. Semua itu hanyalah angka-angka. Nilai rupiah yang sesungguhnya untuk setiap lokasi dan toko yang berbeda tentu tidak sama. Ada banyak variabel yang akan menentukan nilai modal yang sesungguhnya dibutuhkan.

 

Di atas semua itu, pengelola “Madurejo Swalayan” memilih untuk tidak meminjam modal dari bank atau koperasi (kecuali kalau ada teman atau saudara yang mau meminjami tanpa bunga, bagi hasil bolehlah dipikirkan…..). Pertimbangannya hanya agar hitung-hitungan dalam buku kas tidak menambah pening kepala. Belum lagi kalau keuntungan masih seret, masih ngos-ngosan dan masih harus bersabar, lalu tilpun datang bertubi-tubi dari bank menagih segera membayar cicilan. Wow………., terlalu sayang kalau urusan itu sampai membuat tidak nyenyak tidur, jadi ndak bisa mikir…. Sebab saya memprediksi bisnisnya “Madurejo Swalayan” ini tergolong jenis bisnis yang peningkatan keuntungannya sangat perlahan, susah untuk digeber (digenjot). Tapi, ini jalan pikiran saya lho…… Jadi, ya pokoknya diada-adakan saja modalnya……

 

Pinjam uang ke bank bukan hal yang salah, tapi perlu perhitungan matang sebelum memutuskannya. Lain ceritanya kalau mau buka supermarket atau hipermarket sekalian. Untuk kaliber ini kalaupun saya telat mencicil, saya tidak perlu pecicilan lari sipat-kuping, sebab bank akan “mengejar-ngejar” saya dengan cara yang dimanis-maniskan. Memang dimana-mana yang namanya pengusaha kecil apalagi baru calon pengusaha anak bawang, layak untuk di-keciani…….

 

Saya tidak berani meng-claim bahwa rumusan angka-angka di atas adalah yang terbaik atau layak digunakan sebagai referensi. Saya sepenuhnya sadar bahwa sebagai pemain baru dalam dunia persilatan bisnis ritel, yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar berbagi pengalaman. Namun ada fakta yang telah saya catat, bahwa penyusunan business plan seperti ini akan sangat membantu dalam membuat keputusan yang pas sebelum memulai bisnis. Semakin teliti business plan disusun, akan semakin mendekati kenyataan.

 

Meski demikian, saya bermimpi kalau kelak “Madurejo Swalayan” akan membuka cabang di tempat lain, maka saya sangat confident untuk menggunakan angka-angka di atas sebagai referensi. Dan kalau bisa tetap dengan uang sendiri saja, sesedikit apapun, alias tidak ingin berurusan dengan bank. Saya tidak ingin “just lend it”, pokoknya pinjam saja dari bank.  

  

Yang diceritakan oleh Pak Robert Kiyosaki dalam banyak bukunya adalah sistem perbankan di Amerika, dimana sistem perbankan sudah menjadi bagian keseharian dari masyarakatnya, dimana berurusan dengan bank adalah pekerjaan yang menyenangkan. Bukan di Indonesia, dimana urusan perbankan (baca : njam-pinnjam, cil-ciccil dan gih-taggih) masih menjadi urusan yang complicated bin njlimet bin tidur tak nyenynyak tak iye……., bagi sebagian besar masyarakatnya. Bukannya anti uang bank, melainkan dalam hal ini saya memilih cara konservatif saja dulu, sampai pada suatu saat nanti business plan saya mengindikasikan sebaliknya.

  

Madurejo, Sleman – 1 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(8) Antara “Do It” Dan “Plan It”

13 Desember 2007

Jika kebetulan suatu kali Anda berkendaraan melakukan perjalanan darat antar kota di Jawa, atau di daerah mana saja, akan Anda jumpai sangat banyak toko-toko baru dan lama berdiri di hampir setiap penggal jalan dan sudut kota yang Anda lewati. Di sana ada puluhan toko berkonsep modern, ratusan toko semi-modern dan ribuan toko-toko tradisional. Ada yang nampak berkembang pesat dan ada yang hidup segan mati tak mau. Hari demi hari, mereka semua bergelut mengumpulkan rupiah demi rupiah, membangun dan mengembangkan usahanya. Ada yang dapatnya sedikit dan tetap bersujud syukur dan ada yang dapatnya banyak dan tetap ingin lebih banyak lagi. Dan, “Madurejo Swalayan” adalah satu di antara ribuan toko itu yang sedang merintis usahanya. 

