Archive for the ‘INFO : PRODUK SPESIAL’ Category

Tepung Sagu Hun Kwe

28 Juli 2010

Hun kwe..! Lidah kecilku dulu menyebutnya hongkowe. Cukup surprise saya menjumpai bungkusan tepung hun kwe cap “Jeruk Manis” di tokoku. Ini jenis penganan mewah di jaman susah, pada masa kecil dulu. Sejak dulu bungkusnya ya tetap seperti itu, dengan kertas putih bertulisan warna merah, hijau atau hitam muda. Harga tepung sagu buatan Solo ini Rp 2.000,-/100 gr. Terus bertahan tanpa promosi di tengah aneka macam penganan “aneh-aneh” masa kini.

Yogyakarta, 20 Juli 2010
Yusuf Iskandar

Davos, Permen Kenangan

2 Juli 2010

img_0146_davos1Lama menghilang dari tokoku, kini muncul lagi, permen DAVOS… Aha! Ini permen nostalgia, jadul, pedas, ndeso, murah, yang sejak jaman kumpeni sampai sekarang bentuk, ukuran, warna dan rasanya, tetap saja begitu. Termasuk teknik promosinya, yaitu tidak pernah dipromosikan (bukankah “tidak pernah” itu juga sebuah teknik?). Harga Rp 900,- isi 10 biji, dijamin megap-megap kepedasan, bebas ngantuk, pengganti rokok (bagi yang memang tidak merokok tentu saja…)

Yogyakarta, 25 Juni 2010
Yusuf Iskandar

Note –  Silakan lihat file lama di :

Davos, Permen Jadul Yang Tetap Gaul
Penggalan Kenangan Tentang Permen Davos
Harganya Masih Murah Plus Bisa Kepedasan

Harganya (Masih) Murah Plus Bisa Kepedasan

6 Februari 2009

“Berapa sih harga permen Davos yang ndeso, jadoel, uenak, pedas, tapi semrawang bin semriwing ini…..?”

Di seputaran Jogja, permen Davos yang penuh rasa nostalgia (selain rasa pedas mint) dijual dengan harga berkisar Rp 1.000,- per bungkus isi sepuluh biji permen. Malah jika dirasa sebiji permen membuat khawatir terlalu pedas, kadangkala penggemar permen ini membagi sebiji menjadi dua bagian. Sewaktu saya kecil dulu suka melakukan hal itu.

Konon menurut cerita seorang teman, di sebuah resto di Jakarta menjual permen ini seharga Rp 10.000,- per bungkusnya. Nilai nostalgia permen inilah yang membuat harganya “pantas” menjadi mahal, selain karena prestise duduk di restonya.

Namun di di toko saya, “Madurejo Swalayan”, Prambanan, Sleman, Yogyakarta, saya menjualnya dengan harga Rp 900,- (angka sembilan diikuti dua angka nol, saja). Sangat murah. Itu pun toko saya sudah mengambil untung Rp 200,- karena harga beli dari pemasok yang biasa kelilingan menawarkan permen Davos hanya Rp 700,- per bungkusnya. Kelihatannya margin keuntungan toko saya kecil saja, hanya dua keping uang logam cepekan. Tapi jangan lupa bahwa keuntungan Rp 200,- dari harga beli Rp 700,- berarti margin kentungan 28,6%. Cukup tinggi dibanding rata-rata margin toko yang berkisar 10%.

Jadi?
Kalau Anda atau ada orang yang kangen atau penasaran dengan permen jadoel ini silakan datang ke Jogja atau mencarinya di warung-warung kecil atau di pelosok pedesaan terutama di wilayah selatan Jateng – DIY, atau titip temannya yang kebetulan pulang kampung. Sebab kalau Anda pesan minta dikirim, maka ongkos kirimnya bisa lebih sepuluh kali lebih mahal dibanding harga sebungkus permennya. Kecuali kalau Anda membelinya sekarung sekalian….

Monggo…
Selamat bernostalgia mengenang masa kecil di kampung halaman sambil ngemut permen Davos yang harganya (masih) tetap murah plus bisa kepedasan, tapi uenak tenan ditambah sensasi semrawang-semriwing. Jangan lupa minum air putih dingin setelah itu (kalau jaman dulu minum air kendi)…..

Yogyakarta, 6 Pebruari 2009
Yusuf Iskandar

Penggalan Kenangan Tentang Permen Davos

5 Februari 2009
Jadoel, ndeso, penuh nostalgia

Jadoel, ndeso, penuh nostalgia

Tanggapan dan komentar teman-teman tentang permen Davos dalam tulisan saya sebelumnya (“Davos, Permen Jadul Yang Tetap Gaul” yang juga saya posting di situs Wikimu, blog pribadi maupun beberapa milis) ternyata sangat beragam. Teman-teman terutama generasi lebih tua, sangat terkesan dengan permen ini. Kisah tentang permen jadoel itu mampu mengangkat kembali ingatan ke suasana masa kecil di desanya dulu. Rupanya, permen Davos memang telah dikenang sebagai permen jadoel dan permen ndeso yang penuh nostalgia.

Di bawah ini kutipan dari komentar teman-teman (sebagian saya edit redaksinya tanpa mengubah intinya, agar enak dibaca). Kalau ada yang mau menambahkan catatan kenangannya, monggo…..

Rusdian Lubis :
Sebagai “anak kolong” yang pernah menghuni asrama Yonif 431 Bojong Purbalingga, saya akrab betul dengan permen Davos. Kalau saya ngantuk nonton wayang, Davos yang membuat mata tetap melek. Terimakasih atas tulisan ini. Kapan-kapan kalau ke Braling akan saya kunjungi pabriknya. Salam dari Luwuk-Banggai.

Sugeng Hartono :
Trimakasih oleh-2 nya permen Davos yang semriwing itu. Saya jadi teringat sekian puluh tahun yll ketika masih sering sangu permen ini.

Aries Setiabudi :
Wah.. berapa kali beli permen Davos di Sagoo Resto buat Rania (kalo bapaknya cuma nebeng makan aja.. hehehe). Sebungkus 10 rebu!. Kalo gitu mendingan saya order sekardus aja ke supemarketnya Pak Yusuf.. hihihi

Meidy :
Nanti mau nyoba nyari permen Davos di toko depan kantor… kalo gak ada boleh nitip gak, pak ?? Soalnya di tas saya selalu harus ada persediaan permen… untuk jaga-jaga kalo tiba-tiba terjadi serangan…

Retty N. Hakim :
Saya juga suka Davos…kalau sama MIAMI (benar nggak sih namanya?) apa masih saudara dekat atau kloning ya?

Mimbar Saputro :
Saya masih ngletaki Davos habis menggemaskan kalau sudah tipis bawaannya mau dikremus. Lalu karena malu cungkil gigi sekarang habis makan bawaannya ngunyah permen karet lumayan sisa makanan bisa dilengket tarik olehnya.  Kalau Wybert – ada yang masih mengantongi?

Bajoe :
Davos ini permen yang selalu ada di tas tangan, Mak-ku. Sampai sekarang.
Kalo Wybert…emang masih ada? Ini kalo tidak salah saingannya Pagoda Pastilles ya Pakde? Lupa-lupa inget, kayaknya permennya Kakek… Kembali ke Davos, di majalah (SWA edisi Desember 2008 – Red.), diulas sebagai salah satu perusahaan tangguh dari Jawa Tengah.

Dani Ampriyanto :
Wah ternyata permen asal kampungku terkenal juga yaa, saya kira cuma di regional banyumas aja….

Aieq :
Davos………Davos……. di toko sebelah kantor harganya seribu sebungkus. Temenku kantor suka beli… katanya nostalgia masa lalu. Wis jan pancet ae… gak berubah baik bentuk, rasa dan kemasannya. Tapi sekarang ada juga yang dikemas per biji. Klo waktu kecil dulu ibu sering ngajarin; abis ngemut davos, minum air putih, biar mak ceeeeeeeeesssss…….. semriwiiiiiiing…….

Asmu’ie :
Kalau saya ketika jaman mbiyen (thn.1963) kae mut2an ku yaitu tadi ‘permen davos’ <saya manggilnya DAPROS>. Saya masih terkenang ketika naek sepur klutuk <mbiyen kae di kota kendal dilewati sepur klutuk bentuknya lonjong ireng koyo areng ono crobonge kanggo metune abluk…..>. Lha didalam gerbong sepur ada yg jualan asongan, orang tadi cara menjajakan nya juga semanak <familiar> banget : monggo2 niki lho permen davros atis <dingin> rasane. Lha mengenai permen DAVOS <atau saya manggilnya permen dapros> regane srupiyah, telungsuku regane permen Saparela. Nek Davos wau meniko, bungkusane biru lan jerone ono grenjenge. juga permen Saprela itu tadi.

Mustamid :
Bener banget bos…. permen davos yang dari saya kecil sampe sekarang saya masih selalu menemukanya permen itu di kantong bapak saya hehehee. Dulu saya sering sekali merogoh kantong bapak saya untuk mencari permen davos. Biasanya bapak saya selalu memberikan permen davos kepada saya satu kemudian dibagi dua sama kakak saya. Jadi inget kebiasaan dulu niiih walaupun hanya setengah permen davos itu tapi bisa membuat saya dan kakak saya gak jadi berantem dan baikan lagi hehehee ( maklum masih anak-anak dulu). Dan kangen rasanya makan permen itu lagi tapi…. Apakah harus pulang kampung dulu yah…. supaya bisa menikmatinya lagi.

Dwi Arif Ikhwanto :
Permen davossss? Terakhir saya makan kayaknya waktu mendiang kakek saya masih ada. Dulu sekalee mungkin sekitar tahun ’93, soalnya biasanya kalo mbh kung pulang ngantor pasti bawa tuh permen, jadi tiap hari minta jatah deh. Enak rasane SEMRAWANG.

Heru Pramono :
Woaduhhh Pak Yusuf, Terima kasih sekali sudah me refresh saya punya memory. Orang bule bilang sebagai Good Old Days. Davos..ya… Davos, permen semriwing zaman kuda gigit besi doeloe. Kenangan masa kecil muncul kembali, Davos dan Hopjess adalah dua permen yang boleh dipilang Te O Pe Be Ge Te yang ada dipasaran saat itu.
Tadinya kukira permen Davos sudah roji’un – raib dari dunia fana ini, sampai beberapa bulan lalu ketika masuk ke kamar kawan kerja saya, Pak Noviadi Istono, saya dihadiahi sebungkus biru permen Davos sebagai oleh-oleh dari pulang kampung nya. Kabarnya do’I mendapatkannnya disebuah toko didaerah pasar Kranggan. Mendengar kata Kranggan, tak pikir permen kuno ini pasti hanya dijual ditoko-toko jadoel, lha ternyata menurut pak Yusuf permen ini masih beredar luas di Jateng ya? Ya wis, nanti kalau mudik lagi, Davos akan masuk dalam shopping list saya. Matur nuwun nggih……

Fidia Helianti :
Kalau anda bermukim di Jakarta dan kangen permen Davos, saya pernah menemukannya di RM. Sroto Eling-eling di Tebet….

Hendrato Agung :
Rupanya pak Yusuf ini penggemar berat permen Davos, atau curiga jangan-jangan pemilik mayoritas saham davos, sampai 2 kali promosi lewat tulisan … Saya juga cukup heran meski sampai saat ini belum pernah lihat itu iklan di TV, radio, koran,.. tapi yg namanya permen davos tetap saja pada tahu. Malah jargon tagline yg terakhir ‘cara baru menikmati davos’ sebagai trobosan baru, tapi kalau dipikir saya sendiri bingung gimana ya cara menikmati davos dg cara baru, habis dihisap, semriwing dan ya udah, gitu … Salut juga untuk permen davos, meski tidak gembar-gembor promosi, tapi kalau ditengok iseng tidak kurang dari 1900 nama permen davos muncul  di internet.

Asrie Wardani :
Pabriknya di kotaku tercinta nih..PURBALINGGA..

R Arifin Mustafa :
Kalau di tempat saya lahir (pinggiran salatiga) – ndeso mblusuk-mblusuk pokokmen, Permen Hebat wal sumriwing ini kita menyebutnya DAPROS (nggak tahu orang2 Tua dulu kok ya nyebutnya begitu). Dan kalau kita bilang yang bener DAVOS, mereka malah g bias nyebutnya.. susah katanya.. xixixixixi. Tapi yang jelas Permen ini menjadi penyambung hati antara Saya dan “mbah saya”, kalau saya pulang kampong pasti beliau selalu Wejang “Ojo lali permen DAPROS-se yo le !!!!”

Cecep Sugiyanto :
Saya kalau makan permen davos tidak suka dikunyah tapi di “emut” sampai cuiliiiiikkkkk… Kalau tak kunyah pedes dan menyengat …sekaligus ngirit… Kalau di emut dan dikulum kulum bisa awet … heeeeeee dan ciri khasnya lagi permukaannya tidak halus tapi sedikit “grain” kasar-kasar menggemaskan….

Farhan Abdi :
Saya sekeluarga termasuk penggemar permen ini Mas, setiap mudik ke Yogya anak anak selalu minta dibawain oleh-oleh dari eyang yang kiosnya ada di Pasar daerah Turi Sleman Yogyakarta berupa permen DAVOS ini. Sejak mulai menjalin kasih dengan mantan pacarMenurut saya rasanya emang melebihi rasa permen lain sejenis yang diproduksi oleh pabrik pabrik lainnya (ini soal selera hehe.) Usul Mas, bagaiman kalau kita bentuk “DAVOS MANIA”.
Yogyakarta, 5 Pebruari 2009
Yusuf Iskandar

Davos, Permen Jadul Yang Tetap Gaul

26 Januari 2009

img_0146_davos1Belum lagi gerhana matahari cincin berlalu, anak-anak dan istri di depan televisi bersorak dan tertawa cekikikan. Ada apakah gerangan? Rupanya baru saja disiarkan berita tentang fatwa MUI bahwa rokok haram.

Kata anak laki-laki saya sambil cengengesan : “Ha..ha..ha.., uang saku saya bakal nambah Rp 10.000,- per hari…..”.

Celetukan ibunya lain lagi, kedengaran lebih bijaksana : “Yo wis, ganti ngemut permen Davos saja, semriwing……”.

Ya…ya…. Bukan soal rokoknya atau haramnya yang mengusik pikiran saya. Biarlah MUI berfatwa, perokok terus berlalu (tidak jadi mampir kios rokok, maksudnya). Melainkan sebutan permen Davos ibunya anak-anak tadi mengingatkan saya pada jenis permen jadul berbungkus warna biru tua yang rasa pedas semriwing-nya jadi ngangenin. Sensasi pedas mint-nya sangat khas dan tak tertandingi bahkan oleh aneka jenis perment rasa mint jaman sekarang.

Beberapa waktu yang lalu saya diherankan oleh sajian permen Davos di toko saya. Sempat saya pilang-piling (cermati) apakah memang benar ini permen yang sangat populer pada jaman saya kecil sekian puluh tahun yang lalu. Dan ternyata memang benar, bahwa itu adalah Davos permen jadul alias jaman dulu. Sepertinya sudah lama sekali saya tidak menjumpai permen ini.

Bungkusnya yang berwarna biru tua dengan tulisan warna putih terlihat begitu klasik. Sejak jaman dulu hingga sekarang tak juga berubah sedikitpun, baik warna, ukuran, desain bahkan rasanya. Kini permen produksi PT Slamet Langgeng, Purbalingga, Jateng, itu benar-benar langgeng memasuki usianya yang lebih 77 tahun.

