Archive for the ‘F – BUNGA RAMPAI’ Category

(47) Swalayan Cap Madurejo

13 Desember 2007

Setiap kali saya melakukan inspeksi barang dagangan di toko, biasanya saya menemukan barang-barang yang pengaturannya kurang benar, yang penempatan label harganya tidak sesuai, yang terlewat dibersihkan, saya juga mengamati barang-barang yang cepat laku dan juga yang lakunya sangat lambat. Sekali waktu pandangan saya tertuju pada produk bermerek Astor, sejenis wafer stick. Ini produk kok masih terlihat banyak saja sejak saya kulakan beberapa bulan yang lalu. Produk sejenis merek lainnya relatif cepat laku, tapi Astor ini kok nggaaaaaak laku-laku……., luuuambat sekali. Ada apa gerangan, padahal dulu-dulunya banyak yang menanyakan produk ini.   

Lalu saya ingat apa yang terjadi ketika minggu-minggu awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”. Masih di seputar bulan puasa. Waktu itu banyak pengunjung toko yang tanya, apakah ada Astor?. Terpaksa saya jawab bahwa produknya belum masuk, yang sebenarnya ini kata lain dari “tidak ada” atau “belum tersedia”. Agar pembeli tidak kecele, lalu saya tunjukkan produk wafer stick alternatif merek lain. Kelihatannya oke saja. Sampai beberapa waktu kemudian rupanya banyak yang menanyakan produk Astor, kembali saya tunjukkan produk alternatifnya, juga oka-oke saja. Sampai akhirnya saya pun mencari produk Astor ini ke toko grosir lain, berhubung belum ada sales yang datang menawarkannya. Tidak tanggung-tanggung, sekalian perginya, sekalian bayar parkirnya, sekalian kulakannya, maka sekalian saya mengulak produk Astor dalam jumlah agak banyak saja untuk menyongsong lebaran tiba. Lega sudah……  

Sebulan berjalan dan lebaran pun tiba, dua bulan, tiga bulan pun berlalu. Lhah, kok produk Astor masih tetap banyak, padahal banyak pula yang menanyakannya. Sementara produk wafer stick merek-merek yang lain lakunya ruarrr biasa sampai kewalahan memenuhi permintaan, terlebih saat menjelang lebaran.    

Usut punya usut, eee….. lha kok kayak orang bodoh benar saya ini. Rupanya bagi masyarakat Madurejo dan sekitarnya, astor adalah “kependekan” dari wafer stick. Apapun merek wafer stick-nya, mereka akan menyebutnya astor. Tobat  tenan aku….., lha wis kadung dikulak banyak-banyak je……. Enggak tahunya bukan wafer stick merek Astor yang dicari, melainkan astor merek yang lainnya. Dan saya juga tidak tahu kenapa yang dipilih justru bukan astor cap Astor, melainkan astor cap yang lain. Padahal harga jual per bungkusnya relatif sama. Kelezatan dan rasanya juga begitu-begitu juga.    

***   

Akhir-akhir ini saya sering menerima undangan dari kampung Madurejo. Ada undangan pernikahan, rapat kampung, rapat panitia kurban, penyambutan haji, dsb. Ini tentu hal yang baik, berarti keberadaan saya sebagai warga desa Madurejo diakui dan bisa diterima. Meski terkadang agak repot mengatur waktu saya untuk kesana-kemari mengingat saya masih tinggal di Yogya. Tapi okelah, faktor kerepotan ini saya abaikan dulu. Jauh lebih penting memantapkan posisi sebagai warga baru Madurejo yang sekaligus sebagai pemilik dan pengelola “Madurejo Swalayan”.    Ada hal remeh-temeh yang bagi saya menarik. Pada setiap undangan yang dikirimkan kepada saya, selalu dituliskan alamat saya di swalayan (saja), tidak pernah disebut Madurejo-nya. Demikian halnya setiap saya diperkenalkan kepada warga lain, selalu dengan embel-embel swalayan (saja). Dan, biasanya mereka langsung paham bahwa yang dimaksud dengan swalayan adalah “Madurejo Swalayan”.   

Kelihatannya di kalangan masyarakat desa Madurejo sudah sama-sama dimaklumi bahwa “Madurejo Swalayan” adalah satu-satunya toko swalayan modern yang ada di sana. Maka kalau mereka menyebut kata “swalayan”, pasti yang dimaksudkan adalah “Madurejo Swalayan”. Diam-diam saya menyimpan kebanggaan. Sudah ada terbentuk opini tentang brand image. Tinggal bagaimana menjaga agar image yang terbentuk dan berkembang adalah image yang baik dan benar, bagi masyarakat maupun bagi “Madurejo Swalayan” sendiri. Image yang mencerminkan simbiose mutualisme, image yang mewakili rasa paseduluran dan image yang makin asyik aja…..  

Ikon harus mulai dibentuk. Perlahan-lahan, sebutan swalayan adalah representasi dari “Madurejo Swalayan” dan “Madurejo Swalayan” adalah obyek yang dimaksud oleh sebutan swalayan. Perjalanan masih sangat panjang dan banyak liak-liuk-nya. Hingga bolehlah kalau kami berharap, jika kelak akan berdiri toko swalayan-swalayan baru di desa Madurejo, maka sebutan swalayan tetap akan melekat dan merujuk pada “Madurejo Swalayan” dan menjadi tujuan belanja bagi masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Istilah keminggris-nya, menjadi “top of the mind” (yang pertama muncul di pikiran) setiap kali menyebut kata swalayan. Begicu, karep-nya (maunya) ………  

Namun diam-diam juga terbersit kekhawatiran (Ya….., wong namanya orang hidup kesana-kemari ya selalu diganduli rasa khawatir, yang sesungguhnya kalau pandai me-manage-nya akan bisa menjadi katup pengaman atau peredam, agar tidak grusa-grusu, tidak kebablasan).  

Harapannya tentu moga-moga “Madurejo Swalayan” punya nasib tidak sesial Astor, yang menjadi ikon bagi produk wafer stick di desa Madurejo dan sekitarnya, tapi kurang menjadi pilihan pembeli. Padahal harga dan rasa bersaing, kemasan juga tidak kalah. Barangkali karena akhir-akhir ini iklan Astor di televisi kurang gencar. Berbeda dengan produk wafer stick merek lainnya yang coklatnya bikin mesra, atau yang coklatnya sampai dleweran….., menetes kemana-mana.  

Namun di balik semua itu, pasti ada sesuatu yang dapat dipelajari dari fenomena ini. Pasti ada kemungkinan, ada celah dan ada cara untuk tidak perlu khawatir akan “bernasib” tidak beruntung. Inilah salah satu dari sekian banyak PR yang perlu dikerjakan. 

Buktinya toh ada, akua cap Aqua juga menjadi ikon dari produk air mineral, tapi tetap jadi pilihan konsumen di antara produk-produk air putih kemasan lainnya. Demikian halnya teh botol cap Teh Botol Sosro, tetap dipilih pembeli di antara minuman teh lainnnya yang juga dibotolin. Maka, swalayan cap Madurejo, kenapa tidak…..?    

Madurejo, Sleman – 20 Pebruari 2006
Yusuf Iskandar

(46) Jangan Menambah Jumlah Orang Bingung

13 Desember 2007

Pernah menjadi orang bingung di dalam toko? Malah terkadang jadi ling-lung tolah-toleh kesana kemari tapi tak juga kunjung ketemu jalan keluar? Tidak bakal ada yang mau mengaku kalau ditanya seperti ini. Tapi percayalah, setiap orang pernah (bahkan sering) mengalaminya. Entah itu ketika sedang milih-milih barang yang mau dibeli, milih merek, milih warna, bahkan memilih aroma, rasa, ukuran pun seringkali membuat bingung. Minta pertimbangan istri, suami, anak-anak, penjualnya, sampai ke pembeli lain di sampingnya pun masih bingung juga. Kecian deh, konsumen…..! Sudah siap membelanjakan uangnya, jadi korban konsumerisme, korban impulse buying, mau membelanjakannya pun masih dapat bonus bingung…… 

Bagaimana tidak? Niat ingsun dari rumah beli parfum dengan merek tertentu, ukuran botol tertentu, aroma tertentu. Begitu masuk toko lalu milih-milih barang yang hendak dibeli, ternyata bingung juga memutuskannya. Sudah diciumi satu-satu, sudah di test disemprotkan ke semua penjuru badan, dibaca labelnya dengan teliti. Akhirnya tanya kepada sang penjual, bagus yang mana ya? Sang penjual pun menjawab : “Wah, saya kurang tahu, Pak. Biasanya pria punya selera……”.  

