Posts Tagged ‘freeport’

Ke Papua Menunaikan ”Bisnis Memberi”

3 April 2009

img_2070_r

Mohon maaf, blog ini saya tinggalkan selama tiga minggu karena pergi ke Papua tanpa pamit. Semula saya pikir saya akan mudah mengakses internet di sana. Tapi rupanya saya mengalami beberapa kendala non-teknis yang menyebabkan saya tidak bisa meng-update blog Catatan Dari Madurejo ini, praktis selama sebulan.

Tepatnya, dari tanggal 10-31 Maret 2009 saya jalan-jalan ke Papua, tepatnya ke kota Tembagapura dan Timika. Perjalanan ini terlaksana atas undangan teman-teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang tembaga dan emas. Ini mirip-mirip perjalanan nosalgia, karena saya pernah bekerja di sana selama periode tahun 1995 hingga 2004.

Selama berada di Tembagapura dan sekitarnya yang lokasinya berada naik-turun di ketinggian antara 2000 – 2400 m di atas permukaan laut, saya mengalami keterbatasan mengakses internet. Fasilitas internet milik perusahaan sangat terbatas. Sementara fasilitas internet yang selama ini saya gunakan, yaitu IM2 dan Smart ternyata tidak dapat saya gunakan karena rupanya hanya sinyal Telkomsel saja yang “berani” naik gunung. Walhasil, saya hanya bisa membuat catatan-catatan kecil saja.

Itu alasan pertama. Alasan keduanya, meskipun saya ke sana dalam rangka jalan-jalan, tapi acara jalan-jalan itu terlaksana akibat dari sebuah komitmen. Maka saya berkewajiban menjaga amanat penderitaan komitmen. Sekali sebuah komitmen dibuat, maka semestinya siap dengan segala konsekuensi yang terjadi, termasuk kesibukan yang seringkali baru selesai hingga malam. Komitmen yang terbingkai dalam acara jalan-jalan dibayarin.

Masih ada alasan ketiga, yaitu bahwa selama di sana saya sering diundang oleh teman-teman lama saya untuk sekedar diajak berbagi tentang pengalaman saya bagaimana mengisi waktu setelah tidak lagi menjadi pegawai alias pensiun alias pengangguran. Teman-teman saya ingin tahu bagaimana saya memulai dan merintis bisnis atau berwirausaha. Tentu saja acara ini hanya bisa dilakukan saat malam hari di sisa waktu yang ada.

img_2069_rAlasan ketiga inilah yang selanjutnya akan saya kupas (kalau bisa sampai) tuntas sebagai bagian dari perjalanan kewirausahaan yang sedang saya jalani. Banyak hal-hal menarik yang saya catat dari diskusi, tanya-jawab dan peluang-peluang yang saya kumpulkan.

Benang merah yang dapat saya sampaikan adalah bahwa perjalanan saya ke Tembagapura, Papua kali ini adalah sebuah perjalanan “bisnis memberi”. Sebuah bisnis yang digaransi anti bangkrut. Bagi sebagian teman saya, perjalanan “bisnis memberi” ini sepertinya sulit diterima. Tapi herannya saya lakukan juga. Insya Allah dongengnya akan saya posting menyusul secara bertahap.

Yogyakarta, 3 April 2009
Yusuf Iskandar

Belajar Dari Kemelut Di Depan Gawangnya Freeport (I)

19 Desember 2007

( 1 )

Sebenarnya saya juga tidak habis pikir, kenapa sekelompok orang desa yang dilarang gresek (mengais-ngais) emas di saluran pembuangan tailing (limbah tambang) di tambang Freeport di pegunungan Papua sana, kok gedung Plaza 89 Kuningan yang ditimpuki batu oleh sekelompok calon pemimpin bangsa berpendidikan tinggi di Jakarta? Lebih tidak mudeng (paham) lagi, yang di desa sana kemudian menuntut penambahan porsi pembagian dana yang 1% dari pendapatan Freeport, tapi yang di Jakarta menuntut penutupan tambang.

Andaikan saya adalah pemilik Freeport, rasanya su pecah kitorang pu kepala ….. (sudah pecah kami punya kepala) karena kelewat pening mengurai benang kusut. Bagaimana tidak? Dari hanya satu soal tidak boleh mendulang tailing, lalu beranak-pinak jadi belasan soal yang harus dicarikan solusinya sak deg sak nyet (saat ini juga). Dari hanya soal bisnis lokal menyangkut segram-dua gram emas bagi masyarakat setempat, menjadi skala bisnis milyaran dollar bagi masyarakat dunia, menyangkut isu lingkungan, isu HAM, isu politik tentang PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), isu “konspirasi” antar bangsa, isu penutupan tambang, sampai ke isu NKRI. Sak jane ki piye …..(sebenarnya bagaimana sih)?

Sebagai seorang mantan professional tukang insinyur tambang yang sekarang nyambi jadi CEO bisnis mracangan ritel di pinggiran Jogja, wajar kalau saya turut gundah dan gulana. Namun bagaimanapun juga saya harus berpikir jernih….., agar bisa tetap berpikir professional dan proporsional. Saya menerjemahan kata professional ini dengan mudah saja, yaitu mereka yang berpikir dan bertindak berlandaskan SOP (Standard Operating Procedure) atau tata kerja yang benar di bidang masing-masing. Karena itu mereka yang berpikir dan bertindak tidak atas dasar SOP yang semestinya (seumpama berdasarkan rumor, katanya, kabarnya, tampaknya, bajunya, warnanya, baunya, dsb.), di mata saya tak ubahnya seperti acara infotainment atau infomezzo.

Cilakak duabelas-nya, kalau yang berpikir dan bertindak tidak sesuai SOP itu ternyata seorang penjabat (pakai sisipan”n”), tokoh atau orang yang keminter, maka meroketlah dia menjadi seorang bintang infotainment baru. Kalau hanya untuk sekedar bahan guyonan atau plesetan, daripada bengong, okelah…….., saya juga suka dengan infomezzo untuk bekal haha-hihi….. mengusir sentress (pakai sisipan”n”). Tapi kalau kemudian dilempar ke tengah forum publik yang diliput media? Kalau dikatakan tidak professional….., nanti tersinggung. Tapi kalau mau dibilang professional….., kok bau-baunya ngawur……….

Itulah hal pertama yang membuat saya turut belasungkawa dan menyedihi diri sendiri. Sebab akhir-akhir ini saya banyak mendengar dan membaca komentar para tokoh dan pakar terkait dengan kemelut di depan gawangnya Freeport. Sebagian di antaranya kedengaran professional dan proporsional. Namun sebagian yang lain pathing pecothot….. (kata lain untuk tidak professional).

Lho, mereka juga para ahli. Iya…! Tapi, ibarat seorang ahli tinju yang mengulas soal teknik-teknik menjahit baju (akan lain soalnya kalau ahli tinju ini pernah ikut kursus menjahit misalnya). Atau, ahli bikin bakso berformalin membahas tentang bagaimana seharusnya mengatasi penyakit flu burung (akan lain soalnya kalau si tukang bakso ini pernah jadi petugas lapangan penyuluh kesehatan misalnya). Ya bolah-boleh saja….. wong ini negeri demokrasi, yang (sebaiknya) tidak boleh dan tidak etis adalah kalau njuk menyalahkan bahkan malah mengadili pihak lain.

