Posts Tagged ‘gempa’

Sedia Sepeda Motor Sebelum Tsunami Menggelontor

24 Desember 2007

Hari Minggu, 23 Desember 2007, adalah hari “keramat” yang sangat mendebarkan bagi sebagian besar masyarakat Bengkulu dan sekitarnya. Pasalnya, sejak sebulan terakhir telah beredar rumor bahwa pada hari itu akan terjadi gempa besar berkekuatan 8,5 SR yang “rencananya” akan diikuti dengan terjangan gelombang tsunami. Apa tidak nggegirisi (mengerikan)……

Spontan yang ada di pikiran masyarakat Bengkulu adalah trauma terhadap gempa besar yang belum lama memporak-porandakan Bengkulu Utara pada September lalu dan bencana tsunami di Aceh tiga tahun yang lalu.

Ini gara-gara adanya sebuah fax yang dikirim oleh Prof. Jucelino Nobrega da Luz, seorang (konon) pengamat gempa dari Brazil. Jelas, siapapun yang paham tentang pergempaan akan menolak prediksi semacam ini. Namun tak ayal, isu ini telah membuat sebagian masyarakat Bengkulu cemas bin resah.

***

Tentang gempanya, yang ternyata hari Minggu kemarin Bengkulu baik-baik saja, biarlah menjadi porsi para ahli untuk mengkajinya. Namun saya melihat ada “kejadian” lain yang menarik.

Sejak beberapa minggu menjelang tanggal 23 Desember 2007, saya jumpai di koran lokal “Rakyat Bengkulu” sebuah iklan produk sepeda motor yang menawarkan kemudahan untuk kredit kepemilikan sepeda motor Honda. Bunyi iklannya kira-kira bermaksud mengingatkan masyarakat bahwa bila bencana tsunami terjadi, maka diperlukan sarana transportasi yang gesit untuk mencari tempat berlindung (mengungsi, maksudnya). Dan, sepeda motor adalah salah satu diantara moda transportasi yang fleksibel itu.

Ternyata bukan hanya iklan yang kemudian saya jumpai, melainkan juga dalam format berita. Tidak salah juga kalau disebut iklan terselubung, meskipun kalau menilik isi beritanya jelas bukan lagi terselubung, alias sudah terang-terangan. Bahkan bernada sangat provokatif. Penggalan iklannya berbunyi begini :

….. Jalur evakuasi ini terletak diberberapa titik di daerah Bengkulu, apabila benar terjadi gempa 23 Desember, jalur ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang akan berlomba menyelamatkan nyawa dan harta masing-masing. Sepeda motor merupakan alat transportasi yang paling praktis, aman dan cepat dalam usaha menyelamatkan nyawa dan harta…..

….. Honda menawarkan kepada masyarakat Bengkulu segala kemudahan dalam memiliki sepeda motor yang praktis, aman dan cepat. Cukup dengan hanya Rp 500 ribu, subsidi Rp 700 ribu ditambah dengan cash back Rp 300 ribu, masyarakat Bengkulu sudah dapat memiliki sebuah motor FIT X…..

Aha! Ini sebuah berita yang tampaknya cukup simpatik memberitahu masyarakat tentang perlunya alat transportasi yang praktis di saat bencana dan kepanikan melanda. Namun ini juga sebuah bujukan kepada masyarakat agar segera membeli sepeda motor cap Honda.

Hanya saja yang membuat saya risih adalah judul beritanya berbunyi : “Honda Investasi Terbaik”. Lha ya, ketemu pirang perkoro (ketemu berapa perkara – ungkapan bahasa Jawa) wong membelanjakan uang untuk kabur dari kejaran tsunami kok disebut investasi.

***

Saya mengapresiasi idenya. Jeli menangkap peluang bisnis. Ini sah-sah saja. Sebuah strategi pemasaran yang jitu. Memanfaatkan momen tertentu untuk diubah menjadi sebuah peluang bisnis. Hanya, kebetulan saja momennya kok ya menakutkan….

Tak beda halnya kalau ada orang mempromosikan produk sepatu booth guna mengantispasi datangnya banjir. Atau orang menawarkan produk payung atau ponco sebelum musim hujan tiba. Soal banjirnya benar-benar datang atau tidak, hujannya jadi turun atau tidak, ya tidak menjadi soal.

Tapi mestinya pengusaha tidak perlu “mengelabuhi” konsumen dengan mengatakan bahwa membeli sepatu booth dan payung adalah sebuah investasi. Yang sebenarnya adalah konsumsi pada tingkat kebutuhan, kalau masih tingkat keinginan maka kecenderungannya konsumtif. Lain hanya kalau sepatu booth atau payung itu kemudian disewakan kepada orang lain, di dekat halte bus atau di ujung jalan yang kebanjiran.

Sayangnya saya tidak memiliki akses untuk mengetahui seberapa besar impak dari iklan sepeda motor itu terhadap tingkat penjualannya kemudian.

Saya hanya ingin menggarisbawahi sisi positif dari kejelian si pemasang iklan atau pengirim berita dalam menangkap peluang bisnis di tengah situasi yang sedang berkembang. Bagaimanapun juga ada pelajaran bisnis tentang trik pemasaran yang dapat dipetik dari kejadian itu. Seperti menerapkan peribahasa : sedia sepeda motor sebelum tsunami menggelontor.

Yogyakarta, 24 Desember 2007
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (1)

18 Desember 2007

Slamat datang di kota kami,
Yogyakarta indah dan permai

Begitulah bunyi bait pertama lagu “Mars Yogyakarta” yang suka dinyanyikan dengan irama riang dan bersemangat sambil menghentakkan kaki… prok… prok… prok…, seperti tentara sedang berbaris. Mencerminkan derap kebanggaan masyarakat kotaku, Yogyakarta (terkadang saya singkat dengan Jogja saja), hingga sebelum Sabtu pagi kelabu yang lalu.

Yogyakarta “Berhati Nyaman”. Bersih, sehat, indah dan nyaman.

Demikian tulisan semboyan kota yang akan banyak dijumpai di sepanjang jalan-jalan di kota Yogyakarta, terutama di kawasan pedagang kaki lima. Semboyan kebanggaan masyarakat kotaku, Yogyakarta, hingga sebelum Sabtu pagi haru-biru yang lalu.

Sabtu pagi, 27 Mei 2006. Tiba-tiba kotaku Yogyakarta menangis sesenggukan, seperti anak kecil yang sampai kehabisan napas dan kehilangan suara tangisnya. Tiba-tiba saja sang naga yang ada di dalam bumi kotaku menggeliat kencang dan memporak-porandakan sebagian penghuni yang selama ini petentang-petenteng di atasnya. Semua sebutan indah, permai dan berhati nyaman seperti ikut tiarap, terhempas berserakan.

***

Beberapa hari terakhir ini, maksudnya minggu lalu sebelum terjadi gempa bumi hebat di Yogyakarta, saya sering kerja lembur di rumah hingga larut pagi. Terkadang jam setengah dua atau setengah tiga pagi baru nggeblak tidur. Bersyukurlah saya, meskipun nganggur tapi masih ada yang dilemburi. Bukan, bukan karena kehabisan waktu, melainkan karena waktu siangnya saya pergunakan untuk menyelesaikan urusan lain yang ringan dan yang lucu. Sedangkan urusan yang rada pakai mikir biasanya saya selesaikan di malam hari pada saat sunyi-sepi-sendiri berkonsentrasi.

Jum’at malam hingga Sabtu dini hari yang lalu saya baru mematikan laptop selewat jam 2. Lalu ndlosor tidur. Sekitar jam setengah enam pagi lebih sedikit saya terbangun. Sambil melihat jam dinding di depan tempat tidur, saya sempat teringat bahwa waktu sholat subuh sedang di ambang batas penghabisan. Namun karena masih rada ngantuk plus agak malas (sebenarnya ya memang dasarnya rada malas…), saya nawar pada diri sendiri… “Mau leyeh-leyeh dulu sebentar, ah…! Biar jarum panjangnya sampai ke angka 12 dulu”.

Tepat jam enem kurang enem pagi (05:54) tiba-tiba tempat tidur seperti ada yang menggoyang-goyang. Spontan saya berpikir : “Ono lindu” (ada gempa). Berbekal pengalaman lebih sembilan tahun tinggal di tanah Papua, dimana Papua adalah salah satu tempat di muka bumi yang termasuk paling sering dilanda gempa, maka goyangan-goyangan gempa awal pada detik itu rasanya bukan hal yang luar biasa. Sampai kemudian saya rasakan ternyata bukan hanya tempat tidur yang bergoyang, melainkan juga lemari, dinding kamar, lalu rumah seisinya ternyata juga serentak turut bergoyang terus-menerus, bukan patah-patah…. Goyangan semakin kuat dan suara gemuruh semakin memekakkan telinga dan terdengar menakutkan.

Serta-merta saya loncat dari tempat tidur, berdesah menyebut asma Allah tiada henti, lalu berdiri tepat di bawah gawang pintu kamar. Hanya berdasarkan feeling saja, sepertinya itulah tempat paling aman saat itu untuk berhenti sejenak sambil menyapukan pandangan berkeliling dengan cepat. Di tengah goyangan hebat dan suara bergemuruh, saya lihat anak kedua saya masih tidur di lantai di depan televisi. Lalu saya ingat anak pertama saya tentu masih tidur di kamarnya di lantai atas. Sementara ibunya berada di belakang sedang beres-beres.

Dengan sekuat tenaga saya berteriak memanggil-manggil dan membangunkan kedua anak saya, sambil bertepuk tangan sekuat-kuatnya. Tentu bukan tepuk tangan kegirangan, melainkan saya bertujuan agar tercipta suara kejutan dengan nada berbeda. Namun sesungguhnya semua tindakan saya bertepuk tangan dan berteriak keras memanggil kedua anak saya agar segera bangun dan lari keluar rumah adalah sia-sia belaka. Suara yang saya ciptakan itu sepertinya hilang tertelan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Anak kedua saya terbangun justru karena nyaris kejatuhan pesawat televisi 21 inch yang loncat dari tempatnya dan dispenser yang ambruk menumpahkan galon beserta isi airnya. Sedangkan anak pertama saya di kamarnya di lantai atas terbangun karena monitor komputer di kamarnya terjungkal menimbulkan bunyi hempasan cukup keras.

Ketika saya lihat kedua anak saya sudah menyadari apa yang sedang terjadi dan bergegas menuju ke luar rumah, terdengar suara pesawat televisi 25 inchi di lantai atas terbanting dari singgasananya (bukan lengser). Padahal untuk mengangkat pesawat kuno itu sendirian pun saya tidak mampu ketika memasangnya. Rak kaset dan CD setinggi 2 meteran terhempas. Lemari kaca berisi bolo-pecah seperti dikocok dan berhamburan isinya. Guci dan piring keramik pecah bergulingan terhempas ke lantai. Akuarium pun tumbang membebaskan seekor arwana di dalamnya.

Suara gemuruh semakin kuat dan menakutkan. Rumah tembok dua lantai yang baru satu setengah tahun yang lalu saya tempati nampak dindingnya bergetar-getar seperti ada yang sedang berusaha merobohkan dengan menggoyang-goyangkannya. Tanpa pikir panjang, tetap dengan terus mendesahkan asma Allah tiada henti, sambil saya berterik : “Cepat…cepat… keluar dari rumah lewat pintu belakang…!”. Saya lihat pintu belakang sudah terbuka, sementara pintu depan rumah masih tertutup, dan saya masih sempat berpikir untuk tidak mengambil resiko jangan-jangan pintu depan masih dalam posisi terkunci.

Di belakang rumah sebenarnya juga bukan tempat yang sangat aman, karena kemudian kami masih harus berlari sipat-kuping menyusuri lorong samping kiri rumah untuk menuju halaman depan. Namun setidak-tidaknya kami lebih cepat berada di luar rumah, memperkecil resiko kejatuhan sesuatu di dalam rumah. Saat tiba di depan rumah, barulah getaran gempa dan suara gemuruh sudah menurun dan akhirnya berhenti.

Sungguh sebuah fragmen tragedi menyeramkan berdurasi sekian detik atau sekian menit yang begitu menegangkan. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Saya tidak tahu persisnya kapan getaran kuat dimulai dan kapan akhirnya benar-benar berhenti. Tahu-tahu sudah berkumpul dengan orang lain di depan rumah dalam suasana tegang, sejak sebelumnya leyeh-leyeh di atas peraduan menunggu jarum panjang menggapai angka 12.

Di luar, di gang depan rumah, sudah ada ibunya anak-anak yang saat gempa pertama kali terjadi merasa panik sehingga langsung berlari menyusuri lorong samping rumah menuju depan. Itu karena hampir kejatuhan genting rumah kost di belakang rumah induk yang berjatuhan merosot ke bawah, deretan sepeda motor yang bertumbangan dan pecahan-pecahan tembok yang berhamburan. Sepercik pecahan dinding yang jatuh dari puncak wuwungan rumah sempat singgah di jidat kanan ibunya anak-anak dan menimbulkan sedikit luka memar. Anak-anak kost di belakang rumah juga sudah pada ngumpul di depan rumah. Semua orang masih tampak shock, tanpa sepatah katapun keluar dari mulut, selain desahan asma Allah yang masih menggetar di bibir.

Nyaris seperti tidak percaya bahwa kami semua bisa lolos dan selamat dari gempa bumi hebat yang baru saja menyerang tiba-tiba di saat kami semua masih terlena. Alhamdulillah…, Puji Tuhan…

Umbulharjo, Yogyakarta – 31 Mei 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (2)

18 Desember 2007

Sebenarnya cerita ini hanyalah sebagian kecil saja dari ribuan kisah yang barangkali akan dapat diceritakan dengan lebih rinci dan dramatis oleh ribuan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Belum lagi ribuan kisah tragis dan mengharukan yang akan dapat dikisahkan oleh ribuan masyarakat lainnya yang kebetulan menjadi korban.

Sebenarnya tidak ada hal yang istimewa dari kisah pengalaman kami sekeluarga pada Sabtu pagi 27 Mei 2006 yang lalu, selain ekspresi suasana tegang dan panik di tengah bencana gempa bumi, lalu….. Alhamdulillah, kami semua selamat. Belakangan saya membaca di surat kabar-surat kabar, ada banyak kisah lebih dramatis yang dialami oleh sebagian masyarakat korban gempa lainnya. Namun toh, kalau saya ingin menceritakannya juga, itu karena saya menemukan pelajaran sangat berharga yang sebenarnya telah lama saya ketahui tapi tidak pernah saya sadari benar akan betapa pentingnya. Sampai akhirnya saya benar-benar mengalaminya sendiri.

Seperti telah sering dikatakan orang bijak. Kalau mau dikatakan bahwa gempa bumi adalah sebuah bencana atau musibah, maka di balik setiap musibah pasti ada hikmah. Di balik setiap kejadian pasti ada ibrah ataupun pelajaran yang dapat dipetik. Pelajaran itulah yang secara tersurat ingin saya berbagi cerita melalui beberapa catatan ini.

Tuhan Sang Maha Pencipta tentu tidak sedang “iseng” menggoyang-goyang bumi-Nya. Pasti semua acara goyang-menggoyang bumi itu terprogram sedemikian sistematis dan rapinya. Pasti ada maksud tersirat yang hendak dituju-Nya. Kenapa goyangannya mesti menerus dalam beberapa detik atau menit. Kenapa bukan goyang patah-patah atau goyang ngebor. Kenapa mesti digoyang pada saat orang-orang masih pada enak-enakan di rumah menjelang memulai aktifitas hidupnya. Kenapa mesti banyak orang miskin dan orang ndeso yang jadi korban. Semua adalah menjadi misteri “the X-File”-nya Tuhan yang sulit terpecahkan.

Namun, jangan berhenti sampai di situ, jangan berhenti sampai di situ saja…! Begitu yang sampai sekarang selalu terngiang di telinga saya. Pasti ada sesuatu yang dimaui-Nya. Entah apa, melainkan terus dan teruslah berpikir untuk menemukan jawabannya sampai ke relung hati yang paling dalam. Selembar daun kering jatuh saja Tuhan urus sedemikian detil, terencana dan terukurnya. Setetes embun pagi saja Tuhan kelola dengan sedemikian indahnya. Apalagi goyangan sebongkah bumi dan isinya.

***

Beberapa menit setelah gempa berhenti, ketika kesadaran kami mulai pulih, ketika kepanikan mulai mereda, barulah kami mulai saling bicara. Gempa Merapi…, Merapi meletus…, begitulah umumnya pertama kali yang terpikir oleh hampir setiap orang. Maklum, beberapa minggu terakhir ini memang masyarakat Yogyakarta sedang “demam” Merapi dengan awan panas wedhus gembel dan mBah Marijannya.

Tapi dalam hati saya ragu. Gempa Merapi artinya gempa vulkanik. Dan gempa vulkanik tidak akan sekuat itu. Kalau begitu berarti gempa tektonik. Dan kalau gempa tektonik berarti pusatnya berada di sekitar palung Jawa di laut kidul (selatan). “Tsunami…!”, begitu yang kemudian terlintas di pikiran. Namun saya tidak berani mengucapkannya. Khawatir akan menjadi penambah kepanikan, terutama bagi anggota keluarga saya.

Kami saling berkumpul dengan sesama tetangga dengan aneka komentar masing-masing. Sampai akhirnya ada yang bercerita bahwa dia mendengar dari radio, katanya bukan Merapi melainkan gempa bumi yang berasal dari laut selatan. Ya, radio!. Itulah satu-satunya sumber informasi paling mudah dan murah. Tapi dimana ada radio? Ya! Radio di mobil adalah yang paling praktis. Untuk itu mobil harus dikeluarkan sekalian diamankan dari kemungkinan kerobohan sesuatu di dalam garasi. Bukan tidak mungkin gempa susulan akan terjadi sementara saya belum tahu bagaimana kondisi rumah pasca gempa yang baru saja terjadi.

Saya lalu mulai mencoba memberanikan diri mendekati rumah. Melakukan inspeksi secara visual terhadap kondisi fisik rumah. Mulai dari kenampakan luarnya. Lalu membuka pintu depan yang ternyata tidak terkunci. Menatap berkeliling memeriksa dinding-dinding ruang tamu. Tampak barang pecah belah berserakan jatuh dari atas meja dan dari dalam lemari kaca. Menuju ruang tengah tampak televisi dan dispenser bergulingan. Guci, piring dan benda-benda keramik pecah di mana-mana. Meja dan lemari bergeser dari posisinya. Sedikit retakan baru muncul di beberapa tempat.

Saya belum berani menuju ke lantai atas. Saya hanya menginspeksi dan memutuskan untuk tidak melakukan apapun sampai nanti situasi benar-benar tenang. Acara inspeksi pun dilaksanakan dalam suasana hati was-was. Ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh lembut, entah dari mana sumbernya dan terasa ada gempa susulan, secepat kilat berlari ke luar rumah. Kemudian masuk lagi ketika gempa susulan berhenti. Dalam suasana seperti itu, perasaan menjadi sangat sensitif terhadap getaran dan suara gemuruh betapapun lemah dan lembutnya. Anak laki-laki saya tertawa, karena seperti sedang bermain petak umpet.

Lalu saya lihat jam meja tertelungkup di atas kulkas. Ketika saya lihat ternyata jamnya mati dan jarum jamnya tepat menunjukkan waktu pukul 05:54 WIB. Itulah saat getaran kuat gempa terjadi dan menjatuhkan jam meja yang berdiri di atas lemari pendingin. Jam itu mati tepat menjelang enam menit yang semula saya merencanakan hendak bangkit dari tempat tidur. Ternyata Tuhan menyuruh saya bangkit lebih cepat.

Tiba-tiba saya ingat : “Lho, saya kan belum sholat subuh…?”. Waktu itu kira-kira sudah lewat jam enam seperempat. Lalu dengan nyali diberani-beranikan, saya mengambil air wudhu, menggelar sajadah lalu subuhan alias subuhe wis awan (sholat subuhnya kesiangan). Dalam hati saya menyesal, jelas ini perilaku salah. Tapi sesalah-salahnya saya, rasanya masih lebih salah kalau saya tidak sholat sama sekali. Biarlah, sholat subuh yang mestinya qoblal-gempa (sebelum gempa) berubah menjadi ba’dal-gempa (sesudah gempa). Tentu saja ini bukan terminologi agama, melainkan terminologi plesetan gaya Jogja yang baru saja terpeleset gempa.

