Posts Tagged ‘seafood’

Improvisasi Itu (Terkadang) Perlu

5 April 2009

Dalam perjalanan pulang dari Tembagapura, Papua, saya menyempatkan untuk menginap semalam di Timika. Saya menginap di Base Camp yang merupakan salah satu fasilitas dan berada di dalam kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tentu saja gratis. Base Camp ini lokasinya dekat dengan bandara Mozes Kilangin yang berjarak sekitar 3 km dari pusat kota Timika, ibukota kabupaten Mimika.

Tujuan saya menginap semalam di Timika adalah ingin mampir ke warung seafood “Surabaya” sekedar melepas kangen menikmati karakah (kepiting) Timika. Terakhir kali saya mampir ke sana sekiar lima tahun yang lalu. Karena Base Camp ini lokasinya berada di dalam kawasan pertambangan, maka tidak terjangkau oleh angkutan umum yang oleh masyarakat setempat disebut taksi. Sedang kendaraan milik perusahaan tidak diijinkan keluar dari kawasan pertambangan, kecuali yang sudah dilengkapi dengan plat nomor polisi, berkepala “DS” jika terdaftar di kabupaten Mimika.

Kalau mau sewa mobil plat hitam alias taksi gelap yang memang sudah lazim digunakan, ongkosnya sekitar Rp 40.000,- per jam. Menimbang saya hanya seorang diri, akhirnya memilih naik ojek saja. Di Timika ada ribuan ojek berseliweran setiap saat. Moda angkutan ini menjadi alternatif paling praktis, mudah dan murah tapi tidak meriah (lha wong sendirian…), plus agak deg-degan karena biasanya tukang ojeknya suka ngebut. Kalau tidak suka mbonceng ojek, sepeda motornya disewa juga boleh. Per jam ongkos sewanya Rp 20.000,- dan malah bisa ngebut sendiri…. Saking banyaknya ojek di Timika, sampai-sampai tidak mudah membedakan mana pengendara sepeda motor biasa dan mana tukang ojek.

***

Kota Timika yang ketika siangnya begitu panas, malam itu agak kepyur (bahasa Jawa untuk turun titik-titik air dari langit, lebih rintik dibanding rintik hujan). Berbalut selembar jaket, segera saya nyingklak mbonceng tukang ojek dan mengomandonya untuk menuju ke warung seafood “Surabaya”. Ongkos ojek dari Base Camp, sama juga kalau dari bandara, menuju kota Timika adalah Rp 7.000,- sekali jalan. Angka nominal yang sebenarnya nanggung, tapi ya begitulah…. Semua pihak sudah saling paham bahwa ongkos normalnya memang segitu.

Sampai di tujuan, segera saya keluarkan tiga lembar uang kertas dan saya bayarkan ke tukang ojek. Semula uang itu diterima begitu saja oleh tukang ojeknya dan segera hendak berlalu tancap gas. Tapi tiba-tiba tukang ojek itu agak ragu, lalu dilihatnya kembali uang pemberian saya tadi di bawah temaram lampu jalan yang tidak terlalu terang. Agaknya dia kurang yakin dengan penglihatannya. Sebab jika membayar uang pas dengan tiga lembar uang kertas, biasanya terdiri dari selembar berwarna kecoklatan dan dua lembar berwarna kebiruan, sehingga totalnya Rp 7.000,-. Tapi ini ketiganya kok warna coklat semua, jangan-jangan uangnya bercampur daun kering. Setelah yakin yang diterimanya tiga lembar uang lima-ribuan, segera pak tukang ojek itu tancap gas tanpa sempat berterima kasih. Mungkin khawatir keburu penumpangnya menyadari “kekeliruan” jumlah pembayarannya.

Malamnya saya kembali menggunakan jasa ojek menuju Base Camp. Cukup dengan berdiri di pinggir jalan saja. Sebab saya pun sebenarnya juga ragu mau nyetop ojek, jangan-jangan bukan tukang ojek yang saya panggil. Akhirnya salah satu dari tukang ojek yang berseliweran memberi kode dengan membunyikan klakson yang maksudnya : “Naik ojek, pak?”. Saya cukup membalasnya dengan melambaikan tangan di pinggir jalan yang agak terang.

