Archive for the ‘(09) Menghitung Modal’ Category

(9) Menghitung Modal

13 Desember 2007

Beberapa rekan mengirim email kepada saya menanyakan tentang “Berapa modal yang diperlukan?”. Pertanyaan itu kedengaran seperti merujuk pada pembangunan toko secara umum, maka jawaban paling diplomatis adalah : “Tergantung…….”. Tergantung pada seberapa besar toko yang hendak dibangun. Tergantung juga pada kebutuhan modal yang mana, modal keseluruhan termasuk lahan dan bangunan, atau hanya modal kerja toko saja. Namun jika pertanyaan itu merujuk pada “Madurejo Swalayan”, maka lebih baik akan saya beberkan saja pengalaman berikut ini.

 

“Madurejo Swalayan” berdiri di atas lahan agak memanjang ke belakang yang semula berupa sawah di pinggir jalan. Bagian depan dipakai untuk bangunan toko, bagian tengah untuk bangunan tempat kamar istirahat dan gudang, dan bagian belakang dibiarkan kosong untuk klangenan. Untuk keperluan hitung-hitungan ekonomi, saya akan mencuplik sebagian lahan saja yang memang benar-benar digunakan untuk bangunan tokonya sendiri termasuk kantor, kamar kecil dan mushola. Desain tata ruang yang ada sekarang ini sebenarnya tidak pas untuk toko ritel. Sebab, seperti pernah saya singgung sebelumnya, keputusan untuk membuka toko swalayan ini baru diikrarkan ketika bangunan sudah telanjur dimulai, artinya tidak direncana sejak sebelum membangun toko. Ini langkah yang tidak seharusnya ditiru.

 

*** 

 

Meskipun luas tokonya sendiri hanya sekitar 90 m2, tetapi total luas lahan yang saya alokasikan untuk keperluan toko adalah sekitar 200 m2. Ini karena area parkir yang disediakan cukup luas, juga bangunan kantor, kamar kecil serta mushola di belakang toko. Belum termasuk gudangnya. Sejujurnya, pengalokasian yang ada sekarang ini sebenarnya kurang efektif. Dengan kata lain, terlalu boros dalam penyediaan lahan. Jika pengaturan tata pemanfaatan lahan dapat lebih terencana sejak semula, mestinya tidak perlu seboros itu. Tapi baiklah, ini kisah ketelanjuran yang tidak patut dicontoh.

 

Saya perkirakan nilai lahan yang saya cuplik dari total lahan yang ada adalah sekitar Rp 40 juta,- . Luas total bangunannya sekitar 120 m2, saya anggap senilai Rp 180 juta,- termasuk prasarana bangunan toko. Maka, angka total Rp 220 juta,- saya gunakan sebagai pedoman bagi perhitungan total modal properti lahan dan bangunan untuk “Madurejo Swalayan”. 

 

Untuk rencana toko di lokasi berbeda, dengan ukuran berbeda dan desain berbeda, tentu akan berbeda pula modal properti yang harus disediakan. Seorang teman saya malah berani menyewa ruangan seluas hanya 25 m2 untuk membuka toko swalayan mini. Seorang saudara saya lainnya membeli dan membangun toko sejenis seluas lebih dua kali luas “Madurejo Swalayan”. Jadi, sebaiknya tidak terpukau dengan luas toko, melainkan seberapa tingkat kemampuan dan keberanian kita untuk membobok celengan. 

 

Saya pikir, apakah akan menyewa atau membeli lahan, bukanlah hal yang kritikal. Masih ada banyak faktor lainnya yang lebih kritikal untuk dipertimbangkan, antara lain tentang potensi pasar dan peluang pengembangannya. Inilah salah satu manfaat dari pembuatan bussiness plan sebelum memulai usaha, sehingga setiap alternatif bisa terlebih dahulu dikaji dengan cermat untung-ruginya, sebelum dieksekusi. Dalam kasus “Madurejo Swalayan”, ya karena memang sebelumnya sudah telanjur punya lokasi di situ.

Selanjutnya dihitung berapa modal tetap untuk prasarana toko yang antara lain meliputi rak-rak, perlengkapan kantor, sistem komputer dan sebagainya. Salah satu keuntungan melakukan perencanaan tata ruang adalah untuk mengoptimalkan biaya prasarana toko, tidak sekedar “gimana gitu, loh”. 

Untuk keperluan komputerisasi dan kelengkapan piranti keras dan piranti lunak, sebenarnya biayanya tidak terlalu tinggi, wajar saja. Tetapi yang cukup “berbunyi” nilai uangnya adalah untuk keperluan rak-rak toko. “Madurejo Swalayan” memilih untuk menggunakan rak-rak seken (bekas) yang sudah direkondisi (kata lain untuk dicat-ulang). Harganya bisa setengahnya dibandingkan rak-rak baru untuk kualitas barang yang tergolong bagus. Itupun “bunyinya” sudah lebih Rp 33 juta,- untuk tahap awal sebelum beroperasi. Saya katakan tahap awal, karena biasanya seiring pergerakan usaha di tahun pertama akan memerlukan penambahan prasarana. Tentu saja mesti disesuaikan dengan kemampuan kita untuk menyediakan tambahan modal. Pendek kata, untuk kebutuhan modal prasarana toko setelah saya hitung-hitung telah mengalokasikan biaya sekitar Rp 50 juta,- lebih sedikit.

 

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menekan biaya modal prasarana toko adalah dengan membuat sendiri rak-raknya. Ini mudah dilakukan karena banyak toko yang menjual bahan-bahan komponennya, tinggal merangkai sendiri. Cara ini banyak dilakukan oleh toko-toko tradisional dan toko-toko besi atau bangunan. Jika alternatif ini yang diambil, maka konsekuensinya soal tampilan menjadi nomor dua. Ada juga yang membuat rak-raknya dari bahan kayu. Pokoknya, banyak pilihan deh….! Tinggal mengikuti selera masing-masing saja. Kalau saya membuat keputusan dengan pilihan seperti saya ceritakan di atas, itu karena pertimbangan masalah tampilan, harga jual kembali dan kekuatan rak dalam menahan beban. Selebihnya, terserah Anda……

 

Setelah modal tetap (properti dan prasarana) toko selesai dihitung, maka kemudian menghitung berapa modal kerjanya (untuk barang dan operasional). Yang saya maksudkan dengan modal kerja barang adalah modal awal yang diperlukan untuk kulakan barang dagangan untuk mengisi toko. Saya berpedoman pada pengalaman orang lain dalam ini, yaitu menggunakan pendekatan hitungan dengan angka rasio Rp 1 juta,- sampai Rp 1,5 juta,- per m2 luas toko. Untuk “Madurejo Swalayan” saya mengambil agak menengah, yaitu Rp 1,2 juta,- per m2. Maka untuk luas toko sekitar 90 m2, anggaran modal kerja yang disediakan sekitar Rp 108 juta,-. Jumlah uang inilah yang akan terus diputar dan harus dijaga agar jangan sampai berkurang. Syukur-syukur kalau usaha terus berkembang, justru perlu ditambah.

 

Kemudian, modal kerja operasional, yaitu modal awal yang harus disediakan untuk menutup biaya operasi bulanan toko sebelum toko mampu memberikan keuntungan. Besarnya tergantung dari rencana dan proyeksi yang sudah disusun dalam business plan, sehingga diketahui sampai kapan modal kerja operasional harus terus disediakan setiap bulan. Untuk “Madurejo Swalayan” saya menghitung diperlukan dana sekitar Rp 3,5 juta pada bulan pertama hingga Rp 5 juta-an di akhir tahun pertama. Dari mana angka itu? Dari hitung-hitungan awal perkiraan biaya operasi toko.

 

***

 

Nah, kini semua komponen modal toko sudah diketahui, yaitu : Modal tetap (properti dan prasarana toko) Rp 270 juta,- dan modal kerja (barang dagangan) Rp 108 juta,-  plus modal kerja operasional setiap bulannya. Semua itu hanyalah angka-angka. Nilai rupiah yang sesungguhnya untuk setiap lokasi dan toko yang berbeda tentu tidak sama. Ada banyak variabel yang akan menentukan nilai modal yang sesungguhnya dibutuhkan.

 

Di atas semua itu, pengelola “Madurejo Swalayan” memilih untuk tidak meminjam modal dari bank atau koperasi (kecuali kalau ada teman atau saudara yang mau meminjami tanpa bunga, bagi hasil bolehlah dipikirkan…..). Pertimbangannya hanya agar hitung-hitungan dalam buku kas tidak menambah pening kepala. Belum lagi kalau keuntungan masih seret, masih ngos-ngosan dan masih harus bersabar, lalu tilpun datang bertubi-tubi dari bank menagih segera membayar cicilan. Wow………., terlalu sayang kalau urusan itu sampai membuat tidak nyenyak tidur, jadi ndak bisa mikir…. Sebab saya memprediksi bisnisnya “Madurejo Swalayan” ini tergolong jenis bisnis yang peningkatan keuntungannya sangat perlahan, susah untuk digeber (digenjot). Tapi, ini jalan pikiran saya lho…… Jadi, ya pokoknya diada-adakan saja modalnya……

 

Pinjam uang ke bank bukan hal yang salah, tapi perlu perhitungan matang sebelum memutuskannya. Lain ceritanya kalau mau buka supermarket atau hipermarket sekalian. Untuk kaliber ini kalaupun saya telat mencicil, saya tidak perlu pecicilan lari sipat-kuping, sebab bank akan “mengejar-ngejar” saya dengan cara yang dimanis-maniskan. Memang dimana-mana yang namanya pengusaha kecil apalagi baru calon pengusaha anak bawang, layak untuk di-keciani…….

 

Saya tidak berani meng-claim bahwa rumusan angka-angka di atas adalah yang terbaik atau layak digunakan sebagai referensi. Saya sepenuhnya sadar bahwa sebagai pemain baru dalam dunia persilatan bisnis ritel, yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar berbagi pengalaman. Namun ada fakta yang telah saya catat, bahwa penyusunan business plan seperti ini akan sangat membantu dalam membuat keputusan yang pas sebelum memulai bisnis. Semakin teliti business plan disusun, akan semakin mendekati kenyataan.

 

Meski demikian, saya bermimpi kalau kelak “Madurejo Swalayan” akan membuka cabang di tempat lain, maka saya sangat confident untuk menggunakan angka-angka di atas sebagai referensi. Dan kalau bisa tetap dengan uang sendiri saja, sesedikit apapun, alias tidak ingin berurusan dengan bank. Saya tidak ingin “just lend it”, pokoknya pinjam saja dari bank.  

  

Yang diceritakan oleh Pak Robert Kiyosaki dalam banyak bukunya adalah sistem perbankan di Amerika, dimana sistem perbankan sudah menjadi bagian keseharian dari masyarakatnya, dimana berurusan dengan bank adalah pekerjaan yang menyenangkan. Bukan di Indonesia, dimana urusan perbankan (baca : njam-pinnjam, cil-ciccil dan gih-taggih) masih menjadi urusan yang complicated bin njlimet bin tidur tak nyenynyak tak iye……., bagi sebagian besar masyarakatnya. Bukannya anti uang bank, melainkan dalam hal ini saya memilih cara konservatif saja dulu, sampai pada suatu saat nanti business plan saya mengindikasikan sebaliknya.

  

Madurejo, Sleman – 1 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar