Posts Tagged ‘pondok’

Kedatangan Tamu Kyai

15 Mei 2010

Siang tadi kedatangan tamu seorang Kyai dari sebuah pondok pesantren (jelas bukan Gus Dur, tapi Gus yang lain), minta dicarikan investor untuk tambang batubara. Ketika akan pulang, beliau wanti-wanti bahwa bisnis yang sedang dijalankan ini landasannya adalah (saling menjaga) amanah.

Rada deg-degan aku…, sebab salah satu sifat wajib Nabi saw ini adalah justru sifat yang paling banyak diabaikan oleh para pelaku bisnis, sengaja atau tidak sengaja.

Yogyakarta, 8 Mei 2010
Yusuf Iskandar

Beda Bikin Marem, Di ‘Marem’ Pondok Seafood

26 Desember 2007

(1)

Mencari makan malam di saat kemalaman di malam Minggu. Akhirnya kami sekeluarga menuju ke pondok makan menu ikan laut di bilangan jalan Wonosari, Yogyakarta. ‘Marem’ Pondok Seafood, judul rumah makannya, yang ternyata malam itu tutup lebih malam dari malam-malam biasanya. Jam buka normalnya mulai jam 10 pagi sampai jam 9 malam.

Malam Minggu kemarin itu adalah kunjungan kami yang ketiga kali. Tentu ada alasan kenapa sampai berkunjung kesana berkali-kali. Ya, apalagi kalau bukan karena masakannya cocok, enak dan harganya wajar. Yang ngangeni (bikin kangen)dari rumah makan ini adalah menu ca kangkung dan udang galah hotplate, sedangkan menu lainnya juga sama enaknya.

Lokasinya agak tersembunyi tapi mudah dicapai. Dari Yogya menuju ke arah jalan Wonosari, ketemu traffic light pertama lalu belok kanan. Marem’ Pondok Seafood kira-kira berada 200 meter dari perempatan di sisi sebelah kiri. Rumah makan yang mengusung motto “Coba yang beda, beda bikin marem” (kedengaran seadanya dan rada kurang menjual) ini sebenarnya menempati areal yang tidak terlalu besar, tapi tertata apik dan rapi.

Menu unggulannya adalah udang galah marem hotplate. Bisa ditebak, ini udang galah goreng yang dimasak mirp-mirip bumbu asam manis dan disajikan di atas wadah yang masih panas berasap. Rasa udangnya, irisan paprika dan bawang bombay-nya begitu mengena di lidah, demikian halnya dengan kuah kental yang menyelimutinya. Taste yang berbeda dari yang biasanya saya temui di rumah makan lain. Lain rumah makan, pasti lain pula rasanya. Tapi yang ini beda. Ya, beda bikin marem, itu tadi.

Tiga kali kami berkunjung, tiga kali pula udang galah kami nikmati hingga ludes sekuah-kuahnya. Untung saja plate-nya hot, kalau tidak….. nasinya saya tuang ke plate, agar bisa dikoreti kuahnya……

Selain udang ada juga pilihan kepiting yang didatangkan dari Tarakan, Kaltim. Ada kepiting jantan, kepiting telor dan kepiting gembur. Juga cumi dan kerang. Meski judulnya seafood, tapi juga tersedia ikan gurame, nila dan bawal.

Sayurnya ada aneka pilihan sup, ca kangkung, tauge ikan asin atau oseng jamur putih. Nah, ca kangkungnya ini yang ngangeni. Padahal dimana-mana yang namanya ca atau tumis atau oseng kangkung ya pasti kayak gitu juga, tapi yang ini hoenak tenan….. Selain racikan masakannya yang mak nyuss, kangkungnya sendiri rupanya agak beda. Ya, beda bikin marem, itu tadi.

Setiap kali saya tanya darimana kangkungnya, setiapkali pula tidak pernah dijawab jelas oleh pelayannya, selain hanya mengatakan ada pemasoknya. Agaknya memang dirahasiakan. Batang kangkungnya kemrenyes seperti kangkung plecing dari Lombok, daunnya lebar-lebar, disajikan agak belum masak sekali sehingga warna hijaunya masih seindah warna aslinya. Dan, inilah rahasia menikmati ca kangkung, yaitu makanlah selagi masih fanas (pakai ‘f’, karena kepanasan sehingga bibir susah mengucap ‘p’). Kalau ditunggu dingin, maka Anda akan kehilangan sensasi kemrenyes dari kangkungnya.

Ada juga lalapan plus pilihan sambalnya, mau sambal bawang mentah, sambal terasi mentah atau samal tomat goreng. Minumnya? Terakhir saya mencoba ‘Algojo’ yang ternyata adalah alpokat gulo jowo (es alpokat pakai gula jawa atau gula merah).

Pak Gunawan, sang pemilik ‘Marem’ Pondok Seafood, memang pintar memilih juru masak. Dua orang juru masaknya yang katanya orang Jogja dan Tegal, pantas diacungi dua jempol (kalau hanya satu jempol nanti kokinya berebut….., berebut diacungi, bukan berebut jempol… ). Sentuhan tangan sang kokilah yang telah menghasilkan ramuan bumbu dan olahan masakannya menjadi sajian yang tidak membuat bosan para pencari makan (pengunjung, maksudnya) untuk singgah berulang kali.