Sesampai di Base Camp segera saya sodorkan selembar uang sepuluh-ribuan. Tukang ojek itu pun dengan gesit mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya untuk mengambil tiga lembar uang seribuan sebagai uang kembalian. Kali ini saya hanya berkata pendek : “Kembaliannya untuk bapak saja…”. Kalimat pendek itu rupanya mengawali percakapan saya dengan tukang ojek yang rupanya perantau dari Lamongan, Jatim, dan baru 3 bulan ngojek di Timika, selama beberapa menit di depan gerbang Base Camp. Sampai seorang petugas Satpam Base Camp menghampiri saya karena dikira saya yang adalah seorang tamunya sedang ada masalah dengan tukang ojek. Apresiasi saya berikan untuk sikap tanggap seorang Satpam.

***

Apa yang saya lakukan dengan membayar lebih dari yang semestinya kepada seseorang? Tidak lebih karena sekedar saya ingin melakukan sedikit improvisasi dalam bertransaksi bisnis. Sebagai pembeli jasa ojek, saya ingin memberi sedikit “surprise” yang menyenangkan kepada partner bisnis saya yang adalah penjual jasa ojek. Improvisasi yang berjalan begitu saja, tanpa skenario, tanpa rekayasa. Besar-kecilnya atau banyak-sedikitnya, bukan itu soalnya. Terpuji-tidaknya atau berpahala-tidaknya, juga bukan itu substansinya.

Sekali waktu ketika di Jogja saya membayar parkir di Jl. Solo. Saat membayar ongkos parkirnya saya sodorkan uang Rp 3.000,- dari semestinya hanya Rp 1.500,-, sambil saya pesan kepada tukang parkirnya : “Tolong yang seribu lima ratus untuk ongkos parkir mobil di sebelah kanan saya ya, pak…”. “Nggih, pak…”, jawab tukang parkir. Saya tidak tahu siapa pengemudi mobil yang parkir di sebelah kanan saya. Saya juga tidak tahu apakah tukang parkir itu benar-benar menjalankan pesan saya. Tapi saya hanya sekedar ingin berimprovisasi dalam bertransaksi. Apakah itu baik atau buruk, bukan itu yang ada di pikiran saya.

Beberapa tahun yang lalu saat melewati jalan tol di Semarang yang ongkosnya hanya Rp 500,- sekali lewat, saya sodorkan selembar uang seribuan disertai pesan kepada penjual tiket tol : “Sisanya untuk mobil di belakang saya ya…”.

Ya, sekali waktu improvisasi itu perlu. Bukan untuk sok-sokan, bukan juga untuk wah-wahan, melainkan agar irama hidup ini tidak membosankan. Perlu ada “surprise-surprise” kecil mengisi di antaranya. Toh, belum tentu hal itu terjadi sebulan sekali. Setahun sekali pun terkadang tidak sempat terpikir. Termasuk juga dalam berbisnis, improvisasi itu (terkadang) perlu. Kalau boleh kejadian itu disebut dalam rangka melaksanakan “bisnis memberi”, entah sebagai penjual atau pembeli. Semoga saja Alam Jagat Raya ini akan mencatatnya sebagai tabungan di rekening liar (yang digaransi tidak akan terendus KPK) yang suatu saat nanti akan cair dengan sendirinya pada waktu dan tempat yang pasti tepat.

Yogyakarta, 5 April 2009
Yusuf Iskandar

Seafood Mr. Asui, Sebuah Ikon Kuliner Di Pangkal Pinang

24 Agustus 2008

Sebuah bangunan lama dengan tampilan luar sangat sederhana, bahkan terkesan tidak terawat, dan tetap dibiarkan seperti itu hingga kini. Bangunan itu dulunya adalah restoran seafood yang hingga kini sangat terkenal di kawasan pulau Bangka, provinsi Babel (Bangka-Belitung). Seafood Restaurant Mr. Asui, namanya. Cara penamaannya yang keminggris, telah menjadi merek dagangnya sendiri.