Ada lagi, dari rumah sudah pasang niat mau beli pelembab kulit merek tertentu, ukuran tertentu, jenis tertentu. Begitu berdiri di depan rak toko, ternyata susah juga mau milih yang mana. Diperiksanya dengan cermat masing-masing produk, tolah-toleh barangkali ada yang bisa ditanya. Sampai akhirnya tanya kepada penjualnya, mana yang bagus ya? Lalu jawab sang penjual : “Wah, semua bagus Bu. Biasanya cocok-cocokan dengan jenis kulitnya”.   

Kebingungan semacam ini memang nampaknya sudah menjadi peristiwa yang biasa terjadi di dalam toko. Hanya karena banyak temannya sesama pembeli bingung, jadi nampak bukan lagi hal yang aneh. Bagi sang penjual pun maklum, asal sabar saja menunggui pembeli bingung. Toh akhirnya akan beli juga, tidak perduli merek apa atau jenis yang mana. Terkadang muncul inisiatif standar dari salah seorang pelayan toko : “Ada yang bisa kami bantu?”. Begitu jenis bantuan yang diminta adalah memilihkan jenis produk yang cocok, akhirnya sang pelayan pun menambah jumlah orang bingung di dalam toko.  

*** 

Pada suatu siang yang rada mendung, datang seorang ibu muda besepeda motor masuk toko (maksudnya, sepeda motornya parkir di luar dan orangnya yang masuk toko, bukan lagi shooting “Busyeeet”). Kebetulan saya sedang berada di counter bagian perlengkapan kecantikan, sambil mengamati pelayan toko sedang menyusun barang-barang yang baru masuk. Si ibu hendak membeli pupur (bedak) warna kuning merek tertentu. Lalu saya ambilkan barang yang dimaksud dari lemari etalase. Si ibu mau membeli lipstick juga, tapi cari yang bisa terlihat kelip-kelip. Karena saya khawatir nanti si ibu kurang merasa leluasa untuk tanya-tanya dan milih-milih, kemudian saya panggilkan salah seorang pelayan perempuan untuk melayani si ibu. Saya akhirnya hanya berdiri agak menyingkir.   Saya perhatikan sambil lalu saja, si ibu agak lama menimang-nimang beberapa produk. Agaknya ibu itu sedang bingung. Niat semula mencari bedak warna kuning, begitu yang dijumpai ternyata ada jenis kuning langsat, kuning pengantin dan kuning mutiara (kuning golkar tidak ada), nampak si ibu ragu untuk memutuskan hendak memilih bedak warna kuning yang mana. Padahal contoh warnanya sudah tertempel jelas di kemasan luarnya, tapi ternyata toh tidak mudah bagi si ibu itu untuk memilih satu di antara tiga macam warna kuning.      

Nampak si ibu berpikir keras, segenap energi dikerahkan untuk memilih satu di antara tiga. Sesekali tolah-toleh, memandang jauh, memperhatikan produk lainnya. Pasti dengan tujuan untuk membersihkan pikiran dan mengulur waktu agar sempat berpikir agak panjang. Tapi toh tidak juga ketemu jawabannya.  

Akhirnya si ibu tanya kepada pelayan : “Mana yang bagus untuk jenis kulit putih ya, mbak? Yang kuning langsat atau kuning pengantin?”. Lalu jawab sang pelayan dengan logat Jogja : “Itu cocok-cocokan eee …., terserah kesenengan setiap orang…..”. Lha, rak tenan (betul, kan?), saya sudah menduga pasti kira-kira seperti itu jawabannya. Si ibu pun bertambah bingung. Sampai akhirnya berkata : “Kalau gitu, saya ambil yang ini satu, yang ini satu…….”. Sebuah keputusan yang kedengarannya “fair” pada saat itu, tapi pertanyaan yang sesungguhnya masih terbawa pulang. 

Sekira satu jam kemudian, ketika saya lihat para pelayan “Madurejo Swalayan” sedang ngariung karena toko rada sepi, saya dekati mereka. Lalu saya katakan kepada mereka : “Kelihatannya kita perlu belajar menjadi penasehat yang baik….…….”. Tentu saja mereka tidak paham arah pembicaraan saya. “Maksudnya apa, pak?”, tanya salah seorang. Barulah saya melakukana reka-ulang peristiwa seorang ibu muda bersepeda motor masuk toko tadi. 

Kesimpulannya : kita harus bisa menjadi penasehat yang baik dan bijak. Dalam kasus memilih bedak warna kuning tadi, semestinya sang pelayan bertindak bijak. Berlaku sedikit sok tahu tapi bukan berbohong apalagi merugikan orang lain, adalah termasuk tindakan bijak. Seharusnya sang pelayan dapat membantu menentukan pilihan bagi pembeli yang kebingungan memilih. Gunakan pengalaman kalau kebetulan punya, namun jika tidak, maka gunakanlah feeling.  

Sama sekali bukan hal yang salah, seandainya sang pelayan mengambil inisiatif lalu mengatakan : “Menurut saya, warna kuning pengantin lebih cocok”. Apakah pelayan sedang berbohong? Sama sekali tidak. Kuncinya ada pada kata “menurut saya”. Perkara setiba di rumah kok sang pembeli merasa “menurutnya” seharusnya warna kuning langsat yang lebih cocok, itu urusan perasaannya.   

Yang dimaksudkan dengan tindakan bijak adalah membantu agar pembeli keluar dari kebingungannya. Caranya dengan memberi dukungan atas satu pilihan, meskipun terkadang pelayan harus rada-rada ngawur dalam memberi advis. Tapi tetap saja itu adalah pilihan terbaik menurut pelayan toko pada situasi dan kondisi saat itu. Toh, pada dasarnya sang pembeli itu akan tetap membeli, akan tetap melakukan transaksi. Hanya saja, dia perlu dukungan, perlu pengakuan orang lain, bahwa satu pilihan itu memang baik atau cocok buat dirinya.  

Dalam pergaulan politik masa kini (kayaknya jaman dulu enggak ada, deh…..), sang pembeli sebenarnya hanya melempar wacana tentang pilihan warna kuning. Yang sebenarnya di dalam hatinya dia sudah punya pilihan. Eh, syukur-syukur pilihannya sama dengan advis pelayannya. Seandainya tidak sama pun, so what gitu loh? Tidak menanggung resiko apapun bagi pembeli maupun pelayan. Toh, transaksi 99% pasti akan terjadi. Hanya soal basa-basi politik dalam toko saja.   

Oleh karena itu, adalah tindakan bijaksana bagi setiap pelayan untuk membantu menciptakan rasa plong bagi pelanggannya, membantu pelanggan keluar dari kebingungannya dan membantu memberi dukungan bahwa pilihannya adalah yang terbaik. Apa nilai tambahnya? Pelanggan akan merasa puas, pelanggan merasa bangga telah sukses membuat pilihan terbaik, pelanggan merasa bahwa pelayan “Madurejo Swalayan” sangat membantu, dan akhirnya…….., pelanggan merasa bahwa berbisnis dengan (pelayan) “Madurejo Swalayan” adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau sempat melakukan sekedar percakapan ringan tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pupur kuning, menciptakan suasana yang mempribadi. 

Bukan sebaliknya, jangan malah menambah jumlah orang-orang yang sudah bingung di dalam toko. Agar tidak menambah jumlah orang bingung yang sudah cukup banyak di luar sana…..  

