Posts Tagged ‘display’

(42) “Pekerjaan Bodoh” Tiada Akhir

13 Desember 2007

Di hari-hari awal beroperasinya toko, urusan penyusunan barang di rak memang tidak sekali jadi. Acara geser-menggeser dan pindah-memindah barang dagangan terjadi berkali-kali. Sebabnya antara lain, sebagai toko baru tentu jenis barang dagangan tidak langsung komplit. Setiap hari ada saja jenis komoditas baru yang ditambahkan, semakin lama semakin banyak jenisnya sehingga susunan barang di rak juga perlu disesuaikan menurut kelompoknya. Jika tidak demikian, maka akan merepotkan dan membingungkan pembeli.  

Kalau hanya repot dan bingung saja, barangkali pembeli masih mau tanya kepada penjaga toko, dimana letaknya barang yang dicari. Tapi kalau sampai hal itu membuat pembeli jengkel, bisa-bisa malah membatalkan untuk membeli barang yang sebelumnya sudah direncanakan, dan malas untuk kembali lagi.  Sebelum “Madurejo Swalayan” mulai beroperasi, ada yang menyarankan agar saya mengamati toko-toko swalayan lain dan lalu membuat rancangan penyusunan atau penempatan barang-barang yang disesuaikan dengan layout rak-rak yang ada. Karena saya pikir ini hal yang baik, maka saya lakukan juga. Minimal saya akan punya pedoman awal dari mana harus memulai.    

Ketika tiba waktunya mengatur dan menyusun barang dagangan, mula-mula mudah dan enak saja. Ya, karena jumlah item barangnya belum banyak. Saya tinggal memberi instruksi kepada pegawai toko, barang ini ditaruh disitu, barang itu diletakkan disini dan disana. Beres….!      Ketika semakin hari jumlah item barang semakin banyak, sedangkan rak-rak yang tersedia jumlahnya terbatas, maka saya mulai kebingungan. Jangan sampai terjadi di deretan mi instant tahu-tahu ada pembalut wanita atau pembasmi serangga. Atau, karena rak minuman kaleng atau susu sudah penuh, selebihnya lalu dijejerkan dengan sampo anti ketombe.   Mulailah berpikir keras, bagaimana menempatkan sekelompok barang dalam satu lokasi agar tidak campur dengan kelompok lain yang berbeda jenisnya, di atas rak-rak yang jumlahnya terbatas. Saya sendiri heran, ini pekerjaan mudah, tapi kenapa sepertinya jadi rumit sekali. Karena setiap kali memindah sekelompok barang, artinya juga harus memindah atau menggeser barang lainnya yang jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan buah. Dan semua pekerjaan geser-menggeser barang ini sangat menyita waktu.  

Idealnya pekerjaan ini dilakukan di luar jam operasi toko agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung toko. Tapi “Madurejo Swalayan” adalah toko kecil (maksudnya, belum besar), sehingga belum mampu menggaji orang khusus untuk pekerjaan di luar jam reguler. Sementara frekuensi pekerjaan ini cukup sering dilakukan. 

Kalau sudah mulai memindah dan menggeser letak barang, maka segala macam rancangan susunan barang yang sebelumnya sudah dibuat dengan sangat rapi dan teliti, menjadi tidak berarti. Tidak ada lagi rancangan layout penempatan barang, yang ada adalah kreatifitas seni menyusun barang. Dan sialnya, kreatifitas seni seperti ini tidak ada bukunya dan tidak bisa dipelajari, melainkan “lakukan saja”. Lagian, ngapain repot-repot mempelajari cara menyusun barang….. . Inilah acara spontanitas yang tidak akan pernah berlaku sama di setiap toko. Dibutuhkan “sense of art”, sentuhan seni, feeling, kreatifitas dan segala macam hal-hal gaib sejenis itu.

Maap, bukannya mau menyalahkan pembuatan layout penempatan barang. Dan maap, bukannya layout semacam itu tidak ada gunanya. Namun percayalah……, layout seperti itu hanya bermanfaat pada saat awal mulai menyusun barang ketika jumlah item barang belum banyak, dan hanya untuk toko yang mempunyai ketersediaan raknya cukup banyak, sehingga mempunyai ruang bermain yang cukup leluasa. 