Kini restoran Mr. Asui menempati bangunan yang tampilannya relatif lebih baru yang berada di belakangnya. Ada sebuah gang selebar 2,5 meteran sepanjang 15 meteran yang menghubungkan jalan besar menuju restoran yang berada di dalam gang. Lokasi restoran ini nyaris berada di posisi tusuk sate, di Jl. Kampung Bintang, Pangkal Pinang. Sangat mudah dicapainya, terutama dari jalan protokol Jl. Jendral Sudirman. Rasanya siapapun pasti tahu dimana restoran Mr. Asui berada.

Seafood Restaurant Mr. Asui seperti sudah menjadi ikon kuliner menu ikan laut di Pangkal Pinang. Menjadi tempat jujukan para penggemar menu masakan seafood yang kebetulan berkunjung ke Pangkal Pinang, tak terkecuali para pejabat dan selebriti. Menu masakan mahluk laut yang ditawarkan cukup komplit dengan citarasa yang tergolong enak.

***

Malam itu, kami tertarik untuk mencoba menu ikan jebung bakar, kakap bakar dan kepiting saos tiram, di antara sekian banyak pilihan ikan laut. Lalu, sepiring ca kangkung adalah asesori sayuran yang kami pesan.

Nama ikan jebung agak asing di telinga saya. Di tempat lain ikan jebung ini disebut juga ikan kambing-kambing (entah kenapa nama kambing tidak cukup disebut sekali saja, melainkan diulang dua kali). Disebut kambing-kambing karena memang profil wajah ikan ini kalau dilihat dari samping sangat mirip dengan prejengan wajah kambing yang sedang meringis kelihatan gigi-giginya.

Tidak seperti ikan bakar biasanya di tempat lain, ikan bakarnya engkoh Asui, baik ikan jebung maupun kakap yang kami pesan, dibakar begitu saja dengan tanpa dibumbui terlebih dahulu. Kalau digado atau dimakan ikannya saja tentu terasa hambar tak berasa. Yang khas di restoran ini adalah sambal cairnya yang menjadi teman makan ikan bakar. Sambalnya berasa manis dan asam. Pas benar kalau dicocol dengan suwiran ikan bakar yang tak berbumbu.

Sambal cair yang warnanya menyerupai saos tomat ini selalu tersedia di atas meja bersama dengan jeruk kunci dan cabe rawit merah. Jeruk kunci adalah salah satu jenis jeruk yang sepertinya jarang saya jumpai di tempat lain. Berukuran sebesar kelereng, sedikit lebih kecil dari jeruk purut, kulitnya halus dan biasa digunakan sebagai penambah rasa asam seperti halnya cuka atau jeruk nipis.

Sebaiknya dimakan pada saat masih fanas (pakai awalan ‘f’, saking masih panasnya…) atau sebelum dingin. Sebab kalau sudah dingin, serat-serat ikan jebung akan menjadi agak keras ketika digigit dan rasa seafood-nya menjadi kurang mak nyuss… dan malah membuat mudah nek

Bumbu tiram yang mengguyur kepitingnya juga begitu lebih berasa dan berasa lebih. Lebih-lebih kalau dapat kepiting perempuan dengan gumpalan butir-butir telurnya yang berwarna jingga dan kenyal digigit. Kalau kebanyakan nasinya, maka kuah saos tiramnya pun pas benar dicampur untuk menghabiskan nasi putih.

Bagi penggemar menu seafood, Seafood Restaurant Mr. Asui sebaiknya jangan dilewatkan bila sekali waktu berkesempatan berkunjung ke Pangkal Pinang, Bangka. Konon sudah banyak orang-orang Pangkal Pinang yang mencoba berwirausaha membuka restoran sejenis, tapi kebanyakan tidak mampu bertahan lama. Tidak sebagaimana restorannya engkoh Asui yang seperti melegenda dan identik dengan menu masakan seafood di kawasan kota Pangkal Pinang pada khususnya dan pulau Bangka pada umumnya. Entah apa rahasianya.