Madurejo, Sleman – 18 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar

(45) Tuyul dan Mbak Pelayan

13 Desember 2007

Pada suatu ketika kasir dan pengawas “Madurejo Swalayan” terheran-heran, beberapa malam setiap laporan akhir setelah toko tutup diketahui uang di laci kasir yang disetorkan ternyata jumlahnya kurang dibanding dengan catatan yang ada di print-print-an kasir. Adakalanya jumlah tekornya sampai dua puluh ribuan, lain waktu empat puluh ribuan. Akhirnya management sistem pelaporannya dibenahi agar memudahkan untuk kontrol. Terlanjur ada pelayan yang jadi takut untuk disuruh belajar jadi kasir. Ada juga kasir yang pasrah ikhlas kalau misalnya upah bulanannya dipotong untuk mengganti. Tentu bukan itu solusinya. 

Pada ketika yang lain saya membantu ibu CFO mempersiapkan uang untuk upah bulanan pegawai. Sejumlah uang sudah disiapkan dan dihitung ulang sebelum dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Sejam kemudian amplop pun dibagikan masing-masing. Salah seorang diantaranya tidak langsung membuka amplopnya, melainkan langsung dikantongi. Sorenya dia pergi ke toko lain untuk membeli sesuatu. Ketika hendak membayar, amplop pun langsung dibuka di depan penjualnya. Begitu dihitung ……., lho  kok jumlahnya kurang seratus ribu rupiah? 

Sekitar seminggu menjelang lebaran haji yang lalu, masih di rumah saya meminta uang kepada ibu bendahara untuk membayar hewan korban. Rupanya ibu bendahara sudah menyiapkannya malam sebelumnya. Setelah saya terima dan saya hitung, kok jumlahnya kurang seratus ribu? Ibu bendahara pun heran, katanya semalam sudah benar menghitungnya. Ya sudah, digenapi saja lagi. Uangpun saya lipat lalu saya masukkan ke saku kiri depan celana blue jeans biru mangkrak Levis 501. Haqqun-yakil saku celana yang saya pakai tidak bolong sehingga uang di saku pasti aman tidak akan mbrojol 

Setiba di depan bapak panitia korban, uang pun langsung saya tarik dari saku dan saya serahkan begitu saja tanpa saya hitung lagi sebab saya ingat bahwa saku celana kiri depan tidak saya uthik-uthik sejak dari rumah. Eh, lha kok si bapak panitia korban nyeletuk : “Nyuwun sewu nggih pak, meniko artanipun kirang setunggal atus….” (maaf ya pak, ini uangnya kurang seratus). Sial tenan aku. Terpaksa merogoh dompet untuk menutupi kekurangannya. Jadi, sehari ini saja sudah terjadi pengeluaran tak terduga sejumlah dua ratus ribu rupiah. 

Apa yang sebenarnya terjadi sih? Kok punya uang sedikit saja salah-salah terus hitungannya. Menurut teori, semakin sedikit kuantitasnya seharusnya lebih mudah ngurusnya. Lain halnya kalau uangnya banyak, wajar kalau menghitungnya jadi susah enggak selesai-selesai. Ah, barangkali kasir, pengawas, pelayan, ibu bendahara dan saya sendiri kurang teliti sehingga melakukan salah hitung. Atau, barangkali ini teguran dari “Atasan” saya bahwa pemberian yang kami keluarkan selama ini terlalu sedikit. Ya sudah. Kisah uang hilang pun segera menghilang. 

Kali lain, ada rumor dari kasir dan pelayan. Katanya, ada orang yang menurut kabar angin memiliki tuyul terkadang belanja di “Madurejo Swalayan”. Dalam hati saya berkata “alhamdulillah”, berarti ada peluang untuk duplikasi pelanggan baru, bukan hanya pemilik tuyulnya tapi juga tuyulnya sekalian. Rupanya bukan itu yang jadi pokok soal kasir dan pelayan. Melainkan setiap kali orang yang ditengarai memelihara tuyul berbelanja, maka biasanya uang pembayarannya dipisahkan. Lho? 

Menurut shohibul-hikayat, kata kasir, kalau uang itu disimpan bersama uang yang lain bisa memancing sang tuyul untuk ngutil uang yang dikumpulinya itu. Wah, kalau cerita yang beginian saya baru tahu. Itulah sebabnya maka kasir pun mengambil inisiatif untuk memisahkan uang pembayaran dari orang yang digosipkan memiliki tuyul. Uang itu nantinya akan digunakan untuk pembayaran keluar, keperluan yang lain. Terserah sajalah, yang penting tidak dengan niat : biar uang orang lain saja yang uangnya dicuri tuyul…… 

Saya sendiri herman bin hueran, bagaimana kasir dan pelayan bisa tahu bahwa orang itu memiliki tuyul atau tidak. Rupanya, ada orang-orang tertentu yang sudah dikenali oleh masyarakat sekitar, memiliki peliharaan mahluk kecil gundul tidak kelihatan dan suka mencuri uang. Itulah bayangan saya tentang mahluk yang satu ini seperti visualisasi yang saya lihat di serial acara “bodoh” di televisi (ngerti ngono yo ditonton……., tahu begitu ya dilihat juga…..).     

***   

Apakah beberapa peristiwa kehilangan uang itu ada hubungannya dengan keberadaan mahluk yang disebut tuyul ini? Saya tidak tahu, dan saya juga tidak perlu menghubung-hubungkannya. Nanti ndak jadi vietnam….. Bukankah vietnam itu lebih kejam dari pembunuhan? Fitnah seperti ini memang paling enak untuk dijadikan bahan infotainment lokalan. 

Cilakanya, saya sendiri juga mendengar cerita yang kurang lebih sama dari warga Madurejo lainnya, termasuk dari sesepuh-sesepuhnya. Jadi, percaya-enggak-percaya, cerita seperti itu sudah menyebar di masyarakat rupanya. Sudah banyak juga toko dan warung yang ada di Madurejo dan seputarannya mengeluh telah mengalami peristiwa misteri kehilangan uang yang terjadinya seperti tidak masuk akal. Kebetulan ini ada toko baru, pasti pengelolanya belum berpengalaman ihwal yul-tuyyul, begitu barangkali strategi bisnis si empunya tuyul dan tuyulnya.  

Pendeknya, cerita tentang tuyul sering mewarnai romantika usaha mencari rejeki. Apalagi di tempat-tempat tertentu yang memang masih sangat kuat budaya dan tradisi gaibnya. Boleh juga kalau mau dianggap sebagai threats (ancaman). Cuma ya jangan dimasukkan dalam anggaran belanja bulanan toko, nanti ndak malah dimasukkan dalam business plan-nya tuyul.…… Terkadang cerita tentang tuyul mereda, terkadang muncul lagi. Begitu siklusnya. Mungkin saja sang tuyul juga punya zona-zona operasi tersendiri pada waktu-waktu tertentu. Ah, embuh-lah…….! 

Jadi? Wong namanya juga saya masih manusia biasa (bukan tuyul), kalau sudah ngomong-ngomong soal mahluk culas yang tidak kelihatan itu, saya sendiri terkadang suka gregetan bin mangkel dalam hati. Sampai suatu ketika saya nggrundel sendiri di kantor : “Kalau bisa saya tangkap itu tuyul, arep tak obong (maaf) silite (saya bakar duburnya) sekalian punya pemiliknya kalau perlu……”. Grundelan ini saya ucapkan dengan penjiwaan penuh seolah-olah menyugesti diri sendiri sedang berbicara di depan forum para tuyul itu. Mudah-mudahan kalau memang mahluk tuyul itu ada, mereka mendengar grundelan saya lalu lapor sama juragannya, lalu mereka berdua lari terbirit-birit. Itu, khayalan saya….. 

