Archive for the ‘(36) Kisah Tentang Sayur Asem’ Category

(36) Kisah Tentang Sayur Asem

13 Desember 2007

Sekali waktu saya mengadakan briefing khusus bagi Pengawas dan CFO “Madurejo Swalayan”. Setelah usaha ritel ini berjalan beberapa bulan, saya menangkap sinyal agaknya kedua staf saya ini agak keteteran mengikuti irama kerja CEO-nya. Sehingga terkadang menjadi kurang fokus pada hal-hal yang semestinya diutamakan.

Saya tidak maido (menyalahkan). Barangkali langkah saya terlalu cepat atau terlalu jauh ke depan, sehingga kedua staf saya tertinggal, masih tertambat pada visi toko tradisional. Atau, jangan-jangan memang saya yang terlalu reseh dengan gagasan-gagasan “aneh” yang nampaknya seperti “kok repot amat, sih…….”. 

Bagaimana sinyalnya? Tampak dalam cara kerja penganut aliran “Just Do It” (pokoknya lakukan saja dulu), kurang mengandalkan pola kerja yang analitis-strategis, terlalu terfokus pada hal-hal yang tampak di depan layar saja. Bisnis itu ya cari untung, maka yang penting dagangan laku dan meraih keuntungan, demikian kira-kira prinsipnya. Dalam jangka pendek, tidak ada yang salah dengan hal ini. Tapi dalam jangka panjang, jika gagal melihat visi jauh ke depan, maka bisa keteteran ketika muncul pesaing yang lebih canggih dalam hal prasarana dan SDM-nya. 

Kalau hanya sekedar jualan saja, siapapun bisa melakukannya kalau mau. Apa sih susahnya kulakan, lalu ditambah sedikit keuntungan, lalu dijual kembali. Kalau tujuannya adalah asal meraih keuntungan cukup, maka asal sabar, telaten dan ulet, pasti keuntungan akan dapat diraih. Lain ceritanya kalau targetnya adalah meraih keuntungan banyak, cepat dan berkelanjutan terus meningkat, maka harus jangan pernah berhenti berpikir, harus tahan banting dan mampu survive di segala macam cuaca. 

*** 

Paling enak jadi orang Sunda, kasih sambal lalu lepas di kebun, sudah hidup dia. Itulah lelucon yang sempat ngetop bersama ngetopnya kelompok Warkop di penghujung tahun 70-an. Sampai sekarang pun guyonan itu masih suka kita dengar.  Yang disebut hidup dalam guyonan itu tentunya hidup seadanya, tanpa memperdulikan yang dimakan pakai sambal itu enak apa enggak, banyak atau sedikit, setelah dimakan pun tubuhnya jadi sehat ataukah sakit-sakitan. Berbeda halnya kalau yang dikatakan hidup itu adalah hidup harus dengan makan enak dan banyak, bergizi tinggi dan tubuh pun jadi sehat dan kuat, maka tentu tidak bisa untuk dilepas di sembarang kebun begitu saja. Harus ada kondisi tertentu yang dipenuhi. Bisa jadi kebunnya harus diurus yang benar dulu agar hasilnya layak untuk dimakan pakai sambal agar selalu sehat dan lezat.     Saya gunakan cerita di atas untuk memberi ilustrasi tentang angan-angan saya bagaimana seharusnya mengelola mracangan “Madurejo Swalayan” ini. Kalau hanya membeli barang kemudian ditambah sedikit keuntungan lalu barang dilepas di pasar, apa susahnya? Terserah pasar mau membelinya atau tidak, kalau membeli sedikit ya alhamdulillah, kalau membeli banyak ya puji Tuhan-walhamdulillah.  Biarkan pasar berperilaku sebagaimana adanya. Lalu bisnis pun berjalan mengikuti irama pasar, terkadang klasik, sekali waktu cadas, tiba-tiba ndang ndut, kali lain klenengan. Kalau ternyata pasar kurang berminat dengan jenis barang itu, ya lain kali jangan dikulak melainkan diganti dengan barang jenis lain. Kalau ternyata kurang laku atau pasar sedang lesu, ya sedikit bersabarlah asal tidak patah semangat. Kalau ternyata stok barang di toko habis dan persediaan stok di pasar menghilang, ya sudah, tunggu saja sampai ada pengiriman lagi. Pokoknya lakukan saja dengan sabar dan telaten seperti biasanya. Sungguh, tidak ada yang salah dengan semua ini.       