Yogyakarta, 24 Agustus 2008
Yusuf Iskandar

”Seafood of Love” Untuk Satenya Bu Entin

13 Mei 2008

Labuan hanyalah kota kecamatan di kawasan pantai barat Banten. Tidak jauh ke sebelah selatan dari pantai Carita yang belakangan lebih terkenal itu. Namun kalau kebetulan pergi berlibur ke pantai Carita, sebaiknya jangan lewatkan untuk mampir ke Labuan, lalu carilah Rumah Makan Bu Entin di Jalan Raya Labuan Encle. Kalau kesulitan, tanya saja sama orang lewat di sana pasti tahu tempatnya.

Apa yang menarik dengan rumah makan Bu Entin? Wow…, jangan kaget di sana ada sate raksasa…… Ini bukan menu satenya Buto Ijo, melainkan ya disediakan bagi pemangsa daging sejenis manusia yang kelaparan. Hanya manusia yang kelaparan yang sanggup menghabiskan beberapa tusuk satenya Bu Entin.

Coba simak deskripsi berikut ini : Satu tusuk sate hati sapi terdiri dari lima potong yang kalau di tempat lain barangkali satu potongnya ini sudah ekuivalen dengan setusuk sate. Satu tusuk sate cumi-cumi terdiri dari lima ekor masing-masing berukuran sebesar batu baterei D-size gemuk sedikit. Satu tusuk sate udang terdiri dari lima ekor masing-masing berukuran sekorek api besar sedikit dan ada juga yang lebih besar. Satu tusuk sate ikan (entah ikan apa) terdiri hanya seekor ikan laut kira-kira selebar peci hitam untuk sholat (tidak usah repot-repot sholat dulu untuk membayangkan, pokoknya cukup buesar….).

Belum lagi otak-otak yang bungkus daun pisangnya gosong di sana-sini dan masih panas, dipadu dengan dua macam sambal berwarna merah dan coklat muda. Masih ada urap, lalap leuncak, mentimun dan tauge kecil mentah, dsb.

Dari tampilannya saja (sumprit…, saya berkata sejujurnya) ludah saya sudah tertelan beberapa gelombang. Sampai bingung saya harus memulai dari mana untuk memakannya, padahal nasi sudah dituang ke piring dari beboko (ceting) yang disediakan. Akhirnya yang saya ambil duluan malah tauge mentah saya campur dengan sambal cabe merah.

Sebungkus otak-otak saya buka kemudian dan saya dulitkan (cocolkan) ke sambal yang berwarna coklat muda. Komentar saya spontan pendek saja… “Hmm…., enak…, enak sekali….”. Pilihan hasil assessment saya memang hanya dua, enak dan hoenak sekale…..

Sejurus kemudian baru setusuk cumi, setusuk udang dan beberapa potong hati sapi yang saya dudut (lolos) dari tusuknya. Itupun sudah hampir menenggelamkan nasi di piring saya, yang kemudian malah belakangan baru saya makan nasinya.

Oedan tenan……., sungguh sebuah petualangan makan-makan yang ruarrr biasa…..  Setiap gigitan dan kunyahan cumi-cumi dan udangnya terasa benar sensasi seafood bakarnya. Juga potongan hati sapinya mak kress…. di gigi ketika memotong tekstur bongkahan sate hati sapi yang dibakar hingga tingkat kematangan well done (sebaiknya jangan setengah matang).

Hampir sejam kemudian, perut sudah terasa kenyang nian…… nafsu serakah seperti sulit dikendalikan, tapi apa daya kapasitas tembolok manusia memang ada batasnya.

***

Entah dimana Bu Entin pernah belajar bisnis, namun sejak awal membuka usaha (yang kata pegawainya sejak tahun 1996), Bu Entin sudah menerapkan jurus deferensiasi. Bu Entin berani tampil beda dengan ide sate hati sapi raksasa dan sate seafood yang juga berukuran tidak biasa. Ditambah dengan adonan sambalnya yang mirasa, membuat faktor pembeda itu semakin mantap pada posisinya dan bertahan hingga kini. Akhirnya terbentuklah brand image Bu Entin yang seakan menjadi jaminan kepuasan pelanggannya.

Bu Entin memang luar biasa, masakannya maksudnya……. Meski yang menyajikan masakannya sebenarnya juga bukan Bu Entin sendiri melainkan para pegawainya. Tapi nama kondangnya sudah cukup untuk memanipulasi seperti apapun kualitas kemahiran memasak pegawainya. Siapapun pengunjung yang datang untuk menikmati sate raksasa dan sate seafood Bu Entin, maka yang terbayang adalah buah karya tangan Bu Entin.

Layaknya sebuah kesuksesan, maka kemudian berduyun-duyun para pengikut meniru jejak Bu Entin membuka usaha rumah makan sejenis di seputaran kawasan Labuan. Namun tetap saja Rumah Makan Bu Entin yang paling banyak diminati sehingga bukannya pengunjungnya berkurang, malahan semakin dikenal.

Kendati tampilan warungnya terkesan sangat sederhana, namun sajian cita rasa yang ditawarkan sungguh tidak sesederhana tampilannya, melainkan membuat kangen banyak pelanggan setianya terlebih bagi pengunjung fanatik yang sudah telanjur cocok dengan masakan Bu Entin.

Seorang pengunjungnya yang datang dari mancanegara saking terkesannya dengan masakan sate seafood Bu Entin, sampai menyempatkan untuk menuliskan sebuah puisi berjudul “Seafood of Love”, yang kini dipajang di dinding Rumah Makan Bu Entin.

Begini bunyi penggalan bait terakhirnya :

My seafood of love, my dining pleasure
Finger lickin’ food, so fresh and tasty
Breezing through my mind
You leave me breathless and wanting for more….

Tiada kata-kata yang lebih indah dapat saya ucapkan setelah berucap hatur nuhun kepada pelayannya, melainkan puji Tuhan wal-hamdulillah …… Kalau ada umur panjang, bolehlah saya kepingin mampir lagi.

Yogyakarta, 12 Mei 2008
Yusuf Iskandar

Beda Bikin Marem, Di ‘Marem’ Pondok Seafood

26 Desember 2007

(1)

Mencari makan malam di saat kemalaman di malam Minggu. Akhirnya kami sekeluarga menuju ke pondok makan menu ikan laut di bilangan jalan Wonosari, Yogyakarta. ‘Marem’ Pondok Seafood, judul rumah makannya, yang ternyata malam itu tutup lebih malam dari malam-malam biasanya. Jam buka normalnya mulai jam 10 pagi sampai jam 9 malam.

Malam Minggu kemarin itu adalah kunjungan kami yang ketiga kali. Tentu ada alasan kenapa sampai berkunjung kesana berkali-kali. Ya, apalagi kalau bukan karena masakannya cocok, enak dan harganya wajar. Yang ngangeni (bikin kangen)dari rumah makan ini adalah menu ca kangkung dan udang galah hotplate, sedangkan menu lainnya juga sama enaknya.

Lokasinya agak tersembunyi tapi mudah dicapai. Dari Yogya menuju ke arah jalan Wonosari, ketemu traffic light pertama lalu belok kanan. Marem’ Pondok Seafood kira-kira berada 200 meter dari perempatan di sisi sebelah kiri. Rumah makan yang mengusung motto “Coba yang beda, beda bikin marem” (kedengaran seadanya dan rada kurang menjual) ini sebenarnya menempati areal yang tidak terlalu besar, tapi tertata apik dan rapi.

Menu unggulannya adalah udang galah marem hotplate. Bisa ditebak, ini udang galah goreng yang dimasak mirp-mirip bumbu asam manis dan disajikan di atas wadah yang masih panas berasap. Rasa udangnya, irisan paprika dan bawang bombay-nya begitu mengena di lidah, demikian halnya dengan kuah kental yang menyelimutinya. Taste yang berbeda dari yang biasanya saya temui di rumah makan lain. Lain rumah makan, pasti lain pula rasanya. Tapi yang ini beda. Ya, beda bikin marem, itu tadi.

