Posts Tagged ‘maskapai’

Gratis Makanannya, Bayar Minumannya

31 Juli 2008

Coba bayangkan : Anda sedang bertamu. Kemudian tuan rumah berbaik hati menyuguhi Anda dengan kue donat yang dari tampilannya saja sudah membuat rasa tidak sabar menunggu dipersilakan menikmatinya. Akhirnya sebuah donat pun langsung membuat mak sek…., di tenggorokan hingga tembolok.

Lalu Anda menunggu lima menit, lima belas menit, setengah jam, hingga sejam, ternyata setetes air pun tidak disuguhkan kepada Anda. Sementara air liur di tenggorokan dan tembolok sudah terserap habis oleh donat yang barusan lewat dan semakin membuat Anda sesak napas. Mau minta minum takut dikatakan tidak sopan.

Cara terbaik untuk keluar dari situasi serba tidak enak ini adalah segera mohon diri, lalu mampir ke warung terdekat membeli minuman. Apapun makanannya, minumnya ya air…

***

Itulah yang terjadi dalam perjalanan udara dengan burung Singa dari Jakarta menuju Makasar pada suatu tengah malam. Kalau sebelumnya tak setetes air pun mengalir di pesawat, kini tetap juga tidak mengalir tapi diberi bonus ransum kue donat cap Dunkin’ Donuts dalam kantong kertas yang tampilan luarnya cukup menggairahkan. Sepotong donat gemuk yang di atasnya ditaburi gula pasir halus sungguh merangsang untuk segera dilahap.

Untung saya agak ngantuk, jadi ransum donat saya sisipkan dulu di kantong kursi. Sementara penumpang di sebelah saya yang nampaknya seorang dari Ambon langsung menyikatnya hingga habis. Sesaat kemudian, si Abang dari Ambon itu nampak tolah-toleh. Saya menduga pasti kehausan cari minum. Agak lama, barulah muncul mbak pramugari cantik di tengah malam di atas pesawat mendorong gerobak dagangannya menawarkan minuman. Kali ini tentu bukan pembagian gratis, melainkan siapa mau minum harus membelinya. Dan, laku keras………

Sebuah trik bisnis. Ya, trik bisnis….. Dalih, alasan, atau malah mau ngeyel seperti apapun, pokoknya itu pasti trik bisnis (Cuma, gimana ya…. rasanya kok enggak seberapa cerdas, gitu…). Makanannya disediakan gratis, tapi minumannya harus mbayar. Si burung Singa boleh berkilah. Toh, maskapai sudah berbaik hati menyuguhkan makanan gratis kepada penumpangnya. Perkara penumpangnya lalu mau beli minuman apa tidak, ya terserah saja…. Maka, penumpang pun ter-fait-a-compli pada situasi tidak ada pilihan, di atas ketinggian lebih 10 km.

Memang tidak ada yang salah dengan trik bisnis semacam ini. Dalam banyak kasus, banyak bentuk, banyak cara, banyak situasi, trik bisnis seperti ini banyak digunakan oleh para penjual atau pedagang dalam rangka meningkatkan omset penjualan dan keuntungannya. Sah-sah saja.

Gratiskan ikannya, kail dan umpannya mbayar. Gratiskan software-nya, jasa pelatihan dan purna jual-nya mbayar. Jual rugi mobilnya, suku cadang dan perawatannya dijual mahal. All you can eat, karcis masuk untuk bisa eat-nya mahal. Gratis biaya perawatan setahun, gratis ikut seminar, gratis nambah nasi, tapi biaya awalnya dinaikkan. Sepertinya lumrah-lumrah saja.

Ada yang bisa dipelajari dan dihikmahi dari trik bisnis semacam ini, baik oleh penjual maupun pembeli. Agaknya, ajakan teliti sebelum menjual dan membeli, atau jeli sebelum bernegosiasi dan bertransaksi, masih layak dikiblati. Agar tidak merasa dikibuli di belakang hari, melainkan tahu dan paham dengan apa yang sedang terjadi. Dengan demikian, maka kaidah-kaidah jual-beli (oleh kedua belah pihak) tetap tidak menyalahi kaidah bisnis yang saling menguntungkan dan saling ikhlas dalam berserah-terima jasa maupun barang.

