Archive for the ‘(25) Kesan Terakhir’ Category

(25) Kesan Terakhir

13 Desember 2007

Ketika toko sedang tidak terlalu ramai, saya sempatkan ngobrol-ngobrol santai dengan kasir di sela-sela kesibukannya. Berikut ini ringkasan obrolan kami, kalimat-kalimat yang diucapkan tidak sama persis melainkan sengaja saya sederhanakan agar mudah dipahami ketika dirubah menjadi bahasa tertulis.

Saya ajukan pertanyaan iseng di sela obrolan kepada kasir saya :  “Ketika Anda sedang berada dalam acara perpisahan, kesan seperti apa yang ingin Anda berikan kepada seseorang atau teman-teman yang akan berpisah? ” Jawabnya tegas : “Ya, kesan yang baik, Pak”. Saya hanya manggut-manggut tanda setuju.

“Kenapa mesti dengan kesan yang baik? ”, tanya saya lagi. Jawabnya : “Kesan yang baik biasanya akan terus diingat atau dikenang”, jawabnya. Sambung saya selanjutnya : “Memang kenapa kalau terus dikenang?”. Kasir saya agak kebingungan menjawabnya, atau lebih tepatnya kesulitan mengekspresikan jawabannya.

Kemudian saya pancing dengan alternatif komentar : “Kalau seseorang terus dikenang, mungkin suatu saat timbul keinginan untuk melihat-lihat lagi foto album kenangan, ingin menilpun, kirim SMS atau kirim surat, atau malah ingin bisa ketemu kembali untuk bernostalgia”. Kasir saya setuju dengan komentar saya. Dia lalu berkata : “Mungkin kepingin untuk kumpul-kumpul lagi….”.

Maka sambil tersenyum saya sampaikan kesimpulan pendek kepada kasir saya : “Itulah salah satu tugas kasir”. Kasir saya tampak masih kebingungan menangkap maksud saya. “Ya, salah satu tugas kasir adalah memberikan kesan yang baik bagi pembeli, agar pembeli kepingin kembali lagi….”

***

Di negara-negara barat, sebutlah Amerika dan Australia, ketika kita bertransaksi dengan kasir, hampir pasti hal pertama yang akan diucapkan kasir adalah menanyakan kabar kita, sekalipun kita tidak saling mengenal secara pribadi. Kesannya memang seperti basa-basi. Tapi yang basa-basi itu bisa segera berubah menjadi percakapan hangat tentang topik-topik ringan, misalnya cuaca, pilihan barang yang sedang kita beli, atau berita-berita ringan lainnya. Hingga kemudian diakhiri dengan ucapan terima kasih. Maka tanpa kita sadari, begitu meninggalkan toko, serasa seperti baru saja ketemu dengan teman baru yang menyenangkan.

Itu budaya keseharian di negara barat. Bagaimana dengan budaya di sekitar kita? Boro-boro tanya kabar. Aneh kedengarannya. Kalau bisa, transaksi segera selesai tanpa sepatah katapun terucap. Jangan sembarangan kasir mengajak bicara pembeli. Bisa-bisa malah kasirnya dibilang cerewet, sok akrab, sok ramah, banyak omong, dsb. Dengan tanpa bermaksud membanding-bandingkan mana lebih baik, nampaknya ada hal positif yang dapat dipetik dari budaya nun jauh di sana : Berikan kesan hangat dan bersahabat kepada pembeli!.

Barangkali ilustrasi saya di atas kurang tepat atau berlebihan, tapi kalimat terakhir itulah intinya.

Di “Madurejo Swalayan”, mengucapkan kata  “terima kasih” atau “matur nuwun” setiap kali kasir menyelesaikan sebuah transaksi, hukumnya adalah wajib, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Syukur-syukur bisa disertai dengan senyum manis atau sapaan-sapaan paseduluran (persaudaraan).

Memang tidak sampai seperti di sebuah stasiun pompa bensin di daerah Tegal yang kabarnya kalau pelayannya tidak mengucapkan “terima kasih” seusai bertransaki, ganti rugi Rp 10.000,- akan diberikan. Namun setidak-tidaknya,  kasir-kasir “Madurejo Swalayan” menyadari dan merasakan bahwa hal itu benar dan perlu. Alasannya sederhana saja. Ketika kita hendak berpisah dengan seseorang, berilah kesan yang baik dan positif. Maka kesan itulah yang akan terus melekat di hati orang yang kita pisahin, dan lalu memunculkan dorongan di hati kecilnya untuk kepingin suatu saat bertemu lagi.

***

Kesan pertama begitu menggoda…, selebihnya terserah pembeli….. 

Kesan pertama, diperlukan untuk memberikan kesan lahir atau tampilan luar toko yang menarik setiap orang yang lewat, sehingga mereka tergoda untuk singgah masuk toko. Begitu mereka masuk toko, maka terserah mereka mau belanja atau sekedar lihat-lihat. Biarkan proses “impuls buying” mengalir secara alami. Tinggal pengelola toko yang kudu pintar-pintar mengkondisikan bagaimana agar keberadaan tokonya mampu memenuhi selera atau keinginan dan akhirnya dibutuhkan oleh orang-orang yang lewat dan tergoda itu tadi. Maka bangunan kerjasama mutualistis tercipta secara alamiah pula.

Saya selalu wanti-wanti kepada segenap penjaga toko, hendaknya pandai-pandailah ngemong (bukan ngomong) pengunjung toko (bahasa bisnisnya mengelola pembeli). Para pelayan mulai bisa mengidentifikasi siapa-siapa pembeli yang sudah sering kembali ke toko untuk berbelanja, mereka itulah pelanggan-pelanggan potensial yang harus di-manage dengan baik. Harus dapat mempribadikan suasana jika mereka berbelanja. Sapaan-sapaan hangat perlu dikembangkan, obrolan kecil perlu dilakukan adakalanya.

Tapi ingat, jangan asal menyapa dan ngomong, bisa-bisa dianggap sok ramah dan banyak omong. Harus pilih-pilih, tidak terhadap semua orang. Karena rupanya banyak pula pembeli yang malah lebih suka kalau dibiarkan saja dengan kesendiriannya. Kita memang terkadang aneh, suka menikmati kebingungannya sendiri..

Ini bukan fragmen lakon interaksi sosial jual-beli di kota. Ini di desa Madurejo, karakter individualistis belum muncul, sebaliknya adalah karakter paseduluran (persaudaraan) lebih kental terasa. Sehingga kalau mereka kembali untuk berbelanja, itu bukan semata-mata karena harganya, kualitasnya, kelengkapannya, tokonya, pelayannya atau kedekatan jaraknya, melainkan karena mereka membutuhkan kelanggengan silaturahmi. Bahkan seandainya mereka datang bukan untuk berbelanja sekalipun.

Kesan terakhir begitu mengesankan…, selebihnya (mudah-mudahan) pembeli akan kembali lagi ..….. 

Di “Madurejo Swalayan”, kasir adalah orang terakhir yang dijumpai pembeli sebelum meninggalkan toko. Maka jika kasir mampu menciptakan kesan terakhir yang baik, manis dan indah bagi pembeli, bolehlah berharap di lain waktu pembeli itu akan suka untuk kembali berbelanja. (Lain halnya kalau toko swalayan besar, di mall misalnya, maka orang terakhir yang dijumpai pembeli bisa jadi malah Satpam, berkumis tebal lagi. Boro-boro disuruh bermanis-manis…).

Kesan terakhir……., memang selalu meninggalkan kenangan yang tak terlupakan.

Madurejo, Sleman – 15 Desember 2005.
Yusuf Iskandar