Jika Anda sempat mampir di salah satu atau dua dari ribuan toko yang Anda pandang cukup berkembang, lalu Anda tanyakan pertanyaan kepada mereka : “Bagaimana usahanya, Pak?. Kelihatannya sudah berkembang baik dan maju”. Maka jawabnya : “Ya, lumayanlah, sedikit-sedikit ada peningkatan”. Di balik kalimat bernada merendah ini, kalau digali lebih dalam maka jawaban yang sebenarnya adalah : “Dulu toko saya kecil, sekarang sudah agak besar”. Atau : “Dulu saya hanya punya satu toko, sekarang saya punya dua”. Atau : “Dulu saya menggunakan sepeda motor untuk kesana-kemari, sekarang sudah ada mobil untuk operasional”. Atau : “Dulu rumah saya kecil di pojok kampung sana, sekarang sudah dibangun tingkat”. Anda pun hanya manggut-manggut terkagum-kagum.     

Cobalah untuk membangkitkan rasa penasaran pada diri Anda, lalu ajukanlah pertanyaan “aneh” berikutnya : “Sebelum usaha Bapak berhasil seperti sekarang ini, bagaimana Bapak mengawasi operasi toko sehari-harinya untuk mengetahui apakah bisnis sedang bergerak maju atau malah mundur?”. Atau dengan kata lain : “Apakah sebelum memulai usaha ini Bapak mempunyai semacam rencana usaha atau business plan?”. Maka saya yakin sangat sedikit sekali yang menjawab : “Ya”. 

Apalagi kalau pertanyaan itu Anda ajukan ke pengelola toko semi-modern atau bahkan toko tradisional, maka pemilik toko akan menjeb (tersenyum) sambil menggelengkan kepala karena tidak mudheng (paham) pertanyaan Anda, sambil berkata dalam hati : “Panganan opo to kuwi?” (makanan apa itu). Itu karena selama ini mereka bekerja atas dasar tradisi turun-temurun sejak kehidupan ini dimulai, dan fakta bahwa dengan berbekal keuletan, ketekunan dan kesabaran dalam mengelola usaha tokonya itu, modal yang mereka miliki dapat terus berputar dan tokonya semakin berkembang. Mereka pun dapat terus menghidupi keluarganya, menyekolahkan anaknya, membelikan kebutuhan hidup rumah tangganya, dsb.

Kini, pertanyaannya : Untuk memulai sebuah usaha toko, apakah sebuah rencana bisnis (bussiness plan) itu diperlukan? Jika Anda sependapat dengan jalan pikiran para pengusaha toko tradisional seperti dalam ilustrasi di atas, maka jelas Anda tidak memerlukan sebuah rencana bisnis. Dan itu bukanlah hal yang salah, sebab jika dipaksakan juga hanya akan membuat kepala nyut-nyutan seperti mau pecah. 

Sebaliknya, jika Anda concern terhadap perlunya memantau dan mengukur perkembangan usaha dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, maka Anda perlu mempersiapkan sebuah rencana bisnis sebelum memulai usaha. Atau, jika Anda merasa perlu untuk memastikan lebih dahulu akan kelayakan usaha itu. Atau, jika Anda merasa berkepentingan untuk mengetahui dengan persis apakah usaha Anda sesuai dengan yang direncanakan dan ditargetkan, atau kinerja tingkat pengembalian modalnya lebih baik atau lebih buruk, maka Anda akan memerlukan adanya rencana bisnis.

 

Menurut logika coro bodon (cara bodoh) yang ada di pikiran saya, itulah beda antara “Just Do It” (pokoknya lakukan saja) dan “Just Plan It” (pokoknya rencanakan saja) yang saya singgung sebelumnya, saat kita akan memulai bisnis. Dan, membuat business plan sederhana itu guampang sekale…… Hanya perlu banyak tepekur dan melamun sambil leyeh-leyeh (berbaring santai), lalu sedikit mikir dan berkhayal, menghimpun inspirasi, mengumpulkan angka-angka, lalu menuangkannya dalam sebuah tabel.

 

*** 

Penganut aliran “Just Plan It” akan merencanakan lebih dahulu sebaik-baiknya sebelum mulai membuka toko. Maka, memiliki business plan (rencana bisnis) adalah termasuk langkah awal untuk mengetahui dan memproyeksikan gerak liak-liuk bisnis seperti apakah yang diinginkan oleh pemilik atau pengelolanya. Kami mengkonsentrasikan perihal rencana bisnis ini pada hal-hal yang terkait dengan produksi (omset toko) dan masalah pembiayaan (finansial), yang dituangkan dalam lembar kerja berbentuk tabel. Hal-hal di luar itu kiranya dapat untuk tidak diprioritaskan terlebih dahulu pada tahap paling awal, tidak berarti diremehkan. Urusan thethek-bengek selain masalah keuangan pada gilirannya juga perlu mendapatkan perhatian semestinya.   

Apa yang harus dilakukan untuk membuat business plan? Mulai dengan mengumpulkan semua jenis pembiayaan yang dikeluarkan. Ada orang yang suka dengan pengelompokan antara capital cost dan operating cost, ada juga yang memilih pemisahan antara fixed cost dan variable cost. Pengelola “Madurejo Swalayan” menempuh cara yang dibuat mudah saja, menggunakan terminologi biaya modal dan biaya operasi dengan sedikit modifikasi dalam komponen biayanya. Tidak perlu gusar dengan urusan biayaan seperti ini. Yang penting tidak melenceng dari ngelmu pem-biayaan untuk tujuan financial analysis.  

 

Biaya-biaya apa saja? Pertama, tentunya menghitung-hitung perkiraan berapa total biaya modal dibutuhkan, baik modal tetap seperti properti maupun modal kerja. Kedua, menentukan perkiraan target omset harian rata-rata yang layak dicapai bertahap mulai bulan pertama dan tahun pertama, sampai katakanlah, proyeksi hingga 15 tahun ke depan.

 

Angka perkiraan rata-rata omset harian ini memang sebaiknya tidak mengambil begitu saja dari langit, melainkan perlu kejelian membaca potensi pasar. Hal-hal yang dapat dijadikan pedoman antara lain mencari (atau mencuri juga boleh) tahu berapa omset toko sejenis di sekitar kawasan toko kita, dan seberapa besar potensi calon pelanggan yang diperkirakan dapat diserap. Bisa juga dengan berpedoman pada pengalaman toko swalayan sejenis dan sekelas toko kita meskipun berada di lokasi lain, bagaimana kinerja mereka pada waktu-waktu awal dulu ketika tokonya mulai buka (biasanya pemilik toko masih ingat).

 

Ketiga, menghitung berapa kira-kira keuntungan bersih yang dapat diperoleh. Asumsikan, margin keuntungan rata-rata adalah 10%, lalu dikalikan omset harian rata-ratanya. Keempat, menghitung berapa biaya operasional setiap bulan yang harus dikeluarkan. Maka akan dengan mudah diketahui berapa total pengeluaran dan total pemasukan, yang lalu diproyeksikan sepanjang 15 tahun ke depan dengan memperhitungkan asumsi tingkat kenaikan omset penjualannya maupun biaya operasinya.

Setelah angka-angka tersebut dikumpulkan, selanjutnya hanya diperlukan alat sederhana, bernama “pipo londo” alias ping-poro-lan-sudo (kali-bagi-tambah-kurang), untuk menghitung angka aliran uang tunai (cashflow) bulanan atau tahunannya. Dengan alat itu akan dengan mudah untuk mengetahui kapan balik modal (break-even). Lebih jauh lagi dapat diketahui pula berapa tingkat pengembalian modalnya (return on investment). Bagi yang biasa kerja dengan komputer, program excel akan siap membantu menghitungnya. Kalau mau sedikit agak repot, sebenarnya banyak buku yang membahas tentang hal ini. 

Nah, dari lembar kerja itulah maka akan dapat diketahui berapa omset harian rata-rata yang harus dicapai agar supaya usaha tokonya menguntungkan. Atau sebaliknya, komponen biaya-biaya apa saja yang dapat dihemat agar lebih menguntungkan. Seiring berjalannya usaha, pengelola toko dapat selalu mengevaluasi pencapaian atau kinerja tokonya dari periode waktu ke waktu, dan lalu menyiasatinya dengan langkah-langkah jitu. Jika ternyata performance tokonya menunjukkan angka jeblok atau meleset terus-menerus, segera dapat digelar sidang kabinet terbatas bidang omset toko, guna mengevaluasi dua hal : strategi tempur di lapangan yang salah atau penentuan sasaran tembaknya yang salah. 

Pertanyaan yang barangkali muncul adalah : “Saya tidak tahu berapa angka-angka perkiraan yang sesuai untuk rencana toko saya?”. Tidak perlu khawatir, dapat dipikir sambil tidur, gunakan indera keenam, gunakan “feeling”, entoh masih cunthel (buntu) juga, tanyakan kepada orang gila yang suka duduk-duduk di sudut jalan, lalu isikan angkanya…….. Berjalannya waktu, lakukan revisi ketika menemukan angka yang lebih baik. Pengalaman saya menjadi orang gajian selama 16 tahun di perusahaan berkelas internasional mengajarkan bahwa revisa-revisi rencana bisnis adalah hal yang lumrah, meskipun versi pertama tetap menjadi referensi. 

Ibarat perumpamaan mengatakan, “Just Do It” di tangan kiri dan “Just Plan It” di tangan kanan. Anda tinggal pilih hendak melangkah dengan mengayunkan tangan kiri dulu atau tangan kanan dulu. (Sebaiknya tidak mengayunkan kedua tangan sekaligus, nanti dikira penari latar Pentas nDang-ndut……..). Dan, pemilik “Madurejo Swalayan” memilih untuk mengambil langkah tegap dengan mengayunkan tangan kanan terlebih dahulu.

Madurejo, Sleman – 31 Januari 2006 (Tahun Baru 1427 Hijriyah).

Yusuf Iskandar