Alangkah indahnya kalau sebelum menjatuhkan vonis terlebih dahulu mempelajari berkas perkaranya dengan cermat, teliti, adil dan tidak emosional. Bila perlu observasi lapangan dengan membawa koco-benggolo (suryakanta), sehingga tahu persis seluknya dan beluknya dan bukan hanya kabarnya dan kabarinya.

Jangan-jangan mereka yang beringas di Plaza 89 Kuningan dan bahkan di Jayapura itu adalah generasi muda Papua yang belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri (melainkan mata kepala orang lain yang rentan terhadap praktek manipulasi dan provokasi) operasi penambangan Freeport dan (apalagi) memahami bagaimana Freeport akhirnya menginvestasikan uang milyaran dollar di Papua dan terus bertambah, sejak 40 tahun yang lalu.

Lha kalau investor kelas kakap seperti Freeport sudah mulai merasa tidak man-nyamman, bagaimana dengan investor-investor besar lainnya? Apalagi yang kelas teri? Lalu muncul dua kepentingan :

Pertama, kepentingan karena khawatir kalau-kalau calon investor kakap lainnya pada lari nggembring membatalkan rencana penanaman modalnya dan Kedua, kepentingan karena khawatir kalau-kalau masyarakat lokal menjadi pihak yang selalu terkalahkan. Padahal mestinya kedua belah pihak bisa di-guyub-rukun-kan untuk hidup berdampingan dalam kerangka simbiose mutualisme untuk kesejahteraan bersama.

Adalah fakta bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pengelolaan penambangan Freeport sebagai sebuah sistem (bukan sub-sistem) bisnis. Tapi adalah opini emosional kalau kemudian ditemukan adanya masalah kok lalu tambangnya ditutup saja. Janganlah seperti man-paman petani di kampung saya yang membakar sawahnya gara-gara judeg (kehabisan akal) karena sawahnya diganggu tikus. Atau, man-paman Bush yang membakar Afghanistan karena dikira tikusnya ngumpet di sana.

***

Hal kedua yang membuat saya sangat prihatin adalah bahwa saya haqqun-yakil potensi konflik atau kemelut di depan gawangnya Freeport sekarang ini mestinya sudah teridentifikasi sejak lebih 35 tahun yang lalu. Tapi seperti pernah saya singgung sebelumnya, jangan-jangan…………

“sang pimpro gagal mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh stakeholders proyeknya, atau sebenarnya tahu permasalahannya tetapi gagal menempatkannya dalam prioritas problem solving and decision making. …….Pada waktu itu, barangkali memang para stakeholders itu senyam-senyum dan oka-oke saja karena segenap kepentingannya tidak (atau belum) terganggu, fasilitas hidupnya terpenuhi dan tampaknya aman-aman saja ….. Tapi ketika jaman berganti dan permasalahan yang terpendam itu kemudian meledak karena ketemu pemantik, tinggal sang pimpro dan rombongan shareholders-nya kebakaran jenggot”.

Sebagai seorang sopir yang baru saja bermanuver banting setir atau alih profesi, saya melihat agaknya cerita tentang Freeport ini adalah cerita rakyat tradisional tentang sopir-sopir besar yang mengabaikan penumpang-penumpang kecilnya. Masa-masa 35 tahun yang lalu, penumpang-penumpang kecil ini sepertinya tidak terlihat oleh sopir-sopir kendaraan besar yang ex-officio adalah penguasa dan pengusaha. Kalaupun terlihat, ya hanya nylempit di antara bagasi-bagasi besar penumpang lainnya. Sehingga tampak benar-benar keciiiiiil….. sekali, malah masih pada ber-pornoaksi telanjang, enggak pakai baju, ingusan. Akibatnya, menurut ngelmu manajemen resiko……. cincai-lah itu, adalah faktor threats (ancaman) yang dapat dieliminasi pada saat itu juga, tanpa perlu berpikir panjang, apalagi melalui polling SMS……

Namun agaknya ada yang terlupakan. Jaman telah berganti, sopir-sopir cadangan juga bermunculan, penumpang pun berganti generasi. Masa 35 tahun adalah masa yang sangat cukup bagi penumpang-penumpang kecil yang dahulu ingusan dan telanjang untuk berbenah, berdandan dan mematut-matut diri. Sementara sopir-sopir itu tetap saja menganggap mereka seperti 35 tahun yang lalu. Menganggap bahwa senyam-senyum, oka-oke dan manggut-manggutnya mereka sekarang adalah sama dengan lebih 35 tahun yang lalu.

Maka jadilah bom waktu yang tinggal menunggu pemicu. Maka begitu ketemu pemicu, bukan masalah bomnya yang meledak. Kalau hanya bomnya….. kecil lah itu. Melainkan multiple effect kerusakannya ternyata merambat kemana-mana, menjadi pemicu atas timbunan daftar panjang ganjalan yang sudah terendap dan terakumulasi selama periode berbenah diri, sampai ke urusan yang tidak masuk akal sekalipun.

Tahulah saya sekarang, kenapa urusan tidak boleh mendulang emas di saluran pembuangan limbah tailing di puncak pegunungan nun jauh di sana bisa menyublim di ujung dunia lainnya menjadi keberingasan menuntut tambang ditutup. Rupanya timbunan permasalahan penumpang-penumpang yang dulu dianggap kecil itu memang sambung-menyambung menjadi satu, seperti nyanyian ….. Dari Mimika Sampai Jakarta ….. yang berjajar pulau-pulau, dan itulah Indonesia…..

( 2 )

Freeport riwayatmu kini……. Apakah kejadian akhir-akhir ini akan dipandang sebagai hanyalah sebutir kerikil yang nyisip di antara jari kaki ataukah sebongkah gunung es? Tidak ada bedanya. Toh periode lebih 35 tahun sudah terlewati dan nampaknya tidak terlalu sulit untuk diatasi. Barangkali periode 35 tahun ke depan pun bisa diatasi sebagaimana periode 35 tahun yang lalu. Mudah-mudahan jaman tidak berubah. Tapi ….., siapa yang bisa menggaransi? Maka disitulah baru muncul bedanya…….

Bumi Papua sedang dilanda angkara……. Sialnya kok ya di sana ada Prifot (demikian orang awam suka menyebut perusahaan tambang raksasa ini. Membolak-balik pengucapan huruf “f” dan hurup “p” memang lebih mudah dan lebih enak didengar, seperti menyebut pilem, prei, paham, pilsapat, parmasi, palsapah, dan sebaliknya juga fagi-fagi fergi ke fasar lufa fakai celana fendek karena kefefet kefingin fifis…….).

Konplik demi konplik mewarnai romantika bisnis milyaran dollar. Kemelut demi kemelut merundung di depan gawangnya Freeport. Padahal mestinya ada yang bisa dilakukan untuk menghindari blunder dengan cara yang arif dan bijaksana. Mundur selangkah untuk maju sekian langkah. Kalau mau ……….. (Ijinkan saya menirukan kata “Atasan” saya Yang (Maha) Satu : ….. Tidak ada kesulitan melainkan di baliknya ada kemudahan — QS. 94:5-6).

Ibarat sopir-sopir kendaraan besar yang ex-officio pengusaha dan penguasa ini dan itu, yang terlena lebih 35 tahun. Sopir yang satu lebih suka status quo….. (Habis enak sih…..!). Sopir yang satu memilih menjadi seperti paman petani atau paman Bush. Sementara sopir-sopir lainnya sudah terbangun dari terlenanya, tapi ketika mencoba bermanuver banting setir kepalanya nyampluk (membentur) kaca spion sehingga hanya bisa melihat dari sisi yang berbalikan (sayangnya tidak setiap kaca spion tertulis peringatan seperti di luar negeri : “objects in mirror are closer than they appear”) .

Kalau saya……., kalau saya ini lho….., lebih baik terlena 35 tahun tapi ada yang membangunkan. Perkara siapa yang membangunkan ya mestinya bukan soal benar. Kata orang sonoan dikit : perhatikan “what”-nya dan bukan “who”-nya. Menyitir pesan Kanjeng Nabi Muhammad saw. : (simaklah) apa yang dikatakan dan bukan siapa yang mengatakannya ….. (bahasa londo-Arabnya : maa-qoola walaa man-qoola).

Kini threats (ancaman) sudah di depan hidung dan mata. Bukan sekedar mendulang tailing, bukan sekedar soal lingkungan, bukan sekedar praktek HAM. Itu isu yang sudah usang, sudah mataun-taun (bertahun-tahun) diungkat-ungkit-ungkat. Melainkan lebih serius lagi soal nyanyian Dari Sabang Sampai Merauke…… yang sedang diublek-ublek oleh penumpang-penumpang kecil yang 35 tahun yang lalu masih telanjang dan ingusan….., karena di jaman itu belum ada kompor minyak masuk pedalaman Papua, sehingga tidak ada yang ngomporin……

***

Berhubung saya yang hanya sopir kendaraan kecil yang ex-officio CEO “Madurejo Swalayan”, sebuah bisnis ritel ndeso, ini selalu optimis dan terkadang kelewat percaya diri, maka saya keukeuh untuk mengatakan bahwa di balik setiap threats (ancaman) pasti ada opportunities (peluang). Dan peluang itu tidak akan pernah habis digali dan tidak akan pernah selesai digarap.

Merubah ancaman menjadi peluang memang bukan pekerjaan seperti membalik telapak tangan (kalau telapak kaki memang rada sulit). Perlu perjuangan panjang dan melelahkan. Perlu kerja keras semua pihak. Dan lebih berat lagi adalah perlu good will dan hati legowo dari para sopir untuk melakukan banting setir secara terencana, terukur, terarah dan tidak emosional.

Pendeknya, matahari harus dibangunkan…..!. (Ben tambah nggegirisi……!). Kalau perlu jangan biarkan dia selalu tenggelam di horizon barat, melainkan tenggelamkan dia di ufuk timur. Paradigma community development harus dirombak-mbak…..! Tidak ada tawar-menawar…..! Paradigma lho, bukan paraturan (peraturan atau kebijakan). Kalo paraturan mah suke-suke nyang bikin aje….

Suka tidak suka, saya tetap mengatakan, jangan biarkan stakeholders selalu berarti obyek, melainkan subyek. Setidak-tidaknya ajari mereka agar berkompeten menjadi subyek. Kalau paradigma tidak berubah, maka action plan-nya pasti akan tambal sulam saja, gali lubang tutup lubang. Nampaknya, “ngelmu gaib” pun harus diyakinkan. Dan yang paling penting, bahwa peluang itu sebenarnya ada di depan mata.

***

Sesungguhnya ini bukan hanya monopoli sopir-sopir kendaraan besar seperti Freeport. Freeport saja yang sedang ketiban apes, duluan diobok-obok. Meskipun sesungguhnya ada fakta lain yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Bahkan oleh para antropolog pun tidak pernah disinggung-singgung adanya satu faktor sosio-kultural-antropologis (embuh panganan opo iki……) yang terkait dengan etos kerja.

Tapi baiklah, hal itu dikesampingkan saja. Masih banyak sopir-sopir kendaraan besar berpangkat penguasa dan pengusaha di tempat-tempat lain yang seprana-seprene (sengaja) terlena dan enggan dibangunkan. Dan agaknya perlu mulai mawas diri dan belajar dari apa yang sedang dirundung oleh Freeport. Tidak ada buruknya kalau mau belajar dari kemelut di depan gawangnya Freeport, mumpung belum kedarung (telanjur) menjadi blunder.

Omong-omong soal menggarap peluang, rasanya kok tidak ada kata terlambat. Sopir-sopir boleh udzur, boleh meninggal duluan (kalau menginginkan), boleh malas mikir, boleh over-sek (saya suka terjemahan baru ini, untuk menyebut : usia lebih seketan, lebih limapuluhan), tapi kernet dan penumpang kecilnya pasti semakin pintar dan cerdas. Lha, mbok kernet-kernet dan penumpang-penumpang kecil itu disuruh memikirkan bagaimana menggali, menangkap dan menggarap peluang-peluang yang ada. Agar hubungan sesrawungan (silaturahmi) antara segenap anasir stakeholders dan shareholders tampak lebih manis, mesra dan profitable.

Tapi perlu pengorbanan dan biaya tidak sedikit? Lha iya….., sudah dibilangin …….., mbok kernet-kernet dan penumpang-penumpang kecil itu disuruh memikirkan bagaimana memasukkan biaya-biaya dan peluang-peluang itu sekaligus ke dalam analisis bisnis yang diperbaharui. Mencari tambahan kernet-kernet yang lebih terampil dan trengginas (lincah) juga bukan hal yang tabu. Jer basuki mawa bea…….. Kalau kepingin hidup aman, nyaman, damai, tenteram, sejahtera, gemah ripah loh jonawi tata tentrem kerta raharja, keuntungan dan kekayaannya terus melimpah dan menggunung, ya jelas perlu pengorbanan dan biaya.

Tidak lain agar anak-cucu sopir-sopir yang sudah over-sek itu tetap bisa menyanyikan lagu Dari Sabang Sampai Merauke dengan penuh semangat, langkah tegap, kepala tegak dengan rona kebanggaan di wajahnya, entah berambut lurus atau keriting, entah berkulit sawo bosok, kuning langsat atau gelap gulita …….

Madurejo, Sleman — 5 Maret 2006
Yusuf Iskandar

Belajar Dari Kemelut Di Depan Gawangnya Freeport (II)

19 Desember 2007

( 3 )

Saya rada terhenyak membaca tulisan berjudul “Bongkar Kejahatan Freeport” yang berisi wawancara dengan Amin Rais. Bukan soal kejahatannya. Kalau yang namanya kejahatan (bila memang terbukti benar) di manapun juga ya harus diberantas dan jangan dibiarkan meraja dan melela. Saya justru nglangut….. (menerawang jauh) perihal bongkarnya. Bukankah bangsa ini terkenal dengan sindiran pandai mbongkar tidak bisa masang (kembali)? Kata lain untuk pandai mengacak-acak setelah itu kebingungan untuk memperbaiki dan merapikannya kembali.

Di berbagai forum milis di internet, sempat muncul banyak tanggapan dan silang pendapat tentang topiknya Amin Rais ini. Sebenarnya saya agak enggan untuk memikirkannya (mendingan saya ngurusi toko saya “Madurejo Swalayan” agar semakin maju). Biar sajalah menjadi porsinya para ahli untuk membahasnya. Tapi lama-lama saya terusik juga dengan beberapa komentar rekan-rekan (yang pernah) seprofesi yang berada di dekat saya. Seorang rekan lain mengirim email agar saya menelaah lebih dalam tentang hal ini.

Sejujurnya, saya tidak memiliki kapasitas sedalam itu. Sedang wadah organisasi profesi maupun asosiasi industri yang lebih berkompeten pun tidak kedengaran suaranya. Karena topik ini sebenarnya sudah menyangkut banyak dimensi. Oleh karena itu saya akan mencoba menuliskan pikiran saya dan membatasi hanya dari sudut pandang seorang mantan pekerja tambang dan sesuai peran sosial saya sebagai anggota masyarakat, agar pikiran saya tetap jernih, netral dan logis.

***

Sekitar tahun 1996 (atau 1997, saya lupa persisnya), Amin Rais pernah datang ke Tembagapura atas undangan Himpunan Masyarakat Muslim (HMM) di lingkungan PT Freeport Indonesia (PTFI). HMM adalah organisasi sosial keagamaan yang menjadi wadah bagi kegiatan keagamaan segenap keluarga besar PT Freeport Indonesia, kontraktor maupun perusahaan privatisasi, mencakup segenap karyawan dan keluarganya, yang tersebar dari puncak gunung Grassberg hingga pantai Amamapare. Organisasi yang belakangan saya sempat dipercaya untuk memimpinnya, dua tahun sebelum saya banting setir.

Menilik siapa pengundangnya, tentu saja Pak Amin Rais ini diundang dalam kerangka misi dakwah di lingkungan PTFI, setidak-tidaknya menyangkut peran belau sebagai tokoh Muhammadiyah dan dosen UGM. Maka selama di Tembagapura dan sekitarnya, selain mengisi berbagai kegiatan dakwah juga diskusi di masjid. Semua berlangsung sangat konstruktif dan menambah wawasan. Sebagai tamu HMM, beliau tentunya juga tamu PTFI, maka ada kesempatan bagi beliau untuk berkeliling melihat serba sekilas (baca : waktunya terlalu singkat untuk dapat mendalami) proses operasi pertambangan dari ujung ke ujung.

Semua kegiatan beliau di lingkungan PTFI telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur standar yang berlaku di perusahaan. Pak Amin Rais pun ketawa-ketiwi, manggut-manggut dan puas dengan berbagai penjelasan tentang berbagai tahapan produksi dan segala macamnya. Tidak sedikitpun muncul komentar bernada negatif dari mulut beliau. Para panitia dari HMM pun senang mendampingi beliau selama kunjungannya. Ya, siapa yang tidak bangga berada dekat dengan seorang tokoh sekaliber Amin Rais ini.

Namun apa yang kemudian terjadi esok harinya sungguh membuat kuping semua aktifis HMM dan pejabat PTFI merah dibuatnya. Baru sehari setelah meninggalkan Tembagapura dan Timika, Amin Rais sudah melempar komentar tajam tentang PTFI kepada wartawan dan masih dilanjutkan di DPR. Maka kalang kabutlah semua pejabat PTFI, terlebih aktifis HMM yang “terpaksa” menjadi pihak paling bertanggungjawab atas kehadiran Amin Rais.

***

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya pulang kampung ke Kendal, seorang adik ipar saya bercerita tentang peluang berinvestasi untuk pembuatan batu bata. Pada saat itu adik ipar saya ini memang sedang menekuni bisnis pembuatan batu bata. Lokasinya di pinggiran sungai, tepatnya memanfaatkan tanah lempung hasil pengendapan yang membentang di sepanjang bantaran sungai. Tanah laterit endapan sungai itu memang dimanfaatkan oleh banyak masyarakat di sekitarnya untuk pembuatan batu bata.

Bahkan di tempat-tempat lain terkadang tanah persawahan pun dimanfaatkan untuk pembuatan batu bata. Tanah lempung sungai dan sawah memang paling bagus untuk bahan pembuat batu bata. Kalau kemudian ditanyakan apa sungai dan sawahnya lalu tidak rusak dan tergerus semakin dalam karena diambil tanah lempungnya? Maka jawabnya, itulah anugerah Sang Pencipta Alam agar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan penghuninya. Adakalanya tanahnya habis terkikis, adakalanya bertambah lagi endapan tanah di atasnya. Sang Pencipta Alam telah dengan sungguh-sungguh mencipta setiap butir tanah. Maka penghuninya pun mesti dengan sungguh-sungguh mendayagunakannya dengan bijaksana.

Di situlah kuncinya. Bijaksana. Maka jika diperlukan pengaturan atas segala sesuatunya, mesti dirancang dan diarahkan untuk menuju kepada pendayagunaan yang bijaksana. Bijaksana bagi alam ciptaan-Nya dan bijaksana bagi pengambil manfaatnya. Maka kalau kini kita sedang membangun, jangan lupa bahwa batu bata yang kita gunakan itu berasal dari galian ratusan bantaran sungai dan ribuan hektar sawah. Entah kita sedang membangun rumah, kantor, sekolah, mal, rumah sakit, pasar, pabrik, jembatan, bendungan, saluran irigasi atau monumen.

( 4 )

Pertambangan adalah industri yang padat modal dan beresiko tinggi. Maka wajar kalau tidak setiap pengusaha punya nyali untuk menanamkan investasinya di industri pertambangan, apalagi yang berskala raksasa. Terlebih pada masa itu, pada masa negeri ini sedang bangkit, pada masa pemerintah belum sepenuhnya siap menangani investasi asing yang sak hohah dollar (buanyak sekali) nilainya. Maka kalau pada tahun 1967 Freeport mau menanamkan modalnya di Papua, itu hasil perjuangan tidak mudah oleh para pelobi kelas tinggi di jajaran pejabat pemerintah Indonesia.

Banyak kekurangan pada mulanya memang, karena menangani Freeport adalah pengalaman pertama pemerintah Indonesia dalam menangani modal asing bidang pertambangan. Belum lagi lokasinya di kawasan yang masih sangat terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan. Namun tahun demi tahun kekurangan itu semakin diperbaiki hingga sekarang. Bangsa ini pun semakin pandai, baik dari segi teknis maupun manajerial.

Adalah fakta bahwa dalam perkembangannya, Freeport tidak tinggal mengeruk keuntungan. Kontribusi kepada pemerintah dan masyarakat juga semakin meningkat dalam berbagai bentuknya. Meskipun seperti pernah saya singgung sebelumnya, perlu ada perubahan paradigma dalam community development. Freeport mestinya tidak mengingkari akan hal ini. Tidak ada kata terlambat untuk melakukannya. Bahwa kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi dimana tambang Freeport berada saat ini berbeda jauh dengan kondisi lebih 35 tahun yang lalu, dimana masyarakatnya masih hanya bisa tolah-toleh kesana-kemari, kami tenggengen….. (bengong).

Adalah fakta bahwa masyarakat di sekitar Freeport berada, kini sebagian di antaranya sudah semakin pandai dan terdidik. Dan memang demikian seharusnya. Tidak bodoh turun-temurun, melainkan harus ada yang berani menjadi pandai. Sehingga mampu berpikir lebih komprehensif dan berwawasan luas tentang bagaimana masa depan masyarakat dan desanya.

Adalah fakta bahwa sekitar 90% saham Freeport kepemilikannya berada di tangan pihak asing (yang kebetulan berbangsa Amerika) dan pihak Indonesia hanya mengantongi sekitar 10% (saya sebut sekitar karena saya tidak hafal koma-komanya). Maka pembagian keuntungannya pun tentunya kurang lebihnya akan seperti itu juga. Dengan kata lain, hasil yang dibawa ke Amerika akan 9 kali lebih banyak daripada yang ditinggal di Indonesia. Akan tetapi hal ini pun harus dipahami karena memang sejak semula (meski sempat bertambah dan berkurang) pembagian porsi sahamnya demikian. Itulah kesepakatan yang ada sejak sebelum industri pertambangan itu dimulai. (Konyol sekali kalau saya urun 10% untuk investasi pembuatan batu-bata kok keuntungannya minta bagian 50%, misalnya).

Adalah fakta bahwa Freeport sudah menunaikan kewajiban pajaknya sesuai dengan kesepakatan Kontrak Karya yang pernah ditandatangani (yang kemudian pernah juga direvisi). Rasanya, saya tahu persis bahwa tidak ada satupun policy terselubung yang diterapkan Freeport untuk mengelabuhi sistem peraturan perpajakan yang sudah disepakati. Kalau kemudian ternyata dipandang bahwa sistem perpajakan yang berlaku itu merugikan Indonesia dan menguntungkan Freeport, maka tidak bijaksana kalau kemudian Freeport-nya yang disalahkan.

Adalah fakta bahwa ada kondisi lingkungan yang rusak sebagai akibat dari dampak operasi penambangan. Akan tetapi, hal yang perlu dipahami adalah bahwa semua sistem pengelolaan lingkungan itu sudah dikaji sangat mendalam dan memakan waktu bertahun-tahun, hingga akhirnya disetujui oleh pemerintah Indonesia yang notabene diwakili oleh para pakar di bidangnya, sebagai alternatif terbaik dalam pengelolaan dampak lingkungan pertambangan.

Adalah fakta bahwa keberadaan Freeport baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan lebih duapuluh ribu lapangan pekerjaan bagi orang Indonesia. Jika mereka yang bekerja di lingkungan Freeport itu rata-rata, katakanlah, menanggung seorang istri dan seorang anak, berarti ada puluhan ribu orang yang hidupnya bergantung dari perusahaan ini.

Adalah fakta bahwa sebagian posisi tertentu dalam manajemen Freeport masih dikuasai oleh tenaga kerja asing. Maka menjadi tugas pemerintah dan tanggung jawab pemilik perusahaanlah yang semestinya berbaku-atur bagaimana sebaiknya kebijakan ketenagakerjaan diterapkan. Taruhlah pemerintah mau menerapkan policy ketenagakerjaan yang ketat, tidak ada alasan bagi Freeport untuk mengelaknya. Tinggal pilihannya kemudian adalah : Pertama, sang pemerintah ini mau atau tidak…..? Kedua, tenaga kerja domestiknya siap atau tidak…..? Pilihan yang tidak sulit sebenarnya, asal kedua niat baik itu dapat dijembreng (digelar) dengan lugas dan tuntas, tanpa sluman-slumun-slamet…..

Adalah fakta bahwa yang namanya pertambangan itu ya pasti menggali tanah atau batu karena barang tambangnya berada di dalamnya. Karena mineral bijih tembaga, emas dan perak itu ada nyisip dalam bongkah batuan, maka untuk mengambilnya tentu berarti harus mengambil bongkah batuannya. Sama persis seperti kalau mau mengambil pasir ya harus menggali timbunan pasir. Untuk mengambil batatas (ubi) ya harus menggali akar tanaman batatas (ubi). Untuk mengambil sagu ya harus menebang dan menguliti pohon sagu. Untuk memperoleh batu bata ya harus mengambil endapan tanah lempung di bantaran sungai atau sawah. Yang menjadi masalah adalah kalau mau mengambil ubi tapi mencuri tanaman ubi orang lain, atau mengacak-acak lahan milik orang lain, atau tanah hasil galiannya ditimbun begitu saja di kebun orang lain. Atau penggalian pasir dan pembuatan batu bata itu dilakukan di halaman rumah orang lain tanpa ijin.

Pertanyaannya menjadi : Kalau kemudian dinilai ada yang salah dengan Freeport, apakah semua kerja keras itu akan di-stop atau diberhentikan sekarang juga? Dengan tanpa memperhitungkan rentetan akibat dan dampaknya, baik secara teknis, politis, ekonomis, sosial dan aneka sudut pandang lainnya?. Untuk menjawab pertanyaan ini biarlah menjadi porsi para pakar di bidangnya dan para pengambil keputusan. Lebih baik saya tinggal tidur saja, apalagi barusan sakit gigi yang minta ampun sakitnya……

Namun kalau saya ditanya bisik-bisik (jangan keras-keras lho ya…..), saya akan mengatakan bahwa hanya orang yang lagi esmosi (emosi, maksudnya) dan berpikiran cupet (dangkal) saja yang akan menjawab : “Ya”.

Tapi penambangan Freeport di Papua itu sangat merugikan?. Nah, kalau masalah itu yang dianggap biang keladinya, ya mari dikumpulkan saja semua pihak yang terkait. Pemilik Freeport, pemerintah dan masyarakat yang berkepentingan untuk duduk bersama dengan kepala dan hati dingin, bagaimana merubah yang merugikan itu menjadi menguntungkan semua pihak. Semua kerumitan kemelut itu terjadi sebagai akibat dari adanya sistem peraturan dan pengaturan yang kurang pas yang selama ini telah diberlakukan dan disepakati. Tidak perlu ngeyel atau ngotot-ngototan. Hukum alam mengatakan, bahwa sesuatu itu terjadi pasti karena ada sesuatu yang lain yang tidak pas atau tidak seimbang.

Namun kabar baiknya adalah, selama sesuatu itu masih bernama peraturan (bukan hukum Tuhan), maka pasti merupakan hasil karya manusia. Ya tinggal mengumpulkan manusianya yang membuat peraturan dan kesepakatan itu, untuk kemudian bersepakat merubahnya. Pihak pemerintah memang menjadi juru kunci, maksudnya pihak yang memegang kunci untuk mengurai kemelut di depan gawangnya Freeport. Saya kok sangat yakin, meski sesungguhnya tidak mudah, bahwa banyak cara bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki dan membenahi kekurangan, kekeliruan, ketidakadilan, kerugian, kegagalan, dan hal-hal lainnya, selain pokoknya di-stop saja.

( 5 )

Di sisi lain, kalau kemudian dari fakta-fakta di atas panggung dan di depan layar seperti yang saya kemukakan di atas, ternyata dijumpai ada penari latar yang numpang jingkrak-jingkrak lalu dapat honor gede, ya cancang (ikat) saja kakinya. Dan jika diketemukan indikasi adanya tindak penyelewengan, korupsi, kolusi, nepotisme, kejahatan, dan segala macam hal-hal buruk lainnya, ya bongkarlah dan berantaslah itu. Tangkap penjahatnya, adili dan kenakan sangsi hukuman yang setimpal. Tidak boleh ada kejahatan yang dilindungi atau ditutup-tutupi. Siapapun dia, tidak pandang bulu, kulit, rambut, warna atau baunya dari pihak manapun. Begitu saja kok freeport…..

Jangan karena ada fakta-fakta yang buruk atau tidak menguntungkan, lalu fakta-fakta yang baik dan menguntungkan malah dikorbankan. Sementara untuk meraih fakta-fakta yang baik dan menguntungkan itu diperlukan usaha dan waktu yang tidak sedikit dan tidak mudah.

Hanya masalahnya, ya jangan hanya pintar membongkar, setelah itu dibiarkan saja tidak dipasang lagi. Inilah yang membuat saya nglangut…… Kita cenderung suka mbongkar-mbongkar, mengacak-acak, mengobrak-abrik, setelah itu tidak bisa memperbaiki, menata ulang dan membenahinya menjadi lebih baik.

(Semalam saya bermimpi menjadi pemilik Freeport, lalu saya berpidato di depan khalayak. Begini pidato saya : “Wahai segenap karyawan Freeport, masyarakat Papua, pejabat pemerintah Indonesia, yang sangat saya cintai dan hormati. Sebagai seorang pengusaha tulen, maka saya akan mencari dan menggarap setiap peluang guna meraih keuntungan sebuuuanyak-buuuanyaknya, dengan tetap menjunjung tinggi peraturan dan kesepakatan yang pernah saya tandatangani……..”. Ketika kemudian saya terbangun, saya celatu : “Apa ya saya salah kalau punya pikiran seperti itu…..?”)

Madurejo, Sleman — 13 Maret 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (14)

18 Desember 2007

Seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat, baik yang berasal dari kota Jogja sendiri maupun dari luar Jogja, posko-posko bencana gempa Jogja bermunculan di berbagai penjuru kota. Mereka mengkoordinasi berbagai bantuan yang berhasil diterima dan dikumpulkan, lalu menyalurkannya langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di berbagai titik lokasi korban gempa. Langsung kepada para korban. Entah mengapa mereka umumnya tidak mau menyerahkannya melalui posko-posko yang dibangun pemerintah, melainkan memilih untuk menyalurkannya sendiri. Berbaik-sangka sajalah, barangkali agar bisa turut merasakan langsung seperti apa beban derita mereka yang menjadi korban.

Teman-teman saya yang mantan pegawai Freeport, Papua, juga membentuk posko peduli gempa Jogja. Segenap rekan dan sesama mantan pegawai Freeport yang tinggal di luar Jogja lalu dihubungi, barangkali berniat menyampaikan sekedar bantuan, maka posko peduli gempa siap membantu menyalurkannya. Tidak terkecuali segenap rekan yang masih aktif bekerja di Papua juga menggalang dana.

Akhirnya terkumpullah sejumlah dana yang segera dibelikan nasi bungkus, sembako, susu, tenda, selimut, peralatan masak, dsb. Semua didistribusikan sebagai tindakan tanggap darurat bagi korban gempa, ke seganap penjuru wilayah Jogja, Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Mulai dari pembagian nasi bungkus ke rumah sakit-rumah sakit hingga bantuan sembako ke pelosok desa. Sebagian di antaranya adalah keluarga karyawan Freeport yang rumahnya roboh atau rusak berat. Kini, posko peduli gempa siap-siap memasuki tahap rekonstruksi atau rehabilitasi. Sejumlah dana yang masih digalang di Papua akan segera menyusul untuk disalurkan.

Hari Rabu yang lalu, sejumlah paket bantuan logistik yang masih tersisa di posko saya bawa ke lokasi yang termasuk terpencil, yang selama dua minggu ini masih seret bantuan (saya menyukai urusan yang sulit-sulit seperti ini…). Berombongan bersama beberapa teman, saya kembali membawa rombongan menuju ke desa Terong, kecamatan Dlingo, Bantul. Ini adalah wilayah Bantul di pinggir timur laut yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Melalui jalan Wonosari yang mendaki, sampai di Patuk membelok ke barat ke arah Dlingo. Menyusuri pinggiran terbuka sisi barat laut bukit Patuk ini berpemandangan indah, apalagi saat senja hari, seperti yang saya alami hari Sabtu sebelumnya. Memandang ke arah barat daya, terbentang kota Yogyakarta dan sekitarnya terlihat dari ketinggian. Sesampai di sekitar kilometer enam lalu berbelok ke selatan menuruni bukit Patuk.

Lokasinya berdekatan dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun beda pedukuhan dan beda kampung. Kami lalu menuju ke dukuh Joho, melalui jalan desa berupa tanah berbatu, naik dan turun perbukitan, membelah kawasan tegalan atau ladang penduduk sampai mentok ke ujung pedukuhan. Sebelumnya daerah ini sulit dijangkau karena satu-satunya jalan penghubung dengan jalan besar tertutup longsoran. Dari sekitar 450 jiwa warganya banyak mengalami cedera, tidak ada korban meninggal dunia. Namun tidak perlu ditanyakan lagi jumlah rumah yang roboh, semua penduduknya kini tinggal di bawah tenda seadanya.

Dengan masih adanya gempa-gempa susulan yang sangat terasa di daerah ini, hingga minggu ketiga pasca gempa mereka belum cukup punya nyali untuk mulai membenahi rumahnya yang berantakan. Malah ada yang terpaksa tinggal bersama sapi-sapinya, karena rupanya konstruksi kandang sapi lebih aman terhadap potensi roboh oleh gempa. Ya…, tinggal di kandang sapi, akrab berbagi tempat bersama sapi-sapinya.

