Setiap kali saya melakukan inspeksi barang dagangan di toko, biasanya saya menemukan barang-barang yang pengaturannya kurang benar, yang penempatan label harganya tidak sesuai, yang terlewat dibersihkan, saya juga mengamati barang-barang yang cepat laku dan juga yang lakunya sangat lambat. Sekali waktu pandangan saya tertuju pada produk bermerek Astor, sejenis wafer stick. Ini produk kok masih terlihat banyak saja sejak saya kulakan beberapa bulan yang lalu. Produk sejenis merek lainnya relatif cepat laku, tapi Astor ini kok nggaaaaaak laku-laku……., luuuambat sekali. Ada apa gerangan, padahal dulu-dulunya banyak yang menanyakan produk ini.
Lalu saya ingat apa yang terjadi ketika minggu-minggu awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”. Masih di seputar bulan puasa. Waktu itu banyak pengunjung toko yang tanya, apakah ada Astor?. Terpaksa saya jawab bahwa produknya belum masuk, yang sebenarnya ini kata lain dari “tidak ada” atau “belum tersedia”. Agar pembeli tidak kecele, lalu saya tunjukkan produk wafer stick alternatif merek lain. Kelihatannya oke saja. Sampai beberapa waktu kemudian rupanya banyak yang menanyakan produk Astor, kembali saya tunjukkan produk alternatifnya, juga oka-oke saja. Sampai akhirnya saya pun mencari produk Astor ini ke toko grosir lain, berhubung belum ada sales yang datang menawarkannya. Tidak tanggung-tanggung, sekalian perginya, sekalian bayar parkirnya, sekalian kulakannya, maka sekalian saya mengulak produk Astor dalam jumlah agak banyak saja untuk menyongsong lebaran tiba. Lega sudah……
Sebulan berjalan dan lebaran pun tiba, dua bulan, tiga bulan pun berlalu. Lhah, kok produk Astor masih tetap banyak, padahal banyak pula yang menanyakannya. Sementara produk wafer stick merek-merek yang lain lakunya ruarrr biasa sampai kewalahan memenuhi permintaan, terlebih saat menjelang lebaran.
Usut punya usut, eee….. lha kok kayak orang bodoh benar saya ini. Rupanya bagi masyarakat Madurejo dan sekitarnya, astor adalah “kependekan” dari wafer stick. Apapun merek wafer stick-nya, mereka akan menyebutnya astor. Tobat tenan aku….., lha wis kadung dikulak banyak-banyak je……. Enggak tahunya bukan wafer stick merek Astor yang dicari, melainkan astor merek yang lainnya. Dan saya juga tidak tahu kenapa yang dipilih justru bukan astor cap Astor, melainkan astor cap yang lain. Padahal harga jual per bungkusnya relatif sama. Kelezatan dan rasanya juga begitu-begitu juga.
***
Akhir-akhir ini saya sering menerima undangan dari kampung Madurejo. Ada undangan pernikahan, rapat kampung, rapat panitia kurban, penyambutan haji, dsb. Ini tentu hal yang baik, berarti keberadaan saya sebagai warga desa Madurejo diakui dan bisa diterima. Meski terkadang agak repot mengatur waktu saya untuk kesana-kemari mengingat saya masih tinggal di Yogya. Tapi okelah, faktor kerepotan ini saya abaikan dulu. Jauh lebih penting memantapkan posisi sebagai warga baru Madurejo yang sekaligus sebagai pemilik dan pengelola “Madurejo Swalayan”. Ada hal remeh-temeh yang bagi saya menarik. Pada setiap undangan yang dikirimkan kepada saya, selalu dituliskan alamat saya di swalayan (saja), tidak pernah disebut Madurejo-nya. Demikian halnya setiap saya diperkenalkan kepada warga lain, selalu dengan embel-embel swalayan (saja). Dan, biasanya mereka langsung paham bahwa yang dimaksud dengan swalayan adalah “Madurejo Swalayan”.
Kelihatannya di kalangan masyarakat desa Madurejo sudah sama-sama dimaklumi bahwa “Madurejo Swalayan” adalah satu-satunya toko swalayan modern yang ada di sana. Maka kalau mereka menyebut kata “swalayan”, pasti yang dimaksudkan adalah “Madurejo Swalayan”. Diam-diam saya menyimpan kebanggaan. Sudah ada terbentuk opini tentang brand image. Tinggal bagaimana menjaga agar image yang terbentuk dan berkembang adalah image yang baik dan benar, bagi masyarakat maupun bagi “Madurejo Swalayan” sendiri. Image yang mencerminkan simbiose mutualisme, image yang mewakili rasa paseduluran dan image yang makin asyik aja…..
Ikon harus mulai dibentuk. Perlahan-lahan, sebutan swalayan adalah representasi dari “Madurejo Swalayan” dan “Madurejo Swalayan” adalah obyek yang dimaksud oleh sebutan swalayan. Perjalanan masih sangat panjang dan banyak liak-liuk-nya. Hingga bolehlah kalau kami berharap, jika kelak akan berdiri toko swalayan-swalayan baru di desa Madurejo, maka sebutan swalayan tetap akan melekat dan merujuk pada “Madurejo Swalayan” dan menjadi tujuan belanja bagi masyarakat desa Madurejo dan sekitarnya. Istilah keminggris-nya, menjadi “top of the mind” (yang pertama muncul di pikiran) setiap kali menyebut kata swalayan. Begicu, karep-nya (maunya) ………
Namun diam-diam juga terbersit kekhawatiran (Ya….., wong namanya orang hidup kesana-kemari ya selalu diganduli rasa khawatir, yang sesungguhnya kalau pandai me-manage-nya akan bisa menjadi katup pengaman atau peredam, agar tidak grusa-grusu, tidak kebablasan).
Harapannya tentu moga-moga “Madurejo Swalayan” punya nasib tidak sesial Astor, yang menjadi ikon bagi produk wafer stick di desa Madurejo dan sekitarnya, tapi kurang menjadi pilihan pembeli. Padahal harga dan rasa bersaing, kemasan juga tidak kalah. Barangkali karena akhir-akhir ini iklan Astor di televisi kurang gencar. Berbeda dengan produk wafer stick merek lainnya yang coklatnya bikin mesra, atau yang coklatnya sampai dleweran….., menetes kemana-mana.
Namun di balik semua itu, pasti ada sesuatu yang dapat dipelajari dari fenomena ini. Pasti ada kemungkinan, ada celah dan ada cara untuk tidak perlu khawatir akan “bernasib” tidak beruntung. Inilah salah satu dari sekian banyak PR yang perlu dikerjakan.
Buktinya toh ada, akua cap Aqua juga menjadi ikon dari produk air mineral, tapi tetap jadi pilihan konsumen di antara produk-produk air putih kemasan lainnya. Demikian halnya teh botol cap Teh Botol Sosro, tetap dipilih pembeli di antara minuman teh lainnnya yang juga dibotolin. Maka, swalayan cap Madurejo, kenapa tidak…..?
Madurejo, Sleman – 20 Pebruari 2006
Yusuf Iskandar