Archive for the ‘Ke Tembagapura’ Category

Sharing Pengalaman Bisnis Di Tembagapura

27 Mei 2009

Berikut ini catatan-catatan pendek kegiatan berbagi pengalaman bisnis ketika berada di kota tambang Tembagapura, Mimika, Papua, yang sempat saya posting di Facebook (saya tulis ulang dengan penyempurnaan penulisannya agar lebih enak dibaca).

Yusuf Iskandar

———-

Lebih Cepat Lebih Baik

Ada teman nggrundel : “Bagaimana memulai berwirausaha ya…?”. Maka ajakan saya mengutip jargon : THINK BIG, lalu START SMALL, lalu ACT NOW… Kalau baru MAU ACT, di dunia ini banyak rombongannya. Tapi kalau ACT NOW – Lebih Cepat Lebih Baik….., nah ini perlu jurus dewa rada mabuk, lalu nggeblak tidur dulu, ketika bangun tahu-tahu usahanya sudah berdiri….. Teman saya misuh-misuh lalu ngabur…..

Tembagapura, 26 Mei 2009

—–

Sharing Bisnis Di Masjid

IMG_2363_r2Malam ini saya diminta sharing pengalaman perbisnisan di depan jama’ah masjid Darussa’adah Tembagapura.

Pertanyaannya : Bagaimana kiat menjadi karyawan tapi sekaligus juga menjadi pengusaha sukses? Jawaban saya singkat : “Tidak Mungkin”. Sebab yang kemudian akan terjadi adalah korupsi, minimal korupsi waktu dan fasilitas (di depan jamaah masjid tea….). Yang mungkin dilakukan adalah menjadi karyawan tetapi sambil belajar membangun bisnis. Setelah bisnis mulai berkembang, monggo milih : mbisnis sambilan, jadi koruptor atau resign

(Waduh…. Sebab ya memang tidak ada menjadi pengusaha sukses kok juga menjadi karyawan di tempat lain. Tapi kalau sekedar bisnis sambilan, bisa. Mempercayakan bisnis ke orang lain, juga bisa. Tapi pasti hasilnya tidak maksimal… Jadi? Selagi jadi karyawan, mulailah sekarang juga untuk belajar berbisnis….. Setelah itu? Monggo milih itu tadi….)

Tembagapura, 23 Mei 2009

IMG_2356_rIMG_2367_r

Improvisasi Itu (Terkadang) Perlu

5 April 2009

Dalam perjalanan pulang dari Tembagapura, Papua, saya menyempatkan untuk menginap semalam di Timika. Saya menginap di Base Camp yang merupakan salah satu fasilitas dan berada di dalam kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tentu saja gratis. Base Camp ini lokasinya dekat dengan bandara Mozes Kilangin yang berjarak sekitar 3 km dari pusat kota Timika, ibukota kabupaten Mimika.

Tujuan saya menginap semalam di Timika adalah ingin mampir ke warung seafood “Surabaya” sekedar melepas kangen menikmati karakah (kepiting) Timika. Terakhir kali saya mampir ke sana sekiar lima tahun yang lalu. Karena Base Camp ini lokasinya berada di dalam kawasan pertambangan, maka tidak terjangkau oleh angkutan umum yang oleh masyarakat setempat disebut taksi. Sedang kendaraan milik perusahaan tidak diijinkan keluar dari kawasan pertambangan, kecuali yang sudah dilengkapi dengan plat nomor polisi, berkepala “DS” jika terdaftar di kabupaten Mimika.

Kalau mau sewa mobil plat hitam alias taksi gelap yang memang sudah lazim digunakan, ongkosnya sekitar Rp 40.000,- per jam. Menimbang saya hanya seorang diri, akhirnya memilih naik ojek saja. Di Timika ada ribuan ojek berseliweran setiap saat. Moda angkutan ini menjadi alternatif paling praktis, mudah dan murah tapi tidak meriah (lha wong sendirian…), plus agak deg-degan karena biasanya tukang ojeknya suka ngebut. Kalau tidak suka mbonceng ojek, sepeda motornya disewa juga boleh. Per jam ongkos sewanya Rp 20.000,- dan malah bisa ngebut sendiri…. Saking banyaknya ojek di Timika, sampai-sampai tidak mudah membedakan mana pengendara sepeda motor biasa dan mana tukang ojek.

***

Kota Timika yang ketika siangnya begitu panas, malam itu agak kepyur (bahasa Jawa untuk turun titik-titik air dari langit, lebih rintik dibanding rintik hujan). Berbalut selembar jaket, segera saya nyingklak mbonceng tukang ojek dan mengomandonya untuk menuju ke warung seafood “Surabaya”. Ongkos ojek dari Base Camp, sama juga kalau dari bandara, menuju kota Timika adalah Rp 7.000,- sekali jalan. Angka nominal yang sebenarnya nanggung, tapi ya begitulah…. Semua pihak sudah saling paham bahwa ongkos normalnya memang segitu.

Sampai di tujuan, segera saya keluarkan tiga lembar uang kertas dan saya bayarkan ke tukang ojek. Semula uang itu diterima begitu saja oleh tukang ojeknya dan segera hendak berlalu tancap gas. Tapi tiba-tiba tukang ojek itu agak ragu, lalu dilihatnya kembali uang pemberian saya tadi di bawah temaram lampu jalan yang tidak terlalu terang. Agaknya dia kurang yakin dengan penglihatannya. Sebab jika membayar uang pas dengan tiga lembar uang kertas, biasanya terdiri dari selembar berwarna kecoklatan dan dua lembar berwarna kebiruan, sehingga totalnya Rp 7.000,-. Tapi ini ketiganya kok warna coklat semua, jangan-jangan uangnya bercampur daun kering. Setelah yakin yang diterimanya tiga lembar uang lima-ribuan, segera pak tukang ojek itu tancap gas tanpa sempat berterima kasih. Mungkin khawatir keburu penumpangnya menyadari “kekeliruan” jumlah pembayarannya.

Malamnya saya kembali menggunakan jasa ojek menuju Base Camp. Cukup dengan berdiri di pinggir jalan saja. Sebab saya pun sebenarnya juga ragu mau nyetop ojek, jangan-jangan bukan tukang ojek yang saya panggil. Akhirnya salah satu dari tukang ojek yang berseliweran memberi kode dengan membunyikan klakson yang maksudnya : “Naik ojek, pak?”. Saya cukup membalasnya dengan melambaikan tangan di pinggir jalan yang agak terang.

Sesampai di Base Camp segera saya sodorkan selembar uang sepuluh-ribuan. Tukang ojek itu pun dengan gesit mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya untuk mengambil tiga lembar uang seribuan sebagai uang kembalian. Kali ini saya hanya berkata pendek : “Kembaliannya untuk bapak saja…”. Kalimat pendek itu rupanya mengawali percakapan saya dengan tukang ojek yang rupanya perantau dari Lamongan, Jatim, dan baru 3 bulan ngojek di Timika, selama beberapa menit di depan gerbang Base Camp. Sampai seorang petugas Satpam Base Camp menghampiri saya karena dikira saya yang adalah seorang tamunya sedang ada masalah dengan tukang ojek. Apresiasi saya berikan untuk sikap tanggap seorang Satpam.

***

Apa yang saya lakukan dengan membayar lebih dari yang semestinya kepada seseorang? Tidak lebih karena sekedar saya ingin melakukan sedikit improvisasi dalam bertransaksi bisnis. Sebagai pembeli jasa ojek, saya ingin memberi sedikit “surprise” yang menyenangkan kepada partner bisnis saya yang adalah penjual jasa ojek. Improvisasi yang berjalan begitu saja, tanpa skenario, tanpa rekayasa. Besar-kecilnya atau banyak-sedikitnya, bukan itu soalnya. Terpuji-tidaknya atau berpahala-tidaknya, juga bukan itu substansinya.

Sekali waktu ketika di Jogja saya membayar parkir di Jl. Solo. Saat membayar ongkos parkirnya saya sodorkan uang Rp 3.000,- dari semestinya hanya Rp 1.500,-, sambil saya pesan kepada tukang parkirnya : “Tolong yang seribu lima ratus untuk ongkos parkir mobil di sebelah kanan saya ya, pak…”. “Nggih, pak…”, jawab tukang parkir. Saya tidak tahu siapa pengemudi mobil yang parkir di sebelah kanan saya. Saya juga tidak tahu apakah tukang parkir itu benar-benar menjalankan pesan saya. Tapi saya hanya sekedar ingin berimprovisasi dalam bertransaksi. Apakah itu baik atau buruk, bukan itu yang ada di pikiran saya.

Beberapa tahun yang lalu saat melewati jalan tol di Semarang yang ongkosnya hanya Rp 500,- sekali lewat, saya sodorkan selembar uang seribuan disertai pesan kepada penjual tiket tol : “Sisanya untuk mobil di belakang saya ya…”.

Ya, sekali waktu improvisasi itu perlu. Bukan untuk sok-sokan, bukan juga untuk wah-wahan, melainkan agar irama hidup ini tidak membosankan. Perlu ada “surprise-surprise” kecil mengisi di antaranya. Toh, belum tentu hal itu terjadi sebulan sekali. Setahun sekali pun terkadang tidak sempat terpikir. Termasuk juga dalam berbisnis, improvisasi itu (terkadang) perlu. Kalau boleh kejadian itu disebut dalam rangka melaksanakan “bisnis memberi”, entah sebagai penjual atau pembeli. Semoga saja Alam Jagat Raya ini akan mencatatnya sebagai tabungan di rekening liar (yang digaransi tidak akan terendus KPK) yang suatu saat nanti akan cair dengan sendirinya pada waktu dan tempat yang pasti tepat.

Yogyakarta, 5 April 2009
Yusuf Iskandar

Ke Papua Menunaikan ”Bisnis Memberi”

3 April 2009

img_2070_r

Mohon maaf, blog ini saya tinggalkan selama tiga minggu karena pergi ke Papua tanpa pamit. Semula saya pikir saya akan mudah mengakses internet di sana. Tapi rupanya saya mengalami beberapa kendala non-teknis yang menyebabkan saya tidak bisa meng-update blog Catatan Dari Madurejo ini, praktis selama sebulan.

Tepatnya, dari tanggal 10-31 Maret 2009 saya jalan-jalan ke Papua, tepatnya ke kota Tembagapura dan Timika. Perjalanan ini terlaksana atas undangan teman-teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang tembaga dan emas. Ini mirip-mirip perjalanan nosalgia, karena saya pernah bekerja di sana selama periode tahun 1995 hingga 2004.

Selama berada di Tembagapura dan sekitarnya yang lokasinya berada naik-turun di ketinggian antara 2000 – 2400 m di atas permukaan laut, saya mengalami keterbatasan mengakses internet. Fasilitas internet milik perusahaan sangat terbatas. Sementara fasilitas internet yang selama ini saya gunakan, yaitu IM2 dan Smart ternyata tidak dapat saya gunakan karena rupanya hanya sinyal Telkomsel saja yang “berani” naik gunung. Walhasil, saya hanya bisa membuat catatan-catatan kecil saja.

Itu alasan pertama. Alasan keduanya, meskipun saya ke sana dalam rangka jalan-jalan, tapi acara jalan-jalan itu terlaksana akibat dari sebuah komitmen. Maka saya berkewajiban menjaga amanat penderitaan komitmen. Sekali sebuah komitmen dibuat, maka semestinya siap dengan segala konsekuensi yang terjadi, termasuk kesibukan yang seringkali baru selesai hingga malam. Komitmen yang terbingkai dalam acara jalan-jalan dibayarin.

Masih ada alasan ketiga, yaitu bahwa selama di sana saya sering diundang oleh teman-teman lama saya untuk sekedar diajak berbagi tentang pengalaman saya bagaimana mengisi waktu setelah tidak lagi menjadi pegawai alias pensiun alias pengangguran. Teman-teman saya ingin tahu bagaimana saya memulai dan merintis bisnis atau berwirausaha. Tentu saja acara ini hanya bisa dilakukan saat malam hari di sisa waktu yang ada.

img_2069_rAlasan ketiga inilah yang selanjutnya akan saya kupas (kalau bisa sampai) tuntas sebagai bagian dari perjalanan kewirausahaan yang sedang saya jalani. Banyak hal-hal menarik yang saya catat dari diskusi, tanya-jawab dan peluang-peluang yang saya kumpulkan.

Benang merah yang dapat saya sampaikan adalah bahwa perjalanan saya ke Tembagapura, Papua kali ini adalah sebuah perjalanan “bisnis memberi”. Sebuah bisnis yang digaransi anti bangkrut. Bagi sebagian teman saya, perjalanan “bisnis memberi” ini sepertinya sulit diterima. Tapi herannya saya lakukan juga. Insya Allah dongengnya akan saya posting menyusul secara bertahap.

Yogyakarta, 3 April 2009
Yusuf Iskandar