Tiba di bandara Cengkareng masih agak pagi. Paling enak ya ngopi dulu. Tidak banyak pilihan tempat ngopi di seputar terminal kedatangan. Seperti sering saya lakukan, akhirnya mampir ke warung ayam goreng Kentucky (KFC). Bukan untuk beli ayamnya, tapi sekedar minum kopinya. Entah apa kopi bubuknya, tapi jelas bukan paling enak, melainkan sekedar pokoknya ngopi…. dan ngudut…..
Baru beberapa saat duduk ngobrol sambil nyruput kopi, datang beberapa anak anggota laskar penyemir sepatu menawarkan diri untuk menyemir sepatu saya dan teman-teman saya. Dengan halus saya tolak karena memang saya tidak terbiasa menyemirkan sepatu di tempat umum, meski sebenarnya di rumah juga jarang saya menyemirnya. Paling-paling saya seka dengan lap saja.
Anak-anak itu ngotot menawarkan jasanya. Malah mengolok-olok kalau sepatu hitam saya kotor. Weleh…, lha sepatu saya belum dua bulan umurnya masak dibilang kotor. Itu juga bukan sepatu bermerek hasil membeli di toko, melainkan ndandakke…., pesan khusus di tukang sepatu pinggir jalan di Jogja.
Terpancing juga saya untuk melongokkan kepala ke bawah memeriksa sepatu saya. Jelas masih tampak bersih meski tidak mengkilap. Tapi anak itu setengah merengek terus meminta untuk menyemirnya. Akhirnya luluh juga pertahanan saya. Sesaat kemudian sepatu saya sudah bertukar dengan sandal jepit. Anak itu lalu ndeprok (duduk di lantai) di pojok kedai KFC menyemir sepatu saya. Sepatu teman saya juga ikut disemir oleh anak lainnya. Saya perhatikan kedua anak itu begitu asyik menyemir sepatu sambil saling ngobrol di antara mereka. Rupanya ada seorang temannya yang ikut nimbrung.
***
Tidak perlu waktu lama bagi anak-anak itu untuk nyemir sepatu. Segera mereka menyerahkan sepatu yang sudah selesai disemirnya. Entah kenapa saya tidak lagi tertarik melihat hasil semirannya, melainkan saya pegang pundak salah seorang yang paling kecil diantara mereka yang berdiri tepat di sebelah kiri saya, dan saya tanya : “Sudah sarapan?”. Mereka hanya kleceman (tersenyum malu) saja. Saya ulangi pertanyaan saya, dan seorang yang lebih besar menjawab malu-malu : “Belum”.
Lalu saya suruh mereka bertiga mengikuti salah seorang teman yang saya minta menemani mereka ke kasir untuk pesan sarapan pagi. Sambil menyimpan semir di sakunya, mereka pun segera beriringan menuju kasir KFC untuk pesan makanan. Tidak lama kemudian mereka kembali dengan membawa nampan berwarna coklat berisi nasi, ayam goreng dan softdrink. Saya suruh mereka duduk di sebuah meja kosong tidak jauh dari tempat saya duduk. Kali ini tidak lagi saya melihat wajah malu-malu mereka, melainkan dengan lahap mereka menghabiskan sarapannya.
Saya penasaran, apakah mereka ini tidak sekolah kok pagi-pagi sudah kluyuran di bandara. Segera saya berpindah duduk dan bergabung dengan ketiga anak itu menempati sebuah kursi yang kosong diantara empat kursi yang tersedia.
Diantara mereka bertiga, ternyata Muslim (9 tahun) masih duduk di kelas 3 SD dan Amat (12 tahun) saat ini kelas 6 di sebuah sekolah di dekat rumahnya di Tangerang. Sedangkan Yudi sudah berhenti sekolah sejak lulus SD tahun lalu.
Muslim yang terlihat paling kecil dan sumeh, setiap hari sekitar jam 5 mulai mengayuh sepedanya menuju bandara berbekal semir dan kain lap. Perlu waktu sekitar sejam untuk menuju bandara dari rumahnya. Sedangkan Amat terkadang harus naik ojek mbayar Rp 10.000,- sekali jalan. Karena masih sekolah dan masuknya siang, maka sekitar jam 11 biasanya mereka sudah pulang untuk segera berangkat ke sekolah. Kalau lagi bernasib baik, mereka bisa mengumpulkan uang lebih dari Rp 50.000,- untuk setengah hari bekerja sebagai penyemir sepatu di bandara.