Jadi? Sebaiknya Anda waspada kalau sedang dalam perjalanan dengan pesawat tiba-tiba disuguhi makanan gratis. Sabar dulu untuk menikmatinya. Atau malah tanyakan dulu ada pembagian minumannya atau tidak, kecuali Anda siap untuk membeli atau setidak-tidaknya Anda telah siap lahir-batin untuk kehausan atau keseredan (apa bahasa Indonesianya, ya…).

Juga kalau kebetulan Anda sedang bertamu, lalu tidak biasanya suguhan kue keluar lebih dahulu. Segera aktifkan piranti deteksi dini dan lakukan quick assessment. Jika kesimpulannya menunjukkan bahwa tuan rumahnya adalah penganut fanatik aliran burung Singa, segera tanyakan warung terdekat, lalu Anda pamit sebentar untuk beli minuman………..

Yogyakarta, 30 Juli 2008
Yusuf Iskandar

Berani Terbang Murah Harus Berani Kehausan

12 Juli 2008

Bepergian dengan pesawat pada seputar waktu peak season, seperti misalnya musim libur akhir tahun ajaran sekolah, mencari tiket pesawat minta ampun susahnya. Apalagi kalau tidak memesan jauh hari sebelumnya. Kalaupun akhirnya dapat juga, biasanya harus rela membayar harga tiket jauh lebih mahal dari biasanya. Belum lagi kalau inginnya naik burung garuda (maskapai Garuda Indonesia), dijamin bakal berebut seat yang tersisa dengan harga bisa lebih dua kali lipat harga tiket maskapai lain. Artinya, apapun pesawatnya, mbayarnya tetap lebih mahal dari biasanya.

Untuk alasan mencari harga termurah di antara yang mahal, maka pilihan terbang dengan burung garuda terpaksa dikesampingkan. Maka alternatifnya adalah harus berani menunggang pesawat dari maskapai bertarif murah. Tapi terkadang naik pesawat bertarif murah juga bukan pilihan, melainkan karena memang tinggal itu adanya. Ya, karena sedang peak season itu tadi.

Berniat terbang ke Jayapura dari Jogja. Rupanya karcis burung garuda sudah ludes. Lalu pilihan jatuh ke burung singa (Lion Air) yang ternyata harga tiketnya lebih murah. Rutenya Jogja – Jakarta – Makasar – Jayapura. Waktu tempuh di udara total 6,5 jam belum termasuk waktu transit. Waktu tempuhnya sih, oke saja. Hanya saja burung singa ini pelit ransum air, atau memang menerapkan prinsip hemat air. Sepanjang enam setengah jam yang terdiri dari satu jam tambah dua jam tambah tiga setengah jam, tak setetes air minum pun digelontorkan, apalagi mengalir sampai jauh……

Empat hari kemudian kembali dari Jayapura ke Jogja. Tidak ada pilihan lain selain kembali naik burung singa yang ternyata harga tiketnya sudah lebih dua kali harga ketika berangkatnya. Apa boleh buat. Tetap juga berlaku prinsip hemat air, tidak ada pembagian ransum sekalipun segelas air putih. Kalau kepingin minum dan lupa membawa bekal ya salahnya sendiri. Berani naik pesawat bertarif murah berarti harus siap kehausan di udara.

Dua hari kemudian harus menuju Kuala Lumpur. Kali ini sengaja memilih maskapai bertarif murah yang bebas tempat duduk (maksudnya, bebas memilih alias dulu-duluan masuk pesawat). Meskipun namanya Air Asia, tapi sumprit… selama dua setengah jam duduk di dalam pesawat tidak ada pembagian air. Kalau kepingin minum ya harus membeli ke gerobak dorongnya mbak pramugari. Empat hari kemudian kembali ke Jakarta naik burung asia yang sama, yang sudah pasti juga tanpa dropping air di udara.

Terkadang bukan soal harga airnya. Tapi, masak iya pelit amat sih……. Di warung saya harga segelas akua paling mahal gopek (lima ratus rupiah). Seingat saya maskapai bertarif murah di Amerika pun masih sempat membagikan segelas kecil air mineral. Membereskan sampah plastik kosongnya juga mudah. Sementara maskapai burung besi lainnya berlambang benang ruwet (Sriwijaya Air) dan perut semar (Batavia Air) masih berbaik membagi ransum.

Sebagai alternatif barangkali di dalam pesawat bisa disediakan kendi (tempat air dari tanah) seperti orang-orang desa yang suka menyediakan kendi di depan rumah saat musim panen tiba. Sehingga siapa saja yang sedang lewat dan kehausan bebas menggelonggong (minum dengan cara tidak menempelkan cucuk kendi ke mulut), sepuasnya………..

Ketika iseng-iseng saya kirim SMS kepada bagian customer care tentang usulan membagi ransum air putih, dijawab : “pesan anda akan segera kami tindak lanjuti”. Saya merasa perlu bersiap mafhum bahwa “ditindaklanjuti” tidak sama artinya dengan “dipenuhi”. Jadi, nampaknya saya harus tetap berpegang pada pesan bijak : berani terbang murah harus berani kehausan.

Yogyakarta, 11 Juli 2008
Yusuf Iskandar

Maskapai ”Pokoke Mabur”, Oedan Tenan…

19 Maret 2008

Pada mulanya saya membaca olokan maskapai “Pokoke Mabur” (yang penting terbang) saya tafsirkan hanyalah sekedar gaya bahasa sebagai ekspresi ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap perilaku maskapai Adam Air dalam menjalankan bisnisnya. Saya setuju dengan olokan itu karena kedengaran enak di telinga.

Ee… lha kok kenyataan yang sebenarnya malah jauh lebih parah dari sekedar julukan itu. Coba bayangkan, naik pesawat terbang tinggi lebih 9 km di atas permukaan bumi, dengan kondisi pesawat yang asal terbang. Kata Departemen Perhubungan, ada baut-baut dan paku pesawat yang tidak lengkap. “Ini, kan berbahaya sekali”, kata Budhi Mulyawan Suyitno, Dirjen Perhubungan Udara (Eee…alah, Pak De… Pak De…., kok baru sekarang Sampeyan ngasih tahu saya, telanjur 3 tahun ini saya midar-mider dengan pesawat “Pokoke Mabur”, jangan-jangan pesawat yang menghunjam di laut dekat Sulawesi karena ada bagian yang coplok di udara….).

Bukan itu saja, menurut koran “Kontan” hari ini, Adam Air ternyata tidak mengoperasikan pesawatnya sesuai aturan. Proficiency check alias kecakapan pilotnya tidak dilakukan oleh instruktur yang sudah ditunjuk, pelatihan sumber daya manusia tidak sesuai program (sesuatu yang tidak ikut aturan, oleh orang Jawa disebut sak geleme dhewe…). Malah koran “Kompas” hari ini juga menyebut bahwa perawatan pesawat udara tidak sesuai company maintenance manual, dan ketidakmampuan teknis memperbaiki kerusakan (jadi kalau ada kerusakan pesawat jangan-jangan malah menjadi semakin rusak, lha wong ora biso ndandani… tidak bisa memperbaiki…).

Maka mulai hari ini ijin terbang (operational specification) maskapai “Pokoke Mabur” milik PT. Adam Air Sky Connection itu pun dicabut.

***

Terlepas dari konflik internal dari para pemegang sahamnya, entah itu karena perkara mismanagement atau ketidakpuasan pribadi, yang jelas konsumen pengguna jasa angkutan udara telah menjadi taruhannya selama ini.

Entah itu kebodohan, kekonyolan atau kekejaman, setiap kali pesawat Adam Air mengudara, maka para penumpang dan awaknya ibarat sedang bermain trapeze, sirkus bergelantungan di udara tanpa jaring pengaman. Tinggal tunggu waktu siapa dari pemain sirkus udara itu yang kebagian sial gagal melakukan akrobatiknya dengan mulus dan selamat, meloncat dari satu gantungan ke gantungan lainnya sambil bermanuver di udara. Benar-benar “pokoke mabur”, oedan tenan……

Mengingat kembali bagaimana awak kabinnya terlihat asal-asalan memperagakan prosedur dan tatacara dalam keadaan darurat dan juga bagaimana sopir-sopirnya mendaratkan pesawat hingga sering mak jegluk…., bisa jadi semua itu adalah ekspresi di luar kesadarannya dari sikap ora urus, tidak perduli dan …., ya “pokoke mabur” itu tadi.

Huh…! Miris rasanya kalau ingat bahwa yang disampaikan oleh Dirjen Perhubungan Udara itu benar adanya. Dan, mestinya ya benar. Masak sih, ngarang-ngarang…..

Kini pemerintah masih memberi kesempatan Adam Air untuk memperbaiki kinerja buruknya dalam waktu tiga bulan. Maka pertanyaannya adalah, apakah pihak manajemen Adam Air mampu “menyulap” semua kegagalan dan ketidakmampuan itu menjadi lebih baik dan sesuai prosedur keselamatan yang benar dalam waktu tiga bulan ke depan? Menurut kalendar di rumah saya, tiga bulan ke depan jatuh pada tanggal 18 Juni 2008 (dengan empat tanggal merah di dalamnya), pas peak season musim liburan sekolah.

Have a safe and nice flight…..!

Yogyakarta, 19 Maret 2008
Yusuf Iskandar

Seandainya Bisa Memilih

9 Januari 2008

Di bawah cuaca hujan kecil-kecil, akhirnya burung besi itu terbang juga meninggalkan Yogyakarta menuju Balikpapan. Pesawat baru Airbus 319 milik maskapai Mandala Air yang saya tumpangi sore itu memang tampak sekali masih terasa kinyis-kinyis dan bau toko.

Jog tempat duduknya masih terlihat bersih, warna dinding-dindingnya masih cerah dan belum berubah kusam, lumen lampu penerangnya masih terang, interior dalamnya juga terkesan mewah, sistem halo-halonya juga kedengaran empuk dan pas. Juga piranti peraga penyelamatan masih terlihat gres. Raungan deru mesin pesawatnya pun kedengaran halus (tapi ya tetap saja menderu, wong namanya juga pesawat). Singkat kata, nyaman sekali rasanya duduk di dalam pesawat baru itu dan siap terbang bersama Mandala.

Perasaan kurang nyaman yang biasanya selalu menyertai bila terbang dengan pesawat non-Garuda seolah-olah termanipulasi (meskipun naik Garuda juga tidak selalu nyaman). Rasanya Mandala Air pantas berbangga dengan pesawat barunya yang masih seumur jagung (dalam arti yang sebenarnya, yaitu 3,5 bulan). Seiring dengan perubahan di bawah manajemen barunya, dan juga logo barunya yang berbentuk segi delapan (lebih menyerupai delapan kubah masjid) berwarna keemasan di bagian luarnya dan biru di dalamnya, lalu di tengahnya adalah lima bunga berwarna biru muda (bangunan simetri yang dipaksakan sebenarnya, wong luarnya segi delapan kok dalamnya lima…..). Ya sudah, pokoknya logo baru, karena logo itu perlu.

Tentu hal yang menggembirakan kalau ternyata maskapai lain juga mulai menyadari bahwa memiliki pesawat baru itu sudah sepantasnya menyertai strategi bisnis jasa angkutan udara yang semakin kompetitif dan dibutuhkan, tapi sering diolok-olok tidak semakin aman.

Tiba di bandara Sepinggan, Balikpapan, hari sudah gelap. Saat landing biasanya menjadi detik-detik mendebarkan, karena yang sudah-sudah tidak banyak sopir-sopir pesawat yang piawai mendaratkan pesawatnya dengan halus mulus. Tapi dengan menaiki pesawat baru, perasaan itu seolah terlupakan. Mestinya ya akan mendarat dengan mulus pula.

Ee…, tapi rupanya prasangka baik saya salah. Tahu-tahu mak jedug….., burung besi itu menghentak bumi, ndlosor menginjakkan kakinya di landasan Sepinggan. Kalau ini jelas faktor keahlian sopirnya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan baru atau tidaknya pesawat. Meski hari sudah malam, tapi cuaca di Balikpapan sedang cerah-benderah.

Meskipun demikian, keseluruhan kesan yang saya rasakan terbang dengan pesawat baru memang cukup membawa kenyamanan dan ketenangan. Lebih-lebih pada saat sebelum terbang, sang pilot yang kalau menilik namanya pasti berasal dari Sumatera Utara, mengajak para penumpang untuk berdoa menurut iman dan kepercayaan masng-masing, layaknya Pak RT yang akan memimpin rapat kampung. Ajakan yang Indonesia bangeth…! (pakai ‘h’ di belakangnya), tapi sungguh ajakan yang simpatik.

Seandainya penumpang pesawat dapat memilih sebelum menaiki pesawat seperti halnya memilih bis atau taksi yang bagus atau baru, tentu semua penumpang akan berebut pesawat yang baru. Hanya memilih yang tidak mak jedug saja, yang hanya Tuhan dan sopirnya (sopir pesawat maksudnya) yang tahu…..

Balikpapan, 7 Januari 2008
Yusuf Iskandar