Usai sholat, kemudian saya membuka garasi dan mengeluarkan mobil untuk diparkir di luar, di tempat yang lebih terbuka. Maka radio di mobil segera disetel keras-keras agar dapat didengarkan bersama-sama. Hanya ada beberapa studio radio yang memancarkan siarannya. Barangkali karena listrik mati atau studio yang lain juga rusak terkena gempa. Entahlah, pagi itu suara penyiar radio Sonora cabang Jogja sepertinya menjadi akrab di telinga. Sang penyiar mengudarakan pesan-pesan tilpun yang datang dari para pendengarnya.

Dari radio jugalah akhirnya saya tahu bahwa telah terjadi gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter, dengan pusat gempa berada di selatan Yogyakarta pada jarak 38 km dari pantai dan pada kedalaman 33 km. Dari radio juga akhirnya saya tahu bahwa telah terjadi kerusakan hebat di mana-mana dan mulai dilaporkan banyak jatuh korban.

Hal yang terlintas pertama kali di pikiran saya setelah mendengar info pergempaan yang baru terjadi itu adalah bahwa sumber gempanya berada di dekat pantai dan dangkal. Informasi awal yang kata penyiarnya bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika itu belakangan sangat membantu saya memahami apa artinya. Terutama ketika gencar merebak isu terjadinya tsunami yang kemudian menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

Umbulharjo, Yogyakarta – 1 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (3)

18 Desember 2007

Beberapa puluh menit kemudian ketika suasana hati mulai agak tenang. Saya kembali melakukan inspeksi ke dalam rumah. Kali ini saya memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Sekedar untuk memastikan bahwa dinding-dinding rumah dan struktur rumah dalam kondisi aman, sehingga saya yakin bahwa kondisi rumah masih layak untuk ditempati. Tidak satupun benda-benda yang berserakan di lantai atas saya sentuh. Sengaja saya biarkan untuk sementara waktu. Pintu dan jendela-jendela di lantai atas saya buka agar udara segar dapat masuk ke dalam rumah.<

Dari hasil inspeksi saya menemukan fakta, bahwa semua benda-benda yang tergantung di dinding dalam keadaan utuh pada tempatnya. Foto-foto, gambar dan piring-piring keramik dan cendera mata yang tergantung di dinding tidak satu pun yang terjatuh. Semua benda-benda yang tergeletak di atas lantai juga tidak ada yang terguling, termasuk guci-guci kecil. Sebaliknya hampir semua benda yang tergeletak di atas tumpuan seperti meja, almari, dapur, nyaris semua berantakan berjatuhan, termasuk televisi, monitor komputer, akuarium, guci, piring dan segala macam. Herannya kendati pesawat televisi dan monitor komputer jatuh tersungkur dengan posisi layar kaca menghadap dan menyentuh lantai, tapi tidak satu pun yang retak atau pecah.

Sejenak saya berdiri pada posisi persis seperti ketika saya baru loncat dari tempat tidur lalu bertepuk tangan dan memanggil anak-anak saya tadi pagi. Tepat di bawah gawang pintu kamar sambil berpegangan tiang sebelah kiri. Tiba-tiba saya merinding sendiri. Di tempat itulah, beberapa puluh menit yang lalu saya menyaksikan rumah bergoyang-goyang seperti mau roboh dan anak-anak saya sempoyongan menuju pintu belakang. Di tengah suara gemuruh yang memekakkan telinga dan terdengar menakutkan.

Kejadiannya sangat cepat, menegangkan dan mencekam. Belum pernah saya berada dalam situasi seperti itu. Kalau seandainya pada saat itu rumah kami roboh, maka kami bertiga pasti terjebak di dalamnya. Entah sebuah kebetulan atau keberuntungan, saya hanya ingat bahwa hanya Tuhan yang mampu melindungi kami dari ancaman bahaya pagi itu. Saya sadar betul, tidak satu oknum pun mampu membekingi saya pagi itu. Tidak satu rupiah pun dari sisa tabungan saya mampu saya belanjakan untuk mencari perlindungan pagi itu. Tidak juga jabatan CEO “Madurejo Swalayan” dapat saya banggakan untuk lepas dari teror alam yang mencekam. Tak satu pun!. Kecuali kuasa dan kebesaran Ilahi yang ada. Sang Pemilik Bumi yang sengaja “mencandai” mahluk-mahluk lemah ciptaan-Nya. Karena itu, hanya menyebut nama-Nya dengan penuh harap dan kepasrahan yang dapat saya lakukan.

Hal terbaik dan terburuk punya peluang yang sama untuk terjadi. Sekiranya Sang Penguasa Bumi menganggap keberadaan saya di atas dunia ini hanya menuh-menuhin saja, tidak membawa manfaat apapun, atau dianggap sudah cukup. Maka, tidak ada yang mustahil bagi-Nya karena memang tidak ada yang dapat menghalangi-Nya. Ada “alasan” kuat bagi Sang Penguasa Bumi untuk terjadinya hal yang terburuk. Demikian pula sebaliknya.

Saya tidak sedang mendramatisir cerita saya. Ketika saya bersujud dan bersyukur telah lolos dari ancaman bencana yang demikian dahsyat, tanpa saya sadari air mata saya menetes. Sebagai seorang muslim tiba-tiba saya ingat, bukan tanpa alasan kalau sampai tigapuluh satu kali Tuhan menyampaikan sindiran-Nya : “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian dustakan?” (QS. 55 : 1-78). Saya yakin di agama lainpun pasti ada pesan-pesan semacam ini.

***

Menurut berita di koran, momen goyangaan bumi yang mencekam itu berlangsung selama 57 detik, meskipun menurut perasaan saya pasti lebih lama dari itu. Katakanlah, benar selama 57 detik, maka saya sangat menyadari bahwa itulah “injury time” yang akan menentukan apakah saya masih akan menyaksikan jarum panjang menggapai angka 12 atau tidak, di hari Sabtu pagi itu.

Kalau saja sewaktu saya membangun rumah dulu, struktur fondasinya dan tulangannya tidak cukup kokoh, pasti pagi itu rumah saya sudah rata dengan tanah. Kalau saja pasangan batanya asal-asalan, pasti rumah saya roboh. Terbukti saya menyaksikanya pada bangunan-bangunan yang roboh akibat gempa di beberapa lokasi.

Sekencang apapun saya mampu berlari saat menyadari sedang terjadi gempa hebat, rasanya tidak akan mampu melebihi kecepatan robohnya rumah di saat “injury time”, kalau memang rumah yang saya tempati akan roboh oleh gempa. Maka saat “injury time” pagi itu, saat saya berdiri, bertepuk tangan dan berteriak memanggil anak-anak saya, saat anak pertama saya turun dari lantai atas dan saat anak kedua saya gelagapan bangun dari tertidurnya di depan televisi, adalah saat yang tepat untuk robohnya rumah kami. Semua persyaratan untuk roboh dan merobohi penghuninya sudah terpenuhi. Tinggal tombol “red light” menunggu dipencet oleh Sang Penguasa Bumi.

Barulah saya benar-benar menyadari, bahwa adalah sangat penting memperhatikan kekuatan struktur sebuah rumah pada saat rumah itu dibangun. Sudah lama saya tahu hal ini, tapi tidak pernah menganggapnya penting. Maka kalau ada pembangun rumah memanipulasi kekuatan strukturnya untuk apapun alasannya, maka sesungguhnya dia sedang “merencanakan” untuk mencelakai calon penghuninya. Terutama kalau kita tahu bahwa lokasi bangunan itu berada di kawasaan rawan gempa.

Sebelum membangun sebuah rumah atau bangunan apapun, tidak ada salahnya untuk sedikit meluangkan waktu mengetahui kondisi geologi kawasan itu. Terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan rawan gempa, seperti sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Itulah kawasan jalur gempa, dekat garis pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia yang perlu diwaspadai. Tidak ada salahnya untuk sekedar ngobrol-ngobrol dengan mereka yang pernah kuliah ngelmu Geologi Struktur dan lulus murni (bukan nyontek). Tidak ada salahnya juga mencari tahu dimana berada sesar atau patahan aktif di kawasan tertentu. Setidak-tidaknya kita akan tahu seberapa besar potensi kerusakan bisa ditimbulkan kalau-kalau gempa bumi berkekuatan besar terjadi.

Bagaimana kalau kita tidak membangun sendiri rumahnya melainkan beli rumah di kompleks perumahan, misalnya di Bumi Gempa Permai atau Pantai Tsunami Indah? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi pasti ada caranya.

Oleh karena itu bagi mereka yang membangun bangunan di kawasan rawan gempa, menurut saya bukanlah pemborosan kalau kita berlaku tidak terlalu pelit untuk membelanjakan uang lebih banyak guna memperkuat struktur bangunan. Juga bukanlah tindak ngoyoworo (membuang-buang waktu) kalau kita meluangkan waktu untuk sedikit mengetahui kondisi geologi suatu kawasan.

Sebab fakta membuktikan, setidak-tidaknya itulah yang saya lihat dan alami, kalau memang rumah kita memenuhi syarat untuk roboh diterpa gempa berkekuatan besar, maka tidak ada satu hal pun yang mampu menundanya. Tidak juga karena menunggu anak-anak kita bangun dari tidur atau sedang berlari keluar dari rumah. Kecuali Sang Maha Penggoyang Bumi berkehendak sebaliknya.

Sayangnya, saya sangat percaya bahwa apa yang dikehendaki oleh Sang Penggoyang Bumi akan berbanding lurus dengan apa yang sudah diikhtiarkan oleh penghuni bumi-Nya. Selebihnya di luar pemahaman ini, maka akan tetap menjadi misteri “The X-File”-nya Sang Pencipta….. Wallahu a’lam!

Umbulharjo, Yogyakarta – 3 Juni 2006
Yusuf Iskandar

——-

WORO-WORO :
Jika ada yang berniat menyumbangkan sesuatu bagi korban gempa Jogja dan sekitarnya (sembako, tenda, alas tidur, selimut, pakaian, obat-obatan, alat tulis/sekolah, atau apapun bentuknya), dan kesulitan menemukan tempat/lembaga untuk menyalurkannya, Insya Allah saya dapat membantu menyalurkannya langsung kepada mereka yang membutuhkan. Sasaran saya adalah kawasan desa-desa terpencil di lereng-lereng bukit di sebelah timur desa Madurejo yang berbatasan dengan kabupaten Klaten. Kawasan ini relatif kurang “populer” dibanding wilayah kabupaten mBantul lainnya, sehingga tidak mudah tersentuh bantuan sebagaimana kawasan mBantul selatan. (Yusuf Iskandar — HP. 08122787618).

Ada Gempa Di Kotaku (6)

18 Desember 2007

Malam pertama sejak gempa pagi harinya, orang-orang belum merasa nyaman untuk tidur di dalam rumah, sekalipun kondisi rumahnya masih baik dan layak huni. Gempa hebat Sabtu pagi itu memang benar-benar membuat ciut nyali siapapun. Satu lagi bukti bahwa manusia yang suka petentang-petenteng di muka bumi ini ternyata tidak ada apa-apanya ketika berhadapan dengan Sang Ontorejo yang kakinya sedang gedrug-gedrug di dalam perut bumi. Tak terkecuali keluarga kami pun rela tidur beralaskan tikar beratapkan langit di depan rumah.

Hanya karena semua orang melakukan hal yang sama, maka kesan rekreatifnya lebih terasa ketimbang kesan sedang ngungsi. Anggap saja sedang camping di depan rumah. Semua bisa dilakukan sambil berhaha-hihi. Meski begitu kami tidak lupa, bahwa hal itu karena kami semua selamat dan pada dasarnya tidak kurang suatu apapun kecuali nyali. Menjadi lain ceritanya kalau yang tidur di luar rumah itu adalah mereka yang jadi korban gempa, entah cedera fisik ataupun yang rumahnya roboh atau tidak layak ditempati. Dan mereka yang bernasib seperti ini ribuan jumlahnya.

Agak malam sedikit, ternyata hujan benar-benar turun, agak deras lagi. Kali ini ramalan cuaca tidak bohong. Maka buyarlah acara camping keluarga. Alas tidur terpaksa pindah ke teras rumah. Anak-anak kost yang belum berani masuk ke kamarnya pada tidur di garasi mobil yang sengaja dibuka. Itu kami, dan sebagian masyarakat yang selamat serta kondisi rumahnya baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan mereka para korban gempa yang kondisi rumahnya tidak baik-baik saja alias tidak layak ditempati lagi bahkan untuk berteduh dari terpaan hujan?

Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi korban gempa yang sekampung rumahnya roboh semua tentu tidak mudah untuk keluar dari situasi seperti ini. Lha, mau berteduh kemana? Masih untung kalau di dekat-dekat situ ada bangunan yang agak utuh. Sementara di hari pertama tentu belum banyak bala bantuan yang menjangkau semua korban. Maka, sungguh bukan cerita yang mengada-ada kalau kabar di radio atau di koran esoknya mewartakan ada mereka yang tertidur dalam kondisi basah kuyup di bawah hujan. Itu baru mereka yang secara fisik selamat. Bagaimana dengan mereka yang secara fisik juga cedera tapi belum bisa terangkut ambulan, karena saking banyaknya korban cedera? Sepertinya tidak adalagi kata-kata yang pas buat melukiskan situasi malam itu, terutama bagi kampung-kampung yang seluruh rumahnya nyaris tidak menyisakan ada yang masih berdiri. Informasi seperti ini saya dengar bersambung-sambung dari radio.

***

Sekitar jam delapan dan jam sembilan malam, jalur komunikasi telepon seluler kelihatannya mulai agak lancar. SMS sesekali masuk dari rekan-rekan atau keluarga jauh yang menanyakan.tentang kabar keluarga di Jogja. Tak terkecuali mahasiswa yang kost di tempat kami. Dering tilpun dari orang tuanya, terutama ibu-ibunya di kampung halaman, bertubi-tubi menanyakan kondisi putra-putranya. Diantaranya meminta agar pulang dulu. Sangat bisa dimaklumi. Namun ada juga yang justru enggan pulang, karena kepingin menikmati fragmen hidup di bawah bayang-bayang suasana  ketegangan seperti ini.

Bagi saya, suasana seperti ini sangat sayang untuk dilewatkan. Saya beruntung dan bersyukur sempat mengalami suasana ketegangan dan kepanikan semacam ini dalam keadaan selamat bersama keluarga. Ini adalah pengalaman hidup yang belum tentu akan terulang seratus tahun lagi. Juga belum tentu akan sempat mengalaminya di tempat lain. Karena gempa tidak bisa diprediksi kapan terjadinya, bahkan beberapa detik sebelumnya, hingga tahu-tahu terjadi dan beberapa detik kemudian korban berjatuhan meluluh-lantakkan apa saja. Maka tentu tidak bisa diburu seperti pemburu hantu atau pemburu badai tropis tornado misalnya.

Sebaliknya berharap agar terjadi gempa adalah sebuah kesombongan. Kalau boleh memilih : terjadi gempa hebat, sempat mengalami dan selamat. Namun sayang, Sang Ontorejo Yang Maha Penguasa perut bumi sudah memilih skenario terbaik, tentang siapa yang dipilihnya menjadi korban, siapa yang menjadi penolong dan siapa-siapa yang bisa belajar dari ilmu-Nya. Semua ter-setting dalam naskah teater kasih dan sayang-Nya (dalam bahasa agama saya : Rahman dan Rahim-Nya). Tinggal kita ini menyesuaikan diri, sedikit saja berbaik-baik kepada Sang Ontorejo (syukur-syukur bisa banyak) dan ikuti tata-krama yang sudah diamanatkan. Tidak usahlah petentang-petenteng di atas bumi-Nya, seperti hendak merengkuh semua isinya. Bukan tidak perlu, melainkan cukuplah kalau sekiranya bisa berlaku proporsional.

***

Baru saja jalur komunikasi SMS rada lancar, muncul isu baru yang cukup membuat resah. SMS mulai pating sliwer (berseliweran), mengabarkan bahwa malam ini akan terjadi gempa susulan yang lebih dahsyat dan diharapkan masyarakat waspada. Dikabarkan informasi itu bersumber dari Jepang, ada lagi yang bilang dari Australia, ada lagi yang mengatakan dari BBC. Gempa lebih kuat akan terjadi sekitar jam 2 atau 3 dini hari. Bayangkan, di saat semua orang masih termangu-mangu dengan goyangan dahsyat Sabtu pagi hari dan bagi mereka yang selamat masih dheleg-dheleg seperti tidak percaya. Tiba-tiba diberitahu akan terjadi lagi yang lebih dahsyat.

Sial benar ini si pembuat isu! Anak-anak kost di tempat saya pun gelisah menanyakan tentang hal itu. Sebagai orang yang dituakan di rumah, tentu saya merasa wajib bertindak mengayomi. Saya pun terpaksa berlagak sok tahu dan sok pinter. Terkadang perilaku seperti ini dibutuhkan dalam keadaan darurat. Bukan dalam kerangka kesombongan, melainkan dalam misi menciptakan ketenteraman. Saya katakan bahwa isu itu sama sekali tidak benar. Tidak usah gelisan dan jangan terpengaruh, kata saya.

Meski saya bertindak sok tahu dan sok pinter, namun tentu ada dasarnya. Dan itu pula yang saya jelaskan kepada anak-anak kost dan keluarga saya.

Pertama, hingga detik ini belum ada satu alat pun dan seorang ahli pun yang mampu meramalkan kapan gempa akan terjadi, apalagi sampai bisa mengatakan jam dan intensitasnya. Maka kalau ada oknum entah itu londo Jepang, londo Ostrali atau londo Inggris menyatakan akan terjadi gempa lebih hebat, bahkan menyebut jam kapan akan terjadi, maka itu pasti dalam rangka pu-tippu..., dan su-issu

Kedua, dalam sejarah pergempaan (ada untungnya juga menyukai pelajaran sejarah), belum pernah terjadi ada gempa susulan yang intensitasnya melebihi gempa utama (main strike). Kalau toh terjadi juga gempa besar, maka pasti episentrumnya berbeda. Ini sebenarnya penjelasan normatif. Tidak berbohong, tapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya. Tidak perlu saya katakan bahwa bergesernya episentrum itu bisa sejauh 1 km atau 1000 km. Tidak penting lagi penjelasan semacam ini. Yang paling pokok adalah keluarga saya dan orang-orang di sekitar saya merasa tenang dan tidak panik. Perkara nanti jam 2 atau jam 3 dini hari kok terjadi juga gempa dahsyat, maka biarlah itu menjadi urusannya Al-Khalik Sang Pemilik Bumi. Lebih baik ditinggal tidur saja, dan jangan lupa berdoa.

***

Namun tak urung saya pun sebenarnya ikut deg-degan. Sialan ini isu…! Pada saat segenap keluarga pada dlosoran tidur di teras depan karena hujan dan anak-anak kost tidur ngeringkel di garasi mobil, saya merelakan diri jadi satpam. Tidur sambil duduk di kursi bambu, sambil siap-siap, berharap menjadi orang pertama yang memimpin evakuasi kalau-kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk. Kunci mobil, kunci rumah, HP, lampu senter, korek api (plus rokoknya tentu saja, lha ngapain bawa korek api thok…), dompet seisinya (jangan sampai kosong), semua siap di jaket dan setidak-tidaknya berada di tempat yang mudah dijangkau. Karena merasa mempunyai tanggung jawab seperti itu, maka tidur pun jadi tidak nyenyak.

Untuk kesekian kalinya saya nggrundel : “Isu sialan…!”. Bagai menunggu lonceng kematian, setiap setengah jam saya terbangun. Hingga mendekati jam 2 dini hari, lebih seperempat jam, lebih setengah jam, hingga lewat jam tiga dini hari, jam empat, lalu terdengar adzan subuh. Alhamdulillah, puji Tuhan, lonceng kematian tidak jadi berdentang. Berganti dengan seruan sholat subuh : “Sholat itu lebih baik daripada tidur…..”, apalagi tidurnya sambil duduk. Begitu seruan bersahutan dari masjid-masjid yang listriknya sudah menyala…

Umbulharjo, Yogyakarta — 7 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (7)

18 Desember 2007

Masih di malam pertama hari pertama pasca gempa, Sabtu malam Minggu menjelang tengah malam. Istri dan anak-anak sudah pada terlelap di teras rumah dan anak-anak kost pun sudah mulai ada yang mendengkur di garasi. Di luar masih gerimis rintik-rintik. Udara memang cukup dingin dari sebelumnya, angin pun semribit. Mata mulai riyip-riyip menahan kantuk, tapi tidur sambil duduk tidak bisa lepas dan leluasa. Ya gara-gara isu gempa dahsyat yang katanya mau nyambangi lagi.

Gempa susulan berintensitas kecil sesekali menggangu kenyamanan tidur semua orang. Setiap kali ada gemuruh lembut dan bumi bergoyang kecil, seperti dikomando semua orang njenggirat bangkit dari tidurnya. Siap-siap kabur kalau-kalau intensitasnya meningkat besar. Saya pikir hanya kami yang bertingkah seperti itu. Esoknya semua orang saling bertukar cerita dan rupanya semua orang pula berperilaku yang sama pada malam itu.

Efek traumatis gempa Sabtu pagi memang luar biasa. Sampai-sampai sedemikian sensitifnya panca indra setiap orang hingga setiap kali ada suara sedikit gemuruh atau entah bunyi apa yang mengagetkan, spontan gerak refleks bereaksi untuk siap-siap lari. Tidak sedikit pula yang lari sungguhan karena khawatir bunyi itu adalah gempa yang datang kembali. Dan ini nyata terjadi serta dialami oleh hampir setiap orang. Situasi seperti itu berlangsung sampai berhari-hari pasca gempa. Ada yang bisa cepat pulih dari tekanan rasa panik, ada yang sampai berhari-hari sulit untuk me-recovery ketenangan psikologisnya. Anak-anak adalah mereka yang paling berat beban trauma psikologisnya.

Anak seorang teman hingga seminggu pasca gempa masih takut masuk rumah. Ada lagi yang selalu menghindar dari berita gempa di televisi. Ada lain lagi yang tidak suka mendengar orang membicarakan soal gempa. Bisa dibayangkan bagaimana dengan anak-anak yang benar-benar menjadi korban gempa. Maka tidak berlebihan kalau para pakar seringkali mengatakan agar jangan menyepelekan trauma psikologis yang dialami oleh anak-anak korban gempa. Semua itu memang nyata adanya.

***

Sekira menjelang tengah malam hari pertama, agaknya jalur komunikasi telepon seluler mulai lebih normal. Justru pada saat mata hendak dipejamkan, SMS mulai pathing pecotot berhamburan di HP. Menilik jam pengirimannya, SMS-SMS itu dikirim pada siang hari dan baru bisa diterima malam hari. Belakangan hari teman-teman mengeluh katanya handphone-nya susah sekali dihubungi. Begitulah adanya.

Belum selesai membalas satu SMS, sekian SMS lagi menyusul masuk. Begitu seterusnya. Akhirnya saya pikir-pikir, bisa-bisa saya tidak tidur semalaman kalau mesti menjawab SMS satu per satu. Padahal malam itu ada puluhan SMS yang berduyun-duyun ngebaki (memenuhi) HP. Akhirnya saya buat format balasan standar. Toh nada pertanyaannya hampir sama, yaitu menanyakan bagaimana kabar keluarga akibat gempa.

Kemudian saya tulislah bunyi balasan standar, saya simpan sebagai template. Maka untuk membalas SMS, saya tinggal buka template, lalu : “Kirim”. Hanya untuk jenis pertanyaan dan pengirim tertentu yang perlu dikecualikan untuk dijawab tidak menggunakan template. Wajar saja, dimana-mana ya selalu ada pengecualian. Selama tidak dengan maksud diskriminatif, melainkan kepatutan etika saja.

Jadi ya mohon hal yang seperti ini dimaklumi oleh para pengirim SMS. Tanpa mengurangi rasa apresiasi dan terima kasih kepada rekan dan saudara yang telah berkirim SMS. Namun setidak-tidaknya SMS balasan itu tetap keluar dari nomor HP saya dan hasil pencetan jempol saya (terkadang sambil ngantuk). Bukan mesin penjawab otomatis atau SMS server seperti pada program berhadiah di televisi, kuis tapi judi atau judi berwajah kuis, yang untuk megirimnya terkena bayaran premium. Menang syukur, tidak menang ya paling pulsa berkurang “enggak seberapa”. Lain kali dicoba “berjudi” lagi…, di televisi, diselenggarakan oleh lembaga yang diakui pemerintah. Tapi, kapakno-kapak (diapa-apakan) ya tetap saja judi… Begitulah yang saya lakukan. Bukan berjudinya, tapi cara menjawab SMS yang tumpuk-undung di Inbox HP.

Masalah membalas puluhan SMS teratasi? Belum! Pasalnya, cilakak dua belas….., pulsa mulai menipis. Terpaksa harus ada yang disisakan sedikit untuk antisipasi kalau-kalau ada hal mendesak yang membutuhkan komunikasi keluar. Itu karena di rumah saya belum terpasang tilpun telkom rumahan (PSTN). Solusinya, saya coba membalas SMS dengan meminjam menggunakan HP istri, lalu nempil (pinjam) pulsa HP kepunyaan anak saya. Lama-lama, semua pulsa menipis. Kesal juga. Tapi mau kesal sama siapa?. SMS banyak masuk tapi hanya bisa membacanya tanpa bisa membalasnya. Si pengirim SMS pasti menunggu kepingin tahu kabar kami. Ya sudah, SMS-SMS itu dipenthelengi (ditatap) saja. Maunya nggrundel, kenapa pulsa-pulsa tinggal sedikit, bukannya dari kemarin dijog (diisi ulang). Jawabannya valid : “Habis tidak tahu kalau mau ada gempa…..”.

Lewat tengah malam nada khusus HP saya masih saja memancarkan bunyi morse : “tit-tit-tit … tiiiiit-tiiiiit … tit-tit-tit”. Terjemahannya : “Pak, pak, ada essemmess pak…”. Ah, saya tinggal tidur saja…, sambil duduk di atas kursi bambu yang saya beli di Jombor setahun yang lalu. Sambil menanti Ontorejo yang sedang amblas bumi menggeliat kembali pada jam dua atau tiga dini hari. Siwalan itu isu…..!

Umbulharjo, Yogyakarta – 7 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (10)

18 Desember 2007

Gempa terjadi di Jogja dan sekitarnya dan sebagian kawasan selatan Jawa Tengah. Jelas ini bukan di Aceh, atau Nias atau Papua, dimana infrastruktur perhubungan menjadi kendala. Ini di Jogja, yang jalan-jalannya hingga pelosok desa relatif hampir semua sudah beraspal halus, setidak-tidaknya masih lebih mudah dijangkau. Sarana transportasi pun nyaris bukan halangan. Tapi kenapa manajemen distribusi bantuan kepada korban gempa sepertinya amburadul.

Begitulah setiap kali kita dengar komentar yang berhamburan di radio dan media lainnya. Sistem manajemen distribusi bantuan seringkali menjadi sorotan. Semua orang geregetan. Semua orang seperti mau marah. Sepertinya kita ini orang-orang bodoh yang tidak pernah bisa belajar dari penanganan korban bencana yang bertubi-tubi dialami oleh bangsa Indonesia (kalau kalimat ini saya terus-teruskan, bisa-bisa saya ikut-ikutan menghujat orang lain…..).

Atau memang kita ini terbiasa baru mau belajar setelah mengalaminya sendiri. Ketika bencana sedang dialami orang lain, kita pikir kita lolos dan tidak akan mengalaminya. Makanya malas untuk belajar. Ketika bencana itu benar-benar terjadi pada diri kita, barulah kita ngeh dan lalu bekerja sambil belajar (sambil berdoa juga, kalau sempat…). Nanti setelah bencana ini berlalu, kita semua akan sibuk rapat-rapat untuk melakukan evaluasi dan menyusun sistem manajemen penanganan korban gempa bumi.

Tapi ya sudah lewat. Menurut sejarah dan “gathukologi” (ilmu gathuk), gempa besar kemungkinan bisa terjadi lagi seratus-dua ratus tahun yang akan datang di wilayah yang sama. Dokumen sistem manajemen penanganan bencana yang kita susun berbulan-bulan itu sudah dimakan rayap di perpustakaan. Lalu kita baru akan bekerja lagi sambil belajar ketika (entah kapan) terjadi lagi gempa besar. Begitu seterusnya. Bukan hanya Jogja, melainkan juga Aceh, Nias, Lampung, Bengkulu, Sulawei Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur, dsb.

Maka kalau ada yang bisa saya sarankan kepada masyarakat yang selama ini “belum” pernah mengalami bencana besar. Bersiap-siaplah. Sekaranglah saatnya melakukan studi banding ke Jogja. Belajarlah ke Jogja, bagaimana seharusnya sistem manajemen penanganan korban bencana itu dilakukan. Kemudian lakukanlah seminar-seminar, sarasehan, diskusi, lokakarya, konferensi, simposium, kolokium, baik yang ilmiah maupun tidak ilmiah, guna merumuskan sebuah cetak biru sistem manajemen penanganan bencana yang paling pas buat daerah masing-masing.

Saya sama sekali tidak bermaksud maidu (menyalahkan). Antara manajemen krisis dan krisis manajemen memang hanya dua kata yang dibolak-balik saja. Dalam kondisi badan lagi fresh, fit, segar-bugar, habis minum kopi, kedua hal itu dapat dipahami dan dirunut dengan jelas. Namun ketika pikiran sedang buthek, panik, dicaci setiap orang, maka sepertinya susah untuk membedakan antara keduanya. Apalagi bagi bangsa Indonesia yang lagi enggak enak badan. Bangsa Jepang dan Amerika yang sehat wal-ngafiat saja kalang-kabut dan dicaci di sana-sini ketika amburadul menangani korban gempa hebat di Kobe dan badai tropis di New Orleans.

***

Belum lepas dari ingatan kita, setahun yang lalu Jogja pernah geger-genjik bakal diterpa badai tropis dari laut kidul. Segala macam persiapan sudah dilakukan oleh setiap orang kalau benar-benar bencana badai tropis itu terjadi. Dari persiapan fisik, lahir-batin, moril-materiil, sampai bikin sayur lodeh tujuh macam. Pendeknya, masyarakat Jogja bersama pemimpinnya sudah siap tempur kalau bencana itu datang. Eee…, badai tropis urung berkunjung.

Sebulan yang lalu hingga sebelum gempa, semua orang terutama yang tinggal di seputaran kawasan gunung Merapi bersama mBah Marijan, sepertinya sudah benar-benar siap lahir-batin menghadapi amukan letusan Merapi. Semua jurus pengamanan, pengungsian, tanggap-darurat sudah dipersiapkan dengan matang. Belum sempat bencana itu terjadi (tentunya mudah-mudahan ya tidak terjadi, atau kalaupun terjadi janganlah sampai menelan korban…..), datanglah gempa dahsyat yang menelan korban ribuan jiwa dan milyaran harta benda. Dan, kalang-kabutlah semua orang karena tidak siap dengan serangan fajar gempa tak dinyana-nyana…

Apa benang merahnya? Sumprit..., ini hanya anekdot versi saya, sebelum saya akhiri catatan panjang saya.

Saya melihat, bahwa aba-aba ancaman badai tropis adalah “test case” pertama dari Sang Empunya Bumi. Ternyata : Ooo… masyarakat Jogja sudah siap to….. Lalu aba-aba datang lagi dengan ancaman Merapi sebagai “test case” kedua. Ternyata juga : Ooooooo… elok tenan (bagus sekali) masyarakat Jogja memang sudah siap. Nah, saiki tak wenehi (sekarang Saya kasih) “test case” ketiga tanpa aba-aba. Hurug-hurug-hurug-hurug….., cukup 57 detik saja!. Wee… ternyata wong Jogja ini cuma adigang-adigung suka menyepelekan ayat-ayatnya Sang Empunya Hidup…..

***

Well…, Merapi tadi pagi memuntahkan awan panas dan guguran lava sangat besar dan terbesar selama ini. Sehingga semua orang kalang kabut mengira Merapi meletus. Siangnya gempa agak kuat kembali mengguncang membuat semua orang panik dan berhamburan.

Maka, “aba-aba” seperti apa lagi yang dibutuhkan agar manusia ini tidak lupa bersimpuh dan bersyukur atas semua nikmat yang telah diperolehnya?

Umbulharjo, Yogyakarta – 8 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (11)

18 Desember 2007

Beberapa hari yang lalu saya menerima transfer sejumlah uang dari seorang rekan yang katanya pembaca setia “dongengan” saya. Beliau berniat membantu korban bencana gempa Jogja tapi kesulitan menyalurkannya (suka menjadi bagian saya kalau sudah urusan yang sulit-sulit…..). Berhubung beliaunya ini tinggal di tempat yang jauuuh…, yang ketika di Jogja Sabtu pagi ada gempa, di kotanya “belum”, karena masih Jum’at sore.

Maka dengan senang hati saya akan membantu menyalurkannya. Meski sudah dua minggu gempa Jogja berlalu, informasi yang saya terima mengatakan masih ada lokasi-lokasi yang seret bantuan, terutama wilayah yang jauh dari akses jalan besar. Kesanalah saya hendak menuju, antara lain di sisi timur jalan raya Piyungan – Prambanan dan di kawasan perengan bukit Patuk yang memang berada di seputaran jalur sesar aktif Piyungan – Prambanan.

Secepatnya saya belanja ke sebuah toko grosir, setumpuk mie instan dan beras yang sudah diplastiki 5 kilograman pun memenuhi kendaraan keluarga, sekijang munjung. Ini bukan acara kulakan untuk “Madurejo Swalayan”, tapi untuk persiapan nge-drop bantuan bahan makanan bersama rekan lain dari desa Madurejo. Meski stok barang dagangan di “Madurejo Swalayan” sebenarnya juga menipis, tapi saya belum berencana untuk kulakan banyak-banyak. Menunggu situasi pasar dan kehidupan masyarakat kembali normal. Sales-sales pun belum banyak yang berkeliling beroperasi.

Rupanya ada juga sales-sales yang nekat. Berkeliling bukannya ngecek barang dagangan produknya, tapi malah mengajukan “inkaso”, ini istilah untuk menagih pembayaran tunda yang sudah jatuh tempo. Terang saja, dibayar dengan kata “maaf”. Lha, wong lagi kayak gini, kok ya tega-teganya nagih utang. Ya, memang haknya, tapi mbok ya rada ngerti sedikit gitu lho…., bahwa beberapa minggu ini tidak ada pemasukan berarti.

Mendadak saya mesti ke Jakarta untuk urusan satu dan lain hal (ini bahasa diplomatis para birokrat), terpaksa pengiriman bantuan ditunda dua hari sekalian sambil menunggu datangnya tambahan bantuan dari luar daerah yang diperkirakan akan datang hari Sabtu ini.

***

Di Jakarta, meski hanya sehari, saya sempatkan untuk menilpun ke rumah. Harap maklum saja, di saat-saat seperti ini memang rada gamang sebenarnya untuk meninggalkan keluarga agak lama dan jauh. Rupanya Jum’at pagi kemarin terjadi gempa susulan cukup kuat yang membuat sebagian masyarakat Jogja dan sekitarnya cukup panik dan berhamburan ke luar ruangan. Begitu cerita istri saya, diperjelas pula oleh berita koran lokal “Kedaulatan Rakyat” yang saya baca tadi pagi.

Di stasiun Gambir tadi malam, sepur Argo Lawu yang akan mengantarkan saya kembali ke Jogja (bersama ratusan penumpang yang lain, tentunya) akan berangkat setengah jam lagi. Sambil makan nasi rawon yang tidak seberapa enak dan jus tomat, di sebuah kantin di lantai dua stasiun Gambir, tiba-tiba saya terkesiap selama sepersekian detik, ketika terdengar bunyi gemuruh hurug-hurug-hurug….. Rupanya sebuah kereta sedang melintas di lantai atas stasiun. Mirip seperti itulah gemuruhnya suara gempa di Yogyakarta pada Sabtu pagi, 27 Mei yang lalu.

Bagi mereka yang belum bisa membayangkan seperti apa gemuruhnya gempa di Jogja, yang saya alami ketika sedang berada di dalam rumah yang kebetulan struktur bangunannya agak tinggi, maka cobalah untuk berada di lantai dua stasiun Gambir. Bagi warga paguyuban PJKA (Pulang Jum’at Kembali Ahad), tentu mudah untuk melakukan rekonstruksi ini. Tunggulah beberapa saat sampai sebuah kereta lewat di atasnya. Boleh juga dipraktekkan untuk bertepuk tangan dan berteriak keras seperti yang saya lakukan pada 27 Mei pagi itu….. Jangan khawatir dilihat orang. Tidak akan ada orang yang perduli pada Anda (paling-paling disenyumi manis…), karena tepuk tangan dan teriakan Anda akan hilang tertelan suara gemuruh kereta yang sedang melintas di atas stasiun.

***

Intensitas gemuruhnya suara getaran gempa tentu tidak sama dan tidak merata, tergantung lokasi bangunan tempat kita berdiri dan struktur bangunannya. Gemuruh paling kuat akan dirasakan ketika berada di dalam rumah tingkat atau bangunan tembok yang tinggi. Bangunan dengan struktur dominan kayu (apalagi kalau kayunya sudah tua) tentu gemuruhnya lebih lembut dan hanya sebentar, sebab keburu rubuh atau kita yang kerubuhan….. Sedangkan struktur rumah tembok satu lantai, tingkat kegemuruhannya juga agak rendah. Tapi tetap saja bergemuruh dan kedengaran menakutkan, apalagi kalau sempat melihat dinding-dinding tinggi bangunannya bergoyang-goyang.

Kini, masyarakat Jogja masih sumelang (was-was), ditambah lagi isu menyesatkan masih berseliweran, jangan-jangan gempa dahsyat yang terjadi Sabtu pagi itu akan berulang. Sangat-sangat dapat dimaklumi kalau sampai kini pun masih ada orang-orang yang takut tidur di dalam rumah, apalagi di lantai atas. Beberapa tetangga saya hingga sekarang masih tidur malam di teras rumah, bahkan televisinya pun dipasang di luar rumah. Sekalian ronda, sekalian nonton Piala Dunia, barangkali. Syukurnya, keluarga saya sudah mulai pulih dari trauma kepanikan, kami sudah mulai merasa rada leluasa tidur di dalam rumah. Meskipun kalau gempa susulan sesekali terjadi, sempat mak tratap…, njenggirat kaget

Gempa-gempa susulan masih terus berulang terjadi hingga memasuki minggu ketiga pasca gempa. Gema suara gemuruhnya seperti masih menghantui, pada setiap kali gempa susulan terjadi. Masih banyak orang yang mengalami trauma psikologis yang ternyata memang tidak mudah untuk menetralisirnya. Masih ada kereta yang akan lewat di atas stasiun Gambir.

Masih ada gemuruh membayangi. Dan masih ada, bahkan banyak orang-orang dan terutama anak-anak yang perlu dibantu mengatasi trauma psikologis pasca gempa. Saya yakin ini bukan pekerjaan mudah. Sebagaimana korban-korban bencana alam di tempat lain, masih banyak diperlukan relawan untuk kerja sulit ini hingga waktu yang panjang pasca gempa.

Madurejo, Sleman – 10 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (14)

18 Desember 2007

Seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat, baik yang berasal dari kota Jogja sendiri maupun dari luar Jogja, posko-posko bencana gempa Jogja bermunculan di berbagai penjuru kota. Mereka mengkoordinasi berbagai bantuan yang berhasil diterima dan dikumpulkan, lalu menyalurkannya langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di berbagai titik lokasi korban gempa. Langsung kepada para korban. Entah mengapa mereka umumnya tidak mau menyerahkannya melalui posko-posko yang dibangun pemerintah, melainkan memilih untuk menyalurkannya sendiri. Berbaik-sangka sajalah, barangkali agar bisa turut merasakan langsung seperti apa beban derita mereka yang menjadi korban.

Teman-teman saya yang mantan pegawai Freeport, Papua, juga membentuk posko peduli gempa Jogja. Segenap rekan dan sesama mantan pegawai Freeport yang tinggal di luar Jogja lalu dihubungi, barangkali berniat menyampaikan sekedar bantuan, maka posko peduli gempa siap membantu menyalurkannya. Tidak terkecuali segenap rekan yang masih aktif bekerja di Papua juga menggalang dana.

Akhirnya terkumpullah sejumlah dana yang segera dibelikan nasi bungkus, sembako, susu, tenda, selimut, peralatan masak, dsb. Semua didistribusikan sebagai tindakan tanggap darurat bagi korban gempa, ke seganap penjuru wilayah Jogja, Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Klaten. Mulai dari pembagian nasi bungkus ke rumah sakit-rumah sakit hingga bantuan sembako ke pelosok desa. Sebagian di antaranya adalah keluarga karyawan Freeport yang rumahnya roboh atau rusak berat. Kini, posko peduli gempa siap-siap memasuki tahap rekonstruksi atau rehabilitasi. Sejumlah dana yang masih digalang di Papua akan segera menyusul untuk disalurkan.

Hari Rabu yang lalu, sejumlah paket bantuan logistik yang masih tersisa di posko saya bawa ke lokasi yang termasuk terpencil, yang selama dua minggu ini masih seret bantuan (saya menyukai urusan yang sulit-sulit seperti ini…). Berombongan bersama beberapa teman, saya kembali membawa rombongan menuju ke desa Terong, kecamatan Dlingo, Bantul. Ini adalah wilayah Bantul di pinggir timur laut yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Melalui jalan Wonosari yang mendaki, sampai di Patuk membelok ke barat ke arah Dlingo. Menyusuri pinggiran terbuka sisi barat laut bukit Patuk ini berpemandangan indah, apalagi saat senja hari, seperti yang saya alami hari Sabtu sebelumnya. Memandang ke arah barat daya, terbentang kota Yogyakarta dan sekitarnya terlihat dari ketinggian. Sesampai di sekitar kilometer enam lalu berbelok ke selatan menuruni bukit Patuk.

Lokasinya berdekatan dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun beda pedukuhan dan beda kampung. Kami lalu menuju ke dukuh Joho, melalui jalan desa berupa tanah berbatu, naik dan turun perbukitan, membelah kawasan tegalan atau ladang penduduk sampai mentok ke ujung pedukuhan. Sebelumnya daerah ini sulit dijangkau karena satu-satunya jalan penghubung dengan jalan besar tertutup longsoran. Dari sekitar 450 jiwa warganya banyak mengalami cedera, tidak ada korban meninggal dunia. Namun tidak perlu ditanyakan lagi jumlah rumah yang roboh, semua penduduknya kini tinggal di bawah tenda seadanya.

Dengan masih adanya gempa-gempa susulan yang sangat terasa di daerah ini, hingga minggu ketiga pasca gempa mereka belum cukup punya nyali untuk mulai membenahi rumahnya yang berantakan. Malah ada yang terpaksa tinggal bersama sapi-sapinya, karena rupanya konstruksi kandang sapi lebih aman terhadap potensi roboh oleh gempa. Ya…, tinggal di kandang sapi, akrab berbagi tempat bersama sapi-sapinya.

Karena lokasinya yang tidak mudah dicapai, boro-boro terlihat dari jalan besar, maka tidak banyak bantuan yang sampai ke dukuh ini, kecuali memperoleh cipratan bantuan dari pemerintah pedukuhan atau RT lain. Menurut catatan petugas posko di sini, hanya ada sedikit bantuan yang masuk, dua atau tiga kali diantaranya berupa bantuan agak banyak yang pernah mereka terima. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan yang mudah dicapai, puluhan paket bantuan pasti sudah mereka terima sejak gempa terjadi 27 Mei yang lalu.

Namun mereka toh tidak nggrundel, mengeluh atau protes. Ya memang begitulah adanya. Yang penting masih bisa terpenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui dapur umum. Anak-anak mereka pun masih bisa pergi ke sekolah. Bal-balan Piala Dunia juga masih dapat mereka saksikan. Beruntung, kalau malam listrik sudah nyala untuk beberapa jam lamanya.

Dari dukuh Joho kami menuju dukuh Pencitrejo, pedukuhan yang sama dengan yang saya datangi hari Sabtu sore sebelumnya, namun kini kami menuju ke wilayah RT berbeda. Pembagian administratif di pedesaan ini memang rada membingungkan kalau belum familiar. Saya pun susah mengingatnya. Ada desa, lalu ada dukuh, lalu ada lagi dusun (terkadang disebut RW). Dalam satu dusun bisa terdiri dari banyak RT.

Nasib korban gempa di Pencitrejo RT 03 ini tidak beda jauh dengan warga Joho. Lokasinya tidak mudah diakses dari jalan besar. Sekitar 70 jiwa warganya masih tidur di tenda-tenda. Dapat dikatakan semua rumahnya roboh. Beberapa warga ada yang sudah berani mulai bersih-bersih rumah. Ya bersih-bersih saja, wong rumahnya roboh dan tidak bisa ditempati. Sebagian di antara rumah-rumah mereka berada di lereng, dimana banyak tanah yang merekah dan batu-batu besar menggelinding dari tempatnya semula saat gempa terjadi.

Dalam perjalanan pulang dari Pencitrejo, saya ketemu dengan petani yang sedang memanen singkong. Rasanya senang sekali memandangnya. Hasil panenannya ditimbun di tepi jalan desa yang hanya pas selebar kendaraan. Saya tergoda untuk berhenti, lalu akhirnya kepingin membeli sekadarnya. Saya sodorkan selembar uang lima ribuan. Rupanya malah ditukar dengan sekantong singkong banyak sekali. Lumayan untuk dibuat balok (singkong goreng) bekal ronda malamnya. Namanya juga tinggal di kampung.

***

Sejauh ini, tindakan tanggap darurat baik yang digerakkan oleh pemerintah maupun oleh spontanitas lembaga swadaya maupun individu masyarakat telah terbangun dengan baik sekali. Praktis semua lini pertahanan hidup dapat dikelola dengan sinergi yang manis. Semua pihak bahu-membahu membangun solidaritas sosial lintas batas. Para korban gempa yang rumahnya luluh-lantak pun tidak merasa sendirian. Banyak pihak merasa perduli untuk berbagi penderitaan, berbagi suka-duka dan berbagi nikmat.

Mereka para korban gempa mulai dapat tidur nyenyak di tenda-tenda darurat, sambil bermimpi kapan janji Pak De Jusuf Kalla yang hendak menabur bantuan Rp 10 juta hingga Rp 30 juta segera turun dari langit Jogja yang sesekali kelabu kecipratan abu Merapi. Listrik mulai mengalir dan hajatan bal-balan di Jerman pun dapat mengisi hari-hari malam dingin mereka. Beras berkarung-karung berlabel Bulog juga mulai berdatangan ke posko-posko bencana yang ada di hampir setiap pedukuhan. Petugas pemerintah yang akan membagikan uang lauk-pauk sebesar Rp 3.000,- per jiwa per hari dan tunjangan hidup Rp 100.000,- per bulan juga mulai sibuk mendata warganya, ada yang sudah mulai menerimanya, sebagian lainnya masih H2C (harap-harap cemas).

Maka kemudian muncul pertanyaan sederhana : Sampai kapankah mereka akan mampu bertahan dalam kondisi seperti itu? Sebab kini relawan domestik maupun mancanegara berangsur-angsur sudah mulai hengkang kembali ke kehidupannya masing-masing. Bantuan logistik tentu akan tiba saatnya menyurut. Orang-orang yang selama ini sangat perduli untuk berbagi tentu akan habis juga apa yang dapat dibaginya. Piala Dunia pun akan mencapai finalnya.

Akan tiba saatnya mereka para korban gempa kembali sendirian. Sendiri dengan problem keluarganya. Sendiri dengan rumahnya yang belum ada gantinya. Sendiri dengan anak-anaknya yang segera masuk sekolah. Sendiri dengan tunjangan hidup yang terbatas. Sendiri dan dheleg-dheleg, apakah masih mampu bekerja dengan upah mencukupi. Orang-orang yang semula sangat antusias dengan kepeduliannya, lalu entah pada kemana. Pemerintah yang semula mati-matian mengurusi mereka, mulai sibuk dengan urusan kantor yang sekian lama “terbengkelai”.

Tahap rekonstruksi atau rehabilitasi atau entah program apa lagi namanya memang segera dimulai. Tapi ada sekian ribu rumah, sekian ribu jiwa, sekian ribu derita, lengkap dengan sekian ribu persoalannya, harus ditangani. Sungguh pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah atau siapa saja.

Kerawanan sosial baru harusnya sudah mulai diantisipasi. Belum lagi kerawanan individual. Individu yang suka bersemangat lebih, seperti semangat mengumpulkan dana bantuan yang lebih, beras lebih, selimut lebih, mie instan lebih, susu lebih, tenda lebih, alat masak lebih dan kelebihan-kelebihan (kalau perlu, ya dilebih-lebihkan) lainnya…..

Umbulharjo,Yogyakarta – 16 Juni 2006
Yusuf Iskandar

Ada Gempa Di Kotaku (17 – Wis, Ah!)

18 Desember 2007

Beberapa hari setelah gempa memurungkan Jogja, ada seorang korban gempa kehausan di jalan Prambanan – Piyungan. Kebetulan “Madurejo Swalayan” sudah buka setengah pintu, maka orang itu lalu masuk toko dan membeli air mineral. Saya sebut korban gempa karena menurut cerita tetangga saya di Madurejo, rumah orang itu yang di Prambanan rusak berat.

Hanya saja orang itu adalah korban gempa yang tidak membutuhkan bantuan, malah tergolong korban gempa yang sewajarnya kalau ikut membantu korban gempa lainnya. Meskipun punya rumah di Prambanan, tapi orang itu tinggal di Jakarta. Bantuan jatah uang lauk pauk yang Rp 90.000,- per jiwa per bulan atau tujangan pakaian dan alat rumah tangga yang Rp 100.000,- nilainya, barangkali tidak berarti apa-apa. Malah masih bisa keliling Jogja naik mobil. Boro-boro tidur di tenda, meski rumahnya tidak bisa ditinggali, tidur di hotel pun bukan masalah.

Rupanya kasir “Madurejo Swalayan” mengenali wajah orang itu. Cuma tidak berani ngajak omong. Takut, katanya. Orang itu bernama Hidayat Nurwachid.