(2)

Lebih dari sekedar masakannya yang enak. Hal lain yang menarik perhatian saya daripada rumah makan ‘Marem’ Pondok Seafood adalah pelayanannya. Rumah makan ini diawaki oleh 12 orang, sebagai ujung tombaknya adalah pelayan perempuan, yaitu bagian yang mendatangi tamu pertama kali dan mencatat menu pesanan pelanggan.

Pelayanan yang ramah, bersahabat dan mempribadi, tercermin dari cara para pelayan memperlakukan tamu-tamunya. Setidak-tidaknya, tiga kali saya berkunjung, tiga kali dilayani oleh pelayan berbeda, tiga kali pula saya menangkap kesan pelayanan yang sama seperti yang saya ekspresikan itu.

Anak perempuan saya (Mia, namanya) sempat heran, mbak pelayan ini sesekali menyebut nama anak saya itu. Padahal, teman sekolah bukan, tetangga bukan, berkenalan juga belum pernah, bahkan baru sekali itu ketemunya. Kesan mempribadi dengan menyebut nama seseorang seketika terbentuk. Peristiwa itu akan demikian membekas di hati pelanggan, seolah-olah mbak pelayan ini bukan orang lain. Rupanya mbak pelayan ini memperhatikan percakapan kami, sehingga dia tahu nama anak saya.

Demikian pula sesekali mbak pelayan membuka percakapan dengan tanpa menimbulkan kesan mengada-ada. Barangkali karena melihat saya banyak bertanya mengorek informasi, maka mbak pelayan pun dengan ramah bisa memancing pertanyaan apa ada yang ingin diketahui lagi, misalnya. Yang sebenarnya dapat saya terjemahkan sebagai apa ada yang mau dipesan lagi.

Bagi saya, pengalaman di ‘Marem’ Pondok Seafood adalah sebuah pelajaran. Dan pelajaran itu saya tanamkan kepada kedua anak saya sambil bercakap-cakap dalam perjalanan pulang setelah puas makan. Bukan pelajaran tentang masakannya, kalau soal itu tinggal ikut kursus saja. Melainkan pelajaran tentang pelayanan, yang bisa diaplikasikan pada berbagai aktifitas kehidupan. Bisnis hanyalah satu diantaranya.

Dua hal saya coba bicarakan. Pertama, memperhatikan pelayanan sejenis di resto-resto di luar negeri (sekedar contoh, sebut saja di Amerika dan Australia). Pada umumnya kalau kita makan, maka sang pelayan akan tidak bosan-bosannya mencoba memancing percakapan selintas, yang sepertinya basa-basi, tapi memberi kesan mempribadi. Intinya, kepentingan para pencari makan sangat diperhatikan dan dilayani sebaik-baiknya. Jangan biarkan ada cela sedikitpun dalam masalah pelayanan.

Kebalikannya pada umumnya di Indonesia (saya suka menjadikan kasus ini sebagai ilustrasi). Kalau bisa urusan hajat perut ini diselenggarakan (tidak perlu dengan cara saksama) melainkan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, jika perlu. Tamu datang, dicatat ordernya, dikirim pesanannya (kalau agak lama pun cuek bebek…), dihabiskan makanannya (bahkan kalau tidak dihabiskan pun ora urus yang penting mbayar), lalu pulang.

Kedua, filosofi pelayanan semacam ini sudah, sedang dan akan terus dicoba diterapkan di toko ritel yang saya kelola, yaitu “Madurejo Swalayan” di pinggiran timur Yogya. Sejak awal berdirinya dua tahun yang lalu, kepada para pelayan toko selalu saya tekankan dan saya motivasi tentang perlunya menciptakan suasana paseduluran (persaudaraan) yang mempribadi kepada pelanggan. Lingkungan ndeso dimana toko saya berada memang memungkinkan untuk hal itu. Pengalaman menunjukkan bahwa ternyata yang demikian ini tidak mudah.

Hasil apa yang selanjutnya diharapan? Bolehlah kita berharap di kesempatan lain pelanggan kita akan kembali lagi karena merasa dia sedang berada di toko kepunyaan teman atau saudaranya, bukan orang lain.

Sebenarnya malam itu saya ingin ngobrol-ngobrol dan mengenal lebih jauh dengan Pak Gunawan, sang pemilik ‘Marem’ Pondok Seafood. Tapi sayang saya tidak ketemu beliau. Mudah-mudahan di kunjungan berikutnya (kami memang sudah kadung menyukai masakannya), saya berhasil menemui beliau.

Ada tiga kemungkinan yang saya ingin pelajari lebih dalam, soal pelayanan di rumah makan ini. Pertama, para pelayan mungkin sebelum turun ke lapangan sudah diajari dan dibekali dengan ngelmu masalah pelayanan. Kedua, jika ternyata kemungkinan pertama salah, maka berarti telah dilakukan sistem seleksi penerimaan pegawai yang baik. Ketiga, jika kedua hal itu ternyata bukan juga, maka ya bejo-ne (untungnya) Pak Gunawan, punya pegawai yang terampil. Dan yang terakhir ini tidak bisa ditiru.

*) Marem = puas (bhs. Jawa)

Madurejo, Sleman – 26 Desember 2007
Yusuf Iskandar