Posts Tagged ‘seduction’

(17) Pemasok, Antara Kawan dan Lawan

13 Desember 2007

Menjelang hari “H”, hari pertama buka toko yang direncanakan, para pemasok (suppliers) berduyun-duyun berdatangan menawarkan produk-produknya. Mereka berdatangan, baik karena diberitahu oleh toko lain yang sebelumnya saya titipi kartu nama, diberitahu oleh sesama pemasok, sengaja kami hubungi untuk memberikan penawaran barang, ataupun secara kebetulan melihat papan nama toko baru saat mereka lewat di Jl. Prambanan – Piyungan, Yogyakarta.

Pemasok, dalam menunaikan tugasnya di lapangan biasanya diujungtombaki oleh orang-orang yang disebut salesman. Dalam komunikasi salah kaprah sehari-hari suka disebut dengan sales saja. Para pemasok ini bisa puluhan jumlahnya, baik yang resmi berbadan hukum yang mewakili perusahaan distributor produk tertentu maupun sales lepas (freelance) atau disebut juga sebagai grosir keliling.

Jangan heran dan terpesona kalau kemudian bertaburan kalimat-kalimat rayuan (seduction) dan bujukan meyakinkan (persuasion) dari para sales ini agar kita tertarik melakukan transaksi pembelian. Mulai dari menawarkan keunggulan produknya yang sudah dikenal masyarakat, yang katanya sudah ada iklannya di televisi. Sampai perlu menyebut referensi, misalnya di toko “Anu” (disebutnya nama toko yang berlokasi di kawasan yang sama dengan toko kita) seminggu bisa laku sekian biji. Tidak lupa mereka pun akan menunjukkan salinan order pembelian dari toko itu guna meyakinkan kita.

Dalam upayanya mendesak kita dalam soal “timing”, mereka akan mengatakan bahwa mereka akan kembali melewati lokasi toko kita setiap dua atau tiga minggu, terkadang sebulan sekali. Ketika dekat-dekat Lebaran, maka mereka akan berbaik hati mengingatkan bahwa jenis barang tertentu biasanya permintaan pasar meningkat sementara persediaan terbatas, sedang mereka akan libur selama beberapa waktu. Situasi seperti ini tentu akan membingungkan hitungan matematis di kepala kita, padahal keputusan harus dibuat saat itu juga, sedangkan sebagai pemain baru kita belum punya pengalaman.

Belum lagi soal iming-iming. Jika membeli sejumlah sekian akan menerima diskon sekian persen, jika membeli produk ini sekian akan ada bonus itu, jika pembayarannya tunai akan ada tambahan diskon sekian persen, untuk “grand-opening” toko baru ada tambahan diskon sekian persen lagi, dan banyak macam iming-iming lainnya yang seringkali membuat kita terlena.

“Retour policy” juga menjadi senjata sales. Mereka akan mengatakan nanti kalau barangnya tidak laku atau rusak bisa ditukar dengan produk lain. Jadi tidak perlu khawatir. Kita sering lupa, bagaimanapun juga hal itu tetap berarti mengalir-keluarnya uang tunai dari kas kita. Masih ada lagi sales lepas yang mengatasnamakan lembaga sosial tertentu, sehingga kalau kita membeli barang mereka berarti kita turut berbuat amal. Hati siapa yang tidak tersentuh mendengarnya.

Kalau sudah mentok karena terus kita tolak misalnya, akhirnya mereka akan mengatakan bahwa produknya perlu ada agar toko lebih lengkap, jangan sampai nanti ada pembeli yang membutuhkan ternyata barangnya tidak tersedia. Pembeli bisa kecewa. Sampai di titik ini kita sering terpengaruh. “Iya, ya…, benar juga. Sayang kalau sampai ada pembeli yang kecewa karena barang yang dicari tidak ada”, demikian biasanya setan gundul entah datang dari mana akan berbisik di telinga kita. Sebagai toko yang baru memulai usahanya, wajar kalau diam-diam muncul ketakutan, jangan-jangan kita dijauhi calon pelanggan setelah tahu tokonya tidak lengkap.