Yang jelas, sejak itu hingga saat ini saya tidak lagi mengalami atau mendengar cerita-cerita misteri tentang uang hilang. Barangkali administrasi kami memang sudah lebih baik dan kami pun sudah semakin cermat dalam menghitung uang, sehingga tidak lagi perlu terjadi kehilangan-kehilangan yang tidak perlu.     

Atau, kalau mahluk tuyul itu memang ada dan suka main-main ke “Madurejo Swalayan”, kini sudah sohiban sama mbak-mbak pelayan toko…….., malah bisa disuruh menjaga toko sekalian. Daripada tak obong tenan………!.

  

Madurejo, Sleman – 16 Pebruari 2006

Yusuf Iskandar

(44) “Jahe Telur”

13 Desember 2007

Pada suatu hari, siang menjelang sore, sekitar seminggu sebelum hari Lebaran yang lalu, datang seorang muda berpenampilan rapi masuk toko. Sekilas nampaknya sedang mencari-cari produk tertentu, lalu akhirnya bertanya tentang produk bubuk minuman “Jahe Telur” bungkus sachet. Dari penampilannya mengesankan sebagai seorang yang ramah, sopan, grapyak, suka guyon dan bersahabat. Seorang temannya yang tampak lebih pendiam datang menyusul di belakangnya.  

Orang yang kemudian memperkenalkan diri bernama Imam ini baru datang dari Merauke, Papua. Mengaku berasal dari desa tetangga tidak jauh dari Madurejo tapi sudah beberapa tahun merantau ke Papua buka usaha warung, berjualan minuman bubuk kesehatan. Ya  “Jahe Telur” itu. Dia pulang kampung untuk kulakan “Jahe Telur”, tapi belum menemukan barangnya. Karena melihat ada toko baru di dekat kampungnya, maka dia minta tolong untuk dicarikan produk itu. Rencananya dalam dua-tiga hari sebelum Lebaran akan kembali ke Merauke. Sampai disini, bagian pendahuluan kisah perantauannya sangat meyakinkan, sampai kemudian tiba di bagian isi kisahnya. Maka terjadilah dialog, tanya-jawab dari seorang pengelola toko yang terkagum-kagum dengan seorang perantau yang sukses di rantau.  

Saya tanya Merauke-nya di sebelah mana, diapun menjawab dengan mantap. Saya katakan saya punya saudara seorang Kyai di sana, diapun dengan kalemnya mengatakan sering juga main-main ke pesantrennya. Saya tanya mengapa Lebaran bukannya berada di kampung tapi malah mau balik ke Merauke, diapun menjawab mau mremo, di saat orang-orang muslim pada pulang kampung, orang-orang asing justru banyak mengunjungi warungnya. Saya tanya siapa konsumen utama minuman “Jahe Telur”, diapun menjawab dengan meyakinkan bahwa banyak orang-orang bule menyukai produk itu. 

Saya semakin menyukai cara menjawabnya yang sangat pede. Lalu saya tanya apakah memang di sana banyak bule, diapun menjawab dengan berapi-api bahwa di sana banyak sekali bule-bule yang bekerja di perusahaan minyak, kebanyakan bule-bulenya dari Australia yang bekerja di perusahaan Prifot (yang dimaksud pasti Freeport). Weee……, lhadalah…….! Ini inlander belum tahu kalau sedang bicara dengan seorang pangsiunan pajuang kumpeni (company) yang disebut itu…….. 

Mencermati jawaban-jawabannya, akhirnya kesimpulan saya hanya satu, yaitu bahwa orang ini sedang beraksi hendak berniat tidak baik. Tapi apa? Saya sengaja tidak meng-counter ceritanya, kecuali hanya manggut-manggut serius. Sebab kalau itu saya lakukan, maka kisah ini akan berhenti. Sedangkan saya ingin tahu kelanjutannya, karena bagi saya ini bahan cerita yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Oleh karena itu harus saya biarkan dulu cerita mengalir sampai ke bagian ending-nya. 

Sampai akhirnya dia minta tolong sungguh-sungguh agar dicarikan produk “Jahe Telur” yang katanya buatan Kediri, agar dia tidak perlu mencari jauh-jauh sebab dia akan melanjutkan perjalanan kulakan lainnya ke Solo. Lain waktu kalau memerlukannya lagi dia akan langsung menghubungi saya. Tidak lupa saya ditinggali contoh bungkus sachet-nya. Dia minta diusahakan “Jahe Telur” sebanyak 30 pak. Harga satu paknya Rp 105.000,- isi 30 sachet. Bahkan dia mengatakan, apa perlu titip uangnya dulu?. Saya jawab tidak perlu, daripada nanti benar-benar dititipi malah nambah urusan di belakang. Kemudian dua orang muda inipun pergi sambil meninggalkan nomor HP dan pesan agar dihubungi kalau barangnya sudah ada. Luar biasa skenarionya.   

Segera setelah itu, saya ceritakan peristiwa ini ke beberapa pegawai “Madurejo Swalayan” dengan pesan agar berhati-hati. Saya beritahukan kepada mereka bahwa kelanjutan skenario kisah di atas kemungkinan akan begini : Entah hari ini, entah besok, akan datang seorang yang mengaku sales dari produk “Jahe Telur” dan menawarkan produk dagangannya. Jika skenario saya benar, maka jelas ini upaya penipuan.    

Eee…. kok ya ndilalah……. Tidak sampai satu jam, datang mobil Panther warna biru tua berplat nomor  Jakarta. Seseorang memperkenalkan diri sebagai sales lepas, menawarkan produk minuman bubuk. Katanya dia membawa segala macam produk minuman kesehatan. Jawaban saya singkat saja sambil acuh tak acuh, bahwa saya belum berniat jualan produk minuman bubuk kesehatan. Dia pun menjadi semakin spesifik, katanya ada produk minuman bubuk kopi-kopian, jahe-jahean, telur-teluran, dst. dalam bentuk sachet-an. Saya tetap menunjukkan sikap tidak tertarik. Sampai akhirnya dia mengatakan bahwa dia juga membawa produk “Jahe Telur” buatan Kediri.    

“Jreeeeeeng………!!!” (begitulah bunyi musik pengiringnya). Dia pun langsung menawarkan apakah saya akan melihat dulu bentuknya. Karena tujuan saya sudah tercapai, maka saya jawab tidak perlu. Rupanya dia penasaran. Lalu bertanya : “Apakah belum ada orang yang menanyakan produk itu?”. Saya jawab : “Belum ada yang tanya, tuh”. Akhirnya sales itupun berpamitan. Dengan senyum kemenangan saya temani sales itu sampai ke depan toko, sambil saya ingat-ingat plat nomor mobilnya yang rupanya sengaja diparkir agak jauh dari halaman toko. (Dalam hati saya berkata : “Berantem sudah, kalian!”). 

Beberapa belas menit kemudian, rupanya Mas Imam, sang “perantau sukses“ tadi tilpun saya. Katanya dia lupa, apakah tadi contoh bungkus “Jahe Telur” sudah ditinggalkan ke saya atau belum. Saya jawab : “Sudah mas, Insya Allah besok akan saya coba carikan produk itu di Pasar Sentul, Yogya” (disertai doa pendek semoga berbohong pada saat sedang dikibulin bukanlah perbuatan dosa….). Dia berkata bahwa dia sedang belanja di pasar di Solo. He..he..he.. , cepat amat naik sepeda motornya mas, kok sudah blusukan di Solo…….. 

Apa yang akan terjadi jika sekiranya saya larut dalam permainan sandiwara mereka? Lalu mereka berhasil memperdaya pengelola “Madurejo Swalayan”? Kira-kira akan begini : Kami akan kulakan produk “Jahe Telur” sebanyak minimal 30 pak, senilai Rp 3,15 juta, malah mungkin lebih. Setelah itu kami akan menghubungi nomor HP Mas Imam dan ternyata nada sibuk, diulang lagi tidak ada yang ngangkat, dicoba lagi masih tidak nyambung, dan terus tidak nyambung. Mas Imam pun ditunggu dua hari, dua minggu sampai dua tahun tidak akan pernah kembali lagi. Kecian deh gue…..!

Barangkali produk “Jahe Telur” itu bukan palsu. Memerlukan kerja serius untuk mempersiapkan dan mendesain kemasan sachet. Tapi pasti produk itu dibuat asal-asalan. Kalau saya perhatikan lebih jeli contoh bungkus sachet “Jahe Telur” yang ditingkalkan, di bagian pinggir bawah bungkus warna kuning itu ada lipatan kecil (nampaknya sengaja dilipat agar tidak terlihat tulisannya). Ketika saya baca ternyata di balik lipatan itu ada tulisan kecil : Dep. Ker. No. sekian-sekian. Lho…?, kalau Dep. Kes. saya tahu. Lha, kalau Dep. Ker., apa barangkali Departemen Kerehatan (departemen yang ngurusi orang-orang yang banyak rehatnya…)?.  Itulah sepenggal kisah sukses saya menghalau petualang bisnis. Seperti pernah saya singgung sebelumnya : Dimana ada toko baru buka, di situ ada petualang bisnis. Tinggal bagaimana pengelola toko mengasah dan mempertajam gerak refleknya untuk mengantisipasi gerak tipu yang dimainkan oleh para petualang semacam ini. Jangan mudah tergiur, kalau tidak ada hujan tidak ada angin, kok ujug-ujug ada orang berbaik hati memberi order jutaan rupiah.  

***  Sebaliknya, ada juga kisah tidak sukses. Beberapa ulah oknum sales-sales nakal yang hanya ingin barang dagangannya dikulak banyak-banyak. Sebenarnya tidak juga kalau dibilang penipuan. Wong terjadi proses jual beli, artinya ada penyerahan barang dan ada pembayaran. Hanya saja sang oknum sales ini mau untung sendiri. Tidak perduli barangnya tidak laku, harganya kemahalan, alih-alih membina kerjasama saling menguntungkan. Yang penting barangnya banyak terbeli saat itu, setelah itu pergi dan tidak pernah kembali lagi menampakkan batang hidungnya. Produk yang dibeli memang ada, tapi nggaaaaak …..laku-laku. Lha wong memang jenis produk yang tidak laku di pasaran. 

Kalau sudah curiga dan tidak yakin produknya tidak bakal laku kenapa dikulak juga? Itulah masalahnya. Sedemikian dahsyatnya rayuan dan bujukan sang sales dalam menawarkan barang dagangannya, bagai terkena gendam dan lalu produk itu pun dibeli dalam jumlah cukup banyak. Entah jenis phobia apa namanya, sebagai toko yang baru buka sepertinya ada ketakutan jangan-jangan calon pelanggan akan kecewa kalau mereka mencari produk itu dan ternyata tidak lengkap tersedia. Toh kalau tidak laku bisa ditukar nantinya, begitu jalan pikiran praktisnya saat itu.   

Sebagai toko yang baru buka dan yang sedang berjuang mengumpulkan keuntungan cepek-nopek setiap harinya, memang rentan terhadap tipuan menggairahkan semacam ini. Produk yang ditawarkannya bisa bermacam-macam. Modus operandi dan alur cerita sandiwaranya juga bisa beraneka-versi. Namun ending yang diharapkan oleh sang petualang bisnis itu tetap sama……. meraup untung setinggi-tingginya dengan menjual barang yang sebenarnya berharga murah sebanyak-banyaknya, tidak perduli itu jenis produk yang akan laku dijual lagi di pasaran atau tidak. Puji Tuhan, saya masih bisa turut menghidupi para petualang bisnis .….! (meskipun kesal juga sebenarnya).

Madurejo, Sleman – 24 Januari 2006.
Yusuf Iskandar

(43) “Believe It or Not”

13 Desember 2007

Suatu hari saya kedatangan tiga orang tamu dari Muntilan, kota kecamatan di pertengahan antara Yogya – Magelang. Dua orang di antaranya sedang melakukan studi banding sehubungan dengan rencananya untuk membuka toko swalayan di daerahnya. Saya percaya ini studi banding beneran. Kalau cuma studi banding-studi bandingan, ngapain mesti ke Madurejo. 

Bersama kedua orang itu ada seorang lagi yang menemani. Rupanya beliau adalah seseorang yang sudah berpengalaman dalam mengelola toko swalayan. Memiliki jam terbang jauh lebih banyak dalam dunia perswalayanan dibanding pengelola “Madurejo Swalayan”. Mendengar saya mengeluh bahwa seringkali mengulang-ulang “pekerjaan bodoh” memindah dan menggeser barang dagangan, beliau tenang-tenang saja, tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Katanya, itu sih biasa. Malah terkadang perlu sengaja dilakukan saat toko sedang sepi dan penjaganya banyak nganggur. Lho, kok….?  

Lalu beliau memberi ilustrasi. Kalau kita memelihara binatang, perkembangannya akan berbeda antara binatang yang tekun kita urus, kita rawat, kita sayang, dengan binatang yang diumbar begitu saja. Demikian pula kalau kita menanam tanaman, pertumbuhannya juga akan berbeda antara tumbuhan yang rajin kita urus, kita siangi, kita sirami, kita pupuk, dengan yang dibiarkan asal tumbuh.   

Saya mengangguk-angguk, dalam hati saya sepakat. Tapi itu kan mahluk hidup, bagaimana dengan benda mati?  Sesama mahluk hidup tentu lebih mudah untuk terbentuknya ikatan “emosional”. Bagaimana dengan ikatan “emosional” antara mahluk hidup dengan benda mati?.  

Ambil contoh misalnya kita punya sesuatu benda, katakanlah sepeda motor atau rumah. Kalau malas-malasan merawat sepeda motor, jarang-jarang memandikannya, tahunya tinggal start dan jalan, kalau rusak tinggal blusukkan ke bengkel. Biasanya penampilan sepeda motor kita jadi berantakan dan tidak menarik, mati segan hidup tak mau, mocat-macet. Sepeda motor seperti kehilangan “roh”-nya, yang ogah mengakui bahwa kita adalah pemiliknya.  

Sewaktu saya masih jadi orang gajian di Papua, punya rumah kecil di Yogya. Paling-paling ditempati enam bulan sekali setiap cuti tengah tahunan. Selebihnya ditinggal kosong tidak ada yang ngurus, kalaupun ada paling-paling disapu dan dinyalakan atau dimatikan lampunya. Begitu tiba waktunya cuti ke Yogya, bawaannya ingin nesu aja…(marah terus) untuk sebab yang tidak seharusnya bisa bikin nesu…..   

Macam-macam sebabnya. Yang atapnya bocor, dindingnya retak-retak, lantainya sompel, halamannya jadi hutan, lampunya putus, pompa airnya mocat-macet, pojokan langit-langitnya dirubung sawang (sarang laba-laba), pintunya ngak-ngik…. dan, macam-macam gangguan kecil terjadi setiap enam bulan sekali. Selalu ada pengeluaran tak terduga untuk mengatasi thethek-bengek semacam itu. Akhirnya jadi enggak betah di rumah, malah lebih sering di luar rumah. Uang habis enggak apa-apa, toh bulan depan akan gajian lagi…… Tampak luar masih tetap sebuah rumah, tapi rumah menjadi seperti tidak bersahabat. Seperti kehilangan “roh”-nya. Seandainya rumah bisa ngomong, dia tidak merasa perlu menganggap bahwa kita adalah tuannya. 

Hal yang sama, barangkali (saya katakan barangkali, karena saya baru menjalaninya dua setengah bulan) akan terjadi dengan aset barang dagangan di “Madurejo Swalayan”. Kalau saya menganggapnya semata-mata sebagai benda mati (meskipun substansinya ya memang begitu….), pokoknya dipajang saja dan asal laku dijual, maka aset itupun akan menganggap dirinya sebagai obyek penderita dan sebagai “penganggur”. Padahal yang sesungguhnya diharapkan oleh pemiliknya adalah agar aset-asetnya dapat menjadi obyek pelaku dan “mau bekerja” untuk pemiliknya. Maka aset-aset itu mestinya perlu diberi perhatian lebih, disayang-sayang, dielus-elus, layaknya binatang kesayangan, tanaman kesukaan atau rumahku sorgaku.    

