Archive for Desember, 2008

Saatnya Menyusun Resolusi 2009

30 Desember 2008

Fajar baru tahun 2009 segera menyingsing
tiba saatnya menyiapkan dan menyusun sebuah resolusi
bagi diri kita sendiri dan keluarga
bagi prestasi aktualisasi diri, usaha atau bisnis kita
agar hari esok lebih baik dan lebih berhasil dari hari kemarin
agar hidup kita tidak
ngona-ngono wae…, begita-begitu saja…
agar ada yang bisa kita ukur pencapaiannya
agar ada yang bisa kita evaluasi hasilnya
namun jauh lebih penting
agar kita memacu diri untuk berbuat sesuatu
untuk mencapai sesuatu
untuk menghasilkan sesuatu
untuk menjadi lebih bermanfaat
dan tidak sekedar menghabiskan sisa usia

Sebab,
seperti apa atau akan menjadi apa diri kita
tergantung pada apa yang kita pikirkan, inginkan, lakukan dan prestasikan

Yuk…., kita siapkan sebuah resolusi untuk tahun 2009
bagi diri sendiri, keluarga dan kerja kita
Maka Insya Allah….. seperti itulah diri kita akan menjadi

Yogyakarta, 30 Desember 2008
Yusuf Iskandar

Selamat Tahun Baru 1430H Dan 2009

29 Desember 2008

Tiga hari libur nasional “bertumpuk” menjadi satu, maka terjadilah musim libur panjang. yaitu hari-hari libur dan hari-hari kejepit yang membentang antara tanggal 25 Desember 2008 (Hari Natal), 29 Desember 2008 (Tahun Baru 1430 Hijriyah) dan 1 Januari 2009 (Tahun Baru Masehi). Berkumpulnya 3 (tiga) hari libur nasional ini tergolong kejadian langka. Peristiwa ini (menurut perhitungan) akan terulang 32 tahun lagi atau tahun 2040.

Bagi mereka yang merayakan Natal, semoga kedamaian dan kebahagiaan senantiasa menyertai. Dan kemudian perkenankan segenap keluarga besar “Madurejo Swalayan” menyampaikan ucapan :

Selamat Tahun Baru – 1 Muharam 1430H
dan
Selamat Tahun Baru – 1 Januari 2009

Semoga amal ibadah di tahun baru ini dan masa-masa selanjutnya menjadi semakin baik dibanding masa-masa sebelumnya.

Sebuah catatan kecil saya kirimkan via SMS kepada seorang sahabat di Jakarta, bunyinya sbb. :

Badai krisis datang menjelang
cita dan harapan tak boleh hilang
kesadaran Ilahiyah harus tetap dipegang
agar perjalanan hidup ini terus menjanjikan peluang
tinggal kita memilih mau jadi pemenang atau pecundang
semoga fajar 1430H ini mampu kita arungi hingga petang
duhai Gusti Kang Maha Asih lan Wenang…..

Saatnya untuk mempersiapkan dan menyusun sebuah Resolusi bagi diri pribadi ataupun keluarga, semoga semakin banyak pencapaian-pencapaian yang dapat diwujudkan di tahun 2009. Salam Sukses…!

Yogyakarta, 29 Desember 2008 (1 Muharam 1430H)
Yusuf Iskandar

Bincang-bincang Tentang Kewirausahaan Dengan Mahasiswa

21 Desember 2008

dscn5984_upn1_14dec08_r

Foto : Saya di tengah (berkacamata berbaju warna krem), di sebelah kiri saya mas Atok Suryono yang juga menjadi narasumber (berkacamata berbaju warna putih kotak-kotak), di sekelilingnya adalah para mahasiswa yang jumlah keseluruhannya lebih dari 25 orang.

Hari Minggu mestinya waktu yang sangat berharga untuk istirahat atau beracara keluarga. Tapi hari minggu yang lalu, 14 Desember 2008, saya putuskan untuk mengisi acara bincang-bincang dengan adik-adik mahasiswa tentang kewirausahaan. Kebetulan (sebenarnya ya tidak juga kalau dikatakan kebetulan….., wong sudah lama direncanakan) teman saya mas Kundarto mengundang saya untuk bersedia datang ke kampusnya di Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Yogyakarta untuk berbagi tentang pengalaman kewirausahaan.