Mereka bertiga hanyalah sebagian dari puluhan anak-anak laskar penyemir sepatu di bandara yang keberadaannya sering menjadi dilema bagi orang lain. Tapi pasti tidak bagi mereka. Jangankan mereka perduli dengan dilema tentang manajemen bandara, memahami keberadaannya saja tidak. Bagi mereka, asal bisa mengais sedikit rejeki yang betebaran di bandara hari itu untuk dibawa pulang, kiranya sudah cukup.
Ketika saya tanya : “Uangnya buat apa?”. Mereka menjawab untuk ditabung. Saya tersenyum menyambut jawabannya. Itulah jawaban yang memang saya harapkan.
Ketika saya tanya lagi : “Setelah terkumpul lalu untuk apa?”.
Si kecil Muslim menjawab untuk beli baju. Waduh, jawabannya agak membuat saya kecewa. Tapi segera saya coba berpikir positif. Jangan-jangan, baju pun masih menjadi kebutuhan dasar sandang yang belum terpenuhi bagi keluarganya Muslim yang orang tuanya pengangguran. Ya, beli baju bisa jadi konsumif, tapi itu bagi mereka yang kebutuhan dasar sandangnya sudah terpenuhi.
Lain lagi jawaban si Amat : “Untuk beli play station“, katanya.
Wah…., saya agak mengernyitkan dahi. Kok jadi lebih konsumtif, pikir saya. Saya penasaran, dalam hati saya merasa kecewa dengan jawaban itu. Lalu saya desak lagi : “Kenapa beli play station?”.
Kini jawabannya justru membuat saya agak terperangah : “Untuk di-rental-kan, dan kakak saya yang ngurusnya..”.
Saya jadi terdiam sesaat. Dalam hati saya berkata, mletik (cemerlang) juga pikiran anak ini. Itu berati sudah tumbuh semangat wirausaha dalam diri si Amat yang mengaku orang tuanya bekerja mengumpulkan plastik akua (kata lain untuk pemulung). Semangat yang memang kelak akan sangat diperlukan oleh anak-anak yang tumbuh di lingkungan marginal seperti mereka.
Saya tidak sedang mempersoalkan aspek positif atau negatif dari bisnis persewaan play station, melainkan saya ingin memberi apresiasi pada jiwa kewirausahaan yang tumbuh dalam diri anak ini. Jiwa kewirausahaan yang dapat tumbuh dimana saja dan kapan saja, tanpa perlu hitung-hitungan yang rumit. Sedang mereka yang sudah berpendidikan tinggi pun tidak mudah untuk membangkitkan semangat entrepreneurship pada diri mereka.
Sebelum mereka beranjak pamit untuk melanjutkan pekerjaannya pagi itu, sempat saya tanyakan : “Sampai kapan kalian mau nyemir?”. Dan, mereka bertiga pun hanya nyengir.…. Saya tahu ini pertanyaan bodoh dan penuh basa-basi. Tapi saya tanyakan juga, karena sesungguhnya seringkali saya memperoleh jawaban tak terduga yang inspiratif dari anak-anak yang semangatnya juga tak terduga ini.
Anak-anak itu pun segera berlalu setelah menerima sekedar uang semir (tapi halal) dan mengucapkan terima kasih, untuk melanjutkan menjual jasa penyemirannya kepada pemilik sepatu lainnya. Pekerjaan yang tanpa lelah terus dijalaninya sejak 2-3 tahun yang lalu.
***
Pagi itu, saya hanya ingin sekedar berbagi kebahagiaan kecil dengan anak-anak penyemir sepatu bandara Cengkareng. Setidak-tidaknya bagi Yudi, Muslim dan Amat. Meski saya juga tahu, belum tentu mereka bisa menikmati secuil kebahagiaan yang saya niatkan untuk berbagi. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Tapi ada banyak pelajaran telah saya temukan.
Yogyakarta, 11 Desember 2008
Yusuf Iskandar