Maka ketika jumlah barang semakin banyak dan rak-raknya semakin penuh, lupakanlah layout yang pernah dibuat. Kalaupun layout penempatan barang itu masih dibutuhkan, maka paling-paling hanya untuk menunjukkan pemisahan kelompok besarnya saja, seperti misalnya antara kategori food dan non-food, atau antara barang kebutuhan sehari-hari dengan barang kebutuhan insidentil. Selebihnya, mulailah berimprovisasi dengan kreatifitas Anda. 

*** 

Selesai…..? Wow….. belum!. Acara geser-menggeser barang ini tidak akan selesai dalam hitungan jari tangan, masih ditambah jari kaki, bahkan jari kaki orang lain juga.…. Kecuali jika Anda menganggap bahwa pengaturan barang-barang ini tidak terlalu penting, maka berhentilah. Namun percayalah (yang kedua)….. , bahwa migrasi barang dagangan, dari satu rak ke rak yang lain dan dari satu posisi ke posisi yang berbeda, ini sangat penting dan kritikal yang perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Setidak-tidaknya begitulah penilaian saya. Bisa jadi penilaian ini salah, karena saya menyadari bahwa jam terbang dan pengalaman saya di dunia perswalayanan ini memang masih sak uprit…., sangat sedikit!. Tapi ya luweh (biarin)….., meskipun sak uprit toh pengalaman juga namanya. 

Kini “Madurejo Swalayan” sudah berjalan memasuki bulan ketiga. Tapi acara ser-gesser barang masih berlangsung terus, pindah sini-pindah sana, geser sana-geser sini. Pertama, karena masih terus ada penambahan item barang (seiring dengan perkembangan toko). Kedua, karena ada pergantian jenis barang (substitusi atas barang yang habis dari sono-nya). Ketiga, karena terus dan terus berimprovisasi menuju tampilan display yang lebih menarik dan tidak membosankan. Prinsipnya hanya satu, seperti apapun modifikasi penyusunan barang dilakukan, harus tetap demi memberi kemudahan bagi pelanggan. Dan jangan lupa,………. merangsang  “impuls buying”……… 

Padahal acara ser-gesser ini sangat-sangat menyita waktu, melelahkan lahir maupun batin dan membosankan bagi yang melakukannya. Yen tak pikir-pikir….., ya inilah “pekerjaan bodoh” yang tiada akhir. Hanya akan selesai ketika usaha toko bubar jalan………    

Madurejo, Sleman – 20 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(26) Jika Bapak Berbelanja

13 Desember 2007

Suatu ketika kasir dan pelayan toko “Madurejo Swalayan” tertawa terkikik-kikik. Ada gerangan apakah? Usut punya usut, ternyata mereka baru saja mengalami kejadian lucu. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan seorang putrinya datang berbelanja. Setelah berkeliling toko dan selesai mengumpulkan belanjaannya, mereka siap meninggalkan toko. Si ibu dan anaknya sudah bertransaksi dengan kasir, namun si bapak masih tertinggal karena asyik mencermati produk susu UHT.

Si ibu memanggil-manggil bapaknya mengajak segera pulang. Si bapak tetap bergeming seperti tidak mendengar ajakan istrinya. Beberapa saat si bapak tetap belum selesai juga. Si ibu yang sudah menunggu di depan kasir mulai gelisah dan tidak sabar. Mulailah si ibu berkreatifitas (ini yang ditunggu-tunggu pengelola toko swalayan…), tangannya menggapai dua buah permen sejenis lolipop yang berbentuk seperti stick drum tapi pendek. Satu untuk dirinya sendiri, satu lagi diberikan kepada anaknya. Permen itu bukannya di-emut (dikulum) melainkan digigit dan dikremus…. Tentu saja cepat habis. Tapi sayang cepat habisnya permen tidak diiringi dengan cepat selesainya si bapak.

Rupanya si anak tidak suka dengan permen itu. Seperti tidak sabar, diraih dan dikremus pula permen anaknya oleh si ibu. Lho? Habislah dua batang permen di-kremuskremus…, dan si bapak masih belum juga selesai. Dengan mimik muka kesal, diambilnya makanan kecil yang tadi dibeli lalu dimakannya di depan kasir sambil mucu-mucu….. (mulutnya seperti dimonyong-monyongkan tanpa disengaja). Kasir dan pelayan toko terbengong-bengong menyaksikan adegan drama satu babak itu sambil menahan tawa.

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi dengan si ibu…….., “impulse buying”. Tapi bagaimana halnya yang sedang terjadi dengan si bapak? 

***

Pernah berada di suatu toko lalu tertarik mencermati deretan sampo atau sabun mandi? Anda sedang menghadap rak di suatu toko swalayan. Sejauh mata melirik ke kiri dan ke kanan, disana bersusun rapi aneka merek produk sampo dan sabun mandi komplit dengan varian-variannya. Sedemikian menariknya sehingga Anda terpancing untuk mengambil salah satunya lalu membaca lebih cermat segala macam tulisan yang ada pada botol atau bungkusnya.

Ada sampo yang untuk menghitamkan, menghaluskan, melembutkan, melembabkan, menyehatkan, melicinkan, membersihkan rambut. Pokoknya semua yang indah-indah tentang rambut. Ada yang mengandung vitamin A, B, C, D, E, sampai Z, plus diperkaya dengan aneka kandungan ini-itu. Pokoknya semua yang sehat-sehat tentang rambut   

Belum puas dengan satu merek, beralih ke merek lain, botol di sebelahnya, lalu sebelahnya, lalu sebelahnya lagi. Padahal kalau dihitung-hitung ada buanyak merek sampo dengan puluhan variannya. Setelah cukup lama meng-assess setiap jenis sampo, akhirnya terpilihlah satu jenis sampo yang Anda simpulkan paling cocok untuk rambut Anda. Aha…! Anda pun merasa lega, puas, dan bangga pada diri sendiri berhasil me-review, menganalisis dan membuat kesimpulan.

Itulah aksi yang banyak dilakukan kaum bapak ketika masuk toko swalayan. Repotnya kalau kaum bapak ikut-ikutan belanja kebutuhan sehari-hari, banyak sekali pertimbangannya saat hendak memilih satu jenis produk yang dibutuhkan. Segenap kemampuan dan energi akan dikerahkan untuk melakukan penilaian hingga diperolehnya kesimpulan produk mana yang paling pas.

Lain bapak lain pula ibunya. Jarang kaum ibu yang mau repot-repot membuang waktu untuk melakukan aksi “teliti sebelum membeli” seperti itu. Kalau si ibu sudah suka dengan produk atau merek tertentu, biasanya jadi pelanggan fanatik, ya pokoknya produk itulah yang akan langsung dipilih. Sampai nanti ada faktor eksternal yang menggoyahkan imannya, antara lain iklan televisi…….

Namun anehnya, semua yang dilakukan oleh kaum bapak itu hanya akan terjadi ketika masih berada di dalam toko. Sementara ketika sudah berada di dalam kamar mandi, boro-boro ingat segala macam keunggulan dan manfaat yang ditawarkan sampo. Mereknya pun belum tentu ingat. Langsung saja kepala di-usek-usek pakai sampo yang ada di kamar mandi. Tak perduli masih tumbuh rambut di kepala atau sudah tidak. Entah itu sampo cap Macan atau cap Gajah,…. Sebodo amat…..!

Kejadian yang hampir sama berulang kembali di toko swalayan ketika kaum bapak tiba-tiba ingin membeli sabun, odol, susu, suplemen, dan lain-lain. Lalu apa yang mendorong terjadinya perilaku semacam itu? Pertama, karena “impulse buying”, pembelian yang sebelumnya tidak direncanakan. Kedua, karena pesona dari display barang-barang di toko.

Itu sebabnya kenapa saya yakin sekali bahwa penyusunan barang-barang di rak merupakan salah satu elemen kritikal dalam pengelolaan toko swalayan, karena dapat menjadi pemicu bagi “impulse buying”. Menjaga tampilan atau display barang-barang agar tetap terlihat rapi, bersih, menarik dan tidak membosankan, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

***

Itu juga yang sedang terjadi pada diri si bapak bersama istri dan putrinya di “Madurejo Swalayan”. Sedemikian asyiknya si bapak menilai dan menimbang susu mana yang paling pas buat putrinya. Padahal sejak dari rumah tidak berencana membeli susu, tapi tiba-tiba merasa perlu memilihkan dengan cermat susu yang terbaik bagi putrinya. Seandainya tadi si bapak menyerahkan saja kepada si ibu untuk membeli susu bagi putrinya, barangkali akan beres dalam beberapa detik saja. Lha wong namanya susu UHT, dimana-mana dan apapun mereknya, ya seperti itulah komposisi dan manfaatnya.

Karena itu, jangan pernah mengajak bapak untuk turut memilihkan barang kebutuhan sehari-hari di toko swalayan. Dijamin akan membuat kesal ibu. Tapi juga jangan ngikutin ibu untuk masuk toko swalayan jika bapak tidak sabar menunggu…… Bukan lama memilih barang, melainkan karena biasanya ibu rentan terhadap godaan “impuls buying”. Inginnya semua barang mau dimasukkan ke dalam keranjang belanja, kalau perlu setoko-tokonya sekalian.……

Kendatipun demikian, mari coba tanyakan kepada pengelola toko swalayan : Apa yang paling disukai? Jawabnya : Kalau ada rombongan satu keluarga lengkap masuk ke dalam tokonya. Semakin banyak peserta kecilnya, semakin lebar senyuman penyambutannya………. Monggo…, ada yang bisa kami bantu…….?.

Madurejo, Sleman – 18 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(24) Melayani Raja

13 Desember 2007

Suatu kali saya lihat kasir saya eyel-eyelan (adu argumentasi) dengan seorang pembeli yang sedang melakukan transaksi pembayaran. Ini tentu situasi yang tidak menguntungkan. Setelah saya dekati ternyata ibu yang sedang melakukan pembayaran tersebut complaint, kok harga di kasir lebih mahal dari label harga yang tertempel di rak. Ibu itu wajar saja protes. Tapi rupanya kasir saya merasa dirinya sedang dipersalahkan, diapun membela diri bahwa harga di komputer yang benar. 

 

Peristiwa yang hampir sama, bisa juga terjadi karena salah penempatan label di rak. Mungkin karena salah menuliskan angka harga, atau karena salah menempatkan label akibat display barang dagangan bergeser tapi labelnya lupa ikut digeser. Sementara ini penulisan label di “Madurejo Swalayan” masih secara manual. Ini memang jalan pintas yang masih bisa dimaklumi mengingat untuk nge-print label sejumlah ribuan item barang, tentu sangat menyita waktu.

 

Kejadian salah penempatan label sebenarnya umum dialami oleh toko swalayan modern kelas lokalan yang baru buka. Selalu saja ada hal-hal yang terlewat untuk dipersiapkan dengan sempurna. Sebenarnya hal seperti ini sudah diprediksi bakal terjadi, hanya saja saya terlewat memberi pengarahan kepada para pegawai. Ditambah lagi, semua pegawai “Madurejo Swalayan” adalah orang-orang muda yang baru lulus SLTA, belum punya pengalaman kerja, masih belum punya banyak jam terbang dalam bermasyarakat, dan yang paling penting adalah masih belum terampil dalam berkomunikasi. Hal yang terakhir ini memang tidak ada sekolahnya. Kalau ilmu komunikasi sangat banyak guru dan bukunya, tapi keterampilan dalam sesrawungan (berinteraksi sosial) adalah lain hal. 

Ihwal eyel-eyelan kasir dengan ibu yang complaint tadi, segera saja saya menengahi. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta maaf kepada ibu itu dengan sedikit tambahan penjelasan bahwa ada kesalahan dalam pemasangan label harga. Mudah-mudahan permintaan maaf saya dapat menetralisir kekecewaannya, meskipun saya yakin tidak sepenuhnya demikian. Hikmah dari peristiwa itu, justru seharusnya kami berterima kasih kepada ibu itu karena telah memberitahukan bahwa ada kesalahan dalam pelabelan harga barang. Namun sayang, penyelesaian yang diberikan oleh kasir agak kurang manis. Apa hendak dikata, ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi.

***

Segera setelah kejadian itu, briefing saya berikan kepada segenap pegawai toko. Kalau ada yang salah, maka itu bukan salah kasir atau penjaga toko melainkan salah manajemen toko dalam mempersiapkan SDM-nya. Inilah akibatnya kalau buka toko tapi mesti kejar tayang, hingga hal-hal non-teknis menjadi terlewat untuk memperoleh perhatian yang semestinya.

Prinsip kami dalam melayani pengunjung toko berpedoman pada semboyan “pembeli adalah raja”. Semboyan ini senantiasa dipahamkan dan berulangkali diingatkan kepada para pegawai. Entah pengunjung itu membeli sesuatu ataupun tidak, maka tetap dia harus dilayani bak seorang raja (atau ratu, kalau perempuan).

Sesungguhnya, selama ini saya sendiri tidak pernah percaya dengan semboyan itu. Atau lebih tepat kalau disebut skeptis. Bagaimana tidak, seumur hidup saya telah berpengalaman jadi pembeli tapi rasanya belum pernah diperlakukan seperti raja. Sering-sering malah cenderung “diakalin” saja sama penjualnya. Tapi ya nurut saja, tidak bisa berbuat apa-apa, paling-paling nggrundel di belakang…..

Baru sekarang ketika saya sedang belajar untuk menjadi penjual yang professional, saya paham betapa pentingnya arti semboyan bahwa pembeli adalah raja. Lha wong namanya raja, ya ndak mau disalahkan. Kalaupun bisa, ya tetap ndak mau….. Pokoknya, “raja” adalah oknum yang harus selalu dianggap benar, betapapun nyebelin-nya…… Pelayanan terbaik harus tetap diberikan. Maka melayani pembeli adalah seperti melayani seorang raja.

(Terakhir sempat saya baca di koran, hanya Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand yang dengan arif mematahkan pepatah bahwa menganggap raja tidak pernah berbuat salah adalah penghinaan. Sayangnya Raja Bhumibol bukan pelanggan “Madurejo Swalayan”……).

Filosofi itulah yang saya coba tanamkan dalam diri para pegawai “Madurejo Swalayan”. Oleh karena itu, setiap kali terjadi perselisihan, atau complaint dari pengunjung toko, maka asumsi pertama yang harus digunakan adalah bahwa pembelilah yang benar dan manajemen tokolah yang salah. Tentu saja kekecualian diberlakukan kalau perselisihan itu disengaja atau jelas-jelas perilaku tidak wajar dari pembeli, maka itu bukan insiden, melainkan niat buruk yang perlu ditangani berbeda..

Maka kalimat wajib yang harus disampaikan ketika berada dalam situasi seperti itu adalah diawali dengan kata “maaf” dan diakhiri dengan ucapan “terima kasih”. Asal mengucapkan kata “maaf”-nya jangan pakai “p” dan jangan terlalu boros, nanti dikira sedang shooting film “Bajaj Bajuri“…….

Penggunaan kata “maaf” dalam tradisi pergaulan masyarakat di Indonesia memang agak berbeda nuansa batin dan sense-nya dibanding dengan kata “Im sorry” dalam tradisi pergaulan barat . Oleh karena itu mengumbar pengucapan kata “maaf” perlu dikelola dengan pas, meskipun baik, jangan-jangan malah nanti diterjemahkan oleh pelanggan bahwa kita memang sering berbuat salah dalam mengelola toko. Jadi memang perlu teknik penyampaian yang “strategis”. Caranya bagaimana? Ya, enggak tahu….., tidak ada rumus yang sama bagi setiap orang dan setiap kondisi. Siasati aja sendiri ……

Madurejo, Sleman – 11 Desember 2005.
Yusuf Iskandar

(11) Dari Mana Datangnya Pemasukan?

13 Desember 2007

Setelah menghitung-hitung biaya modal dan biaya operasi, yang kesemuanya adalah cerita tentang uang keluar, lalu bagaimana cerita uang masuknya. Dari mana datangnya pemasukan? Ya, dari kantong pembeli turun ke meja kasir. Untuk itu perlu mengidentifikasi kira-kira sumber pemasukan toko itu dari mana saja.  

