Archive for the ‘(41) Perang Melawan Pengutil’ Category

(41) Perang Melawan Pengutil

13 Desember 2007

Berbisnis dengan orang desa yang lugu memang sering tak terduga. Jika mereka menjumpai harga jual di toko “Madurejo Swalayan” yang menurutnya lebih mahal dari tempat lain, spontan mereka ngomong : “Di sini kok harganya lebih mahal dari toko sana……”. Ada yang akhirnya tetap beli, ada juga yang tidak jadi beli. Keluhan polos seperti ini justru yang kami harapkan, karena kami jadi tahu bahwa harga jual toko kami kemahalan.  Repotnya saat-saat awal membuka toko adalah menentukan harga jual yang kompetitif. Karena tidak semua item barang yang jumlahnya ribuan sempat untuk di-survey, dicek-ricek dan dibandingkan dengan toko lain. Nah, complaint seperti itu akan sangat membantu.  

Terkadang kami sendiri yang mesti men-survey-nya, antara lain dengan suruhan orang untuk membeli barang-barang tertentu ke toko di kawasan sekitar. Toh, barang yang dibeli akan digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Jadi, tidak ada ruginya. Selain itu, salesman atau supplier adalah informan yang paling baik. Biasanya mereka akan dengan senang hati memberitahukan harga jual kami sudah pas, terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan toko lain di sekitar kawasan kami. Lain orang desa, lain lagi kalau yang datang adalah calon pembeli yang sudah biasa keluar-masuk toko swalayan di kota. Mereka masuk toko, lalu keliling menyusuri rak-rak toko, tahu-tahu keluar lagi tanpa beli apa-apa. Akibatnya kita tidak tahu, apakah mereka tidak menemukan barang yang dibutuhkan, atau harganya kemahalan, atau sekedar mau jalan-jalan dan melihat-lihat, atau memang sedang observasi mencari peluang untuk ngutil  Hal yang terakhir ini sungguh sudah terjadi. Seminggu pertama sejak toko buka, tanpa disadari (lebih tepatnya, terlambat ketahuan) kami sudah kehilangan beberapa barang dagangan yang kalau dihitung-hitung nilainya lebih satu juta rupiah. Jumlah kerugian yang sungguh besar, dibandingkan dengan margin keuntungan yang bisa diraih perharinya. Itulah pelajaran berharga, kesalahan dalam menata barang dagangan dan kesalahan dalam men-display produk-produk mahal, biasanya jenis-jenis susu balita yang kemasannya kecil tapi harganya mahal. Juga kesalahan dalam sistem pengawasan, sehingga mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang profesinya ngutil di toko swalayan. Dan orang-orang seperti ini memang selalu hadir.    

Begitulah, selalu ada saat-saat pertama dimana terjadi banyak hambatan dan masalah. Ibaratnya, saat pertama belajar naik sepeda, ya lumrah kalau jatuh. Saat pertama belajar setir mobil, nyengenges saja kalau terpaksa nyerempet pagar tetangga. Saat pertama kerja, ya terima saja kalau berbuat salah lalu diomelin atasan. Intinya, kalau takut menghadapi masalah, ya jangan berbuat sesuatu. Kalau takut rugi, ya jangan berbisnis, demikian petuah para guru wirausaha. Tinggal bagaimana menyiasati agar kerugian, kesulitan atau masalah yang timbul dapat diredam atau ditekan seminimal mungkin.  

Di tahap itulah memang kami perlu mikir agak banyak (untuk sekedar membuktikan bahwa kami masih hidup…..). Selebihnya enggak usah dipikir banyak-banyak, bisa dipikir sambil tidur (hal yang tidak pernah saya kerjakan selama 16 tahun jadi orang gajian…. Mikir pekerjaan sambil tidur…..). Selebihnya semua akan mengalir begitu saja, tinggal kami mengikuti kemana air mengalir sampai jauh……. Ya, sesekali melawan arus untuk berinovasi, sah-sah saja. Dan adakalanya memang diperlukan. 

*** 

Kemungkinan timbulnya masalah dan hambatan seharusnya memang sudah dipahami sedari mula. Bagaimanapun juga, semua orang yang terlibat dalam usaha toko “Madurejo Swalayan” ini adalah orang-orang dengan nol-puthul pengalaman di bidang bisnis ritel. Termasuk pemiliknya, pengelolanya, pelayannya, semua baru belajar bersama-sama. Satu-satunya pengalaman adalah pengalaman orang lain yang dipelajari lewat buku atau cerita-cerita. Pengalaman orang lain kan namanya pengalaman juga toh?  

Idealnya memang meng-hire seseorang yang sudah pengalaman untuk dilibatkan dari awal. Tetapi terkadang idealisme ini kalah oleh egoisme : Apa sih susahnya berjualan, tinggal beli barang lalu ditambah sedikit keuntungan dan dijual lagi. Ee…, ternyata masih ada hal lain yang tidak sesederhana itu, terutama untuk konsep toko swalayan-modern. Yo wis….., ora perlu digelani….. Lebih bagus lagi kalau pengelola toko sempat mengikuti semacam pelatihan tentang management ritel. Memang ada yang menyarankan demikian, minimal untuk menambah wawasan tentang sistem bisnisnya. Apa bedanya belajar melalui pelatihan dan melalui pengalaman orang lain? Bedanya hanya satu, yaitu kalau melalui pelatihan dapat sertipikat (pakai “p”). Selebihnya…. , terserah (bagaimana) Anda…..    

*** 

Ngomong-ngomong soal pengutil. Mahluk yang satu ini memang susah diidentifikasi. Bisa berjenis laki-laki, bisa perempuan. Bisa berpenampilan lusuh seadanya, bisa tampil rapi dan sopan berjilbab. Bisa sendirian, bisa berjamaah. Mereka juga berbelanja di toko. Kalau terlalu ketat mengawas-awasi setiap pengunjung, akan membuat pengunjung toko merasa tidak nyaman. Kalau dibuat rada longgar, kuwatir ada mahluk pengutil yang memanfaatkannya. Yang pasti, dimana ada toko baru buka, terlebih model swalayan, mahluk ini pasti muncul. 

Padahal sudah disediakan tempat penitipan tas dan jaket. Hal yang sudah sangat umum di perkotaan. Tapi untuk diterapkan secara ketat dan kaku di kawasan pinggiran, masih ada rasa ragu. Pasalnya, jangan-jangan masyarakat pedesaan malah takut masuk toko, merasa seperti tidak dipercaya. Jadi serba salah.   

Jalan tengahnya, barang-barang yang harganya relatif mahal kemudian dipindahkan ke dalam lemari etalase tersendiri dan harus dilayani untuk membelinya. Tidak diswalayankan. Dengan kata lain, kalaupun toh ada pengutil yang berhasil memperdaya penjaga toko, maka biarlah sekedar ngutil barang-barang yang harganya relatif tidak mahal. Tidak berarti lalu pengawasan diperlonggar. Para penjaga toko tetap diinstruksikan untuk selalu waspada dan melakukan pengawasan secara sopan dan manis, atau cukup dimanis-maniskan.  

Beberapa toko swalayan sejenis mengatasinya dengan memasang kaca cermin besar di bagian atas dinding belakang yang berfungsi seperti kaca spion. Ide yang bagus sebenarnya, namun kami di “Madurejo Swalayan” masih mempertimbangkannya, antara memasang spion besar dulu, atau dananya digunakan untuk menambah modal kerja dulu. Dadi bakulan ki suwe-suwe kok yo dadi rodo pelit” .….., itung-itungane kudu  njlimet……. 

*** 

Kini para penjaga toko juga sudah mulai bisa membaca gerak-gerik mencurigakan para pengunjung toko. Juga mengidentifikasi orang-orang tertentu yang sering datang dan pergi keluar-masuk toko, dan melakukan transaksi untuk jenis-jenis barang  yang sepertinya tidak logis dibandingkan dengan frekuensi kunjungannya.    

Alhamdulillah, sejak kebobolan di minggu-minggu pertama dan perubahan cara men-display barang dagangan yang mahal-mahal, tampaknya sejauh ini cukup berhasil mempersempit ruang gerak para pengutil. Namun tetap perlu diwaspadai, bahwa aktifitas til-nguttil pasti belum berakhir. Akan datang saatnya dimana pihak toko terlena dan pihak tukang ngutil mulai beraksi kembali.  

“The show must go on”. Berdampingan antara “show”-nya toko dan “show”-nya pengutil.. Antara yang berniat mencari rejeki dengan cara halal dan yang mencari rejeki melalui jalan pintas yang dholim. Hasilnya sama-sama untuk menafkahi keluarganya (Lho, tujuannya sama-sama baik sebenarnya..…).  

Pokoknya……., perang melawan pengutil forever…ver…ver…ver…  

Madurejo, Sleman – 29 Nopember 2005.
Yusuf Iskandar