Tiga kali kami berkunjung, tiga kali pula udang galah kami nikmati hingga ludes sekuah-kuahnya. Untung saja plate-nya hot, kalau tidak….. nasinya saya tuang ke plate, agar bisa dikoreti kuahnya……

Selain udang ada juga pilihan kepiting yang didatangkan dari Tarakan, Kaltim. Ada kepiting jantan, kepiting telor dan kepiting gembur. Juga cumi dan kerang. Meski judulnya seafood, tapi juga tersedia ikan gurame, nila dan bawal.

Sayurnya ada aneka pilihan sup, ca kangkung, tauge ikan asin atau oseng jamur putih. Nah, ca kangkungnya ini yang ngangeni. Padahal dimana-mana yang namanya ca atau tumis atau oseng kangkung ya pasti kayak gitu juga, tapi yang ini hoenak tenan….. Selain racikan masakannya yang mak nyuss, kangkungnya sendiri rupanya agak beda. Ya, beda bikin marem, itu tadi.

Setiap kali saya tanya darimana kangkungnya, setiapkali pula tidak pernah dijawab jelas oleh pelayannya, selain hanya mengatakan ada pemasoknya. Agaknya memang dirahasiakan. Batang kangkungnya kemrenyes seperti kangkung plecing dari Lombok, daunnya lebar-lebar, disajikan agak belum masak sekali sehingga warna hijaunya masih seindah warna aslinya. Dan, inilah rahasia menikmati ca kangkung, yaitu makanlah selagi masih fanas (pakai ‘f’, karena kepanasan sehingga bibir susah mengucap ‘p’). Kalau ditunggu dingin, maka Anda akan kehilangan sensasi kemrenyes dari kangkungnya.

Ada juga lalapan plus pilihan sambalnya, mau sambal bawang mentah, sambal terasi mentah atau samal tomat goreng. Minumnya? Terakhir saya mencoba ‘Algojo’ yang ternyata adalah alpokat gulo jowo (es alpokat pakai gula jawa atau gula merah).

Pak Gunawan, sang pemilik ‘Marem’ Pondok Seafood, memang pintar memilih juru masak. Dua orang juru masaknya yang katanya orang Jogja dan Tegal, pantas diacungi dua jempol (kalau hanya satu jempol nanti kokinya berebut….., berebut diacungi, bukan berebut jempol… ). Sentuhan tangan sang kokilah yang telah menghasilkan ramuan bumbu dan olahan masakannya menjadi sajian yang tidak membuat bosan para pencari makan (pengunjung, maksudnya) untuk singgah berulang kali.

(2)

Lebih dari sekedar masakannya yang enak. Hal lain yang menarik perhatian saya daripada rumah makan ‘Marem’ Pondok Seafood adalah pelayanannya. Rumah makan ini diawaki oleh 12 orang, sebagai ujung tombaknya adalah pelayan perempuan, yaitu bagian yang mendatangi tamu pertama kali dan mencatat menu pesanan pelanggan.

Pelayanan yang ramah, bersahabat dan mempribadi, tercermin dari cara para pelayan memperlakukan tamu-tamunya. Setidak-tidaknya, tiga kali saya berkunjung, tiga kali dilayani oleh pelayan berbeda, tiga kali pula saya menangkap kesan pelayanan yang sama seperti yang saya ekspresikan itu.

Anak perempuan saya (Mia, namanya) sempat heran, mbak pelayan ini sesekali menyebut nama anak saya itu. Padahal, teman sekolah bukan, tetangga bukan, berkenalan juga belum pernah, bahkan baru sekali itu ketemunya. Kesan mempribadi dengan menyebut nama seseorang seketika terbentuk. Peristiwa itu akan demikian membekas di hati pelanggan, seolah-olah mbak pelayan ini bukan orang lain. Rupanya mbak pelayan ini memperhatikan percakapan kami, sehingga dia tahu nama anak saya.

Demikian pula sesekali mbak pelayan membuka percakapan dengan tanpa menimbulkan kesan mengada-ada. Barangkali karena melihat saya banyak bertanya mengorek informasi, maka mbak pelayan pun dengan ramah bisa memancing pertanyaan apa ada yang ingin diketahui lagi, misalnya. Yang sebenarnya dapat saya terjemahkan sebagai apa ada yang mau dipesan lagi.

Bagi saya, pengalaman di ‘Marem’ Pondok Seafood adalah sebuah pelajaran. Dan pelajaran itu saya tanamkan kepada kedua anak saya sambil bercakap-cakap dalam perjalanan pulang setelah puas makan. Bukan pelajaran tentang masakannya, kalau soal itu tinggal ikut kursus saja. Melainkan pelajaran tentang pelayanan, yang bisa diaplikasikan pada berbagai aktifitas kehidupan. Bisnis hanyalah satu diantaranya.

Dua hal saya coba bicarakan. Pertama, memperhatikan pelayanan sejenis di resto-resto di luar negeri (sekedar contoh, sebut saja di Amerika dan Australia). Pada umumnya kalau kita makan, maka sang pelayan akan tidak bosan-bosannya mencoba memancing percakapan selintas, yang sepertinya basa-basi, tapi memberi kesan mempribadi. Intinya, kepentingan para pencari makan sangat diperhatikan dan dilayani sebaik-baiknya. Jangan biarkan ada cela sedikitpun dalam masalah pelayanan.

Kebalikannya pada umumnya di Indonesia (saya suka menjadikan kasus ini sebagai ilustrasi). Kalau bisa urusan hajat perut ini diselenggarakan (tidak perlu dengan cara saksama) melainkan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, jika perlu. Tamu datang, dicatat ordernya, dikirim pesanannya (kalau agak lama pun cuek bebek…), dihabiskan makanannya (bahkan kalau tidak dihabiskan pun ora urus yang penting mbayar), lalu pulang.

Kedua, filosofi pelayanan semacam ini sudah, sedang dan akan terus dicoba diterapkan di toko ritel yang saya kelola, yaitu “Madurejo Swalayan” di pinggiran timur Yogya. Sejak awal berdirinya dua tahun yang lalu, kepada para pelayan toko selalu saya tekankan dan saya motivasi tentang perlunya menciptakan suasana paseduluran (persaudaraan) yang mempribadi kepada pelanggan. Lingkungan ndeso dimana toko saya berada memang memungkinkan untuk hal itu. Pengalaman menunjukkan bahwa ternyata yang demikian ini tidak mudah.

Hasil apa yang selanjutnya diharapan? Bolehlah kita berharap di kesempatan lain pelanggan kita akan kembali lagi karena merasa dia sedang berada di toko kepunyaan teman atau saudaranya, bukan orang lain.

Sebenarnya malam itu saya ingin ngobrol-ngobrol dan mengenal lebih jauh dengan Pak Gunawan, sang pemilik ‘Marem’ Pondok Seafood. Tapi sayang saya tidak ketemu beliau. Mudah-mudahan di kunjungan berikutnya (kami memang sudah kadung menyukai masakannya), saya berhasil menemui beliau.

Ada tiga kemungkinan yang saya ingin pelajari lebih dalam, soal pelayanan di rumah makan ini. Pertama, para pelayan mungkin sebelum turun ke lapangan sudah diajari dan dibekali dengan ngelmu masalah pelayanan. Kedua, jika ternyata kemungkinan pertama salah, maka berarti telah dilakukan sistem seleksi penerimaan pegawai yang baik. Ketiga, jika kedua hal itu ternyata bukan juga, maka ya bejo-ne (untungnya) Pak Gunawan, punya pegawai yang terampil. Dan yang terakhir ini tidak bisa ditiru.

*) Marem = puas (bhs. Jawa)

Madurejo, Sleman – 26 Desember 2007
Yusuf Iskandar