Hanya karena saya yakin ini adalah sebuah bisnis yang menguntungkan, maka saya menerima tawarannya. Pertama, karena saya sangat menghargai inisiatif teman saya itu untuk memberi bekal tentang kewirausahaan kepada mahasiswa didiknya. Kedua, karena saya mempunyai kesempatan untuk memberi atau bahasa agamanya sedekah, berupa sedikit ilmu dan sedikit pengalaman yang saya miliki tentang kewirausahaan (memang punyanya ya hanya sedikit…). Tentu saja sesuai bidang bisnis yang sedang saya tekuni adalah terkait dengan bisnis mracangan, bisnis ritel “Madurejo Swalayan”. Ketiga, saya sedang memperluas silaturrahim, setidak-tidaknya dengan adik-adik mahasiswa (Ee… siapa tahu kenal dengan mahasiswi cantik. Lha, kalau sudah kenal njuk ngopo…..?  Ya, enggak ada apa-apa, wong cuma kenal saja……).

Saya percaya bahwa memberi atau sedekah dan silaurrahim adalah kata kunci untuk bisnis yang pasti menguntungkan. Hanya jika saya mau memberi maka saya boleh berharap menerima. Semakin banyak memberi maka semakin banyak pula saya akan menerima, bahkan jauh lebih banyak dari yang pernah saya berikan. Begitulah “ngelmu gaib” yang saya pelajari.

Menatap wajah-wajah sumringah penuh semangat adik-adik mahasiswa yang kok ya mau-maunya di hari Minggu menghadiri dan mendengar dongengan saya, tentu membuat saya semakin bersemangat untuk berbagi.

Pokok bahasan yang saya sampaikan sederhana saja, antara lain tentang pilihan setelah lulus kuliah, mau menjadi pegawai atau pengusaha. Dengan perkataan lain, menjadi orang gajian atau wirausahawan. Bagaimana menata pola pikir (mind set) diantara kedua pilihan itu. Lalu dilanjutkan dengan berbagi pengalaman tentang bisnis ritel.

Saya sudah menduga tentang pertanyaan yang bakal muncul, yang kemudian ternyata dugaan saya benar, yaitu tentang bagaimana mendapatkan modal atau kepingin berusaha tapi tidak punya modal. Ini hal mendasar yang seringkali muncul akibat dari wawasan yang belum terbuka tentang kewirausahaan. Lalu menjadi salah kaprah bahwa yang disebut modal adalah uang. Sebab kalau hanya berpatokan kaku pada modal adalah uang, maka berarti kalau tidak punya uang ya tidak jadi berwirausaha. Lha rak ciloko, padahal semangat bambu runcing sudah mendidih di ubun-ubun untuk segera mulai jualan, misalnya. Apa ya terus bubar jalan begitu saja……..

Pertanyaan berikutnya adalah tentang apakah sebaiknya buka usaha sendiri atau ikut waralaba. Ada karakteristik bisnis tertentu yang perlu dipahami untuk membuat pilihan ini. Bukan soal salah atau benar, sebaiknya atau tidak sebaiknya, melainkan apa yang diinginkan dengan membuka usaha beserta resiko-resikonya.

Hal yang membuat saya respek adalah bahwa ternyata ada beberapa mahasiswa yang ternyata sudah memulai berbisnis di sela-sela waktu studinya. Ini gejala bagus yang kini semakin banyak dijumpai. Bahkan ada yang sudah mengalami jatuh-bangun, jatuh dan bangun lagi, lalu jatuh lagi, hingga kemudian merasa kalau drinya tidak bisa bisnis. Padahal justru itulah tanda-tanda kesuksesan yang bakal diraihnya.

Hanya karena pernah jatuh maka seseorang menjadi tahu artinya bangun. Semakin sering jatuh, semakin lihai seseorang untuk memahami caranya bangun. Lha kalau kemudian njuk jatuuuuuh terus…..tidak bangun-bangun? Maka hanya Tuhan dan tukang ledeng yang tahu sebabnya (maksudnya perlu dipuntir-puntir dan dipukul-pukul). Karena pasti ada mekanisme hidup yang salah, tidak pernah mau introspeksi dan tidak pernah mau belajar (wis, ora perlu eyel-eyelan….). Belum tentu berarti bodoh. Bisa jadi nilai matematikanya sembilan kurang sedikit. Melainkan hanya sedikit tertidur sehingga perlu gempa 7,9 skala Richter untuk membangunkannya.

Walhasil, akhirnya acara bincang-bincang dan diskusi berjalan bagai tak ingin berakhir. Saya pun mengakhirinya dengan ajakan : “Yuk kita ikrarkan resolusi bagi diri kita masing-masing di penghujung tahun 2008 ini”, sambil wanti-wanti agar tidak terlena bahwa krisis global saat ini sedang mengancam ketersediaan lapangan pekerjaan.

Yogyakarta, 21 Desember 2008
Yusuf Iskandar

Sarapan Pagi Bersama Yudi, Muslim dan Amat

12 Desember 2008

Tiba di bandara Cengkareng masih agak pagi. Paling enak ya ngopi dulu. Tidak banyak pilihan tempat ngopi di seputar terminal kedatangan. Seperti sering saya lakukan, akhirnya mampir ke warung ayam goreng Kentucky (KFC). Bukan untuk beli ayamnya, tapi sekedar minum kopinya. Entah apa kopi bubuknya, tapi jelas bukan paling enak, melainkan sekedar pokoknya ngopi…. dan ngudut…..

Baru beberapa saat duduk ngobrol sambil nyruput kopi, datang beberapa anak anggota laskar penyemir sepatu menawarkan diri untuk menyemir sepatu saya dan teman-teman saya. Dengan halus saya tolak karena memang saya tidak terbiasa menyemirkan sepatu di tempat umum, meski sebenarnya di rumah juga jarang saya menyemirnya. Paling-paling saya seka dengan lap saja.

Anak-anak itu ngotot menawarkan jasanya. Malah mengolok-olok kalau sepatu hitam saya kotor. Weleh…, lha sepatu saya belum dua bulan umurnya masak dibilang kotor. Itu juga bukan sepatu bermerek hasil membeli di toko, melainkan ndandakke…., pesan khusus di tukang sepatu pinggir jalan di Jogja.

Terpancing juga saya untuk melongokkan kepala ke bawah memeriksa sepatu saya. Jelas masih tampak bersih meski tidak mengkilap. Tapi anak itu setengah merengek terus meminta untuk menyemirnya. Akhirnya luluh juga pertahanan saya. Sesaat kemudian sepatu saya sudah bertukar dengan sandal jepit. Anak itu lalu ndeprok (duduk di lantai) di pojok kedai KFC menyemir sepatu saya. Sepatu teman saya juga ikut disemir oleh anak lainnya. Saya perhatikan kedua anak itu begitu asyik menyemir sepatu sambil saling ngobrol di antara mereka. Rupanya ada seorang temannya yang ikut nimbrung.

***

Tidak perlu waktu lama bagi anak-anak itu untuk nyemir sepatu. Segera mereka menyerahkan sepatu yang sudah selesai disemirnya. Entah kenapa saya tidak lagi tertarik melihat hasil semirannya, melainkan saya pegang pundak salah seorang yang paling kecil diantara mereka yang berdiri tepat di sebelah kiri saya, dan saya tanya : “Sudah sarapan?”. Mereka hanya kleceman (tersenyum malu) saja. Saya ulangi pertanyaan saya, dan seorang yang lebih besar menjawab malu-malu : “Belum”.

Lalu saya suruh mereka bertiga mengikuti salah seorang teman yang saya minta menemani mereka ke kasir untuk pesan sarapan pagi. Sambil menyimpan semir di sakunya, mereka pun segera beriringan menuju kasir KFC untuk pesan makanan. Tidak lama kemudian mereka kembali dengan membawa nampan berwarna coklat berisi nasi, ayam goreng dan softdrink. Saya suruh mereka duduk di sebuah meja kosong tidak jauh dari tempat saya duduk. Kali ini tidak lagi saya melihat wajah malu-malu mereka, melainkan dengan lahap mereka menghabiskan sarapannya.

Saya penasaran, apakah mereka ini tidak sekolah kok pagi-pagi sudah kluyuran di bandara. Segera saya berpindah duduk dan bergabung dengan ketiga anak itu menempati sebuah kursi yang kosong diantara empat kursi yang tersedia.

Diantara mereka bertiga, ternyata Muslim (9 tahun) masih duduk di kelas 3 SD dan Amat (12 tahun) saat ini kelas 6 di sebuah sekolah di dekat rumahnya di Tangerang. Sedangkan Yudi sudah berhenti sekolah sejak lulus SD tahun lalu.