***

Tidak dapat dipungkiri, pemasok (supplier) adalah salah satu bagian penting dalam mata rantai bisnis ritel. Keberadaannya sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran usaha toko. Daripada repot-repot pergi kulakan, mencari barang, membelinya, lalu mengangkutnya sendiri, lebih menghemat banyak waktu apabila kita membelinya dari pemasok yang datang sendiri ke toko, harganya pun bersaing. Pendeknya, hubungan antara pengelola toko dan pemasok adalah hubungan kerjasama bisnis yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Simbiose mutualisme. Pengelola toko butuh kulakan dengan cepat dan harga bersaing, sedangkan pemasok butuh barang dagangannya dibeli oleh pengelola toko. 

Meskipun demikian, tidak semua sales layak untuk diajak bekerjasama. Ada juga oknum sales yang nakal, mau untung sendiri, ingin meraup untung besar sesaat, tidak berniat membina hubungan kerjasama yang langgeng. Oknum sales jenis ini terkadang hanya mementingkan asal dagangannya dibeli, tidak perduli bakal cepat laku atau tidak. Biasanya oknum sales ini minta pembayaran tunai. Jika barang dagangannya sudah banyak dibeli, sementara kita tidak tahu itu jenis barang yang cepat laku (fast moving) atau bukan, kita juga tidak tahu harga yang ditawarkan wajar atau terlalu tinggi, maka oknum sales nakal ini biasanya hanya sekali mampir lalu tidak kembali lagi.

Disinilah susahnya bagi pengelola toko yang belum berpengalaman, yang baru pertama kali berurusan dengan sales, yaitu bagaimana mengenali oknum sales-sales nakal. Pengalaman menjengkelkan itu juga yang terpaksa dialami oleh pengelola “Madurejo Swalayan”.

Harus disadari bahwa hal menjengkelkan itu sebenarnya adalah bagian dari resiko bisnis. Resiko yang mestinya harus sudah diperhitungkan sebelum mulai membuka toko. Bagaimanapun juga, sales adalah juga penjual yang ingin barang dagangannya laris manis. Sales juga membekali diri dengan pengetahuan, ketrampilan dan belajar bagaimana teknik menjual yang sukses. Bagaimana mempengaruhi calon pembeli agar jadi bertransaksi. Bagaimana meyakinkan calon pembeli bahwa produknya layak dibeli, dalam jumlah banyak kalau bisa. Dan, calon pembeli itu adalah kita, orang yang baru belajar bisnis ritel, orang yang suka bingung dan sulit mengambil keputusan ketika rayuan maut para sales menyerang tiba-tiba.

***

Lha, kalau sudah tahu tentang berbagai perilaku sales seperti itu, mestinya bisa dong menghindari oknum sales nakal….? Well……., mestinya iya. Tapi menurut “ngelmu” psikologi penjualan yang “dipelajari” oleh para sales itu mengajarkan bahwa selalu ada celah untuk meninabobokkan pemain baru seperti saya sehingga terpengaruh untuk membeli produk mereka.

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat rayuan, bujukan ataupun iming-iming yang ditawarkan para sales itu, tidak juga selamanya bertujuan negatif atau menyesatkan. Sebaliknya adakalanya justru menjadi nilai positif. Hanya saja, kita perlu berpikir jernih dan logis sebelum saat itu memutuskan untuk melakukan pembelian, atau menunda atau menolak.

Susahnya, sebagai pemain baru seringkali kita tidak punya cukup bekal referensi dan pengalaman, “feeling” pun belum terasah. Maka seringkali hanya mengandalkan iktikad baik dan percaya kepada pemasok semata sebagai landasan membuat keputusan. Situasi atau posisi lemah semacam ini jelas sangat dipahami oleh para pemasok beserta sales-salesnya. Maka muncullah oknum sales nakal, meskipun jumlah mereka tidak banyak.

Begitulah….. ! Pemasok adalah kawan kita. Pemasok professional sangat memahami bahwa hubungan simbiose mutualisme ini perlu dilanggengkan. Namun bagi sebagian kecil oknum pemasok lainnya, mereka adalah lawan kita. Mereka hanya mau untung sendiri tanpa mau memikirkan kelanggengan kerjasama yang saling menguntungkan. Masalahnya adalah, kita baru tahu mana kawan dan mana lawan justru setelah usaha kita berjalan sekian waktu, bukan sebelum memulainya.

Madurejo, Sleman – 19 Januari 2006.

Yusuf Iskandar