Persoalan mulai timbul, ketika CEO “Madurejo Swalayan” ini kelewat reseh. Jangan biarkan pasar mempengaruhi apalagi mengatur bisnis kita. Pasarlah yang seharusnya mengikuti irama bisnis kita. Kalau ternyata pasar kurang berminat dengan jenis barang yang kita jual, cari penyebabnya dan jalan keluarnya. Kalau ternyata barang dagangan kurang laku, cari terobosan apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Kalau ternyata pasar sedang lesu, cari peluang bagaimana agar bergairah kembali.  

Intinya, pasti ada sesuatu yang dapat dilakukan. Tidak selalu berarti melawan arus pasar atau menentang hukum pasar. Melainkan giringlah pasar agar mengikuti irama bisnis yang kita inginkan. Toh ini bukan bisnis komoditas vital atau strategis seperti minyak atau emas. Ini hanya bisnis komoditas urusan keseharian tentang sarapan pagi, minum teh di sore hari, mencuci piring dan pakaian, mandi dan gosok gigi, menyusui bayi atau balita, ngemil di malam hari, mengobati kepala nyut-nyutan atau menghibur anak-anak agar tidak nongas-nangis. Tidak terpengaruh oleh situasi politik internasional, ekonomi global, atau urusan lintas benua yang serba sulit dipahami. Sedang yang terakhir itupun masih ada pihak yang bisa mengobok-obok. Artinya, dalam bisnis ritel ini perilaku pasar bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. 

Kalau hanya sekedar bisa hidup, ya kasih barang dagangan lalu lepas di pasar, maka hiduplah bisnis kita. Tapi kalau ingin keuntungan lebih banyak, lebih cepat dan meningkat terus, ya pasarnya diurus dulu dengan baik. Agar pasar tidak mengatur keuntungan kita, tapi kitalah yang mengatur pasar agar memberi keuntungan yang kita maui.  

***   

Di rumah (ini sebenarnya rahasia keluarga, tapi biarlah saya bocorkan sedikit), saya pernah pethenthengan dengan istri. Gara-garanya sepele, hanya soal bikin sayur asem kegemaran saya. Istri saya ini (belakangan saya KKN dengan mengangkatnya menjadi Chief Financial Officer “Madurejo Swalayan”) selalu bertahan dengan visi tradisionalnya soal masak-memasak, kalau yang namanya sayur asem itu harus selalu ada godong so (daun melinjo), kacang tanah, kacang panjang, jipang (labu siam), asam dan bumbu-bumbu standar lainnya. Jadi kalau kemudian tidak punya daun melinjo, kacang panjang atau labu siam, ya tidak jadi bikin sayur asem. Rak yo asem tenan to kuwi……(sial benar jadinya). 

Saya sarankan agar diganti saja campurannya dengan cabe besar hijau, gori (nangka muda), jantung (bunga pisang), kluwih plus beton bijihnya, atau rebung (pucuk bambu), tetap saja ogah-ogahan. Sekali waktu saya minta dicoba memodifikasi bumbunya, cabe dan bawangnya dibanyakin misalnya. Ya, tetap saja keukeuh malas melakukannya. Saya yakinkan bahwa mencoba yang seperti itu sama sekali tidak mengandung resiko yang fatal. Resiko paling jelek yang harus ditanggung adalah rasanya jadi tidak enak dan diprotes anak-anak lalu tidak ada yang mau makan. Kalau pun itu yang terjadi, ya cukup sekali itu saja dan lain kali tidak usah diulangi. Mudah saja. Ini kan uji coba yang resikonya sangat minimal tapi potensi keberhasilannya maksimal.  

Tapi begitulah. Tidak pernah terpikir untuk mencoba yang berbeda, takut mengambil resiko. Semua sudah terprogram secara tradisi dalam kemasan kotak yang run-temurrun. Akibatnya jadi tidak pernah tahu bahwa di luar kotak masih ada menu yang jauh lebih huuuenak dan luuuezat. 

Moral kisahnya adalah : Jangan biarkan diri kita terkungkung dalam kotak, dalam stereotip perilaku business as usual. Masih banyak ruang gerak untuk jungkir-balik atau pecicilan di luar kotak. Cari dan temukan terobosan yang resikonya minimal tapi potensi hasilnya maksimal.  

Terus terang saja, saya sendiri belum tahu apakah saya bisa melakukannya. Saya juga tidak tahu apakah kami akan berhasil dengan hal-hal “aneh” semacam ini. Saya lebih tidak tahu lagi apakah ke-reseh-an saya kepada anggota tim di “Madurejo Swalayan” ini akan efektif dan efisien. Tapi saya tahu persis, bahwa hanya ada satu cara untuk menyongsong era penuh kompetisi ini dan bahwa perlu punya visi yang meloncat jauh ke depan, yaitu : “Go…! Go…! Out of the box……. !”. Ayo, kita keluar dari kotak!  

 

Madurejo, Sleman – 11 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar