Beberapa hari setelah gempa memurungkan Jogja, ada seorang korban gempa kehausan di jalan Prambanan – Piyungan. Kebetulan “Madurejo Swalayan” sudah buka setengah pintu, maka orang itu lalu masuk toko dan membeli air mineral. Saya sebut korban gempa karena menurut cerita tetangga saya di Madurejo, rumah orang itu yang di Prambanan rusak berat.
Hanya saja orang itu adalah korban gempa yang tidak membutuhkan bantuan, malah tergolong korban gempa yang sewajarnya kalau ikut membantu korban gempa lainnya. Meskipun punya rumah di Prambanan, tapi orang itu tinggal di Jakarta. Bantuan jatah uang lauk pauk yang Rp 90.000,- per jiwa per bulan atau tujangan pakaian dan alat rumah tangga yang Rp 100.000,- nilainya, barangkali tidak berarti apa-apa. Malah masih bisa keliling Jogja naik mobil. Boro-boro tidur di tenda, meski rumahnya tidak bisa ditinggali, tidur di hotel pun bukan masalah.
Rupanya kasir “Madurejo Swalayan” mengenali wajah orang itu. Cuma tidak berani ngajak omong. Takut, katanya. Orang itu bernama Hidayat Nurwachid.
***
Beberapa hari yang lalu datang seorang nenek tua (soalnya ada juga nenek yang muda) ke rumah saya di Umbulharjo. Nenek itu minta agar saya membeli sisa dua kilo emping melinjo dari lima kilo yang sejak pagi harinya dibawanya berkeliling kampung. Dua kilo emping melinjo itu diwadahi dalam dua tas kresek kumal warna putih dan hitam. Nenek tua yang katanya tinggal di sebelah utara pasar Pleret itu bercerita bahwa rumahnya roboh, suaminya kakinya patah dan kini masih dirawat di rumah sakit, dan seorang anaknya meninggal tertimpa reruntuhan.
Dari sorot matanya saya menangkap ketulusan ceritanya (entahlah kalau tangkapan saya salah, tapi saya menghindar untuk tidak berprasangka buruk…..). Ketika saya tanya darimana emping melinjonya itu, dia menjawab emping itu hasil bikinannya sendiri sebelum ada gempa. Daerah Plered dan sekitarnya memang banyak tanaman melinjo dan sebagian masyarakatnya ada yang menekuni kerajinan membuat emping melinjo. Katanya, itulah sisa hartanya yang masih bisa diselamatkan. Entah bagaimana emping nenek itu bisa menyelamatkan diri, saya merasa tidak perlu terlalu jauh menanyakannya.
Uang yang diperoleh dari hasil menjual melinjo itu akan digunakan untuk tambahan membeli gedeg (dinding anyaman bambu) agar dia bisa membangun tempat tinggal sementara seadanya, di lokasi bekas reruntuhan rumahnya. Nenek itu juga meminta kalau-kalau di rumah saya punya seprei bekas yang boleh diminta.
Itulah salah satu potret korban gempa yang akan banyak dijumpai di kawasan Jogja dan sekitarnya saat sekarang ini. Potret tentang orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain. Hanya sebuah potret, dari ribuan potret yang mungkin ada. Sebanyak apapun kita membantunya, rasanya tidak akan mampu membantu mereka keluar dari keterpurukannya. Tapi sebaliknya, sesedikit apapun kita ikhlas membantunya, rasanya akan sangat berarti untuk sedikit saja meringankan beban derita mereka. Kalaupun tidak mampu membantu banyak untuk banyak orang, membantu sedikit untuk satu orang kiranya sudah cukup menjadikannya sebagai sebuah kemuliaan.
***
Hingga menjelang sebulan pasca gempa yang terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2006, jam 05:54 WIB dan telah memporak-porandakan wilayah Jogja dan sekitarnya, kini gaungnya memang telah mulai memudar. Masyarakat korban gempa pun mulai sibuk dengan persoalannya masing-masing. Namun kehidupan terus berlanjut. Dengan atau tanpa bantuan relawan. Dengan atau tanpa kepedulian masyarakat lain. Tapi mestinya tetap dengan pendampingan pihak pemerintah dan timnya untuk menyertai mereka yang kini terpuruk, mereka yang nyaris kehilangan masa depan, mereka yang tidak tahu mau apa dan bagaimana setelah ini.
Gempa susulan masih sesekali terjadi, kadang siang atau malam. Sesekali dengan intensitas cukup besar, sehingga mengagetkan semua orang. Hanya trauma kepanikan sudah lebih terkondisikan, sehingga tidak serta-merta orang-orang berhamburan lari. Namun tetap saja deg-degan saat gempa susulan terjadi. Retak-retak pada bangunan rumah saya sepertinya semakin membesar. Akibat gempa yang lalu saja terbentuk retak-retak seukuran rambut menghiasi bangunan rumah saya, kini retak-retak itu sepertinya sudah seukuran tujuh rambut.
Kehidupan masyarakat telah berangsur normal. Maksudnya, yang selamat ya tetap hidup dengan keselamatannya, yang menderita ya tetap hidup dengan penderitaannya. Hanya ahlak dan pekerti manusia akan mengisi celah di antara keduanya. Peluang untuk beramal baik atau tidak baik terbuka lebar menghubungkan di antara keduanya.
Tidak perlu ada kambing hitam, karena sudah jelas tidak ada yang memprovokasi terjadinya gempa. Tidak juga ada pihak yang dapat disalahkan. Berbeda halnya dengan bencana banjir atau tanah longsor, dimana antara pihak pemerintah, LSM, pengusaha dan masyarakat biasanya akan cenderung saling ding-tudding…..
Gempa bumi adalah “hak prerogatif” Sang Empunya Bumi, untuk menyusun jadwal lempeng tektonik mana yang mau ditumbukkan dengan keras, lempeng mana yang mau diogrok-ogrok duluan. Juga untuk memilih lokasi, memilih waktu dan menyusun daftar korbannya. Juga memilih siapa yang sedang dihukum dan siapa yang sedang diuji. Tinggal manusia sendiri yang kudu jeli introspeksi dalam membaca ayat-ayat-Nya. Ya, diri kita sendiri. Bukan ustadz atau pendeta, bukan penceramah agama, bukan atasan, bukan beking atau centeng, bukan juga rojo brono (harta karun) yang menggunung. Terserah kita mau “belajar” pethenthengan atau ditinggal tidur saja, gempa tetap terjadi sesuai “agenda”-Nya.
***
Setelah semua mata tertuju ke selatan Jogja, terutama ke wilayah kabupaten mBantul dan sekitarnya, kini semua mata beralih pandang ke utara Jogja. Disana ada gunung Merapi yang sedang batuk-batuk enggak enak badan. Wedhus gembel sudah mengembik panjang, lava pijar sudah tumpah dleweran, korban pun sudah jatuh. Ancaman banjir lahar bak sedang mengincar mangsanya.
Mudah-mudahan tidak lagi ada ujian lebih berat harus ditanggung oleh masyarakat Jogja. En toch, Sang Maha Pemilik Merapi berniat menambah ujian bagi masyarakat Jogja, agar naik kelas menjadi lebih “cerdas” memahami ayat-ayat-Nya, kita semua berusaha dan berdoa agar semuanya masih “manageable” untuk tidak menimbulkan korban jiwa.
Kini sebaiknya segenap elemen masyarakat bahu-membahu mengantisipasi “aba-aba” Yang Maha Kuasa. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator yang baik. Orang-orang pinter itu di koran dan televisi suka bercerita tentang kearifan lokal. Tapi sungguh saya sendiri sulit untuk memahami mangsudnya. Bagi saya yang penting masyarakat perlu diberi pemahaman lebih intensif tentang potensi bencana dan bagaimana menghindarinya. Masyarakat awam perlu diajari ilmu tentang tingkah laku atau budi pekerti yang mudah dipahami, ya tingkah laku bumi, ya tingkah laku penghuninya. Bukan menunggu wangsit yang akan dituturkan mBah Marijan. Bukan mempersiapkan ubo rampe (pernik-pernik) yang tidak berujung-pangkal. Bukan juga menyiapkan data-data untuk mencari kambing hitam. Seperti saya pun tidak pernah menginginkan untuk membuat dongeng tentang “Di Kotaku Ada Gunung mBledos”.
***
Gemuruh gempa di kotaku Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei yang lalu memang hanya “terselenggara” selama 57 detik. Pemenang dari “injury time” seketika dapat diketahui hasilnya. Namun gemuruh masalah yang menyertainya bisa tak berbilang batasnya. Hanya waktulah kelak yang akan menentukan siapa pemenangnya. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi akan memakan waktu sangat panjang. Masih diperlukan banyak dukungan dan kepedulian dari siapa saja dan dari bidang keilmuan apa saja.
Berbagai spanduk kini banyak menghiasi di setiap penjuru kota (ada sponsornya, tentu saja). Berisi kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri, menyejukkan hati dan memompa semangat. Pak Sultan Ngarso Dalem bersama segenap punggawa dan masyarakat pun telah berikrar bersama di desa Wonokromo, Pleret, Bantul : “Bangkitlah Jogjaku!”.
Bolah-boleh saja kalau mau alon-alon waton kelakon (pelan tapi terselesaikan). Juga boleh kalau mau milih mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan asal kumpul), atau kumpul ora kumpul mangan (kumpul atau tidak kumpul asal makan). Sumonggo kerso….., silakan saja….. Semua itu ternyata tidak ada bedanya kalau sudah terpojok oleh ujian yang maha dahsyat. Terbukti bahwa semua tak berkutik melawan kehendak-Nya saat terjadi gempa.
Maka ketika bantuan terlambat, semua orang toh akhirnya meminta sumbangan di sepanjang jalan, atau menghadang truk pembawa bantuan, dan ada juga yang nekat menjarah. Tak jelas lagi siapa yang ora mangan (tidak makan) dan siapa yang ora kumpul (tidak kumpul). Akhirnya semua lupa dan berubah menjadi sing penting mangan (yang penting makan). Tidak perlu dicari siapa yang salah, karena memang begitulah sistem kosmologi yang berlaku bagi mahluk jenis apapun yang sedang terpuruk dan terpojok. Dan itu bisa terjadi menimpa siapa saja. Tidak hanya manusia, melainkan juga kucing, kambing, macan, dhemit, tuyul and his gang…..
Mari, jangan terus terpuruk meratapi nasib. Siapapun harus bisa belajar dari tragedi ini. Belajar rame-rame menurut ngelmu dan kompetensinya. Belajar menjadi korban bencana yang baik, belajar menjadi korban selamat yang baik, belajar menjadi pemberi bantuan yang baik, belajar menjadi pengelola bantuan yang baik, belajar menjadi pemerintah (tukang memberi perintah) yang baik, belajar menjadi pengamat yang baik, dan banyak pelajaran lainnya….. Tuhan tidak akan pernah membebani mahluk ciptaan-Nya melainkan sebatas kemampuan mahluk itu untuk mengatasinya. Wong Tuhan yang bikin, pasti Beliau juga tahu seberapa kekuatan benda bikinan-Nya.<
“Ayo bangkit, bangkitlah Jogjaku…..!”. Maksudnya, bangkit dari keterpurukan akibat gempa dan bangkit siap-siap menyalami Merapi…..
(Wis, ah!. Arep bal-balan karo sembur-semburan lumpur. Nuwun…..).
Umbulharjo, Yogyakarta – 23 Juni 2006
Yusuf Iskandar