Archive for the ‘(07) Memulai Bisnis Itu (Seharusnya) Gampang’ Category

(7) Memulai Bisnis Itu (Seharusnya) Gampang

13 Desember 2007

Kata para pemikir (orang yang kerjanya mikir), peluang atau kesempatan itu ibarat angin spoi-spoi nyemek (tidak basah tidak kering). Ketika dia datang, kita seringkali terlena, lenggut-lenggut kayak sapi kekenyangan. Tapi begitu dia pergi, kita baru mak plenggong (melongo) : “Lho, itu tadi peluang, to?”. Kendati demikian, tentunya tidak lalu berarti mesti nabrak-nabrak mengumpulkan peluang. Kebanyakan ngopeni peluang bisa-bisa kandangnya yang tidak cukup, akhirnya malah pada meloloskan diri, dan kita pun lalu kebingungan sendiri. Ya, biasa-biasa sajalah, asal lenggut-lenggut-nya jangan sampai kebablasan……

 

***

 

Tidak saya ingkari bahwa menangkap peluang bisnis yang pertama ini termasuk ngelmu bisnis bab pendahuluan yang puuualing sulit! Padahal tanda-tandanya sangat jelas dan kasat mata. Lha iya to, setiap peluang bisnis itu pasti berhubungan dengan jual-beli, dan setiap jual-beli itu pasti berurusan dengan untung-rugi. Tidak diperlukan ilmu atau pengalaman apapun untuk bisa mengatakan hal ini.

 

Jual-beli atau dagang, atau istilah kininya adalah bisnis, merupakan profesi tertua yang dikenal manusia, setua peradaban manusia itu. Profesi apapun, pada dasarnya adalah urusan jual-beli dan untung-rugi. Mulai dari yang halal sampai yang terlarang, dari yang purna-aksi sampai porno-aksi, dari yang paling primitif sampai paling canggih, dari skala rumahan sampai skala global, entah menyangkut barang atau jasa. Oleh karena itu, aktifitas bisnis atau jual-beli adalah bagian dari naluri manusia. Yang akhirnya akan membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya hanyalah faktor kebiasaan atau terlatih tidaknya seseorang menjalankan bisnis atau jual-beli ini. Semakin terbiasa dan terlatih, maka feeling dan kecerdasan bisnisnya semakin tajam dan terasah. 

 

Dari cerita pengantar di atas, kini saya meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang dilahirkan ke dunia ini, cenger dengan ada yang membawa bakat bisnis dan ada yang tidak. Tidak ada jiwa bisnis kok gawan bayi (bawaan sejak lahir), melainkan bayi yang gawan bisnis (bawaan hasil bisnis). Siapapun kalau mau beraktifitas bisnis jual-beli pasti bisa. Ada orang yang sejak kecil karena kondisi dan lingkungannnya memang sudah terlibat dalam aktifitas ini, ada yang sejak tua baru tergerak untuk menerjuninya. Pilihannya hanya mau atau tidak….

 

Sebagian dari para orang gajian, umumnya baru kepikiran untuk terjun ke dunia bisnis setelah sumber gajian tetapnya mulai dirasakan “terganggu”. Seandainya gajian tetap itu bisa diterima sampai seseorang meninggal di usia 97 tahun misalnya, sumprit…… orang itu tidak akan pernah melirik profesi tertua ini. Pemilik “Madurejo Swalayan” adalah satu dari sekian milyar orang yang kemudian terpaksa lebih awal melirik profesi non-gajianisme ini.

 

Jelasnya, tidak ada orang yang tidak bisa jualan. Mangkanya tidak perlu herman bin gumun kalau ada orang yang mengaku mula-mula tidak punya pengalaman atau ngelmu jual-beli kok kemudian sukses menjalankan bisnisnya. Itu karena orang itu bekerja keras dan bekerja cerdas, berusaha bagaimana agar jualannya untung dan keuntungannya meningkat terus. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan bakat atau jiwa bisnis, apalagi dalih yang mengada-ada yang seringkali menjadi pembenaran atas keengganan kita. Tapi pasti ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan (kecerdasan tidak sama artinya dengan nilai matematika 9 waktu di sekolah), dan kecerdasan itu bisa dibangkitkan, dilatih dan diasah.

 

Salah satu model orang jualan adalah buka usaha toko atau warung. Kalau saya sebut toko atau warung, sesungguhnya itu hanyalah simbol atau perlambang. Dalam prakteknya, apalagi di jaman modern sekarang ini, banyak juga mereka yang tidak punya toko atau warung an sich, tapi punya bisnis luar biasa. Jadi, jangan terpaku dengan lokasi atau tempat.

 

***

 

Intinya, jangan pernah berusaha mencari pembenaran bahwa “saya tidak bisa jualan”, “saya tidak berbakat dagang”, “saya tidak punya jiwa bisnis”. Nyuwun sewu, kuwi mesti ngapusi kanggo ngayem-ayemi…., itu pasti sedang berbohong untuk menyenangkan diri sendiri!. Yang benar adalah bahwa “saya belum terbiasa jualan”, “saya belum pernah melakukan usaha dagang”, “saya belum pernah mencoba bisnis”. Karena hidup ini sendiri adalah bisnis, hidup ini adalah sebuah perniagaan. Jadi sebenarnya sepanjang hidup kita ini, disadari atau tidak, kita telah berpengalaman melakukan bisnis, melakukan perhitungan untung-rugi.