Memindah-mindah, menggeser-geser, membersihkannya, menyusunnya biar tampil rapi dan menarik, hanyalah sebuah ekspresi bagaimana saya perduli dan menyayangi barang-barang dagangan di toko. Maka kalau para pegawai toko sesekali perlu mengubah tata letak barang-barang di atas rak, salah satu alasannya adalah agar peletakan barang-barang tersebut tampil lebih cantik supaya menggoda pengunjung toko untuk melakukan “impuls buying”.  

*** 

Inilah hal-hal gaib yang perlu kita tengok keberadaannya. Kisah dunia lain, dunianya benda mati yang didambakan  “mau bekerja” untuk kita. Dipandang dari sudut ilmu manapun susah dideskripsikan, namun auranya ada, semangatnya ada, ikatan “emosional”-nya ada (meskipun mungkin sepihak…). Saya merasa tidak malu untuk menjadi seperti orang gila untuk hal ini…….      

Sulit dipercaya! Sulit dinalar! Berbau tahayul……, tapi tahayul tanpa menyan, tanpa jopa-japu, tanpa topo kungkum, tanpa bunga setaman, tanpa terkait dengan agama dan kepercayaan apapun, dan yang lebih penting ora mbayar…… Yang saya lakukan hanya sekedar ingin berbuat amal saleh terhadap “pekerja” saya. Hukum alam mengatakan (dalam agama saya disebut sunatullah) : jangan pernah berharap orang lain akan berbuat baik kepada kita kalau kita tidak pernah mau berbuat baik kepada orang lain. Dan, “orang lain” itu adalah semua properti “Madurejo Swalayan” dan seisinya itu tadi.  

Will it work? Yo, embuh……..! Ini hanya soal “Believe it or not”. Tapi saya “believe”, tuh……

 

Madurejo, Sleman – 22 Desember 2005.

Yusuf Iskandar

(42) “Pekerjaan Bodoh” Tiada Akhir

13 Desember 2007

Di hari-hari awal beroperasinya toko, urusan penyusunan barang di rak memang tidak sekali jadi. Acara geser-menggeser dan pindah-memindah barang dagangan terjadi berkali-kali. Sebabnya antara lain, sebagai toko baru tentu jenis barang dagangan tidak langsung komplit. Setiap hari ada saja jenis komoditas baru yang ditambahkan, semakin lama semakin banyak jenisnya sehingga susunan barang di rak juga perlu disesuaikan menurut kelompoknya. Jika tidak demikian, maka akan merepotkan dan membingungkan pembeli.  

Kalau hanya repot dan bingung saja, barangkali pembeli masih mau tanya kepada penjaga toko, dimana letaknya barang yang dicari. Tapi kalau sampai hal itu membuat pembeli jengkel, bisa-bisa malah membatalkan untuk membeli barang yang sebelumnya sudah direncanakan, dan malas untuk kembali lagi.  Sebelum “Madurejo Swalayan” mulai beroperasi, ada yang menyarankan agar saya mengamati toko-toko swalayan lain dan lalu membuat rancangan penyusunan atau penempatan barang-barang yang disesuaikan dengan layout rak-rak yang ada. Karena saya pikir ini hal yang baik, maka saya lakukan juga. Minimal saya akan punya pedoman awal dari mana harus memulai.    

Ketika tiba waktunya mengatur dan menyusun barang dagangan, mula-mula mudah dan enak saja. Ya, karena jumlah item barangnya belum banyak. Saya tinggal memberi instruksi kepada pegawai toko, barang ini ditaruh disitu, barang itu diletakkan disini dan disana. Beres….!      Ketika semakin hari jumlah item barang semakin banyak, sedangkan rak-rak yang tersedia jumlahnya terbatas, maka saya mulai kebingungan. Jangan sampai terjadi di deretan mi instant tahu-tahu ada pembalut wanita atau pembasmi serangga. Atau, karena rak minuman kaleng atau susu sudah penuh, selebihnya lalu dijejerkan dengan sampo anti ketombe.   Mulailah berpikir keras, bagaimana menempatkan sekelompok barang dalam satu lokasi agar tidak campur dengan kelompok lain yang berbeda jenisnya, di atas rak-rak yang jumlahnya terbatas. Saya sendiri heran, ini pekerjaan mudah, tapi kenapa sepertinya jadi rumit sekali. Karena setiap kali memindah sekelompok barang, artinya juga harus memindah atau menggeser barang lainnya yang jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan buah. Dan semua pekerjaan geser-menggeser barang ini sangat menyita waktu.  

Idealnya pekerjaan ini dilakukan di luar jam operasi toko agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung toko. Tapi “Madurejo Swalayan” adalah toko kecil (maksudnya, belum besar), sehingga belum mampu menggaji orang khusus untuk pekerjaan di luar jam reguler. Sementara frekuensi pekerjaan ini cukup sering dilakukan. 

Kalau sudah mulai memindah dan menggeser letak barang, maka segala macam rancangan susunan barang yang sebelumnya sudah dibuat dengan sangat rapi dan teliti, menjadi tidak berarti. Tidak ada lagi rancangan layout penempatan barang, yang ada adalah kreatifitas seni menyusun barang. Dan sialnya, kreatifitas seni seperti ini tidak ada bukunya dan tidak bisa dipelajari, melainkan “lakukan saja”. Lagian, ngapain repot-repot mempelajari cara menyusun barang….. . Inilah acara spontanitas yang tidak akan pernah berlaku sama di setiap toko. Dibutuhkan “sense of art”, sentuhan seni, feeling, kreatifitas dan segala macam hal-hal gaib sejenis itu.

Maap, bukannya mau menyalahkan pembuatan layout penempatan barang. Dan maap, bukannya layout semacam itu tidak ada gunanya. Namun percayalah……, layout seperti itu hanya bermanfaat pada saat awal mulai menyusun barang ketika jumlah item barang belum banyak, dan hanya untuk toko yang mempunyai ketersediaan raknya cukup banyak, sehingga mempunyai ruang bermain yang cukup leluasa. 

Maka ketika jumlah barang semakin banyak dan rak-raknya semakin penuh, lupakanlah layout yang pernah dibuat. Kalaupun layout penempatan barang itu masih dibutuhkan, maka paling-paling hanya untuk menunjukkan pemisahan kelompok besarnya saja, seperti misalnya antara kategori food dan non-food, atau antara barang kebutuhan sehari-hari dengan barang kebutuhan insidentil. Selebihnya, mulailah berimprovisasi dengan kreatifitas Anda. 

*** 

Selesai…..? Wow….. belum!. Acara geser-menggeser barang ini tidak akan selesai dalam hitungan jari tangan, masih ditambah jari kaki, bahkan jari kaki orang lain juga.…. Kecuali jika Anda menganggap bahwa pengaturan barang-barang ini tidak terlalu penting, maka berhentilah. Namun percayalah (yang kedua)….. , bahwa migrasi barang dagangan, dari satu rak ke rak yang lain dan dari satu posisi ke posisi yang berbeda, ini sangat penting dan kritikal yang perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Setidak-tidaknya begitulah penilaian saya. Bisa jadi penilaian ini salah, karena saya menyadari bahwa jam terbang dan pengalaman saya di dunia perswalayanan ini memang masih sak uprit…., sangat sedikit!. Tapi ya luweh (biarin)….., meskipun sak uprit toh pengalaman juga namanya. 