***

Beberapa hari yang lalu datang seorang nenek tua (soalnya ada juga nenek yang muda) ke rumah saya di Umbulharjo. Nenek itu minta agar saya membeli sisa dua kilo emping melinjo dari lima kilo yang sejak pagi harinya dibawanya berkeliling kampung. Dua kilo emping melinjo itu diwadahi dalam dua tas kresek kumal warna putih dan hitam. Nenek tua yang katanya tinggal di sebelah utara pasar Pleret itu bercerita bahwa rumahnya roboh, suaminya kakinya patah dan kini masih dirawat di rumah sakit, dan seorang anaknya meninggal tertimpa reruntuhan.

Dari sorot matanya saya menangkap ketulusan ceritanya (entahlah kalau tangkapan saya salah, tapi saya menghindar untuk tidak berprasangka buruk…..). Ketika saya tanya darimana emping melinjonya itu, dia menjawab emping itu hasil bikinannya sendiri sebelum ada gempa. Daerah Plered dan sekitarnya memang banyak tanaman melinjo dan sebagian masyarakatnya ada yang menekuni kerajinan membuat emping melinjo. Katanya, itulah sisa hartanya yang masih bisa diselamatkan. Entah bagaimana emping nenek itu bisa menyelamatkan diri, saya merasa tidak perlu terlalu jauh menanyakannya.

Uang yang diperoleh dari hasil menjual melinjo itu akan digunakan untuk tambahan membeli gedeg (dinding anyaman bambu) agar dia bisa membangun tempat tinggal sementara seadanya, di lokasi bekas reruntuhan rumahnya. Nenek itu juga meminta kalau-kalau di rumah saya punya seprei bekas yang boleh diminta.

Itulah salah satu potret korban gempa yang akan banyak dijumpai di kawasan Jogja dan sekitarnya saat sekarang ini. Potret tentang orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain. Hanya sebuah potret, dari ribuan potret yang mungkin ada. Sebanyak apapun kita membantunya, rasanya tidak akan mampu membantu mereka keluar dari keterpurukannya. Tapi sebaliknya, sesedikit apapun kita ikhlas membantunya, rasanya akan sangat berarti untuk sedikit saja meringankan beban derita mereka. Kalaupun tidak mampu membantu banyak untuk banyak orang, membantu sedikit untuk satu orang kiranya sudah cukup menjadikannya sebagai sebuah kemuliaan.

***

Hingga menjelang sebulan pasca gempa yang terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2006, jam 05:54 WIB dan telah memporak-porandakan wilayah Jogja dan sekitarnya, kini gaungnya memang telah mulai memudar. Masyarakat korban gempa pun mulai sibuk dengan persoalannya masing-masing. Namun kehidupan terus berlanjut. Dengan atau tanpa bantuan relawan. Dengan atau tanpa kepedulian masyarakat lain. Tapi mestinya tetap dengan pendampingan pihak pemerintah dan timnya untuk menyertai mereka yang kini terpuruk, mereka yang nyaris kehilangan masa depan, mereka yang tidak tahu mau apa dan bagaimana setelah ini.

Gempa susulan masih sesekali terjadi, kadang siang atau malam. Sesekali dengan intensitas cukup besar, sehingga mengagetkan semua orang. Hanya trauma kepanikan sudah lebih terkondisikan, sehingga tidak serta-merta orang-orang berhamburan lari. Namun tetap saja deg-degan saat gempa susulan terjadi. Retak-retak pada bangunan rumah saya sepertinya semakin membesar. Akibat gempa yang lalu saja terbentuk retak-retak seukuran rambut menghiasi bangunan rumah saya, kini retak-retak itu sepertinya sudah seukuran tujuh rambut.

Kehidupan masyarakat telah berangsur normal. Maksudnya, yang selamat ya tetap hidup dengan keselamatannya, yang menderita ya tetap hidup dengan penderitaannya. Hanya ahlak dan pekerti manusia akan mengisi celah di antara keduanya. Peluang untuk beramal baik atau tidak baik terbuka lebar menghubungkan di antara keduanya.

Tidak perlu ada kambing hitam, karena sudah jelas tidak ada yang memprovokasi terjadinya gempa. Tidak juga ada pihak yang dapat disalahkan. Berbeda halnya dengan bencana banjir atau tanah longsor, dimana antara pihak pemerintah, LSM, pengusaha dan masyarakat biasanya akan cenderung saling ding-tudding…..

Gempa bumi adalah “hak prerogatif” Sang Empunya Bumi, untuk menyusun jadwal lempeng tektonik mana yang mau ditumbukkan dengan keras, lempeng mana yang mau diogrok-ogrok duluan. Juga untuk memilih lokasi, memilih waktu dan menyusun daftar korbannya. Juga memilih siapa yang sedang dihukum dan siapa yang sedang diuji. Tinggal manusia sendiri yang kudu jeli introspeksi dalam membaca ayat-ayat-Nya. Ya, diri kita sendiri. Bukan ustadz atau pendeta, bukan penceramah agama, bukan atasan, bukan beking atau centeng, bukan juga rojo brono (harta karun) yang menggunung. Terserah kita mau “belajar” pethenthengan atau ditinggal tidur saja, gempa tetap terjadi sesuai “agenda”-Nya.

***

Setelah semua mata tertuju ke selatan Jogja, terutama ke wilayah kabupaten mBantul dan sekitarnya, kini semua mata beralih pandang ke utara Jogja. Disana ada gunung Merapi yang sedang batuk-batuk enggak enak badan. Wedhus gembel sudah mengembik panjang, lava pijar sudah tumpah dleweran, korban pun sudah jatuh. Ancaman banjir lahar bak sedang mengincar mangsanya.

Mudah-mudahan tidak lagi ada ujian lebih berat harus ditanggung oleh masyarakat Jogja. En toch, Sang Maha Pemilik Merapi berniat menambah ujian bagi masyarakat Jogja, agar naik kelas menjadi lebih “cerdas” memahami ayat-ayat-Nya, kita semua berusaha dan berdoa agar semuanya masih “manageable” untuk tidak menimbulkan korban jiwa.

Kini sebaiknya segenap elemen masyarakat bahu-membahu mengantisipasi “aba-aba” Yang Maha Kuasa. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator yang baik. Orang-orang pinter itu di koran dan televisi suka bercerita tentang kearifan lokal. Tapi sungguh saya sendiri sulit untuk memahami mangsudnya. Bagi saya yang penting masyarakat perlu diberi pemahaman lebih intensif tentang potensi bencana dan bagaimana menghindarinya. Masyarakat awam perlu diajari ilmu tentang tingkah laku atau budi pekerti yang mudah dipahami, ya tingkah laku bumi, ya tingkah laku penghuninya. Bukan menunggu wangsit yang akan dituturkan mBah Marijan. Bukan mempersiapkan ubo rampe (pernik-pernik) yang tidak berujung-pangkal. Bukan juga menyiapkan data-data untuk mencari kambing hitam. Seperti saya pun tidak pernah menginginkan untuk membuat dongeng tentang “Di Kotaku Ada Gunung mBledos”.

***

Gemuruh gempa di kotaku Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei yang lalu memang hanya “terselenggara” selama 57 detik. Pemenang dari “injury time” seketika dapat diketahui hasilnya. Namun gemuruh masalah yang menyertainya bisa tak berbilang batasnya. Hanya waktulah kelak yang akan menentukan siapa pemenangnya. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi akan memakan waktu sangat panjang. Masih diperlukan banyak dukungan dan kepedulian dari siapa saja dan dari bidang keilmuan apa saja.

Berbagai spanduk kini banyak menghiasi di setiap penjuru kota (ada sponsornya, tentu saja). Berisi kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri, menyejukkan hati dan memompa semangat. Pak Sultan Ngarso Dalem bersama segenap punggawa dan masyarakat pun telah berikrar bersama di desa Wonokromo, Pleret, Bantul : “Bangkitlah Jogjaku!”.

Bolah-boleh saja kalau mau alon-alon waton kelakon (pelan tapi terselesaikan). Juga boleh kalau mau milih mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan asal kumpul), atau kumpul ora kumpul mangan (kumpul atau tidak kumpul asal makan). Sumonggo kerso….., silakan saja….. Semua itu ternyata tidak ada bedanya kalau sudah terpojok oleh ujian yang maha dahsyat. Terbukti bahwa semua tak berkutik melawan kehendak-Nya saat terjadi gempa.

Maka ketika bantuan terlambat, semua orang toh akhirnya meminta sumbangan di sepanjang jalan, atau menghadang truk pembawa bantuan, dan ada juga yang nekat menjarah. Tak jelas lagi siapa yang ora mangan (tidak makan) dan siapa yang ora kumpul (tidak kumpul). Akhirnya semua lupa dan berubah menjadi sing penting mangan (yang penting makan). Tidak perlu dicari siapa yang salah, karena memang begitulah sistem kosmologi yang berlaku bagi mahluk jenis apapun yang sedang terpuruk dan terpojok. Dan itu bisa terjadi menimpa siapa saja. Tidak hanya manusia, melainkan juga kucing, kambing, macan, dhemit, tuyul and his gang…..

Mari, jangan terus terpuruk meratapi nasib. Siapapun harus bisa belajar dari tragedi ini. Belajar rame-rame menurut ngelmu dan kompetensinya. Belajar menjadi korban bencana yang baik, belajar menjadi korban selamat yang baik, belajar menjadi pemberi bantuan yang baik, belajar menjadi pengelola bantuan yang baik, belajar menjadi pemerintah (tukang memberi perintah) yang baik, belajar menjadi pengamat yang baik, dan banyak pelajaran lainnya…..  Tuhan tidak akan pernah membebani mahluk ciptaan-Nya melainkan sebatas kemampuan mahluk itu untuk mengatasinya. Wong Tuhan yang bikin, pasti Beliau juga tahu seberapa kekuatan benda bikinan-Nya.<

“Ayo bangkit, bangkitlah Jogjaku…..!”. Maksudnya, bangkit dari keterpurukan akibat gempa dan bangkit siap-siap menyalami Merapi…..

(Wis, ah!. Arep bal-balan karo sembur-semburan lumpur. Nuwun…..).

Umbulharjo, Yogyakarta – 23 Juni 2006
Yusuf Iskandar