Archive for the ‘(33) Hanya Soal Visi’ Category

(33) Hanya Soal Visi

13 Desember 2007

“Kok repot amat, sih…….?”. Barangkali itulah pertanyaan menggelitik yang mungkin muncul dalam hati, melihat saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Bukankah tinggal mbangun toko, setelah itu kulakan lalu dijual, dan begitu seterusnya?. Kenapa mesti repot-repot memikirkan tentang impuls buying, one stop shopping, gethok tular, ikut kegiatan kampung, mengelus-elus barang dagangan, memikirkan pelayanan, membuat logo, bahkan sampai ke rumusan Pareto dan analisis SWOT segala, masih ditambah lagi wawasan lain lagi tentang binatang Six Sigma?  

Jangankan Anda yang hanya membaca dongeng dari Madurejo, pegawai-pegawai saya saja memandang aneh (meskipun tidak berani mengatakannya) terhadap cara saya mengelola “Madurejo Swalayan”. Saya memperlakukan pegawai saya sebagai aset. Bukan sebagai likuiditas, yang cuma perlu berangkat pagi atau pulang malam, dan setiap bulan terima gaji. Melainkan mereka saya sertakan dalam rembugan-rembugan (diskusi) tentang bagaimana seharusnya toko dikelola, tentang rencana-rencana ke depan. Mereka juga selalu saya update tentang seperti apa pencapaian dan kinerja toko setiap bulannya. Saya yakinkan bahwa mereka sesungguhnya juga “pemilik” toko dalam pengertian manajerial. Tidak perduli mereka pelayan, kasir, pengawas atau manager. 

Di penggal separuh jalan dari Prambanan menuju Piyungan, Yogayakarta, sepanjang kurang lebih delapan kilometer, “Madurejo Swalayan” adalah satu-satunya toko swalayan berkonsep modern yang saat ini berdiri di tengah-tengahnya. Dari sisi persaingan bisnis untuk saat ini relatif belum ada ancaman yang nyata. Jalur jalan di sisi timur Yogya itu memang relatif cukup padat di siang hari karena menjadi jalan tembus dari arah Solo menuju kota Wonosari. Akan tetapi tingkat kepadatan penduduknya masih rendah, belum sepadat belahan Yogya utara, barat atau selatan. Belum menjadi pilihan kawasan pemukiman. Keberadaan kompleks perumahan masih bisa dihitung dengan jari. Oleh karena itu target pasar untuk toko swalayan modern saat ini masih terbatas. Kalau memang demikian, kenapa mesti repot-repot membangun toko swalayan berkonsep modern?   

Inilah jawabannya : Sejak saya merencanakan “Madurejo Swalayan” akan buka pertama kali sebelum bulan puasa tiba (akhirnya baru benar-benar terlaksana tanggal 2 Oktober 2005), saya berhitung bahwa tahun 2006 akan datang tidak lama lagi. Lalu saya membayangkan, bagaimana seandainya tiba-tiba saya bangun tidur dan ternyata hari itu bukan tahun 2006, melainkan saya sudah berada di tahun 2011 atau 2016? Ya, lima atau sepuluh tahun lagi…..!   

Apa yang akan terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan? Saya tidak tahu. Tapi barangkali saya harus memperkenalkan bahwa di sebelah kiri saya “Makromini Cash & Carry”, di sebelah kanan saya “Indoapril” dan di depan saya “Betamart”. Kalau toko-toko swalayan modern baru yang saya sebut itu dimiliki oleh investor sekelas atau di bawah kelas “Madurejo Swalayan”, barangkali saya tidak perlu merasa khawatir. Tapi bagaimana jika ternyata mereka adalah pemodal kuat?   

Bagi investor bermodal kuat, tentu tidak sulit untuk melengkapi tokonya dengan prasarana yang lebih modern dan sophisticated, dan menggaji professional bisnis yang jauh lebih pakar di bidang marketing dan management ritel. Kalau situasi itu terjadi lima atau sepuluh tahun lagi, dan “Madurejo Swalayan” hanyalah toko swalayan yang biasa-biasa saja, maka “Madurejo Swalayan” akan megap-megap seperti mau tenggelam. Semakin ngos-ngosan sejak membuka toko di pagi hari hingga menutup toko di malam hari.

Mengejar ketertinggalan dengan merenovasi dan mengubah tokonya menjadi toko modern? Wow……, terlambat sudah….! Waktu yang dibutuhkan untuk mengkonversi konsep toko, untuk masa transisi, untuk merubah mental pegawainya, akan terbuang percuma dibandingkan jika dipergunakan untuk membuka toko baru di lokasi lain. Belum lagi toko-toko baru milik pemodal kuat itu sudah semakin memantapkan “bargaining position”-nya di depan masyarakat desa Madurejo yang sudah semakin maju.   

Ilustrasi itu kedengarannya seperti kelewat berlebihan. Bisa jadi demikian. Namun saya melihat fakta berbeda : Kawasan pinggiran Yogya yang beberapa tahun yang lalu masih sepi dan jauh dari hiruk-pikik bisnis, ternyata sekarang sudah semakin padat. Coba lihat kawasan Yogya utara yang dulunya gung liwang-liwung tempat jin buang anak, sekarang sudah gegap gempita dengan aktifitas bisnis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya (mungkin malah anak-anak jin yang dibuang dulu juga ikut-ikutan berbisnis…). Maka bukan hil yang mustahal, akan tiba saatnya desa Madurejo dan sekitarannya menjadi kawasan padat berikutnya yang barangkali juga menjadi incaran para investor kuat. 

*** 

Lima tahun kedepan, bahkan sepuluh tahun ke depan, harusnya sudah dikelola sejak dari sekarang. Itu bukan waktu yang panjang. Jangan-jangan nanti kita terkejut tahu-tahu bangun tidur sudah tanggal 1 Januari 2011 atau malah 2016.  

Itulah latar belakangnya, kenapa mesti repot-repot melakukan komputerisasi sistem bisnis, thethek-bengek peritelan, rumusan Pareto, analisis SWOT, dan masih banyak hal-hal lain yang dimata pegawai “Madurejo Swalayan” saat ini dipandang aneh. “Small business as unusual…..”. Sedangkan semua kerepotan itu juga belum tentu berhasil seperti yang diimpikan. Namun aksi usaha harus tetap dilakukan semaksimal mungkin agar reaksi hasilnya juga maksimal. Namanya juga usaha…..     

Apabila semua usaha itu berjalan lancar, lalu ilustrasi saya di atas benar-benar terjadi, maka “Madurejo Swalayan” sudah siap bertempur di kancah persaingan bisnis ritel. Setidak-tidaknya sudah siap menerima ancaman (threats) untuk menggenjot kekuatan (strengths). Modal pertahanan sudah punya, yaitu umur jelas lebih tua, pengalaman lebih banyak, orientasi medan lebih baik, sistem manajemen lebih siap meskipun skalanya berbeda, sudah menang selangkah jika harus melakukan adaptasi terhadap tuntutan modernitas, dan yang paling penting menjadi “top of the mind” (yang pertama ada di pikiran) bagi masyarakat sekitar ketika hendak berbelanja. 

Barangkali akan berbeda ceritanya kalau “Madurejo Swalayan” dibangun sebagai kegiatan pengisi waktu, daripada nganggur di rumah, asal ada usaha kecil-kecilan……. Akan tetapi, karena niat ingsun pemilik dan pengelolanya sedari mula memang ingin menjadikan “Madurejo Swalayan” sebagai sebuah korporasi yang syukur-syukur bisa menjadi sumber penghasilan pasif bagi pemiliknya, maka segala kemungkinan bahkan yang terburuk harus diantisipasi. 

Jika kemudian ada yang berkata : “Mau buka toko saja, kok repot amat, sih…….?”. Itu karena memang pemiliknya termasuk penganut pepatah : Berangkot-angkot ke hulu berbecak-becak ke tepian, berepot-repot dahulu berenak-enak kemudian. Tinggal bagaimana menggenjot angkot dan becaknya agar setoran lancar……. Istilah gaulnya, ini memang hanya soal visi ke depan…… 

Madurejo, Sleman – 15 Januari 2006.
Yusuf Iskandar