 

Coba kita ingat-ingat sejenak. Keputusan apapun yang kita buat, langkah apapun yang kita ambil, tindakan apapun yang kita kerjakan, pasti atas dasar pertimbangan untung-rugi. Maka kalau suatu ketika ternyata tindakan kita salah, itu artinya kita telah keliru dalam membuat perhitungan bisnis dalam aktifitas keseharian kita. Hanya seringkali proses itu berjalan dengan refleks, sepertinya nyeklek dhewe (terjemahan dari otomatis, kata teman kost saya dulu). Kalau jelas tahu akan rugi, lha ngapain kita repot-repot melakukan sesuatu?. Dalam bentuknya yang paling sederhana, diam-diam setiap waktu, setiap hari, kita telah melakukan usaha bisnis dan sering-sering menguntungkan.

 

Untuk sekedar memperjelas : Mengantar dan menjemput anak ke sekolah setiap hari kita lakukan, itu karena feeling bisnis kita sudah sangat terasah bahwa pekerjaan itu menguntungkan dibanding anak disangoni disuruh berangkat atau pulang sendiri. Tidak memerlukan analisa ekonomi yang njlimet. Mandi pakai sabun, gosok gigi pakai odol atau makan nasi, kita kerjakan secara otomatis. Kalau persediaan sabun, odol atau beras di rumah sedang habis maka dibela-belain pergi ke toko atau warung untuk membelinya sekalipun hujan deras dan petir menyambar-nyambar. Itu karena naluri bisnis kita sudah terkondisikan bahwa itu pekerjaan yang menguntungkan, tanpa perlu hitungan yang rumit-rumit. Dan seterusnya bisnis seperti ini kita lakukan hampir setiap detik.

Dan saya tidak lupa, menulis dongeng tentang “Madurejo Swalayan” lalu mengirimkannya via email, mbayar lagi, adalah juga bisnis yang saya pikir menguntungkan. Menguntungkan bagi saya agar tidak berhenti berpikir dan membagi pemikiran, dan (mudah-mudahan juga) bagi orang lain agar menjadi inspirasi, syukur-syukur terprovokasi, paling tidak ya menjadi bacaan selingan yang menghibur atau infomezzo, gitu-lah….. 

Jadi, sekian kali lagi mohon maaf, saya hanya ingin memprovokasi dan mengajak Anda agar tidak ragu untuk menangkap peluang bisnis pertama yang ada di depan mata. Saya pun belum pernah melakukan usaha yang “real business”. Tapi toh saya tangkap juga peluang pertama usaha bisnis ritel.

 

***  

 

Bagi mereka yang sudah berpengalaman dalam bisnis (tepatnya, sudah lebih dahulu start menekuni bisnis jual-beli), maka biasanya tidak perlu pusing-pusing memikirkan atau menghitung-hitung menguntungkan apa tidak ketika hendak berbisnis. Pokoknya pasti untung, wong pengalaman sebelumnya sudah membuktikannya demikian. Maka dari itu, mereka cenderung refleks “just do it”, lakukan saja sudah. Ya seperti ilustrasi bisnis aktifitas keseharian kita itu tadi.

 

Tapi bagi mereka yang seumur-umur menjadi orang gajian, wajar saja kalau awang-awangen (ragu untuk melangkah), karena itu perlu mulai dengan “just plan it”, rencanakan dululah dengan cermat dan hati-hati. Sehingga kalau pun harus mengambil resiko, maka itu adalah resiko yang minimal, yang terukur dan yang terkelola dengan baik.

 

Jadi kalau saya amat-amati (wong bisanya ya baru mengamati), memulai bisnis itu (seharusnya) gampang, asal tidak dengan cara menggampangkan, melainkan tetap perlu terencana dan terarah, cermat dan tidak grusa-grusu…… Logika saya mengatakan, lha kalau sebenarnya kita ini telah berbisnis sepanjang hayat dikandung badan, lalu pengalaman bisnis seperti apa lagi yang dibutuhkan? Barangkali yang dimaksud adalah feeling dan kecerdasan bisnis yang semakin terasah. Sayangnya hal yang terakhir itu hanya mungkin diperoleh kalau kita sudah melangkah untuk memulainya sendiri.

Seorang pekerja keras seperti Thomas Alva Edison yang “never give-up to try and never try to give-up”, mengatakan bahwa sukses itu 99% kerja keras dan 1% bakat. Maka untuk mencapai sukses hanya perlu kerja keras (barangkali bahasa sekarangnya adalah kerja cerdas, smart working), sisanya dan sesial-sialnya kalaupun tidak punya bakat, toh hanya 1% porsinya dan baiknya dilupakan sajalah soal bakat ini. Daripada nanti malah jadi alasan saja…..

Akhirnya, kalau memang sudah ada krenteging ati (tergeraknya hati) untuk memulai bisnis apa saja, jangan cari-cari alasan deh! Tangkap peluang pertama dan kerjakan. That’s it. Peluang bisnis ada di mana-mana. Jadi, bisnis yuk…….! Biar saya ada temannya, teman belajar bersama-sama, teman mikir bersama-sama, teman kerja keras bersama-sama, semoga juga teman sukses bersama-sama (tapi kalau bingung bersama-sama saya tidak mau, monggo…… Anda duluan).

 

Madurejo, Sleman – 25 Pebruari 2006.

Yusuf Iskandar