Hari Sabtu yll. toko saya “Madurejo Swalayan” kedatangan tamu istimewa. Saya anggap istimewa karena tidak biasanya saya dikeroyok rombongan tamu yang terdiri dari ibu-ibu dari desa Tlogo, Prambanan, Klaten, yang sedang site visit, melakukan kunjungan kerja atau studi banding.
Siapakah rombongan ibu-ibu ini? Mereka adalah kelompok ibu-ibu pelaku UKM (Usaha Kecil & Mikro) yang sedang dibina oleh lembaga ASB (Arbeiter-Samariter-Bund), sebuah kelompok LSM asal Jerman. Kelompok ibu-ibu ndeso ini adalah salah satu kelompok usaha kecil yang bergerak di bidang industri minuman herbal. Tapi jangan dikira bahwa ibu-ibu ndeso ini berarti ndeso pula pemikirannya. Mereka adalah orang-orang ndeso yang telah maju semangat entrepreneurship-nya. Setidak-tidaknya mereka adalah ibu-ibu yang tetap bersemangat menempa diri untuk belajar dan menekuni dunia kewirausahaan, lebih dari umumnya kaum ibu lainnya yang tinggal di desa.
Hal inilah yang membuat saya begitu bersemangat menyambut kedatangan mereka pagi itu. Saya sangat menghargai semangat kewirausahaan yang tumbuh dalam lingkungan ndeso mereka. Hingga saya pun tidak keberatan ketika pembina mereka dari ASB meminta saya untuk sekedar berbagi pengalaman tentang kewirausahaan, sekaligus memberikan sedikit kuliah motivasi kepada mereka. Terpaksa saya harus bergaya bak seorang motivator beneran. Kalaupun terlihat wagu (jelek atau tidak pas), maka akan termanipulasi oleh ke-ndeso-an mereka, sebab mereka pasti tidak punya pembanding. Dan….., saya berhasil! Berhasil menjadi jago (diantara 16 ibu-ibu) sebagai motivator kelas ndeso, maksudnya…… Yo wis ben……
Apa ukuran keberhasilannya? Kuliah motivasi yang berlangsung kira-kira setengah jam sambil duduk lesehan di sebuah joglo di halaman belakang “Madurejo Swalayan”, ternyata kemudian digayung-bersambuti oleh para ibu-ibu dengan cecaran aneka pertanyaan. Semuanya bisa saya jawab dengan meyakinkan dan memuaskan. Sekurang-kurangnya saya tidak mengarang jawaban, melainkan apa yang saya sampaikan adalah apa yang telah dan akan saya lakukan sebagai pemilik usaha ritel “Madurejo Swalayan” yang berdiri di pinggir timur kota Jogja.
Hal yang membuat saya bangga adalah bahwa umumnya pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan kritis dan konstruktif untuk ukuran ibu-ibu ndeso, yaitu pertanyaan yang terkait dengan kiat-kiat berwirausaha, tidak hanya tentang bisnis ritel yang saya geluti melainkan juga bisnis secara keseluruhan. Mulai dari cara memilih jenis usaha, memilih lokasi usaha, memulai berusaha, menghadapi persaingan, masalah permodalan, pemasaran, promosi, filosofi berwirausaha, trik-trik bisnis (versi saya tentu saja), hingga akhirnya ada yang penasaran kemudian bertanya :
“Nyuwun sewu, lha latar belakang pendidikan Bapak itu apa?”. Ketika saya jawab : “pertambangan”, malah ibu-ibu itu tertawa (atau jangan-jangan malah mentertawakan).
“Kok ora nyambung. Melenceng biyanget (saking bangetnya)…”, celetuknya.
Ya memang ngurusi bisnis itu tidak sama dengan ngurusi Indonesia yang harus sambung-menyambung menjadi satu. Siapa punya semangat dan mampu konsisten menjaga semangat wirausahanya, maka dia akan memetik hasilnya. Sebab mereka inilah orang-orang yang tahan banting, siap jatuh dan siap bangun di segala cuaca, tak kenal menyerah hingga memetik hasilnya.
Di akhir acara, ujung-ujungnya adalah pertanyaan apakah ada kesempatan bagi mereka untuk titip jual hasil usaha kelompoknya di toko saya. Jawaban saya singkat saja : “Lha, monggo….., silakan…..”.
***
Sejak beberapa hari sebelumnya, mereka para ibu-ibu ndeso ini di tengah kesibukan hariannya telah menyempatkan mengikuti Pelatihan Pengembangan Usaha (Business Development Training) yang diadakan di desa Tlogo oleh ASB. Di Jerman sendiri kelompok ASB ini sebenarnya sudah mulai berkiprah sebagai organisasi kesejahteraan sosial sejak tahun 1922 terutama dalam merespon terjadinya bencana alam dan konflik-konflik di luar negerinya Jerman.
Sejak tahun 2006 mulai masuk ke Indonesia, yaitu sejak terjadi bencana gempa bumi yang melanda wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006. Desa Tlogo, kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten (wilayah ini berbatasan dengan kecamatan yang juga bernama Prambanan, tapi masuk kabupaten Sleman) merupakan salah satu wilayah korban gempa yang masyarakatnya menerima bantuan dan binaan oleh lembaga-lembaga asing yang banyak betebaran di Yogyakarta dan sekitarnya, sejak bencana gempa terjadi.
ASB adalah salah satu di antara LSM asing yang ada di sana, dan ibu-ibu tamu saya itu adalah salah satu kelompok binaannya. Sebagian dari ibu-ibu ndeso itu ada yang sehari-harinya ibu rumah tangga biasa, buka warung kecil, jual bakmi, bikin kue, usaha minuman herbal, dsb. Banyak hal menarik yang ditanyakan mereka dan banyak hal menarik pula dari ekspresi mereka atas jawaban saya, sehingga sering muncul celetukan-celetukan yang membuat ger-geran….
Sebelum tamu istimewa saya ini kembali menaiki bis yang membawa mereka untuk melanjutkan perjalanan studi bandingnya ke tempat lain, setelah berpamitan dan berfoto bersama di depan toko, salah seorang pembinanya menghampiri saya dan menyodorkan sebuah amplop. Jelas bukan amplop kosong, melainkan berisi lembaran-lembaran kertas berwarna biru bergambar Gusti Ngurah Rai. Sekedar tanda terima kasih sebagai “guest lecturer”, begitu tertulis pada tanda terimanya.
Weleh…, rada kagok aku… Bukan menerima amplopnya, melainkan seprana-seprene melanglang buana menggeluti dunia pertambangan, ya baru kali ini saya disebut “guest lecturer”, malah untuk urusan mbuka warung eceran…..
Lalu tentang amplop dan isinya sebagai rejeki tak terduga yang saya terima, kemudian saya bagikan kepada pegawai toko saya. Sekedar ingin menambah jumlah orang-orang yang menerima rejeki tak terduga pada hari itu…..
Yogyakarta, 25 Nopember 2008
Yusuf Iskandar