 

Pemasukan utama tentu saja berasal dari hasil penjualan. Semakin tinggi tingkat penjualan, semakin tinggi pemasukan, semakin tinggi pula keuntungannya. Untuk toko sekelas “Madurejo Swalayan” biasanya mengambil margin keuntungan antara 7% hingga 10%. Untuk keperluan hitung-hitungan ekonomi dalam business plan, asumsi 10% masih reasonable untuk diambil sebagai acuan. Maka untuk menghitung perkiraan keuntungannya, tinggal kalikan saja rata-rata margin keuntungan dengan total hasil penjualannya. 

Kalau dikatakan margin keuntungan rata-ratanya 10%, tentu berarti ada yang lebih rendah ada pula yang lebih tinggi. Sekedar ilustrasi, barang-barang kebutuhan pokok yang pergerakannya cepat seringkali hanya mengambil margin 3-5% bahkan terkadang kurang, agar mampu bersaing. Sementara untuk barang-barang yang pergerakannya lambat, bukan kebutuhan pokok tapi diperlukan, bisa 20-30% bahkan terkadang lebih. Jadi ada semacam subsidi silang untuk akhirnya memperoleh angka rata-rata 10%. Angka-angka ini adalah angka-angka yang sudah umum, jadi konsumen pun sebenarnya juga sudah paham betul, sama pahamnya dengan penjual. 

Dengan demikian sangat mudah dipahami bahwa variabel utama dalam meningkatkan keuntungan adalah pada tingkat penjualannya. Sedangkan persentase margin keuntungannya relatif segitu-segitu juga, pergerakan naik-turunnya tidak akan jauh-jauh. Persentase margin keuntungan ini dapat kita jadikan sebagai barometer untuk melihat kinerja toko kita. Jika rata-rata margin keuntungan bulanan kita rendah, artinya secara umum toko kita termasuk toko yang murah. Sebaliknya jika rata-rata margin keuntungannya tinggi, jangan-jangan harga jual kita kemahalan. Memang ya tidak selamanya demikian, tapi paling tidak hal ini dapat kita jadikan sebagai bahan untuk melakukan introspeksi diri. Cara yang saya lakukan jika sekali waktu muncul angka rata-rata margin yang terlalu tinggi adalah dengan melakukan pengecekan harga secara acak untuk dievaluasi dan dibanding-bandingkan.

 

Maka jelaslah bahwa konsentrasi energi kita harus diarahkan guna menemukan strategi penjualan yang paling efektif. Tapi juga jangan dikesampingkan untuk menggali peluang-peluang sampingan guna mendongkrak angka penjualan. Antara lain dengan diversifikasi jenis komoditas yang kita jual, melengkapi toko dengan barang dagangan pelengkap disamping barang kebutuhan pokok sehari-hari. Dan masih ada ribuan peluang lainnya yang dapat digarap.

***

Kardus-kardus dari bungkus barang-barang yang dikulak semakin hari akan semakin menggunung. Sampai menuh-menuhin tempat dan terkadang membuat bingung mau ditaruh dimana. Jangan diremehkan, kardus-kardus itu ada nilai uangnya. Kardus-kardus yang masih bagus dan tebal, suka-suka dibutuhkan orang dan bisa laku lebih mahal. Paling tidak, kalaupun kardus-kardus itu dilipat lalu ditumpuk, total beratnya bisa puluhan bahkan ratusan kilogram dalam satu bulan. Kalau kemudian dijual, “bunyinya” bisa ratusan ribu rupiah. 

Semakin meningkatnya omset penjualan tentu berarti semakin banyak barang dagangan yang dikulak, dan semakin menumpuk pula kardus-kardus pembungkusnya. Pemasukan dari hasil jual kardus ini lama-lama dapat digunakan untuk menutup biaya operasional. Lumayanlah kalau misalnya tagihan tilpun atau listrik dapat tertutupi dari hasil jual kardus bekas. Inilah pemasukan yang sebaiknya jangan dianggap remeh.  

Jenis pemasukan lainnya berasal dari uang sewa rak. Rak-rak atau lemari etalase tempat memajang barang dagangan pada saatnya dapat bernilai ekonomis tinggi. Apalagi kalau letaknya strategis, di bagian depan misalnya. Distributor dari jenis produk tertentu pada tingkat penjualan tertentu, biasanya tidak keberatan untuk menyewa rak yang letaknya strategis ini, khusus untuk men-display produk-produk yang diageninya. Kalau di toko-toko besar malahan tidak hanya rak, tetapi juga ruang kosong di bagian depan toko dapat juga disewa untuk model display lantai (floor bazaar).

Karenanya semakin banyak rak atau tempat yang disewa atau semakin banyak distributor yang menyewa, tentu sangat menguntungkan bagi pemasukan toko. Jumlah nilai sewa per bulannya kalau dikumpul-kumpulkan bahkan bisa menutup sebagian (atau syukur-syukur seluruh) biaya upah tenaga kerja. Tentu saja soal sewa-menyewa ini tidak akan terjadi begitu saja. Pihak distributor pun punya tim yang akan melakukan assessment apakah rak atau tempat di toko itu memang bernilai ekonomis bagi mereka dan bagaimana tingkat omset penjualan produknya, sehingga layak untuk di sewa. Kalaupun kemudian hanya satu-dua rak saja yang disewa, akan cukup berarti banyak bagi “kesehatan” cashflow toko.

Pada toko-toko tertentu yang mempunyai halaman atau teras depan cukup luas, terkadang juga menyediakan kelebihan tempatnya itu untuk disewakan kepada pedagang atau pengusaha kecil lainnya. Misalnya untuk counter HP, tukang reparasi jam, tukang burger, pedagang asesoris, bakul jamu, dsb. Langkah menyewakan kelebihan lahan ini juga dapat dipertimbangkan untuk menjadi sumber tambahan pemasukan bagi toko. Selain berarti membina kemitraan dengan pedagang atau pengusaha kecil masyarakat sekitarnya.

Untuk hal yang terakhir ini memang belum menjadi pemikiran untuk digarap lebih dalam bagi pengembangan “Madurejo Swalayan”. Di satu sisi akan dapat berarti membantu toko dalam upayanya untuk mendatangkan pengunjung. Tapi di sisi yang lain, aspek keindahan dari tampilan tata ruang depan toko, kenyamanan pengunjung toko dan terutama kebersihannya, harus dikaji dahulu dengan sungguh-sungguh. Jadi meskipun akan mendatangkan pemasukan tambahan, tapi faktor lain-lain itu mesti dipertimbangkan masak-masak.

***

Sejauh ini sumber-sumber pemasukan selain dari hasil penjualan memang belum sepenuhnya masuk dalam business plan “Madurejo Swalayan”. Kalaupun ada, maka masih bersifat sebagai “bonus” tambahan pemasukan, belum menjadi target pemasukan. Pertimbangannya karena pengelola belum berpengalaman sampai tahap mana sumber-sumber pemasukan tambahan itu mulai feasible (layak) untuk dikategorikan sebagai sumber pemasukan tetap. Meskipun demikian, sumber-sumber pemasukan tambahan itu perlu diidentifikasi dan pada saatnya nanti akan dimasukkan ke dalam pengembangan rencana usaha tahunan. 

Setidak-tidaknya, kami mulai melihat bahwa ada peluang dan potensi cukup menjanjikan yang dapat digarap lebih mendalam guna meningkatkan kinerja toko ke arah tercapainya positive cashflow yang lebih tinggi lagi. Apa yang sudah teridentifikasi itu sesungguhnya hanyalah sebagian saja dari potensi sumber pemasukan yang ada. Untuk saat ini, biar kami fokuskan pada ketiga sumber pemasukan itu saja dululah…….., hasil penjualan, jual kardus dan menyewakan rak. Selebihnya dipikir nanti saja. Sebab baru ketiga hal itulah yang paling nyata di depan mata dan paling realistis untuk segera diwujudkan, atau lebih tepatnya, “diuangkan“…….

  

Madurejo, Sleman – 5 Pebruari 2006

Yusuf Iskandar