Muslim yang terlihat paling kecil dan sumeh, setiap hari sekitar jam 5 mulai mengayuh sepedanya menuju bandara berbekal semir dan kain lap. Perlu waktu sekitar sejam untuk menuju bandara dari rumahnya. Sedangkan Amat terkadang harus naik ojek mbayar Rp 10.000,- sekali jalan. Karena masih sekolah dan masuknya siang, maka sekitar jam 11 biasanya mereka sudah pulang untuk segera berangkat ke sekolah. Kalau lagi bernasib baik, mereka bisa mengumpulkan uang lebih dari Rp 50.000,- untuk setengah hari bekerja sebagai penyemir sepatu di bandara.

Mereka bertiga hanyalah sebagian dari puluhan anak-anak laskar penyemir sepatu di bandara yang keberadaannya sering menjadi dilema bagi orang lain. Tapi pasti tidak bagi mereka. Jangankan mereka perduli dengan dilema tentang manajemen bandara, memahami keberadaannya saja tidak. Bagi mereka, asal bisa mengais sedikit rejeki yang betebaran di bandara hari itu untuk dibawa pulang, kiranya sudah cukup.

Ketika saya tanya : “Uangnya buat apa?”. Mereka menjawab untuk ditabung. Saya tersenyum menyambut jawabannya. Itulah jawaban yang memang saya harapkan.

Ketika saya tanya lagi : “Setelah terkumpul lalu untuk apa?”.

Si kecil Muslim menjawab untuk beli baju. Waduh, jawabannya agak membuat saya kecewa. Tapi segera saya coba berpikir positif. Jangan-jangan, baju pun masih menjadi kebutuhan dasar sandang yang belum terpenuhi bagi keluarganya Muslim yang orang tuanya pengangguran. Ya, beli baju bisa jadi konsumif, tapi itu bagi mereka yang kebutuhan dasar sandangnya sudah terpenuhi.

Lain lagi jawaban si Amat : “Untuk beli play station“, katanya.

Wah…., saya agak mengernyitkan dahi. Kok jadi lebih konsumtif, pikir saya. Saya penasaran, dalam hati saya merasa kecewa dengan jawaban itu. Lalu saya desak lagi : “Kenapa beli play station?”.

Kini jawabannya justru membuat saya agak terperangah : “Untuk di-rental-kan, dan kakak saya yang ngurusnya..”.

Saya jadi terdiam sesaat. Dalam hati saya berkata, mletik (cemerlang) juga pikiran anak ini. Itu berati sudah tumbuh semangat wirausaha dalam diri si Amat yang mengaku orang tuanya bekerja mengumpulkan plastik akua (kata lain untuk pemulung). Semangat yang memang kelak akan sangat diperlukan oleh anak-anak yang tumbuh di lingkungan marginal seperti mereka.

Saya tidak sedang mempersoalkan aspek positif atau negatif dari bisnis persewaan play station, melainkan saya ingin memberi apresiasi pada jiwa kewirausahaan yang tumbuh dalam diri anak ini. Jiwa kewirausahaan yang dapat tumbuh dimana saja dan kapan saja, tanpa perlu hitung-hitungan yang rumit. Sedang mereka yang sudah berpendidikan tinggi pun tidak mudah untuk membangkitkan semangat entrepreneurship pada diri mereka.

Sebelum mereka beranjak pamit untuk melanjutkan pekerjaannya pagi itu, sempat saya tanyakan : “Sampai kapan kalian mau nyemir?”. Dan, mereka bertiga pun hanya nyengir.…. Saya tahu ini pertanyaan bodoh dan penuh basa-basi. Tapi saya tanyakan juga, karena sesungguhnya seringkali saya memperoleh jawaban tak terduga yang inspiratif dari anak-anak yang semangatnya juga tak terduga ini.

Anak-anak itu pun segera berlalu setelah menerima sekedar uang semir (tapi halal) dan mengucapkan terima kasih, untuk melanjutkan menjual jasa penyemirannya kepada pemilik sepatu lainnya. Pekerjaan yang tanpa lelah terus dijalaninya sejak 2-3 tahun yang lalu.

***

Pagi itu, saya hanya ingin sekedar berbagi kebahagiaan kecil dengan anak-anak penyemir sepatu bandara Cengkareng. Setidak-tidaknya bagi Yudi, Muslim dan Amat. Meski saya juga tahu, belum tentu mereka bisa menikmati secuil kebahagiaan yang saya niatkan untuk berbagi. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Tapi ada banyak pelajaran telah saya temukan.

Yogyakarta, 11 Desember 2008
Yusuf Iskandar