Karena lokasinya yang tidak mudah dicapai, boro-boro terlihat dari jalan besar, maka tidak banyak bantuan yang sampai ke dukuh ini, kecuali memperoleh cipratan bantuan dari pemerintah pedukuhan atau RT lain. Menurut catatan petugas posko di sini, hanya ada sedikit bantuan yang masuk, dua atau tiga kali diantaranya berupa bantuan agak banyak yang pernah mereka terima. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan yang mudah dicapai, puluhan paket bantuan pasti sudah mereka terima sejak gempa terjadi 27 Mei yang lalu.

Namun mereka toh tidak nggrundel, mengeluh atau protes. Ya memang begitulah adanya. Yang penting masih bisa terpenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui dapur umum. Anak-anak mereka pun masih bisa pergi ke sekolah. Bal-balan Piala Dunia juga masih dapat mereka saksikan. Beruntung, kalau malam listrik sudah nyala untuk beberapa jam lamanya.

Dari dukuh Joho kami menuju dukuh Pencitrejo, pedukuhan yang sama dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun kini kami menuju ke wilayah RT berbeda. Pembagian administratif di pedesaan ini memang rada membingungkan kalau belum familiar. Saya pun susah mengingatnya. Ada desa, lalu ada dukuh, lalu ada lagi dusun (terkadang disebut RW). Dalam satu dusun bisa terdiri dari banyak RT.

Nasib korban gempa di Pencitrejo RT 03 ini tidak beda jauh dengan warga Joho. Lokasinya tidak mudah diakses dari jalan besar. Sekitar 70 jiwa warganya masih tidur di tenda-tenda. Dapat dikatakan semua rumahnya roboh. Beberapa warga ada yang sudah berani mulai bersih-bersih rumah. Ya bersih-bersih saja, wong rumahnya roboh dan tidak bisa ditempati. Sebagian di antara rumah-rumah mereka berada di lereng, dimana banyak tanah yang merekah dan batu-batu besar menggelinding dari tempatnya semula saat gempa terjadi.

Dalam perjalanan pulang dari Pencitrejo, saya ketemu dengan petani yang sedang memanen singkong. Rasanya senang sekali memandangnya. Hasil panenannya ditimbun di tepi jalan desa yang hanya pas selebar kendaraan. Saya tergoda untuk berhenti, lalu akhirnya kepingin membeli sekadarnya. Saya sodorkan selembar uang lima ribuan. Rupanya malah ditukar dengan sekantong singkong banyak sekali. Lumayan untuk dibuat balok (singkong goreng) bekal ronda malamnya. Namanya juga tinggal di kampung.

***

Sejauh ini, tindakan tanggap darurat baik yang digerakkan oleh pemerintah maupun oleh spontanitas lembaga swadaya maupun individu masyarakat telah terbangun dengan baik sekali. Praktis semua lini pertahanan hidup dapat dikelola dengan sinergi yang manis. Semua pihak bahu-membahu membangun solidaritas sosial lintas batas. Para korban gempa yang rumahnya luluh-lantak pun tidak merasa sendirian. Banyak pihak merasa perduli untuk berbagi penderitaan, berbagi suka-duka dan berbagi nikmat.

Mereka para korban gempa mulai dapat tidur nyenyak di tenda-tenda darurat, sambil bermimpi kapan janji Pak De Jusuf Kalla yang hendak menabur bantuan Rp 10 juta hingga Rp 30 juta segera turun dari langit Jogja yang sesekali kelabu kecipratan abu Merapi. Listrik mulai mengalir dan hajatan bal-balan di Jerman pun dapat mengisi hari-hari malam dingin mereka. Beras berkarung-karung berlabel Bulog juga mulai berdatangan ke posko-posko bencana yang ada di hampir setiap pedukuhan. Petugas pemerintah yang akan membagikan uang lauk-pauk sebesar Rp 3.000,- per jiwa per hari dan tunjangan hidup Rp 100.000,- per bulan juga mulai sibuk mendata warganya, ada yang sudah mulai menerimanya, sebagian lainnya masih H2C (harap-harap cemas).

Maka kemudian muncul pertanyaan sederhana : Sampai kapankah mereka akan mampu bertahan dalam kondisi seperti itu? Sebab kini relawan domestik maupun mancanegara berangsur-angsur sudah mulai hengkang kembali ke kehidupannya masing-masing. Bantuan logistik tentu akan tiba saatnya menyurut. Orang-orang yang selama ini sangat perduli untuk berbagi tentu akan habis juga apa yang dapat dibaginya. Piala Dunia pun akan mencapai finalnya.

Akan tiba saatnya mereka para korban gempa kembali sendirian. Sendiri dengan problem keluarganya. Sendiri dengan rumahnya yang belum ada gantinya. Sendiri dengan anak-anaknya yang segera masuk sekolah. Sendiri dengan tunjangan hidup yang terbatas. Sendiri dan dheleg-dheleg, apakah masih mampu bekerja dengan upah mencukupi. Orang-orang yang semula sangat antusias dengan kepeduliannya, lalu entah pada kemana. Pemerintah yang semula mati-matian mengurusi mereka, mulai sibuk dengan urusan kantor yang sekian lama “terbengkelai”.

Tahap rekonstruksi atau rehabilitasi atau entah program apa lagi namanya memang segera dimulai. Tapi ada sekian ribu rumah, sekian ribu jiwa, sekian ribu derita, lengkap dengan sekian ribu persoalannya, harus ditangani. Sungguh pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah atau siapa saja.

Kerawanan sosial baru harusnya sudah mulai diantisipasi. Belum lagi kerawanan individual. Individu yang suka bersemangat lebih, seperti semangat mengumpulkan dana bantuan yang lebih, beras lebih, selimut lebih, mie instan lebih, susu lebih, tenda lebih, alat masak lebih dan kelebihan-kelebihan (kalau perlu, ya dilebih-lebihkan) lainnya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

(31) Ketika Seorang Geolog Menemukan Lokasi Singkapan

13 Desember 2007

Tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy melakukan piknik petualangan ke tanah Papua bersama teman-temannya. Sampailah Dozy dan teman-temannya di suatu tempat yang sangat tinggi, terjal dan dingin, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Dari penemuan lokasi singkapan itu kemudian mengantarkannya pada ditemukannya “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda pada tahun 1939.

Laporan itu mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua untuk mempelajari lebih jauh tentang hasil temuan Dozy. Forbes pun terpesona dan meyakini bahwa cadangan mineral Ertsberg akan menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Singkat cerita, Freeport Minerals Company yang kini bernama PT Freeport Indonesia, pada bulan April 1967 menerima Kontrak Karya pertama yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia. Maka pada bulan Desember 1967, Freeport memulai kegiatan eksplorasi untuk mendefinisikan lebih detil tentang potensi yang dikandung di balik singkapan yang telah diketemukan di Ertsberg. Konstruksi besar-besaran segera dimulai pada tahun 1970, dan ekspor produksi perdana konsentrat tembaga dilakukan pada akhir 1972. Tidak berhenti di situ, singkapan-singkapan baru pun diketemukan oleh para geolog di kompleks sekitar Ertsberg, termasuk hingga diketemukannya cadangan kelas dunia Grasberg pada tahun 1988. Maka kini PT Freeport Indonesia mengoperasikan salah satu proyek tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.

Kisah di atas hanyalah sekedar ilustrasi, ketika seorang geolog bekerja mencari singkapan batuan yang kemudian menjadi awal bagi aktiftas industri yang bernilai jutaan dollar. Jangankan cuma tempatnya yang sulit, kalau perlu sampai ke atap duniapun mereka lincah mencari dan menemukan lokasi singkapan batuan (outcrops) yang mengandung mineral berharga, lalu diuthek-uthek (diselidiki lebih mendalam) untuk memastikan adanya potensi cadangan yang ekonomis untuk ditambang.

***

Beberapa waktu yang lalu saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di sela jeda acara seminar. (Meski sudah repot ngurusi warung, tapi masih sempat hadir di acara seminar pertambangan, mbayar lagi….. Sekilas tidak ada hubungannya. Saya akan ditertawakan orang kalau saya katakan bahwa saya sedang menggali opportunity. Kepada seorang dosen Tambang saya katakan, sesial-sialnya, “Madurejo Swalayan” masih bisa berbisnis tambang plastik atau rafia…..). Seorang teman berkata kepada saya, katanya dia punya sebidang tanah di tepi jalan dan kepingin memanfaatkannya untuk usaha toko. Tapi menurutnya lokasinya kurang strategis untuk membuka usaha toko swalayan. “Enaknya gimana, ya…?”, katanya.

Sebelum saya sempat berkomentar, teman saya ini malah sudah lebih dahulu mengemukakan pendapatnya, bahwa katanya dalam dunia bisnis ritel itu dikenal ada ungkapan mengatakan : “Yang penting dalam bisnis ritel adalah pertama, lokasi; kedua, lokasi; ketiga, lokasi”. Oleh karena itu dia agak gusar, punya lokasi untuk toko kok ya kurang strategis.

Sebagai “anak bawang” yang masih hijau dalam dunia persilatan bisnis ritel, saya kok kurang sreg dengan pendapat tentang “lokasi pangkat tiga” itu. Diarani keminter, yo ben…….. (dibilang sok tahu, ya biarin…..). Rasa-rasanya ungkapan itu bisa menyesatkan kalau ditelan begitu saja tanpa ada penjelasannya. Ungkapan itu hanya cocok bagi : Pertama, kondisi yang sangat ideal; Kedua, masih dalam tahapan niat membuka toko ritel; Ketiga, punya modal lebih. Artinya, kalau Anda bercita-cita membuka toko swalayan, Anda belum memiliki lokasi, dan Anda punya cukup uang untuk membeli lokasi, maka ikutilah paham “lokasi pangkat tiga” itu.

Lha, tapi kalau Anda sudah memiliki sebidang tanah meski lokasinya kurang strategis, lalu punya niat menggebu-gebu membuka toko swalayan, sedangkan modal yang tersedia pas-pasan; apa iya harus mencari pinjaman ke Koperasi untuk membeli tanah di lokasi baru? Atau, tanahnya dijual dulu baru kemudian membeli lokasi lain yang lebih strategis, yang pasti akan lebih mahal dari harga jual tanahnya? Atau, tidak jadi buka toko saja daripada nanti tidak laku? Sebaiknya bersabar dulu…… ., jangan sampai fanatisme terhadap paham “lokasi pangkat tiga” menghalangi niat untuk membuka usaha toko ritel.

Maka sebaiknya teman saya itu tidak bertanya kepada pakar manajemen ritel. Tapi bertanyalah kepada seorang geolog, atau setidak-tidaknya bertanya kepada seseorang yang pernah ikut kuliah Geologi Dasar, dan lulus. Maka jawabnya……, segera bangun dan bukalah toko swalayan di sana dan perlakukan toko itu layaknya sebuah lokasi dimana ditemukan singkapan geologi (outcrops).

Lokasi memang sangat penting. Tapi kalau demi lokasi yang ideal, lalu teman saya yang sudah punya sebidang tanah itu mesti beli tanah lagi di lokasi lain sementara modal yang dimilikinya pas-pasan, atau malahan batal buka toko, rasanya menjadi tidak masuk akal. Prinsip yang kemudian harus dijadikan pegangan adalah, kalau tidak mampu memperoleh kondisi ideal 100%, ambillah yang kurang ideal itu. Kemudian tangani kekurangannya. Enteng sekali kedengarannya….

Dari sudut pandang lokasi, “Madurejo Swalayan” sebenarnya kurang strategis. Wong letaknya dikelilingi areal persawahan meskipun di pinggir jalan raya, agak jauh dari kawasan perkampungan. Lha, tapi memang punya tanahnya di situ……. Jadi ya resikonya mesti kerja lebih keras, bagaimana menambal kekurangidealan lokasi dan menutupnya dengan opportunity atau peluang lain.

Secara “geologis”, bagaimana memperlakukan “Madurejo Swalayan” sebagai sebuah singkapan batuan (outcrops) yang mengandung mineral berharga, sehingga membangkitkan rasa penasaran para “geolog” untuk menggali lebih dalam untuk mengetahui potensi yang sebenarnya. Menurut bahasa kesusastraan, bagaimana menanam bunga nan cantik nan menawan agar kumbang berdatangan untuk menghisap madunya. Secara ilmu manajemen, melakukan analisis SWOT (Strengths – Weaknesses – Opportunities – Threats), untuk memahami kelemahannya (weaknesses), lalu menggali dan mendayagunakan peluang yang dimilikinya (opportunities).

Tapi ya nyuwun sewu….., mungkin ada yang akan berpikir sama seperti teman saya yang lain : “Ngurusi warung cilik ning ndeso wae kok koyo mikir negoro…….” (Mengurus warung kecil di desa saja kok seperti memikir negara). Teman saya itu tentu sedang guyon, dan barangkali guyonannya benar. Tapi yen tak pikir-pikir….., itu jauh lebih baik daripada ngurus negara seperti ngurus warung.

Di balik guyonan itu, gagasan yang tumbuh di pikiran saya sebenarnya konservatif saja : Kalau warung itu saya perlakukan sebagai sebuah warung kecil, maka dikapakno-kapak (biar diapa-apakan juga) ya benar-benar akan tetap menjadi sebuah warung kecil. Tapi kalau warung itu saya perlakukan sebagai sebuah korporasi besar, maka Insya Allah …. Gusti Kang Murbaing Dumadi bakal ngijabahi (Tuhan Yang Maha Kuasa akan merestuinya).

Untuk hal yang terakhir itu rasanya lebih masuk akal, dari sudut pandang sains juga. Kalau ada aksi usaha, pasti akan muncul reaksi hasil. Kalau usahanya positif, maka hasilnya juga positif, kecuali ada “intervensi” aksi negatif yang lebih besar. Perencanaan strategis melalui pendekatan SWOT sederhana, akan sangat membantu guna memprediksi dan melakukan langkah antisipatif jika hal yang terakhir itu terjadi.

Madurejo, Sleman – 6 Januari 2006
Yusuf Iskandar