Kini “Madurejo Swalayan” sudah berjalan memasuki bulan ketiga. Tapi acara ser-gesser barang masih berlangsung terus, pindah sini-pindah sana, geser sana-geser sini. Pertama, karena masih terus ada penambahan item barang (seiring dengan perkembangan toko). Kedua, karena ada pergantian jenis barang (substitusi atas barang yang habis dari sono-nya). Ketiga, karena terus dan terus berimprovisasi menuju tampilan display yang lebih menarik dan tidak membosankan. Prinsipnya hanya satu, seperti apapun modifikasi penyusunan barang dilakukan, harus tetap demi memberi kemudahan bagi pelanggan. Dan jangan lupa,………. merangsang  “impuls buying”……… 

Padahal acara ser-gesser ini sangat-sangat menyita waktu, melelahkan lahir maupun batin dan membosankan bagi yang melakukannya. Yen tak pikir-pikir….., ya inilah “pekerjaan bodoh” yang tiada akhir. Hanya akan selesai ketika usaha toko bubar jalan………    

Madurejo, Sleman – 20 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(41) Perang Melawan Pengutil

13 Desember 2007

Berbisnis dengan orang desa yang lugu memang sering tak terduga. Jika mereka menjumpai harga jual di toko “Madurejo Swalayan” yang menurutnya lebih mahal dari tempat lain, spontan mereka ngomong : “Di sini kok harganya lebih mahal dari toko sana……”. Ada yang akhirnya tetap beli, ada juga yang tidak jadi beli. Keluhan polos seperti ini justru yang kami harapkan, karena kami jadi tahu bahwa harga jual toko kami kemahalan.  Repotnya saat-saat awal membuka toko adalah menentukan harga jual yang kompetitif. Karena tidak semua item barang yang jumlahnya ribuan sempat untuk di-survey, dicek-ricek dan dibandingkan dengan toko lain. Nah, complaint seperti itu akan sangat membantu.  

Terkadang kami sendiri yang mesti men-survey-nya, antara lain dengan suruhan orang untuk membeli barang-barang tertentu ke toko di kawasan sekitar. Toh, barang yang dibeli akan digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Jadi, tidak ada ruginya. Selain itu, salesman atau supplier adalah informan yang paling baik. Biasanya mereka akan dengan senang hati memberitahukan harga jual kami sudah pas, terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan toko lain di sekitar kawasan kami. Lain orang desa, lain lagi kalau yang datang adalah calon pembeli yang sudah biasa keluar-masuk toko swalayan di kota. Mereka masuk toko, lalu keliling menyusuri rak-rak toko, tahu-tahu keluar lagi tanpa beli apa-apa. Akibatnya kita tidak tahu, apakah mereka tidak menemukan barang yang dibutuhkan, atau harganya kemahalan, atau sekedar mau jalan-jalan dan melihat-lihat, atau memang sedang observasi mencari peluang untuk ngutil  Hal yang terakhir ini sungguh sudah terjadi. Seminggu pertama sejak toko buka, tanpa disadari (lebih tepatnya, terlambat ketahuan) kami sudah kehilangan beberapa barang dagangan yang kalau dihitung-hitung nilainya lebih satu juta rupiah. Jumlah kerugian yang sungguh besar, dibandingkan dengan margin keuntungan yang bisa diraih perharinya. Itulah pelajaran berharga, kesalahan dalam menata barang dagangan dan kesalahan dalam men-display produk-produk mahal, biasanya jenis-jenis susu balita yang kemasannya kecil tapi harganya mahal. Juga kesalahan dalam sistem pengawasan, sehingga mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang profesinya ngutil di toko swalayan. Dan orang-orang seperti ini memang selalu hadir.    

Begitulah, selalu ada saat-saat pertama dimana terjadi banyak hambatan dan masalah. Ibaratnya, saat pertama belajar naik sepeda, ya lumrah kalau jatuh. Saat pertama belajar setir mobil, nyengenges saja kalau terpaksa nyerempet pagar tetangga. Saat pertama kerja, ya terima saja kalau berbuat salah lalu diomelin atasan. Intinya, kalau takut menghadapi masalah, ya jangan berbuat sesuatu. Kalau takut rugi, ya jangan berbisnis, demikian petuah para guru wirausaha. Tinggal bagaimana menyiasati agar kerugian, kesulitan atau masalah yang timbul dapat diredam atau ditekan seminimal mungkin.  

Di tahap itulah memang kami perlu mikir agak banyak (untuk sekedar membuktikan bahwa kami masih hidup…..). Selebihnya enggak usah dipikir banyak-banyak, bisa dipikir sambil tidur (hal yang tidak pernah saya kerjakan selama 16 tahun jadi orang gajian…. Mikir pekerjaan sambil tidur…..). Selebihnya semua akan mengalir begitu saja, tinggal kami mengikuti kemana air mengalir sampai jauh……. Ya, sesekali melawan arus untuk berinovasi, sah-sah saja. Dan adakalanya memang diperlukan. 

*** 

Kemungkinan timbulnya masalah dan hambatan seharusnya memang sudah dipahami sedari mula. Bagaimanapun juga, semua orang yang terlibat dalam usaha toko “Madurejo Swalayan” ini adalah orang-orang dengan nol-puthul pengalaman di bidang bisnis ritel. Termasuk pemiliknya, pengelolanya, pelayannya, semua baru belajar bersama-sama. Satu-satunya pengalaman adalah pengalaman orang lain yang dipelajari lewat buku atau cerita-cerita. Pengalaman orang lain kan namanya pengalaman juga toh?  

Idealnya memang meng-hire seseorang yang sudah pengalaman untuk dilibatkan dari awal. Tetapi terkadang idealisme ini kalah oleh egoisme : Apa sih susahnya berjualan, tinggal beli barang lalu ditambah sedikit keuntungan dan dijual lagi. Ee…, ternyata masih ada hal lain yang tidak sesederhana itu, terutama untuk konsep toko swalayan-modern. Yo wis….., ora perlu digelani….. Lebih bagus lagi kalau pengelola toko sempat mengikuti semacam pelatihan tentang management ritel. Memang ada yang menyarankan demikian, minimal untuk menambah wawasan tentang sistem bisnisnya. Apa bedanya belajar melalui pelatihan dan melalui pengalaman orang lain? Bedanya hanya satu, yaitu kalau melalui pelatihan dapat sertipikat (pakai “p”). Selebihnya…. , terserah (bagaimana) Anda…..    

*** 

Ngomong-ngomong soal pengutil. Mahluk yang satu ini memang susah diidentifikasi. Bisa berjenis laki-laki, bisa perempuan. Bisa berpenampilan lusuh seadanya, bisa tampil rapi dan sopan berjilbab. Bisa sendirian, bisa berjamaah. Mereka juga berbelanja di toko. Kalau terlalu ketat mengawas-awasi setiap pengunjung, akan membuat pengunjung toko merasa tidak nyaman. Kalau dibuat rada longgar, kuwatir ada mahluk pengutil yang memanfaatkannya. Yang pasti, dimana ada toko baru buka, terlebih model swalayan, mahluk ini pasti muncul. 

Padahal sudah disediakan tempat penitipan tas dan jaket. Hal yang sudah sangat umum di perkotaan. Tapi untuk diterapkan secara ketat dan kaku di kawasan pinggiran, masih ada rasa ragu. Pasalnya, jangan-jangan masyarakat pedesaan malah takut masuk toko, merasa seperti tidak dipercaya. Jadi serba salah.   

Jalan tengahnya, barang-barang yang harganya relatif mahal kemudian dipindahkan ke dalam lemari etalase tersendiri dan harus dilayani untuk membelinya. Tidak diswalayankan. Dengan kata lain, kalaupun toh ada pengutil yang berhasil memperdaya penjaga toko, maka biarlah sekedar ngutil barang-barang yang harganya relatif tidak mahal. Tidak berarti lalu pengawasan diperlonggar. Para penjaga toko tetap diinstruksikan untuk selalu waspada dan melakukan pengawasan secara sopan dan manis, atau cukup dimanis-maniskan.  

Beberapa toko swalayan sejenis mengatasinya dengan memasang kaca cermin besar di bagian atas dinding belakang yang berfungsi seperti kaca spion. Ide yang bagus sebenarnya, namun kami di “Madurejo Swalayan” masih mempertimbangkannya, antara memasang spion besar dulu, atau dananya digunakan untuk menambah modal kerja dulu. Dadi bakulan ki suwe-suwe kok yo dadi rodo pelit” .….., itung-itungane kudu  njlimet……. 