Setiap bungkus permen Davos seberat 25 gram berisi susunan 10 buah permen warna putih berukuran diameter 22 mm dan tebal 5 mm (sengaja saya ukur dengan penggaris agar lebih jelas deskripsinya), dengan tulisan Davos melintang di tengahnya. Bentuk dari setiap biji permennya sangat presisi dan terlihat rapi. Komposisinya tertulis : gula, stearic acid, dextrin, gelatin, menthol dan pepermint oil. Di bungkus luarnya tertulis : Extra Strong Permen. Karena itu saya ingat waktu kecil dulu kalau mengulum permen Davos cukup separoh saja, sebiji dibagi dua. Selain karena pedasnya juga karena ukurannya yang terlalu besar. Tapi semriwing enak…

Meski dalam perjalanannya PT Slamet Langgeng pernah mencoba memproduksi berbagai varian dari permen ini, namun tetap saja jenis Davos yang berbungkus biru ini yang paling banyak digemari. Pak Budi Handojo Hardi selaku pimpinan perusahaan heran, produknya laris manis saat musim panen tiba, terutama untuk wilayah kotanya. Lihat saja ketika musim panen tiba, para buruh tani di Purbalingga sambil memanen padi sambil ngemut permen Davos. Juga halnya ketika musim haji tiba, permintaan permen Davosnya meningkat. Barangkali untuk bekal mut-mutan di pesawat. Tapi permintaan pasar turun saat musim buah dan musim penghujan tiba. Begitulah, musim-musim yang telah ditandai oleh Pak Budi.

Budi Handojo Hardi adalah generasi ketiga dari perusahaan produsen permen Davos. Perusahaan keluarga itu berdiri pertama kali pada tanggal 28 Desember 1931 oleh kakek Budi Handojo, yaitu Siem Kie Djian. Begitu seterusnya perusahaan ini turun-temurun berganti-ganti pimpinan dari keluarga kakek Siem. Juga mengalami pasang surut sejak jaman Belanda, Jepang hingga pasca kemerdekaan, dan akhirnya sejak tahun 1985 dipegang oleh Budi Handojo.

Pemilihan nama PT Slamet Langgeng pun dilandasi oleh filosofi dan cita-cita yang sangat sederhana. Kata “Slamet” dipilih karena perusahaan itu berada di kota Purbalingga yang terletak di kaki Gunung Slamet. Kata “Langgeng” adalah harapan agar perusahaan ini tetap abadi. Sedangkan nama “Davos” diambil dari nama sebuah kota kecil di Swiss yang berhawa sejuk, maka jadilah Davos dipilih sebagai merek permen rasa mentol yang pedas-pedas semriwing.

Meski peredaran produk permen Davos ini hanya di seputaran pedesaan Jateng, DIY dan sebagian Jabar, tetapi faktanya hingga kini produk permen Davos tetap eksis dan langgeng tak tertelan jaman. Padahal produk ini sejak dulu kala tidak pernah memasang iklan di media manapun. Hanya mengandalkan kekuatan promosi gethok tular (word of mouth) dan kepercayaan antar produsen, penjual dan konsumen.

Harganya relatif murah. Sebungkus permen Davos berisi sepuluh biji di toko saya (Madurejo Swalayan, kecamatan Prambanan, Sleman) dijual seharga Rp 900,- (sembilan ratus rupiah). Dijamin murah plus rada megap-megap kepedasan tapi semriwing enak dan tidak kering di tenggorokan.

Sejak saya jumpai permen Davos di toko saya, permen jadul ini sering nyisip di dalam ransel yang saya bawa kemana-mana. Minimal bisa untuk obat ngantuk seperti dulu pernah saya berikan kepada sopir taksi di Jakarta yang mengemudi sambil ngantuk, atau kalau kebetulan ikut pertemuan lalu terkantuk liyer-liyer. Meski ini permen jadul, tapi masih layak gaul terutama bagi generasi yang pernah mengalami kejayaan permen pedas ini sekian puluh tahun yang lalu dan bagi para buruh tani di pedesaan Jateng selatan.

Yogyakarta, 26 Januari 2009 (Tahun Baru Imlek 2560)
Yusuf Iskandar