*** 

Kini para penjaga toko juga sudah mulai bisa membaca gerak-gerik mencurigakan para pengunjung toko. Juga mengidentifikasi orang-orang tertentu yang sering datang dan pergi keluar-masuk toko, dan melakukan transaksi untuk jenis-jenis barang  yang sepertinya tidak logis dibandingkan dengan frekuensi kunjungannya.    

Alhamdulillah, sejak kebobolan di minggu-minggu pertama dan perubahan cara men-display barang dagangan yang mahal-mahal, tampaknya sejauh ini cukup berhasil mempersempit ruang gerak para pengutil. Namun tetap perlu diwaspadai, bahwa aktifitas til-nguttil pasti belum berakhir. Akan datang saatnya dimana pihak toko terlena dan pihak tukang ngutil mulai beraksi kembali.  

“The show must go on”. Berdampingan antara “show”-nya toko dan “show”-nya pengutil.. Antara yang berniat mencari rejeki dengan cara halal dan yang mencari rejeki melalui jalan pintas yang dholim. Hasilnya sama-sama untuk menafkahi keluarganya (Lho, tujuannya sama-sama baik sebenarnya..…).  

Pokoknya……., perang melawan pengutil forever…ver…ver…ver…  

Madurejo, Sleman – 29 Nopember 2005.
Yusuf Iskandar

(40) Masuk Toko Sandal Dilepas

13 Desember 2007

Buka usaha mini-market swalayan di kota, tentu sudah biasa. Tapi, buka toko swalayan-modern di pinggir kota, baru belum biasa. Di balik yang belum biasa inilah tersedia tantangan dan peluang (plus sedikit nekat….).  Sebenarnya lokasi toko “Madurejo Swalayan” tidak ndeso-ndeso amat, wong lokasinya ada di pinggir jalan, kira-kira pertengahan jalan Prambanan – Piyungan yang cukup ramai. Ya, jalannya yang ramai, karena merupakan jalan sudetan ke Wonosari dari arah Solo. Hanya saja sebagian masyarakat di sekitar desa Madurejo memang belum terbiasa dengan model belanja melayani sendiri. Sebagian masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian dan pedagang kecil. Entah buruh tani, entah pemilik lahan. Maka selama ini kebutuhan sehari-harinya masih cukup dilayani oleh warung, toko atau pasar tradisional.  

Oleh karena itu sangat disadari bahwa pangsa pasar toko “Madurejo Swalayan” memang bukan mereka itu, melainkan sebagian lainnya yang selama ini sudah berinteraksi dengan masyarakat kota. Entah sebagai pekerja lepas harian, pegawai kantoran, pengusaha, pelajar atau mahasiswa, dan kalangan menengah ke atas lainnya. Selama ini mereka suka belanja ke Yogya, atau paling tidak ke Prambanan atau Piyungan, kota kecamatan terdekat. Mereka itulah sebagian masyarakat yang menjadi target pasar “Madurejo Swalayan”. Bahasa kampungnya, toko ini akan nyegati mereka agar tidak perlu belanja jauh-jauh ke Yogya.  

Lebih-lebih dengan naiknya harga BBM, praktis ongkos transport ke kota juga ikut membengkak. Alhamdulillah, toko ini buka pada saat harga BBM naik (Alhamdulillah untuk tokonya, bukan untuk naiknya harga BBM). Maka secara teoritis, warung, toko atau pasar tradisional tidak akan tersaingi oleh toko ini. Sudah punya segmen pasar sendiri-sendiri. Istilahnya Aa Gym, Tuhan pasti tidak akan salah mendistribusikan bagian rejeki bagi setiap orang. Tuhan Yang Maha Distributor – Maha Pemurah – Maha Adil.  Tapi ya setiap perubahan selalu ada dampaknya. Meskipun sudah diproyeksikan untuk menjaring konsumen kalangan menengah ke atas, tentu tidak mungkin untuk dipasang tulisan “Orang ndeso dilarang belanja”. Akhirnya hukum pasar berlaku, dimana ada barang lebih murah, kesana pula pembeli akan menuju. Maka tidak heran, kalau selisih harga Rp 50,- pun akan dikejar pembeli. Namun itu sisi belakang mata uang. Sedang sisi depannya adalah, orang desa pun tentu ingin tahu toko swalayan-modern itu seperti apa, barang apa saja yang dijual, harganya berapa, dsb.  Lha wong namanya toko swalayan-modern, kelebihan pertama tentu tampilan toko akan berbeda dengan toko tradisional, sebagai salah satu bentuk layanan dan untuk menarik perhatian calon pembeli. Singkat kata, konsumen atau pengunjung toko, entah beli entah tidak, harus dilayani sebaik-baiknya dan dimanjakan. Tampilan mesti keren, kerapian perlu dijaga, kebersihan apa lagi, pelayanan harus diutamakan. Semua itu menjadi sangat penting agar konsumen senang masuk toko, yang akhirnya kembali lagi esoknya dan belanja lagi lain waktu.   ***   

Suatu ketika datang ibu-ibu tua hendak membeli sesuatu. Begitu masuk toko tampak rada canggung, tolah-toleh kok enggak ada pelayan yang nyamperin. Di toko yang biasanya ibu itu berbelanja, selalu ada penjaga yang tanya mau beli apa lalu mengambilkan barangnya dan dibayar, sesekali terjadi tawar-menawar harga. Tapi di sini kok dibiarkan saja, hingga agak lama ibu itu berdiri saja menunggu dilayani. Penjaga toko swalayan memang perlu jeli mengambil inisiatif untuk meng-guide jika menemui pengunjung yang seperti ini. 

Kali lain ada bapak-bapak yang masuk berbelanja. Nampaknya beliau sudah tahu kalau mesti melayani sendiri. Tanpa canggung mencari barang yang hendak dibeli dan akhirnya ketemu. Giliran mau membayar, dikeluarkannya uang dari sakunya, lalu mencari penjaga toko dan menyerahkan uangnya. Ooo.., rupanya bapak itu belum tahu kalau semua transaksi pembayaran dilayani oleh kasir.  

Ada lagi yang masuk toko terus mengambil keranjang belanja warna biru muda, lalu dipilang-piling. Namanya toko baru, ya keranjang belanjanya masih baru. Enggak lama keranjang dibawa ke kasir. Kok keranjang kosong dibawa ke kasir? Rupanya keranjang itu yang mau dibayar, dikiranya termasuk barang yang dijual, padahal sudah dipasang tulisan petunjuk bahwa itu adalah keranjang belanja. 

Suatu hari datang seorang ibu dengan anak perempuannya. Melihat lantai toko yang putih bersih, rupanya mereka tidak tega untuk mengotori lantai dengan sandalnya. Maka, ibu dan anaknya pun kompak melepas sandal di luar teras, seperti mau melewati batas suci atau batas sandal/sepatu di masjid, lalu nyeker masuk toko……  

Biasanya pelayan toko akan  segera menyusuli dan meminta agar sandalnya dipakai saja. Namun sungguh mulia niat baik ibu ini, benar-benar tidak mau memakai sandalnya. Sayang kalau lantai toko yang putih bersih nanti jadi kotor, katanya. Bukan sekali-dua peristiwa seperti ini terjadi. Terkadang pelayan toko yang ngalahi mengambilkan sandalnya dan memberikan kepada sang empunya kaki agar sandalnya dipakai saja.  

Hikmah yang bisa dipetik : Pertama, perlu telaten dan sabar memasyarakatkan konsep toko swalayan di kawasan pinggir kota. Kedua, kebelumtahuan masyarakat akan konsep swalayan modern adalah “aset” potensial, kalau bisa mengelolanya.   

Madurejo, Sleman – 23 Nopember 2005.

Yusuf Iskandar